Hari-hari setelah kedatangan ayah semakin terasa berbeda bagi Kiara. Meskipun tidak langsung semuanya kembali seperti dulu, ada sedikit kelegaan dalam hatinya. Ayah yang dulu sering pergi, kini berusaha lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka. Namun, meskipun ada perubahan kecil, Kiara tahu bahwa hubungan keluarga mereka tidak akan langsung pulih dalam semalam.
Suatu pagi, saat sarapan, Kiara duduk bersama ayahnya. Mereka tidak berbicara banyak, hanya menikmati kebersamaan yang lama tidak mereka rasakan. Dimas juga duduk di samping mereka, tampak lebih ceria karena melihat Ayah kembali ke rumah.
"Kiara," ayahnya memulai dengan suara yang lebih lembut, "Aku tahu aku sudah lama tidak ada, dan itu salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku tahu mungkin ini tidak mudah, tapi aku ingin kita bisa mulai dari sini."
Kiara menatap ayahnya dengan mata yang masih penuh pertanyaan. "Aku hanya ingin kita bisa bersama, Ayah. Aku ingin merasa kita benar-benar keluarga lagi."
Ayah mengangguk, matanya penuh penyesalan. "Aku mengerti. Aku tahu itu tidak akan mudah, dan aku siap untuk berusaha lebih keras. Aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada untuk kamu dan Dimas."
Kiara menghela napas pelan. Ada sedikit kebingungan di dalam dirinya. Ia ingin mempercayai ayahnya, tetapi di sisi lain, luka lama itu belum sepenuhnya sembuh. Kehilangan waktu bersama ibu dan ayah begitu lama meninggalkan bekas yang mendalam.
Hari itu, setelah sarapan, Kiara pergi ke sekolah dengan perasaan campur aduk. Setibanya di sekolah, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Meskipun ibunya masih sangat sibuk dan tidak bisa hadir untuknya, setidaknya ayahnya ada, dan itu memberi sedikit harapan.
Di sekolah, Kiara berusaha menjalani hari-harinya dengan normal, tetapi perasaan kesepian itu terkadang masih datang. Ia merasa ada banyak hal yang belum selesai, terutama dengan ibunya. Tetapi setidaknya, ayahnya kembali, dan itu memberi sedikit penerimaan di hatinya.
Setelah sekolah, Kiara pulang ke rumah dan menemukan ayahnya sedang duduk di ruang tamu, tampak lelah setelah bekerja sepanjang hari. Dimas sudah lebih dulu bermain di luar, meninggalkan Kiara untuk berbicara dengan ayahnya.
"Ayah, terima kasih sudah ada di sini," Kiara memulai, suaranya lembut.
Ayah menatapnya, tersenyum. "Aku janji akan berusaha lebih baik, Kiara. Aku tahu banyak waktu yang telah terbuang, tapi aku ingin kita bisa mulai kembali."
Kiara tersenyum tipis. "Aku harap kita bisa. Aku... aku hanya ingin merasa kita seperti keluarga lagi."
"Dan kita akan," jawab ayahnya, menyentuh bahu Kiara dengan lembut. "Ini tidak akan mudah, tapi kita akan coba."
Meskipun banyak yang harus mereka lalui, Kiara merasa ada secercah harapan di hatinya. Ayahnya kembali, dan itu adalah awal dari perubahan. Namun, di dalam dirinya, ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang.
Malam itu, Kiara duduk di meja belajarnya, masih merasa bingung dengan banyak hal yang terjadi. Ayahnya kini selalu ada di rumah, berusaha memperbaiki hubungan mereka, tetapi ada kekosongan yang masih sulit untuk diisi. Ibunya, yang masih terlalu sibuk untuk memberikan perhatian, membuat Kiara merasa semakin jauh darinya. Rasa kehilangan yang dalam itu tetap mengganggunya, meskipun ada usaha dari ayah untuk lebih banyak terlibat.
Kiara teringat masa-masa kecilnya, ketika ibunya dan ayahnya selalu ada di rumah. Mereka sering berkumpul bersama di ruang tamu, berbicara tentang banyak hal, tertawa bersama, dan merencanakan masa depan. Namun, semuanya berubah ketika ibunya mulai bekerja di luar kota, dan ayahnya terpaksa bekerja lebih keras untuk menghidupi keluarga.
Setiap malam, Kiara tidur dengan perasaan hampa. Dimas, meskipun berusaha ceria, juga merasakan hal yang sama. Mereka berdua tumbuh tanpa kehadiran ibu yang benar-benar hadir di rumah, sementara ayahnya berusaha menebus waktu yang hilang. Terkadang, Kiara merasa seperti mereka sedang mencoba untuk memperbaiki sesuatu yang terlalu rusak untuk diperbaiki.
Namun, ada satu hal yang mulai Kiara rasakan: Ayahnya tidak menyerah. Dia datang ke rumah dengan tekad untuk memperbaiki segalanya, dan meskipun Kiara merasa sulit untuk mempercayainya, ada sedikit harapan yang muncul. Bahkan, meskipun sangat lambat, perlahan-lahan Kiara mulai merasakan ada ikatan yang mulai terbentuk kembali.
Suatu malam, setelah makan malam, ayahnya menghampiri Kiara yang duduk di ruang tamu. Mereka berdua duduk bersama di sofa, diam untuk beberapa saat.
"Ayah tahu aku tidak bisa menggantikan ibu," kata ayahnya akhirnya. "Tapi aku ingin kamu tahu, Kiara, aku akan berusaha menjadi ayah yang terbaik untuk kamu dan Dimas. Aku ingin kamu merasa dihargai, dan aku ingin kamu merasa bahwa kamu tidak pernah sendirian."
Kiara menatapnya, sedikit terharu. "Aku tahu, Ayah. Tapi kadang-kadang aku merasa seperti tidak punya siapa-siapa. Ibu sibuk, dan Ayah... Ayah juga jarang ada."
Ayahnya menghela napas panjang, kemudian memegang tangan Kiara. "Aku benar-benar menyesal, Kiara. Aku tahu aku tidak bisa mengembalikan waktu yang hilang, tetapi aku akan ada di sini. Aku akan mendengarkanmu, dan aku akan berusaha tidak membuatmu merasa sendirian lagi."
Kiara menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Ia merasa ada beban yang sedikit berkurang di dadanya. Meskipun luka lama itu masih ada, Kiara tahu bahwa ada usaha nyata dari ayahnya. Mungkin, sedikit demi sedikit, mereka bisa mulai membangun kembali hubungan yang pernah mereka miliki.
Namun, ada satu hal yang masih mengganggunya—ibunya. Kiara tahu, meskipun ayah berusaha, dia tidak bisa menggantikan peran ibu dalam hidupnya. Ia merindukan kebersamaan itu, merindukan perhatian yang selama ini hilang. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kiara merasakan bahwa ia tidak sepenuhnya sendiri.