Pagi itu terasa berbeda bagi Kiara. Udara yang biasanya sejuk kini terasa berat, seakan-akan segala masalah yang ada di rumahnya mulai menyeruak dan menuntut perhatian. Meskipun Dimas sudah sedikit membaik, dan ibunya mulai mencoba untuk memperbaiki hubungan mereka, Kiara merasa ada yang hilang dari dirinya. Kejadian kecelakaan itu seperti menyadarkan semuanya—tentang betapa rapuhnya hidup dan seberapa mudahnya segala sesuatu berubah dalam sekejap.
Ia duduk di tepi tempat tidur Dimas, menatap adiknya yang masih terlelap. Meskipun ia tahu Dimas sedang berjuang untuk pulih, Kiara tidak bisa menahan perasaan cemasnya. Selama ini, ia selalu merasa sendiri, seperti sebuah bayangan yang hilang di balik kesibukan ibunya. Namun sekarang, setelah melihat Dimas terbaring lemah, perasaan itu semakin tajam. Ia merasa bertanggung jawab atas segalanya, merasa bahwa mungkin jika ia lebih memperhatikan Dimas, kecelakaan itu tidak akan terjadi.
Namun, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan.
Kiara mendekat, menyentuh rambut Dimas dengan lembut. "Kamu harus bangun, Dimas. Jangan pernah membuatku khawatir lagi," bisiknya, meskipun ia tahu Dimas tidak bisa mendengarnya.
Ibunya datang mendekat, berdiri di pintu dengan tatapan penuh penyesalan. "Kiara, aku tahu aku telah lalai selama ini. Aku berharap bisa membalikkan waktu," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan beban.
Kiara menoleh, matanya penuh dengan kesedihan dan keteguhan. "Ibu, kita sudah terlalu lama hidup seperti ini, terpisah meski berada di bawah satu atap. Aku ingin kita berubah, bisa saling mendukung. Aku tidak ingin kita kehilangan satu sama lain lagi."
Ibunya terdiam, melihat ketulusan dalam diri Kiara. Air mata mulai mengalir dari matanya, karena ia tahu bahwa perubahan yang diminta Kiara sangatlah besar. Selama bertahun-tahun, ia selalu sibuk dengan pekerjaannya dan jarang memberi perhatian pada keluarga. Sekarang, ia menyadari betapa banyak waktu yang telah terbuang sia-sia.
"Kiara, aku berjanji... kita akan memperbaikinya. Aku akan lebih banyak ada untuk kalian," kata ibunya, meskipun suara itu sedikit gemetar.
Namun, Kiara tidak tahu apakah ia bisa sepenuhnya percaya. Rasa sakit dan penyesalan yang bertahun-tahun tertahan kini muncul begitu saja. Perubahan bukanlah hal yang mudah, dan Kiara merasa bahwa bahkan jika ibunya berusaha, luka yang ada di dalam dirinya terlalu dalam untuk bisa disembuhkan dengan mudah.
Sementara itu, Dimas terbangun perlahan. Matanya yang semula tertutup kini mulai terbuka, dan ia melihat wajah kakaknya dan ibunya yang tampak cemas. "Kak Kiara... Ibu..." suara Dimas serak, tetapi penuh dengan harapan.
Kiara memegang tangan Dimas, tersenyum dengan air mata yang menetes. "Kamu sudah bangun. Aku sangat khawatir," ucapnya dengan suara terbata-bata.
Dimas tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja, Kak. Jangan khawatir." Ia berusaha menghibur Kiara, meskipun tubuhnya masih terasa lemah dan terluka.
Ibunya duduk di sisi ranjang Dimas, menggenggam tangan putranya dengan erat. "Kita akan melewati ini semua bersama-sama. Aku janji," katanya dengan suara penuh keyakinan, meskipun jauh di dalam hatinya ia tahu bahwa janji itu membutuhkan waktu dan usaha yang tidak sedikit.
Kiara melihat kedua orang tuanya, merasa ada sedikit harapan yang terlahir di tengah kesakitan yang mereka rasakan. Meskipun ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, ia juga tahu bahwa tidak ada yang lebih berharga selain keluarga.
Namun, perasaan itu bercampur dengan perasaan yang lebih gelap—perasaan takut bahwa ini semua mungkin hanya ilusi. Mereka sudah terlalu lama terjebak dalam jarak emosional, dan meskipun perubahan itu mungkin ada, ia tidak yakin apakah ia bisa mempercayai proses tersebut.
"Aku tidak tahu bagaimana kita bisa melupakan semua yang sudah terjadi," bisik Kiara, suara yang hampir tak terdengar.
Ibunya menatap Kiara dengan mata yang penuh penyesalan. "Kita tidak perlu melupakan semuanya, Kiara. Tapi kita bisa mulai dari sini. Mulai saling memperhatikan dan mendukung. Itu yang paling penting."
Kiara menunduk, merasa bingung. Ia ingin percaya, tetapi kesedihan yang telah lama terpendam di dalam dirinya tidak akan hilang begitu saja. Meski begitu, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan kedua yang harus mereka ambil.
Kiara duduk di balkon rumah, memandang langit senja yang berwarna oranye. Angin yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma tanah basah dari hujan yang baru saja reda. Dimas sedang tidur siang, dan ibunya sedang menyiapkan makan malam. Keheningan yang ada seakan menjadi pelipur lara bagi Kiara yang terus terbayang oleh kejadian-kejadian yang melibatkan keluarganya.
Pikirannya berputar tentang apa yang telah terjadi. Sungguh, tidak ada yang pernah menyangka bahwa suatu hari mereka akan berada di titik ini—dalam perjalanan memperbaiki hubungan yang telah lama renggang. Kiara tidak bisa menahan perasaan cemas dan khawatir. Walaupun Dimas sudah mulai pulih, ia tahu bahwa keluarganya masih harus melalui banyak hal untuk kembali seperti dulu. Ia ingin percaya bahwa ibunya benar-benar berubah, namun ada rasa takut yang begitu besar di dalam dirinya.
Senyuman ibunya yang penuh penyesalan itu terasa seperti pisau yang mengiris hati Kiara. Ia ingin percaya, tetapi kesalahan masa lalu seperti bayangan yang sulit dihilangkan. Tetapi entah kenapa, di balik rasa takut itu, ada secercah harapan yang mulai tumbuh—harapan bahwa mungkin, justru melalui cobaan ini, mereka bisa menjadi keluarga yang lebih baik.
"Saatnya untuk berubah, Kiara," ucapnya pelan pada dirinya sendiri, sambil menatap bintang yang mulai bermunculan di langit. "Mungkin aku harus memberikan kesempatan ini. Untuk keluarga, untuk Dimas, dan untuk diri aku sendiri."
Pikiran Kiara terhenti sejenak, ketika ibunya muncul dari dalam rumah dan berdiri di sampingnya. "Kiara, aku tahu ini semua sangat sulit. Aku tahu aku telah mengecewakanmu. Tapi aku berjanji aku akan berusaha lebih baik lagi. Aku ingin kita menjadi keluarga yang saling mendukung," katanya, suaranya penuh dengan harapan dan penyesalan.
Kiara tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang ibunya dengan tatapan lembut. Ada kebingungan di dalam hatinya. Perasaan terluka itu masih ada, tetapi ada sesuatu yang lain yang mulai tumbuh. Rasa sayang dan pengertian. Kiara tidak tahu apakah ia bisa sepenuhnya memaafkan ibunya, tetapi ia tahu satu hal—perubahan tidak akan datang dalam semalam.
"Ibu, aku tahu ini tidak mudah," kata Kiara akhirnya, "Tapi aku ingin kita mencoba. Kita bisa mulai dari sini, mulai saling berbicara, saling mendengarkan. Mungkin itu langkah pertama yang bisa kita ambil."
Ibunya tersenyum, air mata mengalir di pipinya. "Terima kasih, Kiara. Aku sangat menyesal sudah melewatkan begitu banyak waktu bersama kalian."
Kiara mengangguk pelan. "Kita semua belajar dari kesalahan, Ibu. Aku juga, kok. Aku juga harus lebih sabar." Kiara merasa ada beban yang mulai terasa lebih ringan, meskipun ia tahu perjalanan mereka masih panjang.
Saat malam tiba, Kiara kembali duduk di samping ranjang Dimas. Adiknya masih terlihat sangat lemah, namun senyumannya yang tipis memberinya kekuatan. Dimas memandang Kiara dengan penuh kasih. "Kak Kiara, aku janji akan lebih berhati-hati. Aku nggak mau lagi bikin Kakak khawatir."
Kiara tersenyum dan memeluk Dimas dengan lembut. "Aku tahu, Dik. Tapi kamu harus tahu, apapun yang terjadi, Kakak akan selalu ada buat kamu."
Malam itu, mereka berdua terdiam, menikmati kedamaian yang tidak biasa mereka rasakan. Meski masih banyak hal yang harus mereka hadapi, satu hal yang pasti—mereka masih memiliki satu sama lain.