Chereads / Searching for home / Chapter 18 - keputusan yang mengubah segalanya

Chapter 18 - keputusan yang mengubah segalanya

Hari-hari Kiara semakin terasa berat. Meskipun ia berusaha beradaptasi dengan keadaan, ada sesuatu yang membuatnya semakin tertekan. Semakin hari, ibunya semakin sibuk dengan pekerjaannya, dan Kiara merasa lebih jauh dari ibu yang dulu sangat dekat dengannya. Hubungan mereka yang semula penuh dengan kehangatan kini mulai terasa renggang. Kiara sering kali merasa sendiri, bahkan di rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung.

Suatu sore, Kiara menerima telepon dari ibu yang memberitahukan bahwa ia harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan selama beberapa hari. Seketika, perasaan kecewa dan marah muncul begitu saja di hati Kiara. Kenapa ibunya selalu saja pergi ketika mereka seharusnya bisa menghabiskan waktu bersama? Kenapa ibunya lebih memilih pekerjaan daripada keluarga?

"Mengapa kamu selalu begitu, Bu?" gumam Kiara dalam hati, sesaat setelah menutup telepon.

Di sekolah, Kiara semakin merasa terasing. Teman-temannya yang dulunya dekat kini seperti berjalan di dunia mereka sendiri. Meskipun Lila selalu ada untuknya, tetap saja Kiara merasa tidak ada yang benar-benar mengerti perasaannya. Puncaknya terjadi saat di kelas, ketika seorang teman memberitahunya bahwa mereka akan mengadakan acara keluarga besar di sekolah, tetapi ibunya tidak bisa hadir karena alasan pekerjaan.

Kiara merasa frustrasi. "Aku ingin ada orang yang peduli, seseorang yang ada di sini untukku," bisiknya dalam hati, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.

Namun, yang lebih mengejutkan adalah ketika Dimas, adiknya, menghadapinya dengan cemas. "Kak, aku tahu kamu merasa kesal sama Ibu. Tapi, kamu harus tahu, Ibu sebenarnya sangat sayang sama kita. Dia cuma terjebak dalam pekerjaannya. Aku juga merasa kesepian kadang-kadang, tapi kita harus belajar untuk saling mendukung."

Kiara terdiam mendengar kata-kata Dimas. Ia tahu adiknya benar, tapi tetap saja, hatinya terasa hampa. "Tapi kenapa dia tidak pernah ada untuk kita, Dik? Aku merasa seperti tidak penting."

Dimas menghela napas panjang. "Kita semua punya masalah, Kak. Tapi, Ibu juga manusia, dia tidak sempurna. Kita bisa belajar untuk menerima semuanya. Yang terpenting, kita saling ada."

Percakapan itu membekas di hati Kiara, tapi di sisi lain, ia merasa bingung dan marah. Bagaimana bisa ia terus bertahan dengan keadaan ini? Ia merasa terjebak dalam dilema yang tidak ada jawabannya.

Semalam, setelah berhari-hari berusaha mengabaikan perasaannya, Kiara akhirnya memutuskan untuk berbicara langsung dengan ibunya. Ketika ibunya pulang malam itu, Kiara menunggu di ruang tamu, dengan hati yang penuh keraguan.

"Ibu, aku ingin bicara," kata Kiara dengan suara tegas.

Ibunya menatapnya bingung, lalu duduk di sampingnya. "Ada apa, Kiara? Kenapa kamu terlihat cemas?"

"Aku merasa sangat kesepian, Bu," jawab Kiara dengan suara bergetar. "Kenapa kamu selalu sibuk? Kenapa kamu lebih memilih pekerjaanmu daripada keluarga kita? Aku rindu sama Ibu. Aku ingin kita bisa bersama, seperti dulu."

Ibunya terdiam beberapa saat. Matanya tampak kosong, seperti menyadari betapa dalamnya luka yang ia sebabkan tanpa sengaja. "Kiara, aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana. Aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian, tetapi aku juga terjebak dalam pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan. Aku... aku tidak ingin kamu merasa seperti ini."

Kiara menunduk, tidak bisa menahan air mata yang akhirnya jatuh. "Tapi aku merasa terlupakan, Bu. Aku merasa kita tidak lagi menjadi keluarga yang saling mendukung."

Ibunya meraih tangan Kiara, menggenggamnya dengan erat. "Aku minta maaf, Kiara. Aku akan mencoba lebih baik. Aku tidak ingin kamu merasa seperti ini."

Namun, meskipun kata-kata ibunya terdengar tulus, Kiara tetap merasa bahwa ada jarak yang sulit untuk dihilangkan. Perasaan kecewa itu telah mengakar dalam hatinya. Ia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya, tetapi ia tahu bahwa kehidupan mereka tidak akan pernah sama lagi.

Malam itu, rumah Kiara terasa lebih sepi dari biasanya. Kiara duduk di ruang tamu, matanya menatap kosong ke luar jendela, memandangi hujan yang mulai turun dengan perlahan. Dimas sudah tidur lebih awal, seperti biasanya, setelah mereka berbicara panjang lebar tentang perasaan mereka masing-masing. Kiara merasa tidak ada yang benar-benar mengerti apa yang sedang dia rasakan. Ia merasa begitu terperangkap dalam kesedihan yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.

Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi malam itu. Pintu depan rumah terbuka dengan suara berderit, dan langkah kaki yang familiar terdengar. Kiara menoleh, dan matanya melebar saat melihat sosok yang sudah lama tidak ia temui.

Ayah.

"Kiara..." suara ayah terdengar serak, penuh dengan penyesalan. Ayahnya, yang selama ini sibuk dengan pekerjaannya di luar kota, kini berdiri di ambang pintu dengan wajah yang terlihat lelah dan penuh kecemasan.

Kiara merasa ada sesuatu yang mengendap di dadanya. Rasanya seperti ada harapan yang tumbuh, meskipun dia tidak yakin apakah itu bisa menyembuhkan luka lama. "Ayah, kenapa sekarang? Kenapa baru datang sekarang?" suara Kiara bergetar, sedikit kesal, tetapi ada kerinduan yang sulit dia sembunyikan.

Ayahnya menghela napas panjang dan melangkah lebih dekat, duduk di samping Kiara. "Aku tahu, Kiara. Aku tahu aku sudah lama tidak ada. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan aku sangat menyesal sudah membuatmu merasa seperti ini. Aku tidak tahu harus mulai dari mana."

Kiara menunduk, mengusap wajahnya dengan tangan. "Aku merasa terlupakan, Ayah. Ibu juga sibuk, dan aku merasa seperti tidak punya siapa-siapa."

Ayah menatapnya dengan penuh perhatian, tangannya menyentuh bahu Kiara dengan lembut. "Kiara, aku sangat menyesal sudah membuatmu merasa seperti itu. Aku tahu aku tidak sempurna, dan aku salah karena lebih memilih pekerjaan daripada keluargaku. Tapi aku ingin kamu tahu, aku sangat mencintaimu, dan aku akan berusaha untuk menjadi ayah yang lebih baik."

Ada kesunyian di antara mereka, hanya terdengar suara hujan yang semakin deras di luar. Kiara merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Air mata yang ia tahan sejak lama akhirnya jatuh. Ia ingin marah, ia ingin merasa kecewa, tetapi lebih dari itu, ia merindukan kedekatan yang dulu ia rasakan dengan ayahnya.

"Ayah, aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku sudah lama merasa kesepian," Kiara berbisik, suaranya penuh emosi.

Ayahnya memeluk Kiara dengan erat. "Aku minta maaf, Kiara. Aku berjanji akan lebih banyak ada untukmu. Kita akan mulai dari sini. Aku akan mencoba untuk mendengarkanmu, dan aku akan berusaha lebih baik."

Kiara terdiam dalam pelukan ayahnya, merasakan ada secercah harapan yang kembali muncul. Meskipun ia tahu perasaan itu tidak akan langsung mengubah semuanya, tetapi ayahnya ada di sana, akhirnya. Dan itu sudah cukup untuk memberi sedikit kedamaian di hatinya yang selama ini terperangkap dalam kesepian.

Malam itu, meskipun ada banyak hal yang belum selesai, Kiara merasa bahwa langkah pertama menuju penyembuhan sudah dimulai. Ayahnya kembali, dan itu memberi sedikit harapan bahwa keluarga mereka, meskipun terpecah, masih bisa diperbaiki.