Keheningan malam itu pecah oleh suara dering telepon yang menggema di ruang tamu. Kiara yang tengah duduk di meja belajar terkejut mendengar suara itu, dan jantungnya langsung berdegup kencang. Ia mengenali nomor yang muncul di layar, nomor rumah sakit.
Segera saja, ia mengangkat telepon dengan tangan gemetar. "Halo?" suaranya terdengar cemas, hati mulai terasa tidak tenang.
Di ujung sana, suara dokter terdengar terburu-buru. "Kiara, ini dokter dari Rumah Sakit Umum. Kami ingin memberitahukan bahwa adik kamu, Dimas, baru saja mengalami kecelakaan di jalan. Kami sedang menangani kondisinya, dan kami membutuhkan kamu untuk datang secepatnya."
Kata-kata itu membuat dunia Kiara berhenti berputar. Jantungnya serasa terhenti mendengarnya, dan tubuhnya seperti dipenuhi rasa panik yang tak terkendali. "Dimas... Dimas kenapa?" Kiara berusaha menguasai suaranya, meskipun ketakutan mulai menguasai dirinya.
"Dia tertabrak mobil, dan kondisinya cukup serius. Kami akan menunggu kamu di rumah sakit," kata dokter itu, nada suaranya serius namun mencoba menenangkan Kiara.
Kiara langsung menutup telepon dan berlari keluar dari rumah, melupakan semua hal lain. Tanpa memikirkan apa pun, ia hanya berlari, dengan pikiran penuh kecemasan. Ibunya yang melihatnya keluar terburu-buru pun langsung mengejar.
"Kiara, kamu mau ke mana?" tanya ibunya dengan nada khawatir, mengikuti Kiara yang sudah hampir mencapai pintu depan.
"Adik aku... Dimas... dia kecelakaan! Aku harus ke rumah sakit!" jawab Kiara terbata-bata, suara tangis mulai tak bisa dibendung.
Ibunya terkejut, lalu segera berlari mengikutinya. "Tunggu, Kiara! Aku akan ikut!" teriak ibunya, berusaha mengejar langkah Kiara yang sudah terburu-buru menuju jalan.
Sesampainya di rumah sakit, Kiara disambut dengan wajah-wajah cemas. Ia segera dihampiri oleh seorang suster yang mengenakan masker dan pelindung wajah. "Kiara, kamu datang tepat waktu. Dimas sedang dirawat di ruang gawat darurat. Dia membutuhkan keluarga sekarang," kata suster itu dengan nada lembut namun tegas.
Langkah Kiara terasa terhenti di ambang pintu ruang perawatan. Ibunya sudah lebih dulu masuk, dan Kiara bisa melihat sosok adiknya yang terbaring lemah, terluka di ranjang rumah sakit. Ia merasa seolah dunia sekitarnya berubah menjadi kabur. Dimas, adiknya yang selama ini selalu ceria, kini terbaring tidak berdaya. Ia melihat tubuh adiknya yang terhubung dengan berbagai alat medis, dan pipinya mulai basah oleh air mata.
"Kenapa ini bisa terjadi?" Kiara berbisik, hatinya terasa hancur. Ia mendekati Dimas dan menggenggam tangannya yang dingin. Ia ingin merasakan kehidupan yang dulu ada dalam diri adiknya, namun yang ia rasakan kini hanya keheningan.
Ibunya duduk di samping ranjang Dimas, menatap putra bungsunya dengan wajah yang tak bisa menyembunyikan rasa sakit. "Aku sangat menyesal... Aku tidak pernah bisa memberikan perhatian lebih pada kalian," ucap ibunya dengan suara tercekat, penuh penyesalan.
Kiara memandang ibunya dengan mata yang penuh emosi. "Ibu, kenapa kita hanya menyadari semuanya setelah ada yang terjadi? Kenapa baru sekarang kita tahu betapa pentingnya kita saling mendukung?"
Ibunya terdiam, tidak bisa menjawab. Air matanya mengalir, menetes tanpa bisa dihentikan. Tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sesal itu. Waktu terus berjalan, dan malam itu menjadi malam yang penuh ketidakpastian.
Dimas tidak sadarkan diri selama berjam-jam. Kiara duduk di sisi ranjangnya, tidak bisa meninggalkannya meskipun ia merasa lelah dan putus asa. Setiap detik terasa sangat panjang, seperti menguji kesabaran dan keteguhan hatinya. Ia berharap, dengan segenap hati, Dimas bisa bangun dan mengingat segala kenangan mereka.
Akhirnya, setelah beberapa jam penuh kecemasan, dokter keluar dari ruang perawatan. "Dimas dalam kondisi stabil, namun kita masih harus memantau keadaan internalnya. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut," ujar dokter itu dengan nada tenang, meskipun tidak bisa sepenuhnya menenangkan perasaan mereka.
Kiara dan ibunya menghela napas lega, meskipun rasa takut masih menggerayangi mereka. Meskipun keadaan Dimas belum sepenuhnya pulih, ada harapan. Namun, Kiara tahu bahwa ini adalah pelajaran berharga bagi keluarganya. Mereka telah melewati terlalu banyak jarak emosional, dan kini mereka harus berjuang untuk tetap bersatu.
Hari-hari setelah kecelakaan Dimas berlalu dengan lambat dan penuh ketegangan. Kiara dan ibunya tetap berada di rumah sakit, bergantian menemani Dimas yang masih dalam perawatan intensif. Keadaan Dimas sudah sedikit membaik, namun kondisinya masih sangat rentan. Kiara merasa cemas dan lelah, namun ia tidak bisa meninggalkan adiknya dalam keadaan seperti itu.
Kiara menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada perasaannya sendiri dan jarang memberikan perhatian pada Dimas. Sekarang, saat melihatnya terbaring lemah, barulah Kiara benar-benar merasa kehilangan. Ia tahu bahwa dia harus lebih kuat untuk adiknya, meskipun hatinya hancur.
Malam itu, Kiara duduk di samping ranjang Dimas, menggenggam tangannya dengan erat. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, mengingat semua kenangan indah bersama adiknya—kenangan masa kecil yang ceria dan penuh tawa. Kini, semua itu terasa jauh, dan Kiara bertanya-tanya apakah semuanya akan kembali seperti semula.
Ibunya duduk di kursi sebelah, terlihat lelah dan tertekan. "Kiara, aku tidak tahu harus berkata apa," ucap ibunya pelan, tatapannya kosong.
Kiara menoleh dan menatap ibunya, merasa tidak bisa lagi menahan kesedihan yang selama ini ia pendam. "Ibu, kita harus lebih saling mendukung. Aku... aku tidak ingin kehilangan keluarga kita," katanya dengan suara hampir tak terdengar, penuh emosi yang tak terungkapkan.
Ibunya menatap Kiara dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku tahu aku telah gagal, Kiara. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku dan tidak memberi perhatian yang cukup pada kalian. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Aku sangat menyesal."
Kiara merasakan kesedihan ibunya, namun ia juga merasa ada luka yang dalam di hatinya. Meskipun ibunya berkata bahwa dia menyesal, Kiara tahu bahwa penyesalan itu tidak akan bisa mengembalikan waktu yang telah hilang. Namun, ia memutuskan untuk tidak membiarkan itu menghancurkan hubungan mereka. Kiara ingin memberikan kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
Ketika Dimas akhirnya membuka matanya setelah beberapa jam terbaring tak sadarkan diri, Kiara merasa ada harapan yang kembali muncul. Meskipun ia masih sangat lemah, Dimas mencoba tersenyum, meskipun wajahnya penuh dengan luka. "Kak Kiara... aku... aku baik-baik saja," katanya pelan, berusaha menenangkan kakaknya.
Kiara merasa terharu. Ia tidak bisa menahan air mata yang mengalir. "Jangan pernah membuatku khawatir seperti ini lagi, adik," bisiknya, sambil memegang tangannya lebih erat. "Aku... aku sangat takut kehilangan kamu."
Dimas mencoba tersenyum, meskipun ia masih kesulitan untuk berbicara. "Aku janji, Kak. Aku akan lebih hati-hati mulai sekarang."
Ibunya duduk di sisi mereka, akhirnya bisa merasakan sedikit ketenangan setelah bertahun-tahun tidak pernah benar-benar ada untuk kedua anaknya. Ia memandang Kiara dan Dimas, kemudian berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar, "Kita akan menjadi keluarga yang lebih baik. Aku berjanji."
Kiara menoleh pada ibunya, sedikit terkejut dengan kata-kata ibunya yang penuh penyesalan. Namun, ia juga tahu bahwa kata-kata itu adalah langkah pertama menuju perubahan. Ia memutuskan untuk percaya bahwa ibunya benar-benar akan berusaha, meskipun ia tahu bahwa perjalanan itu akan penuh dengan tantangan.
Malam itu, setelah berjam-jam di rumah sakit, Kiara pulang dengan perasaan yang campur aduk—antara lega dan khawatir. Meskipun Dimas sudah mulai pulih, ia tahu masih ada banyak hal yang harus dihadapi. Keluarganya, yang selama ini terpisah oleh kesibukan dan jarak emosional, harus belajar untuk saling mendukung dan memperbaiki hubungan yang telah lama rusak.