Chereads / Searching for home / Chapter 5 - keheningan yang meninggalkan luka

Chapter 5 - keheningan yang meninggalkan luka

Kiara terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya menyinari ruang tamu, dan rumah tetap terasa hening, seolah tak ada kehidupan yang berarti di dalamnya. Ia menatap jam dinding yang berdetak pelan, mengingatkan dirinya tentang waktu yang terus berlalu tanpa ada perubahan.

Di meja makan, Kiara duduk sendiri. Piring kosong di hadapannya belum terisi makanan, hanya secangkir teh yang sudah dingin. Semua terasa begitu sunyi. Ibunya masih belum pulang, dan Kiara tahu bahwa ia harus menyelesaikan semuanya sendiri—mengurus rumah, adiknya, bahkan terkadang dirinya sendiri.

Dimas, adiknya, terlihat sudah berangkat sekolah lebih pagi, seperti biasa. Kiara hanya bisa menghela napas, mengingat betapa lelahnya ia mencoba menjadi dewasa terlalu cepat. Semuanya berputar begitu cepat, tetapi tanpa ada perhatian atau kehangatan dari ibunya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya.

Hari itu berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Sekolah terasa seperti tempat pelarian sementara, meski Kiara tahu itu tidak mengubah apapun. Meskipun teman-temannya memperhatikan, tak ada yang benar-benar tahu apa yang ia rasakan. Keberadaannya di sekolah seperti bayangan yang berjalan, tidak lebih dari sekadar teman di antara keramaian, tetapi tetap kesepian.

Setiap kali Kiara pulang ke rumah, ia selalu berharap sesuatu akan berubah. Tetapi kenyataannya, rumah itu masih sama. Sepi. Ibunya kembali larut malam, dan tidak ada waktu yang cukup untuk berbicara. Mungkin saja ibunya merasa lelah, atau terlalu fokus dengan pekerjaan, tetapi Kiara merasa seperti dunia mereka semakin jauh.

Malam itu, Kiara memutuskan untuk menulis di buku hariannya. Ia menuliskan perasaan yang selama ini terpendam. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku ingin berbicara denganmu, Ibu. Aku ingin kau tahu betapa aku merindukan perhatianmu. Tapi kenapa, setiap kali aku mencoba, kau selalu terlalu sibuk?"

Setelah menulis, Kiara menatap kembali ke langit malam. Bintang-bintang tampak jauh, seperti harapannya yang semakin redup. Ia merasa terjebak dalam sebuah lingkaran tanpa akhir—keinginan untuk mendekatkan diri dengan ibunya, namun tak pernah ada kesempatan untuk itu.

Ia tahu, ibunya tidak bermaksud untuk menyakiti perasaannya. Ibunya bekerja keras untuk memberikan kehidupan yang lebih baik. Tapi bagi Kiara, hidup ini terasa kosong tanpa perhatian dan kasih sayang yang dulu ia rasakan. Kiara ingin merasa diperhatikan, bukan hanya menjadi anak yang harus mandiri tanpa dukungan dari orang yang seharusnya ada di sampingnya.

Sambil menulis, Kiara merasakan perasaan yang begitu dalam—perasaan kesepian yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semua yang ia inginkan hanyalah untuk merasakan kehadiran ibunya, untuk tahu bahwa ibunya peduli padanya. Tetapi malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Kiara hanya bisa berharap dan menunggu, meski tahu bahwa harapan itu semakin jauh.

Kiara menatap sekeliling rumahnya yang kembali terasa begitu hampa. Pintu kamar ibunya tertutup rapat, dan Kiara bisa mendengar suara berderak dari meja kerja ibunya di luar. Suara ketikan yang tak berhenti itu membuatnya merasa semakin jauh. Meskipun ibunya ada di rumah, rasanya seperti berada di dua dunia yang berbeda—ibunya dengan pekerjaannya, dan Kiara dengan dunia yang sepi, terabaikan.

Kiara menatap kembali ke arah ruang tamu yang gelap, hanya diterangi oleh lampu meja yang redup. Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka mengalihkan pikirannya. Itu adalah Dimas, adiknya yang baru pulang dari sekolah. Wajahnya ceria, tanpa ada beban di sana. Tanpa kata, Dimas langsung menuju kamar tidur mereka berdua, melemparkan tasnya ke atas ranjang dan melanjutkan permainan video game yang selalu ia mainkan setiap kali ada kesempatan.

Kiara terdiam. Ia ingin berbicara, bertanya pada Dimas apakah dia merasakan hal yang sama—merasa sepi, merasa ditinggalkan. Tetapi, ia tahu jawaban yang akan didapatkan. Dimas terlalu muda untuk mengerti tentang rasa sakit yang Kiara rasakan, terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.

Kiara menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Di satu sisi, ia ingin Dimas mengerti, tetapi di sisi lain, ia tidak ingin adiknya merasa terbebani dengan masalah yang seharusnya tidak perlu ada. Kiara mengingat lagi kata-kata ibunya yang sering diulang-ulang: "Kamu harus lebih mandiri, Kiara. Kamu harus bisa berdiri di atas kakimu sendiri."

Malam itu, saat ibu akhirnya pulang, Kiara memutuskan untuk berbicara. Tidak banyak yang bisa ia harapkan dari percakapan itu, tetapi setidaknya ia harus mencoba. "Ibu," katanya dengan suara pelan, hampir tidak terdengar. "Kenapa kita selalu seperti ini? Aku merasa jauh sekali darimu. Aku merindukan saat-saat kita dulu, ketika kita bisa mengobrol bersama, tertawa bersama."

Ibunya menoleh, terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Kiara. Untuk sesaat, Kiara melihat kilasan kesedihan di mata ibunya. Namun, hanya sekejap. Ibunya kembali menunduk, sibuk dengan laptopnya, seolah tak tahu harus berkata apa.

"Aku tahu kamu merasa seperti itu, Kiara," kata ibunya akhirnya, suara lembut tetapi tetap terdengar berat. "Aku memang terlalu sibuk dengan pekerjaan. Tapi, kamu tahu kan, semua yang aku lakukan untuk kamu dan Dimas. Aku ingin kita hidup lebih baik."

Kiara menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku tahu, Ibu," jawabnya, suara hampir serak. "Tapi aku ingin merasakan kasih sayangmu. Aku ingin kita kembali seperti dulu, Ibu."

Ibunya terdiam, hanya menatap Kiara tanpa berkata apa-apa. Kiara merasa kata-kata itu hanyalah angin yang lalu, tak pernah benar-benar sampai ke hati ibunya. Ia merasa semakin kosong, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang setiap kali ia mencoba mencari perhatian ibu.

Malam itu, Kiara kembali ke kamarnya. Ia duduk di meja belajarnya, menulis lagi di buku hariannya. "Ibu, aku tak tahu lagi bagaimana cara menjelaskan perasaanku padamu. Aku ingin kamu tahu betapa aku merindukanmu. Tapi sepertinya, aku harus belajar menerima kenyataan. Menerima bahwa kamu selalu sibuk, dan aku harus belajar hidup tanpa kamu di sini."

Kiara menutup buku hariannya, dan meletakkannya di atas meja. Angin malam yang dingin kembali menyapa wajahnya melalui celah-celah jendela yang terbuka sedikit. Semua terasa begitu sepi, begitu sunyi. Tidak ada suara ketikan ibunya lagi, tidak ada percakapan yang menghangatkan rumah. Hanya ada Kiara, sendirian, menatap ke luar jendela, berharap agar suatu hari nanti ada perubahan.

Tetapi untuk saat ini, ia tahu, perubahan itu tidak akan datang dalam waktu dekat. Ia harus belajar menghadapinya sendiri, meskipun itu sangat sulit. Bahkan ketika ibu tidak ada di sini untuknya, Kiara harus tetap berjalan, meskipun jalan itu terasa sangat berat.