Kiara melangkah keluar dari rumah dengan langkah yang lebih ringan. Matahari pagi menyinari jalannya menuju sekolah, dan udara yang segar membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Setelah beberapa hari di rumah, kini dia harus kembali menghadapi rutinitas sekolah yang sempat ia tinggalkan. Ada perasaan campur aduk dalam hatinya—cemas tentang bagaimana teman-temannya akan memandangnya, dan juga sedikit takut untuk kembali berhadapan dengan kenyataan yang ada.
Di dalam mobil, ibunya yang mengantar Kiara ke sekolah terlihat lebih ceria. Walaupun Kiara bisa merasakan sedikit ketegangan di udara, ibunya berusaha keras untuk tidak menunjukkan kekhawatirannya. "Ingat, Kiara, jika ada yang membuatmu tidak nyaman, kamu bisa bicara sama Ibu atau Dimas. Kita selalu ada untukmu," kata ibunya sambil menatap jalan.
Kiara hanya mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Aku tahu, Bu. Terima kasih." Meskipun kalimat itu keluar dari bibirnya, hatinya masih penuh dengan perasaan ragu.
Sesampainya di sekolah, Kiara langsung merasakan perubahan suasana. Beberapa teman-temannya yang terlihat lebih memperhatikannya dari biasanya, menyapa dengan penuh perhatian. Namun, ada juga yang seolah-olah memperlakukannya seperti biasa, seperti tidak ada yang berubah. Itu membuat Kiara merasa bingung.
Di kantin, sahabat dekatnya, Lila, menyambutnya dengan pelukan hangat. "Kiara! Lama gak ketemu! Gimana keadaan Dimas? Kamu baik-baik aja kan?" tanya Lila, menatap Kiara dengan cemas.
Kiara tersenyum lemah, merasa lega bisa berbicara dengan sahabatnya. "Dimas sudah lebih baik, Lila. Aku juga mulai merasa sedikit lebih baik, meskipun masih banyak yang perlu diperbaiki."
Lila mengangguk paham. "Aku tahu. Tapi aku yakin, kamu bisa kok. Kalau butuh bantuan atau teman bicara, aku ada." Lila memegang tangan Kiara dengan erat, memberikan kekuatan yang sangat dibutuhkan oleh Kiara.
Namun, meskipun Lila berusaha memberi dukungan, Kiara tetap merasa ada sesuatu yang kosong. Seolah-olah, meskipun banyak orang yang peduli, hatinya masih merasa terisolasi. Sekolah—tempat yang seharusnya menjadi pelarian dari masalah di rumah—sekarang terasa begitu jauh. Kiara merasa ada celah antara dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Dia berusaha tersenyum dan mengikuti obrolan ringan dengan Lila, tapi pikirannya terus kembali ke rumah dan keluarganya.
---
Pelajaran berjalan seperti biasa, dan Kiara mulai merasa lebih baik setelah beberapa jam di sekolah. Namun, saat istirahat tiba, dia mendapatkan kabar yang membuatnya berhenti sejenak. Seseorang memberitahunya bahwa ada perubahan jadwal pelajaran yang cukup mendadak, dan dia harus segera mengikuti kelas tambahan untuk ujian yang akan datang.
Meskipun itu bukan masalah besar, Kiara merasa tertekan. Semua hal yang terjadi begitu cepat, dan kadang-kadang, dia merasa seperti tak punya kendali atas hidupnya. Ujian, rumah, hubungan dengan ibunya—semuanya berputar di kepalanya. "Kenapa semuanya terasa begitu berat?" pikirnya dalam hati.
Saat bel masuk, Kiara duduk di kelas, mencoba fokus pada pelajaran. Tetapi tak lama setelah itu, ada pesan yang masuk ke ponselnya. Pesan itu dari ibunya, yang menanyakan kabar Kiara di sekolah. "Apa kamu sudah makan? Jangan lupa untuk istirahat."
Kiara tersenyum kecil membaca pesan itu, meskipun ia tahu ibunya selalu sibuk. Tetapi kali ini, rasanya berbeda. Ibunya mulai menunjukkan lebih banyak perhatian. Bahkan, meskipun terkesan sederhana, bagi Kiara, itu adalah langkah maju.
Setelah kelas berakhir, Kiara berjalan menuju mobil. Dimas sudah menunggu di sana, dan mereka pulang bersama. Dalam perjalanan pulang, suasana menjadi lebih nyaman. Dimas berbicara banyak tentang teman-temannya di sekolah, mencoba membuat Kiara tertawa. Kiara merasa sedikit lebih baik, meskipun ia tahu bahwa perbaikan besar belum terjadi dalam keluarganya.
"Ibu kirim pesan tadi ya, Kak?" tanya Dimas, tersenyum nakal.
"Iya," jawab Kiara. "Kadang, aku merasa seperti Ibu sibuk banget, tapi di sisi lain, aku tahu dia juga ingin lebih perhatian ke kita."
Dimas mengangguk, terlihat merenung. "Semua butuh waktu, Kak. Aku yakin Ibu bisa berubah. Kita cuma perlu sabar."
Kiara hanya mengangguk pelan. "Iya, Dik. Kita harus sabar."
Sesampainya di rumah, Kiara merasakan kedamaian yang mulai datang kembali. Tidak ada yang sempurna, tapi hari ini, ia merasa sedikit lebih dekat dengan harapan itu. Sekolah mungkin masih terasa berat, tetapi rumah—rumah yang perlahan mulai pulih—adalah tempat yang membuatnya merasa lebih kuat.
Hari-hari di sekolah mulai terasa lebih ringan bagi Kiara. Meskipun ia masih membawa beban di dalam hatinya, ia mulai terbiasa dengan perubahan yang terjadi. Di kelas, teman-temannya lebih banyak mendekatinya dengan perhatian, meskipun beberapa masih terlihat ragu. Kiara mencoba menyembunyikan kecemasannya di balik senyuman, tetapi kadang, rasa kesepian datang begitu saja.
Setelah kelas selesai, Kiara memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Dia merasa perlu menenangkan diri sejenak, membaca buku yang telah lama ditinggalkan. Begitu memasuki ruang yang tenang itu, Kiara merasa seolah-olah dunia luar berhenti sejenak. Tidak ada tekanan, tidak ada masalah yang harus diselesaikan. Hanya dia dan buku-bukunya.
Di sana, ia bertemu dengan Lila. Lila yang selalu penuh semangat, kali ini tampak sedikit berbeda. Ada kecemasan di mata sahabatnya itu. "Kiara, kamu oke?" tanya Lila, duduk di sebelahnya.
Kiara mengangguk, meskipun hatinya sedikit ragu. "Iya, aku cuma butuh waktu untuk sendiri."
Lila tersenyum, meskipun ada rasa khawatir yang terpendam. "Aku ngerti, Kiara. Tapi ingat, kamu nggak sendiri. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang aja."
Pernyataan Lila itu membuat Kiara merasa sedikit lebih tenang. Ada pengingat bahwa meskipun ia merasa terasing, ia masih memiliki orang-orang yang peduli padanya.
Pulang ke rumah, Kiara merasa ada sesuatu yang berbeda. Ibunya sedang duduk di ruang tamu, menatapnya dengan tatapan yang lebih lembut. Mungkin karena kesibukan, ibunya sering kali tidak bisa hadir secara fisik, tetapi Kiara mulai merasakan bahwa ada usaha yang lebih nyata dari sang ibu untuk mendekatkan diri.
"Ibu," Kiara memulai, mencoba membuka percakapan. "Aku merasa banyak hal yang belum selesai. Terkadang aku merasa jauh dari semuanya, termasuk dari kamu."
Ibunya menatapnya dengan penuh perhatian. "Kiara, aku tahu aku mungkin tidak selalu ada untukmu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku sangat mencintaimu, dan aku akan berusaha lebih baik lagi."
Mendengar kalimat itu, hati Kiara terasa lebih ringan. Tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa rindu dan kecewa yang sempat ia rasakan, tetapi setidaknya ada tanda-tanda perubahan.
Dimas yang melihat percakapan itu hanya tersenyum. "Kita semua butuh waktu. Ibu juga sedang berusaha, Kak."
Kiara memeluk adiknya dengan erat. "Iya, Dik. Kita akan melewati ini bersama-sama."
Sekolah, rumah, keluarga—semuanya masih dalam proses perbaikan. Kiara tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi hari demi hari, langkah-langkah kecil yang mereka ambil membawa mereka lebih dekat untuk menemukan jalan yang lebih baik.