Kiara duduk di bangku sekolah dengan tatapan kosong, mencoba mencerna kejadian semalam. Makan malam bersama ibunya bukanlah hal yang biasa baginya, dan ia merasa canggung. Namun, ada sedikit harapan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Meskipun Kiara masih merasa ragu, ia tak bisa mengabaikan perasaan hangat yang ia rasakan semalam.
Di sekolah, Kiara mencoba untuk tetap fokus pada pelajaran, tetapi pikirannya terus kembali pada pertemuan itu. Kenapa ibunya tiba-tiba berubah? Apakah ini hanya kebetulan, ataukah ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang terjadi? Kiara ingin mempertanyakan hal itu, tetapi entah kenapa ia merasa takut untuk membuka percakapan lebih lanjut.
Ketika pulang sekolah, Kiara merasa ada perubahan di rumah. Meskipun ibunya tetap sibuk dengan pekerjaannya, kali ini ibunya tampak lebih memperhatikannya. Setiap kali Kiara masuk ke ruang tamu, ibunya tersenyum dan bertanya bagaimana hari Kiara di sekolah. Kiara merasa sedikit canggung, namun hatinya tetap terasa hangat. Ini adalah pertama kalinya dalam waktu lama, ibunya benar-benar menunjukkan minat pada kehidupan Kiara.
Namun, meskipun ada perubahan kecil itu, Kiara tahu bahwa masalah belum selesai. Ia ingin lebih dari sekadar perhatian sesaat. Kiara merindukan kedekatan yang lebih dalam dengan ibunya, bukan hanya saat-saat tertentu yang datang tiba-tiba. Ia ingin ibunya mengerti bahwa perhatian itu penting setiap saat, bukan hanya ketika keadaan terasa 'perlu.'
Suatu hari, saat Kiara sedang duduk di ruang tamu membaca buku, ibunya datang dan duduk di sampingnya. Kiara terkejut, karena biasanya ibunya akan langsung sibuk dengan ponsel atau pekerjaannya. Kali ini, ibunya duduk dengan tenang dan mulai berbicara.
"Kiara," ibunya memulai, suara yang jarang ia dengar penuh perhatian. "Ibu tahu, beberapa waktu terakhir ini ibu sangat sibuk dan mungkin kamu merasa diabaikan. Ibu minta maaf kalau itu membuatmu merasa kesepian."
Kiara menatap ibunya, mencoba membaca ekspresi di wajah ibunya. "Kenapa ibu tiba-tiba berubah, Bu? Aku takut ini hanya sementara."
Ibunya menghela napas panjang. "Ibu tahu ibu salah. Ibu terlalu fokus pada pekerjaan dan lupa bahwa kamu membutuhkan ibu lebih dari itu. Aku ingin berusaha lebih baik, Kiara. Ibu akan mencoba meluangkan waktu untuk kamu."
Namun, meskipun ada janji itu, Kiara merasa bimbang. Ia ingin percaya, tetapi entah kenapa, ada rasa ragu yang masih mengganggu hatinya. Kiara tahu bahwa untuk benar-benar merasa dekat dengan ibunya, perubahan ini harus lebih dari sekadar kata-kata. Itu harus datang dari tindakan nyata, dari waktu yang konsisten, dan dari perhatian yang tak terputus.
Malam itu, Kiara duduk sendirian di kamarnya, merenung. Ia memikirkan ibunya, perasaan kesepiannya yang bertahun-tahun, dan apakah mungkin, suatu saat nanti, mereka akan benar-benar memiliki hubungan yang lebih kuat dan lebih mendalam. Ia ingin percaya bahwa semua ini akan berubah, tetapi rasa takut akan kekecewaan membuatnya ragu.
"Apakah ini akan bertahan?" gumam Kiara pada dirinya sendiri. "Ataukah aku akan kembali merasa sendirian lagi?"
Namun, meskipun ada rasa ragu, Kiara juga tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kegelapan. Ia harus memberi kesempatan pada ibunya untuk berubah, dan memberi kesempatan pada dirinya untuk percaya bahwa kebahagiaan keluarga mereka masih mungkin terwujud.
Hari-hari berlalu dengan lambat, namun ada perubahan kecil yang terasa di rumah Kiara. Ibunya mulai menunjukkan perhatian lebih, meskipun hanya dalam bentuk percakapan singkat dan beberapa tindakan kecil. Kiara merasa ada harapan yang tumbuh, meski ia masih merasa cemas. Meskipun demikian, ia tidak bisa sepenuhnya melepaskan keraguan yang ada di hatinya.
Setiap kali Kiara pulang dari sekolah, ibunya akan menyambutnya dengan senyuman, dan mereka akan berbicara tentang hari Kiara—meskipun hanya untuk beberapa menit. Makan malam bersama menjadi lebih rutin, dan Kiara merasa sedikit lega. Namun, ia tahu bahwa ini masih belum cukup untuk menggantikan waktu yang hilang. Ia merindukan kebersamaan yang lebih erat, yang bukan hanya datang di saat-saat tertentu.
Suatu sore, setelah makan malam bersama, Kiara memutuskan untuk berbicara dengan ibunya secara lebih serius. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang langka—waktu di mana ibunya tidak terlalu sibuk, dan Kiara ingin jujur tentang perasaannya.
"Ibu," Kiara memulai, suaranya sedikit gemetar. "Aku cuma ingin bilang, aku nggak ingin hanya merasa diperhatikan ketika ibu ada waktu. Aku... aku ingin ibu ada setiap saat."
Ibunya menatap Kiara dengan mata yang penuh perhatian, lalu menghela napas panjang. "Kiara, ibu tahu ibu banyak lalai. Ibu ingin berusaha lebih baik untukmu. Tapi kadang-kadang, pekerjaan ibu memang menyita banyak waktu. Itu bukan alasan untuk mengabaikanmu, aku tahu."
Kiara menunduk, merasa ada beban di dadanya yang sedikit lebih ringan. "Aku cuma takut kalau ibu terlalu sibuk lagi dan aku merasa sendirian lagi. Aku nggak mau terus merasa kayak gini, Bu."
Ibunya memegang tangan Kiara dengan lembut, dan Kiara merasa hangat di dalam hatinya. "Aku mengerti, Kiara. Aku janji akan mencoba lebih banyak lagi untuk ada untukmu. Ibu nggak mau kehilangan kamu, anakku."
Mendengar itu, Kiara merasa hatinya sedikit lebih tenang. Meskipun ia tahu bahwa kata-kata tersebut bisa saja hanya menjadi janji kosong, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kiara merasa bahwa ada harapan. Ia ingin percaya bahwa ibunya akan berubah, dan meskipun itu mungkin membutuhkan waktu, Kiara siap untuk memberi kesempatan.
Malam itu, Kiara merenung di kamarnya. Ia tahu bahwa hubungan dengan ibunya tidak akan pernah sempurna, tetapi ia juga sadar bahwa ada potensi untuk perbaikan. Mungkin ini adalah langkah pertama menuju pemulihan hubungan mereka yang rusak. Mungkin juga, jika mereka terus berusaha, mereka bisa menemukan cara untuk saling mengisi kekosongan yang selama ini mereka rasakan