Chereads / Searching for home / Chapter 12 - antara harapan dan kenyataan

Chapter 12 - antara harapan dan kenyataan

Hari-hari berlalu, dan meskipun Kiara merasa sedikit lebih dekat dengan ibunya, keraguan yang mendalam masih ada. Ia tidak bisa menghindari perasaan bahwa hubungan mereka belum sepenuhnya pulih, meskipun ada usaha dari kedua belah pihak. Kiara merasa seperti sedang berjalan di atas tali, mencoba menyeimbangkan harapan dan kenyataan.

Suatu hari, setelah ujian di sekolah, Kiara pulang lebih cepat dari biasanya. Ia berharap bisa berbicara dengan ibunya tentang bagaimana hasil ujian itu, namun begitu ia tiba di rumah, ia melihat ibunya sedang duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya dengan serius. Kiara merasa sedikit kecewa, tetapi ia tidak membiarkan perasaan itu menguasainya. Ia tahu bahwa ibunya pasti sibuk, dan ia harus belajar untuk lebih sabar.

"Ibu, aku baru saja selesai ujian," Kiara mencoba memulai percakapan, meskipun suaranya terdengar ragu. "Aku merasa agak cemas, tapi aku berharap bisa lulus."

Ibunya menatap Kiara sekilas dan tersenyum, meskipun senyum itu terkesan dipaksakan. "Iya, aku tahu. Aku juga berharap yang terbaik untukmu. Semoga hasilnya bagus," jawabnya sambil kembali menatap ponselnya.

Mendengar itu, Kiara merasa ada jarak yang kembali terbentuk antara mereka. Ia ingin berbicara lebih banyak, menceritakan kegelisahannya, namun ibunya tampak terlalu sibuk dengan dunia yang berbeda. Kiara menghela napas dan berjalan menuju kamarnya. Meskipun ia berusaha untuk lebih mengerti, perasaan kesepian itu tetap menghantuinya.

Malam itu, Kiara kembali berpikir panjang. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Ia tidak bisa terus hidup dengan harapan bahwa ibunya akan berubah dalam semalam. Ia tahu bahwa hubungan mereka memerlukan waktu, dan mungkin lebih dari sekadar usaha singkat. Namun, Kiara juga merasa bahwa ia sudah memberikan banyak pengertian, banyak sabar. Ia hanya ingin satu hal—perhatian yang tulus dari ibunya.

Keputusan untuk tidak lagi bergantung pada harapan semata datang begitu saja. Kiara tahu bahwa ia harus menemukan cara untuk tetap kuat, bahkan jika ibunya tidak bisa memberikan perhatian yang diinginkan. Ia memutuskan untuk fokus pada dirinya sendiri, pada apa yang bisa ia kontrol, dan tidak terlarut dalam perasaan yang tidak pasti.

Namun, meskipun keputusan itu terasa tepat, ada luka kecil yang tertinggal di hati Kiara. Ia tidak bisa menghapus perasaan bahwa ia masih ingin ibu yang lebih perhatian, ibu yang lebih hadir dalam hidupnya. Akan tetapi, Kiara tahu bahwa hidup tidak selalu berjalan seperti yang kita harapkan, dan mungkin inilah kenyataan yang harus ia terima.

Hari itu, Kiara merasa bahwa waktunya telah tiba. Waktu untuk benar-benar membuka diri dan berbicara dengan ibunya tentang perasaannya yang sudah lama terpendam. Kiara tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus menunggu perubahan datang begitu saja. Jika ia ingin hubungan mereka menjadi lebih baik, ia harus mengambil langkah besar.

Setelah makan malam, Kiara duduk di meja makan bersama ibunya. Suasana di ruang makan terasa lebih tenang malam itu, seolah dunia luar tidak ada. Kiara memutuskan untuk berbicara, meskipun hatinya berdegup kencang.

"Ibu," Kiara memulai dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku ingin bicara tentang sesuatu yang sudah lama aku pendam."

Ibunya yang sedang membersihkan piring berhenti sejenak dan menatap Kiara dengan penuh perhatian. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Kiara?" Ibunya meletakkan piring di atas meja dan duduk di sebelah Kiara.

Kiara menundukkan kepalanya sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Aku merasa... aku merasa seperti kita semakin jauh, Bu. Aku tahu ibu sibuk, aku mengerti, tapi kadang aku merasa seperti ibu lebih peduli pada pekerjaan daripada aku."

Ibunya terlihat terkejut mendengar itu, dan ada kilasan penyesalan di matanya. "Kiara, aku... aku tidak tahu kamu merasa seperti itu," jawabnya dengan lembut. "Aku selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik untukmu, tapi mungkin aku memang terlalu fokus pada pekerjaanku."

Kiara mengangguk pelan. "Aku tahu ibu bekerja keras untuk kita. Tapi... kadang aku hanya ingin ibu ada, bukan hanya sebagai sosok yang memberi materi, tapi juga untuk mendengarkan aku. Aku merasa kesepian, Bu."

Ibunya terdiam untuk beberapa saat, menatap Kiara dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Aku... aku sangat menyesal kalau kamu merasa begitu. Aku tidak bermaksud membuatmu merasa sendirian," kata ibunya dengan suara yang hampir berbisik. "Aku selalu berusaha sebaik mungkin, tapi aku sadar, itu tidak cukup. Aku... aku minta maaf, Kiara."

Kiara merasa hatinya sedikit lebih ringan setelah mendengar itu. Ia tahu ibunya tidak pernah berniat untuk menyakiti perasaannya. Namun, kenyataannya tetap saja menggores luka yang dalam.

"Ibu, aku tahu ibu mencintai aku," Kiara melanjutkan, "tapi kadang aku butuh lebih dari sekadar perhatian sepintas. Aku butuh ibu yang mendengarkan, yang ada untuk aku saat aku ingin berbicara."

Ibunya meraih tangan Kiara dan menggenggamnya erat. "Aku janji, Kiara. Aku akan berusaha lebih keras untuk jadi ibu yang kamu butuhkan. Aku tidak ingin kamu merasa terabaikan lagi."

"Terima kasih, Bu," Kiara berkata pelan, merasa sedikit lega. "Aku hanya ingin kita bisa lebih dekat lagi."

Mereka berdua duduk diam untuk beberapa saat, berbagi keheningan yang penuh makna. Kiara merasa bahwa percakapan itu adalah langkah pertama menuju hubungan yang lebih baik antara mereka. Meskipun ada rasa sakit yang tertinggal, Kiara tahu bahwa komunikasi adalah kunci untuk memperbaiki apa yang telah lama retak.

Setelah beberapa saat, ibunya memecah keheningan dengan sebuah senyuman yang lebih tulus. "Aku akan mulai meluangkan lebih banyak waktu untukmu, Kiara. Aku tidak ingin kita kehilangan kesempatan ini."

Kiara membalas senyum ibunya, meskipun masih ada sedikit rasa ragu di hatinya. Namun, ia merasa lebih percaya bahwa ibunya benar-benar berniat untuk berubah. Tidak ada perubahan yang instan, dan Kiara tahu bahwa perbaikan hubungan mereka akan memerlukan waktu, tetapi setidaknya mereka kini bisa saling mendengarkan.