Chereads / Searching for home / Chapter 2 - menghadapi keheningan yang menyakitkan

Chapter 2 - menghadapi keheningan yang menyakitkan

Kiara terbangun lebih awal dari biasanya, merasakan berat di dadanya. Suasana pagi itu terasa berbeda. Hujan semalam telah berhenti, tetapi seakan meninggalkan kesedihan yang menumpuk di hati Kiara. Ia berjalan menuju meja makan dan menemukan piring kosong di sana, seperti biasa. Ibunya belum ada di rumah.

Dimas yang biasanya sudah bangun lebih dulu ternyata masih tertidur di kamarnya. Kiara menghela napas, memikirkan bagaimana hari-harinya terus berlalu tanpa perubahan berarti. Bagaimana ia mulai terbiasa dengan kesepian, dengan sepi yang datang dari kehadiran ibu yang selalu sibuk.

Sekolah kembali dimulai seperti biasa. Kiara berjalan kaki menuju sekolah dengan langkah yang lambat. Ia berusaha tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain, meskipun teman-temannya selalu memperhatikan bagaimana Kiara menjadi lebih pendiam dari hari ke hari. Semua orang sepertinya tidak mengerti. Mereka tidak tahu apa yang Kiara rasakan, bagaimana ia merasa seperti ada yang hilang dalam hidupnya.

Hari itu, di sekolah, Kiara merasa seperti dunia berjalan begitu cepat sementara dirinya tertinggal. Pikirannya melayang kembali ke rumah, ke ibunya, yang selalu punya alasan untuk tidak ada waktu. Bahkan ketika Kiara menghadapi ujian yang berat, ibunya tidak pernah ada untuk memberikan dukungan atau semangat. Semua itu hanya terasa seperti rutinitas yang harus dilalui Kiara sendirian.

Sesampainya di rumah, Kiara merasa hatinya semakin berat. Dimas sedang bermain di ruang tamu, tampak tidak menyadari apa yang terjadi pada kakaknya. Kiara tersenyum kecil, tetapi senyumnya terasa sangat dipaksakan. Ia berjalan menuju kamar ibunya, berharap bisa berbicara, meskipun tahu itu akan sia-sia.

"Ibu, bisakah kita bicara?" Kiara mengetuk pintu kamar ibu dengan suara pelan. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk sekali lagi, kali ini lebih keras.

"Maaf, aku sedang sibuk," terdengar suara ibunya dari dalam kamar.

Kiara merasakan perasaan itu datang lagi—perasaan terlupakan, perasaan diabaikan. Ia hanya bisa mengangguk, meski hatinya terasa seperti dihantam batu besar. "Tidak apa-apa," Kiara berkata pelan pada dirinya sendiri.

Namun, kali ini ia merasa sedikit lebih lelah. Semua kata-kata yang sudah berulang kali diucapkannya terasa kosong. Tidak ada harapan lagi yang bisa ia gantungkan pada ibu. Kiara tahu, ibunya pasti mencintainya, tetapi dalam kesibukan itu, Kiara merasa seperti dia tidak lebih dari sekadar bayangan di kehidupan ibunya.

Malam hari tiba, dan Kiara duduk sendirian di ruang tamu, memandangi layar ponselnya. Tidak ada pesan dari ibu. Tidak ada percakapan tentang bagaimana harinya, tentang apa yang terjadi di sekolah, atau sekadar sapaan manis. Kiara menekan layar ponselnya, berharap ada pesan yang masuk, tetapi tidak ada.

Perasaan itu semakin menyesakkan, semakin dalam. Ia merasa tidak ada tempat di dunia ini yang bisa memberinya kehangatan yang ia cari. Semua yang ada hanyalah kerjaan ibu yang selalu menjadi alasan atas semuanya. Keheningan yang menyakitkan terus mengelilingi Kiara, dan ia semakin merasa terperangkap dalam hidup yang sepi ini.

Di saat-saat seperti ini, Kiara bertanya-tanya, apakah ibunya juga merasa sepi? Apakah ibunya tahu betapa Kiara membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya? Ataukah ibu justru merasa bangga bisa memberikan segalanya, meskipun sebenarnya yang Kiara inginkan hanya kehadiran ibunya di setiap langkah hidupnya?

Malam itu, Kiara pergi ke kamar dan berbaring di tempat tidurnya. Dimas sudah tidur dengan tenang, tidak peduli dengan perasaan yang melanda kakaknya. Kiara merasa bingung, tetapi ia tahu satu hal: ia harus mencari cara untuk menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri, meskipun ibunya tidak ada di sana.

Untuk pertama kalinya, Kiara merasa bahwa ia tidak hanya mencari peran ibu, tetapi juga mencari dirinya sendiri. Apakah ia akan terus berusaha mencari perhatian ibu yang tidak pernah ada, atau apakah sudah saatnya bagi Kiara untuk menerima kenyataan bahwa ia harus menghadapinya sendiri?

Kiara terbangun dengan perasaan yang lebih berat dari biasanya. Meskipun hujan sudah berhenti, suasana di rumah tetap sama—sepi. Ia duduk di meja makan, menghadap piring kosong, mencoba untuk makan sesuatu, tetapi perasaannya masih terjebak dalam bayang-bayang kekosongan. Pikirannya kembali pada percakapan singkat yang terjadi malam sebelumnya, ketika ibunya hanya menyebutkan betapa sibuknya dia dengan pekerjaan.

Setiap detik, Kiara semakin merasa seperti seseorang yang tak diinginkan. Ibunya selalu terlihat begitu sibuk dengan pekerjaannya, tak pernah ada waktu untuk sekadar berbicara atau bertanya bagaimana hari Kiara. Rasa kecewa itu sudah terlalu dalam, dan kini ia merasa seperti tak lagi punya tempat di dunia ini.

Setelah selesai makan, Kiara memutuskan untuk berangkat ke sekolah lebih awal dari biasanya. Ia berjalan tanpa tujuan jelas, hanya ingin menghindari rumah yang terasa semakin sempit. Di sepanjang jalan, ia memikirkan semua hal yang seharusnya bisa lebih baik. Mengapa semuanya harus seperti ini? Mengapa ibunya tidak bisa melihat betapa ia membutuhkan perhatian?

Saat memasuki kelas, Kiara mencoba untuk tersenyum kepada teman-temannya, meskipun hatinya merasa hancur. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di rumahnya, mereka hanya tahu Kiara sebagai gadis yang selalu ceria dan cerdas. Tidak ada yang tahu betapa ia merindukan perhatian ibunya, betapa ia ingin merasa seperti seseorang yang berarti dalam hidup ibunya.

Di jam istirahat, Kiara duduk sendirian di pojok lapangan, memandangi teman-temannya yang sedang berbicara dengan ibu mereka di telepon, bertanya tentang ujian atau kegiatan di rumah. Kiara hanya bisa diam, merasakan perbedaan yang semakin jelas antara dirinya dan mereka.

Pulang sekolah, Kiara menemukan Dimas sedang bermain di ruang tamu. Ibunya belum pulang. Kiara mengangguk pelan pada Dimas, yang tampak tidak peduli dengan ketegangan yang ada di rumah. Dimas memang masih terlalu kecil untuk memahami semua itu. Dia hanya tahu bahwa kakaknya selalu ada untuknya, bahkan saat semuanya terasa sulit.

"Kiara, Kak," Dimas memanggil, membuat Kiara sedikit terbangun dari lamunan. "Mau main sama aku?"

Kiara hanya tersenyum lemah. "Mungkin nanti, Dimas. Kakak harus belajar dulu."

Dimas mengangguk, lalu kembali bermain dengan mainannya. Kiara duduk di ruang tamu, menunggu ibu pulang. Namun, waktu berlalu, dan ibunya belum juga datang. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, dan Kiara merasa semakin terasing. Mengapa ibunya tak kunjung pulang?

Akhirnya, saat pukul delapan, ibunya datang dengan wajah yang lelah dan ekspresi yang datar. Kiara duduk di meja makan, menatap ibunya yang tak mengucapkan sepatah kata pun. Biasanya, Kiara berharap bisa berbicara, bertanya bagaimana harinya, tetapi kali ini ia merasa tak ada gunanya.

"Ibu," Kiara memulai dengan suara pelan, "Kenapa Ibu selalu sibuk? Kenapa aku merasa seperti aku tidak penting lagi bagi Ibu?"

Ibunya hanya menatap Kiara dengan tatapan kosong. "Kamu tidak mengerti, Kiara," jawab ibunya singkat. "Aku harus bekerja keras untuk kita semua."

Kiara menahan tangisnya. Ia tahu bahwa ibunya bekerja keras, tetapi ia juga tahu bahwa ia membutuhkan lebih dari sekadar uang dan barang. Kiara ingin waktu, perhatian, dan kasih sayang—sesuatu yang tampaknya semakin hilang seiring berjalannya waktu.

Malam itu, Kiara memutuskan untuk pergi ke kamarnya lebih awal. Ia menutup pintu dengan perlahan, berbaring di tempat tidur sambil memandang langit-langit kamar yang gelap. Semua perasaan yang selama ini ia tahan terasa seperti meledak begitu saja. Ia merasa bingung dan lelah.

Keputusan itu datang begitu saja: Kiara memutuskan bahwa mungkin inilah saatnya untuk menerima kenyataan. Ibunya tidak akan berubah. Ia harus belajar untuk hidup dengan kenyataan bahwa ia tidak akan selalu mendapatkan perhatian yang diinginkannya. Meskipun ia sangat mencintai ibunya, Kiara tahu ia harus menemukan cara untuk hidup sendiri—untuk menjadi lebih kuat meskipun terasa sulit.