Chereads / Searching for home / Chapter 8 - menanti perubahan

Chapter 8 - menanti perubahan

Kiara duduk di sudut kamar, memandang keluar jendela. Hari itu, langit tampak cerah, tetapi hatinya justru terasa semakin berat. Ia bisa mendengar suara ibunya yang sedang berbicara di telepon, sibuk dengan pekerjaannya. Suara itu sudah menjadi hal biasa, tetapi tetap saja ia merasa kosong. Tidak ada yang bisa menggantikan kehadiran ibunya di sampingnya.

Setiap kali Kiara mencoba mendekati ibunya, ia merasa terhalang oleh tembok besar yang tidak bisa dihancurkan. Meski begitu, ia tetap berharap ada perubahan—meskipun sedikit. Namun, setelah sekian lama, harapan itu seakan menguap begitu saja. Kiara merasa terjebak dalam rutinitas yang tidak pernah memberikan ruang untuk perasaan mereka sebagai keluarga.

Hari demi hari berlalu, dan ibunya semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Kiara tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan perhatian. Ia tahu bahwa ibunya melakukan semuanya untuk mereka, tetapi di sisi lain, ia merasa semakin terabaikan.

Suatu hari, Kiara memutuskan untuk berbicara. Ia ingin sekali mengungkapkan perasaannya yang telah lama terkubur. Namun, saat ia melangkah ke ruang kerja ibunya, ia mendapati ibunya sibuk dengan laporan yang menumpuk di meja. "Ibu, kita bisa bicara sebentar?" tanya Kiara dengan suara yang hampir tenggelam dalam kegelisahan.

Ibunya hanya melirik sebentar, lalu melanjutkan pekerjaannya. "Nanti, Kiara. Ibu sedang sibuk," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.

Kiara merasakan hatinya patah, tetapi ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, merasa seperti bayangan yang tak terlihat. Kekecewaan itu semakin dalam, tetapi ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Apa yang bisa ia katakan? Ibunya sibuk, dan itu adalah kenyataan yang harus diterima. Namun, mengapa kenyataan itu terasa begitu menyakitkan?

Setelah beberapa saat, Kiara kembali ke kamarnya dengan langkah pelan. Ia duduk di tempat tidur dan menatap dinding, mencoba menenangkan pikirannya yang terus berputar. Ia ingin menangis, tetapi air mata itu sulit untuk jatuh. Ia merasa sudah terlalu lama menahan perasaan ini, dan rasanya seperti beban yang semakin berat.

Dimas, yang tidak pernah terlalu mempermasalahkan ketidakhadiran ibu mereka, datang ke kamar Kiara. "Kiara, kamu kenapa?" tanyanya dengan suara datar, seolah-olah tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kiara hanya menggelengkan kepala, mencoba untuk tersenyum meskipun hati terasa hancur.

"Enggak apa-apa," jawab Kiara, meskipun ia tahu itu tidak benar. Dimas mungkin tidak mengerti, dan mungkin juga tidak peduli. Baginya, ibu yang sibuk bukan masalah besar. Tapi untuk Kiara, itu adalah luka yang semakin dalam, sebuah luka yang tidak bisa ia sembuhkan.

Hari-hari berlalu, dan Kiara semakin merasa semakin jauh. Di sekolah, ia mencoba bersikap seperti biasa, tetapi hatinya kosong. Setiap kali ada teman yang bercerita tentang keluarganya, Kiara merasa semakin terasing. Mereka memiliki ibu yang selalu ada untuk mereka. Mereka memiliki perhatian, cinta, dan kehangatan yang Kiara dambakan. Tetapi bagi Kiara, semua itu hanya mimpi yang tak pernah terwujud.

Ia menyadari bahwa ia harus belajar untuk hidup dengan kenyataan ini—bahwa ibunya tidak akan pernah bisa memberinya perhatian yang ia butuhkan. Namun, ia juga tahu bahwa ini bukan berarti ia harus menyerah pada perasaannya. Mungkin suatu hari nanti, ibunya akan kembali menyadari pentingnya mereka sebagai keluarga. Namun, sampai saat itu tiba, Kiara harus belajar menerima kenyataan ini dengan cara yang paling berat.

Kiara menatap foto ibunya yang ada di mejanya. Dalam foto itu, ibunya tersenyum dengan bahagia. Kiara berharap ia bisa kembali merasakan kebahagiaan itu, meskipun ia tahu itu mungkin hanya kenangan. Namun, setidaknya ia masih memiliki harapan, meskipun sangat tipis.

Pada akhirnya, Kiara sadar bahwa ia harus menemukan cara untuk hidup dengan luka ini. Meskipun perasaan itu mungkin tidak pernah hilang, ia harus belajar untuk bertahan, untuk tetap kuat, dan untuk terus berharap, meskipun harapan itu semakin memudar seiring berjalannya waktu.

Kiara duduk di meja belajarnya, menatap tumpukan buku yang tak pernah ia buka dengan penuh perhatian. Ia merasa hampa. Hatinya kosong, seperti buku-buku yang belum disentuhnya. Setiap hari ia berusaha menutupi rasa sepi itu dengan kegiatan, dengan sibuk di sekolah, dan berusaha berpura-pura baik-baik saja. Namun, semakin ia berusaha, semakin terasa beratnya hidup yang ia jalani.

Setiap kali dia membuka buku pelajaran, Kiara merasa seperti ia sedang mengerjakan sesuatu yang tidak berarti. Seolah, dunia di sekitarnya sedang berputar, tetapi dirinya terjebak di tempat yang sama. Matanya terfokus pada kalimat-kalimat di depan, tetapi pikirannya melayang jauh, memikirkan ibunya yang tak pernah bisa ada untuknya.

Kiara mengingat kembali saat-saat mereka bersama. Dulu, ketika ia masih kecil, ibunya selalu ada untuknya. Mereka akan bermain bersama di taman, menghabiskan waktu berdua setelah sekolah. Tapi semua itu berubah ketika ibunya mulai bekerja lebih keras, dan Kiara merasa semakin terpinggirkan.

Sekarang, Kiara lebih sering merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Ia bahkan tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan perhatian ibunya. Setiap kali mereka berbicara, rasanya seperti ada jarak yang tak terjangkau di antara mereka. Kiara ingin sekali mengungkapkan perasaannya, tetapi ia tak tahu harus mulai dari mana.

Malam itu, setelah makan malam, Kiara duduk di ruang tamu, menunggu ibunya yang sedang berbicara dengan koleganya di telepon. Ia tidak mengganggu, hanya duduk di sana, menunggu. Lalu, ibunya keluar dari ruang kerjanya, tampak lelah dengan tas besar yang tergantung di bahunya.

"Kiara, kamu di sini?" tanya ibunya, suara itu terdengar kosong, seperti biasa.

Kiara hanya mengangguk, berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa pedih. "Iya, Bu," jawabnya pelan.

Ibunya terlihat tergesa-gesa. "Ibu pergi dulu, ada rapat lagi. Nanti kita bicarakan setelah ibu pulang, ya?"

Kiara mengangguk lagi, meskipun tahu bahwa janji itu mungkin tidak akan pernah terwujud. Setiap kali ibunya mengatakan hal itu, selalu ada rapat lain yang harus dilakukan, pekerjaan lain yang harus diselesaikan. Kiara merasa seperti sedang menunggu hal yang tidak pernah datang.

"Iya, Bu. Hati-hati," ujar Kiara, meskipun kata-kata itu terasa hampa.

Ibunya berlalu, meninggalkan Kiara sendirian di ruang tamu yang kini terasa lebih sepi dari sebelumnya. Kiara menunduk, mencoba menahan air matanya. Sejak ibunya sibuk dengan pekerjaannya, Kiara merasa seperti ia terjebak dalam dunia yang hanya ada dirinya sendiri. Setiap malam ia berharap ada sesuatu yang berubah, ada sedikit perhatian dari ibu yang ia rindukan. Namun, harapan itu semakin memudar seiring berjalannya waktu.

Sore berikutnya, Kiara duduk di taman sekolah saat jam istirahat. Dimas, kakaknya, datang menghampiri, membawa minuman untuknya. Kiara hanya tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan kesedihannya di balik senyuman yang dipaksakan.

"Kamu kenapa, Ki?" tanya Dimas, duduk di sampingnya. "Kok kelihatan nggak semangat?"

Kiara menghela napas. "Nggak apa-apa, Dim. Cuma capek aja," jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa kecewa yang mendalam.

Dimas menatapnya dengan cemas. "Kiara, kalau ada yang mengganggu, kamu harus bilang loh. Kita kan keluarga."

Kiara menoleh ke Dimas, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku cuma... merasa sendirian, Dim. Ibu nggak pernah ada buat aku lagi. Dia cuma sibuk terus."

Dimas terdiam sejenak. Ia tahu betapa Kiara merindukan perhatian ibu mereka, tetapi ia tidak tahu harus berkata apa. Dimas sendiri tidak begitu mempermasalahkan jarang bertemunya mereka dengan ibu, karena ia bisa menikmati waktunya sendiri. Namun, ia tahu bahwa Kiara sangat berbeda.

"Ki, aku nggak tahu harus gimana. Tapi coba bicara sama ibu. Jangan terus-terusan pendem. Ibu juga pasti capek, tapi dia juga pasti ngerti kalau kamu butuh dia," kata Dimas pelan.

Kiara hanya mengangguk. Ia tahu bahwa ia perlu berbicara dengan ibunya, tetapi setiap kali ia mencoba, ia merasa seperti kata-katanya tidak akan sampai. Semua yang ia rasakan hanya terpendam dalam hati.

Malam itu, Kiara kembali mencoba untuk berbicara dengan ibunya. Setelah makan malam, ia pergi ke ruang kerja ibunya yang tampak sepi. Pintu kamar kerja terbuka sedikit, dan Kiara melihat ibunya sedang duduk di depan komputer, mengetik dengan cepat.

"Ibu..." Kiara memulai, suara hatinya bergetar.

Ibunya menoleh, dan Kiara bisa melihat kelelahan di wajahnya. "Kiara, ada apa? Ibu sedang banyak kerjaan, bisa nggak nanti?" jawab ibunya, nada suara yang terasa sedikit tergesa-gesa.

Kiara menelan air liur, mencoba mengumpulkan keberanian. "Ibu... aku butuh ibu. Aku merasa sendirian. Kenapa ibu nggak ada buat aku lagi? Kenapa semuanya berubah?"

Ibunya terdiam sejenak, matanya tampak bingung, kemudian perlahan-lahan ia menghela napas. "Kiara, ibu kan sudah bilang. Ibu harus bekerja keras untuk keluarga. Ibu nggak bisa selalu ada di rumah."

Kiara merasakan hatinya semakin sesak. "Tapi, Bu, aku cuma butuh ibu. Aku ingin ibu ada, ngobrol, jalan-jalan bareng... aku cuma pengen ibu tahu perasaan aku," kata Kiara dengan suara terbata-bata.

Ibunya menatap Kiara untuk beberapa detik, kemudian perlahan-lahan ia menghela napas lagi. "Ibu tahu kamu butuh perhatian, Kiara. Tapi, ibu juga nggak bisa selalu ada. Mungkin ibu harus lebih banyak meluangkan waktu untuk kamu."

Kiara merasa sedikit lega, meskipun ia tahu bahwa itu mungkin hanya janji kosong. Namun, ia berharap, sedikit harapan itu akan menjadi kenyataan suatu hari nanti.

"Aku cuma ingin ibu tahu kalau aku selalu membutuhkan ibu," Kiara berkata pelan.

Ibunya mendekat dan merangkul Kiara dengan lembut. "Ibu akan berusaha lebih baik, Kiara. Aku janji."

Kiara merasa sedikit tenang dengan pelukan ibunya, meskipun hatinya masih penuh dengan pertanyaan. Namun, untuk saat itu, ia memilih untuk percaya bahwa perubahan itu mungkin saja terjadi.