Hari-hari Kiara semakin terasa berat. Meskipun ibunya berjanji akan meluangkan waktu lebih banyak untuknya, kenyataannya tetap saja tidak berubah. Setiap hari, Kiara melihat ibunya yang semakin sibuk dengan pekerjaan dan rapat yang tak ada habisnya. Setiap kali Kiara mencoba untuk mengajak ibu berbicara atau sekadar menghabiskan waktu bersama, ibunya selalu punya alasan lain. Janji-janji yang diberikan ibunya hanya terasa seperti angin lalu, tak pernah tertunaikan.
Kiara mulai merasa bahwa harapan itu semakin pudar. Ia merasa seperti ia telah memberi terlalu banyak, tetapi tidak pernah mendapatkan yang setimpal. Ia hanya ingin sedikit perhatian, sedikit waktu bersama, tetapi itu terlalu sulit untuk didapatkan.
Pada suatu malam yang gelap, Kiara duduk di pinggir jendela kamar, memandang keluar. Angin malam berhembus lembut, namun hatinya terasa berat, seperti ada beban yang tak bisa ia lepaskan. Ia mengingat kembali masa-masa kecilnya, ketika ibunya selalu ada di sampingnya. Namun sekarang, semuanya terasa jauh berbeda. Kiara merasa semakin terasing di rumahnya sendiri.
Ibunya masuk ke kamar, masih mengenakan jas kerja dan membawa tas besar yang selalu ia bawa. Kiara hanya menoleh sesaat, lalu kembali menatap ke luar jendela.
"Kiara, kamu kenapa?" tanya ibunya, suara itu terasa penuh kelelahan. Ia duduk di tepi ranjang, meletakkan tasnya.
Kiara menghela napas, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. "Aku merasa sendirian, Bu. Aku cuma... butuh ibu," jawabnya, suaranya hampir tak terdengar.
Ibunya menatapnya sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Ibu tahu kamu butuh perhatian, Kiara. Tapi ibu harus bekerja keras. Ibu harus membuat kita hidup nyaman. Ini semua demi kamu, supaya kamu nggak kekurangan apa-apa."
Namun, kata-kata itu tidak memberi kenyamanan bagi Kiara. Ia merasa seperti dirinya hanyalah sebuah angka dalam perhitungan kerja ibunya. Keinginan ibunya untuk memberikan kenyamanan material tidak bisa mengisi kekosongan yang ada di hatinya.
"Aku cuma pengen ibu ada buat aku, Bu. Bukan hanya untuk memberi aku uang dan barang. Aku butuh waktu bersama ibu," kata Kiara dengan suara yang hampir patah.
Ibunya terdiam, dan Kiara bisa melihat ekspresi yang sulit terbaca di wajah ibunya. Seolah ibunya tidak tahu harus berkata apa. Kiara merasa bahwa mereka berada di jalan yang berbeda, dan semakin hari, mereka semakin jauh.
"Ibu minta maaf, Kiara. Ibu memang terlalu sibuk. Tapi Ibu berjanji, suatu saat nanti, kita akan punya waktu bersama lagi," ucap ibunya pelan, tetapi Kiara bisa merasakan ada sedikit ketulusan dalam kata-kata itu.
Namun, meskipun ada janji itu, Kiara tahu bahwa itu hanya akan tetap menjadi harapan yang sulit terwujud. Ia merasa terjebak dalam dunia yang hanya berputar di sekitar pekerjaan ibunya, dan dirinya semakin tenggelam dalam kesepian yang kian mendalam.
Kiara terjaga di tengah malam, matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar yang gelap. Suasana di luar terasa hening, hanya suara angin yang sesekali berdesir, membuatnya merasa semakin kesepian. Sejak janji ibunya yang tak kunjung terwujud, Kiara merasa hatinya semakin kosong. Ia tak tahu harus bagaimana lagi.
Pikirannya kembali mengingat percakapan malam sebelumnya. Walaupun ibunya sempat meminta maaf dan berjanji akan meluangkan lebih banyak waktu, Kiara merasa itu hanyalah kata-kata kosong. Janji-janji itu hanya menambah rasa kecewa di hatinya. Setiap malam, Kiara duduk sendirian di kamar, merenungi semuanya, berusaha mengerti mengapa ibunya begitu sibuk dan mengapa tak ada waktu untuk keluarga mereka.
Pagi harinya, Kiara merasa berat untuk bangun dari tempat tidur. Rasanya seperti ada beban besar yang menghimpit dadanya. Ia tahu bahwa jika ia pergi ke sekolah, ia harus berpura-pura baik-baik saja di depan teman-temannya. Tapi dalam hatinya, ia merasa kosong dan lelah.
Kiara berjalan ke ruang tamu untuk sarapan, dan ibunya sudah duduk di meja makan, tampak sibuk dengan ponselnya, sepertinya sedang membaca email atau pesan yang penting. Kiara menghela napas, mencoba untuk tidak merasakan kesedihan yang semakin mencekik dadanya.
"Ibu," Kiara memulai, suaranya hampir tak terdengar.
Ibunya mengangkat kepala sejenak, memberi senyum singkat, namun itu hanya bertahan sebentar sebelum ia kembali fokus pada ponselnya. "Iya, Ki? Ada apa?"
Kiara menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku... Aku cuma pengen ibu tahu, kalau aku butuh ibu. Aku merasa... sendiri."
Ibunya berhenti sejenak, menatap Kiara dengan ekspresi yang sulit Kiara pahami. "Kiara, ibu juga butuh waktu untuk bekerja, kamu tahu itu kan? Jangan terlalu berpikir yang aneh-aneh, ibu sudah berusaha sebaik mungkin."
Kiara merasakan hatinya semakin terluka. Kata-kata ibunya terasa seperti menampar wajahnya. Ia tahu ibunya bekerja keras, tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa Kiara merasa sangat terabaikan.
"Iya, Bu," jawab Kiara dengan suara kecil, sambil merasakan ada air mata yang perlahan turun. "Aku cuma... butuh perhatian ibu."
Kiara berbalik, meninggalkan meja makan. Ia tak bisa lagi menahan air matanya. Langkahnya berat, dan setiap inci tubuhnya terasa hampa. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, ia merasa kosong. Ia hanya ingin ibu yang bisa mendengarnya, ibu yang bisa memeluknya, tapi semua itu sepertinya terlalu jauh untuk diraih.
Saat sampai di sekolah, Kiara mencoba untuk melupakan sejenak semua yang terjadi di rumah. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan teman-temannya, jadi ia memilih untuk berpura-pura bahagia. Namun, di dalam hatinya, ada jurang kesepian yang semakin dalam. Meskipun ia di kelilingi teman-teman, ia merasa seperti tak ada yang benar-benar mengerti dirinya.
Pelajaran di sekolah berlalu begitu saja, tanpa ada yang spesial. Kiara merasa seperti melangkah di dunia yang berbeda, dunia yang tidak bisa ia pahami. Setiap kali ia mendengar tawa teman-temannya, itu hanya mengingatkannya pada kenyataan bahwa ia tak bisa merasakan kebahagiaan yang sama.
Ketika bel pulang berbunyi, Kiara merasa seperti tubuhnya tidak ingin bergerak. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melangkah pulang, meskipun ia tahu, di rumah, ia akan kembali merasa sendirian. Namun, saat ia sampai di rumah, ia terkejut melihat ibunya sudah ada di ruang tamu, duduk dengan wajah yang tampak lebih cerah dari biasanya.
"Kiara," panggil ibunya, senyum di wajahnya yang jarang terlihat. "Ayo, makan malam bareng. Ibu beli makanan kesukaan kamu."
Kiara menatap ibunya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ibunya tampak benar-benar peduli. Kiara merasa sedikit terkejut, namun juga bingung. "Ibu... beli makanan untuk aku?"
Ibunya mengangguk, masih dengan senyum yang hangat. "Iya, Ki. Ibu sadar sudah lama kita nggak ngobrol bareng. Jadi, malam ini kita makan bersama, ya?"
Kiara terdiam sejenak, mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa ibunya yang selalu sibuk, tiba-tiba saja memikirkan dirinya? Kiara merasa canggung, namun hatinya sedikit terbuka, meskipun ia tetap merasa ragu. Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah ibunya benar-benar mulai menyadari bahwa Kiara membutuhkan perhatian?
Mereka makan bersama, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Kiara merasa sedikit tenang. Mungkin ini adalah awal dari perubahan yang ia tunggu-tunggu, atau mungkin ini hanya sebuah mimpi yang tak akan bertahan lama.