Kiara merasa seperti ada yang membelenggu dirinya di dalam rumah itu. Setiap langkahnya seolah terhambat oleh kenyataan bahwa ia hidup bersama ibu yang tak bisa meluangkan waktu untuknya. Hari-hari berlalu dengan begitu cepat, tetapi bagi Kiara, semuanya terasa sama. Seperti roda yang berputar tanpa tujuan yang jelas. Ia tahu ibunya bekerja keras, tetapi perasaan terlupakan itu semakin menekan dadanya.
Pagi itu, Kiara memutuskan untuk lebih mendalami perasaannya. Ia tidak ingin terjebak dalam kesepian yang tak berujung, meskipun seringkali perasaan itu datang begitu tiba-tiba, menghantui setiap detik hidupnya. Saat di sekolah, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbicara kepada teman-temannya, tetapi hati Kiara tetap kosong. Mereka tidak tahu betapa besar luka yang sedang ia rasakan, luka akibat kehilangan perhatian yang seharusnya datang dari seorang ibu.
Jam istirahat, Kiara duduk di taman sekolah, memandangi teman-temannya yang bermain. Di sana, ia melihat sepasang ibu dan anak sedang berbicara sambil berjalan bersama. Kiara merasa seolah-olah ada sesuatu yang menghantam dirinya. Bagaimana rasanya memiliki ibu yang ada di sampingmu, yang memberi perhatian penuh tanpa terhalang oleh pekerjaan atau kesibukan lainnya?
Kiara terdiam, berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh. Ia tahu, di dalam dirinya, ada perasaan yang begitu kuat—perasaan ingin dibutuhkan, ingin dicintai oleh ibunya seperti anak-anak lainnya. Namun, ibunya tidak pernah ada untuknya. Seperti dua dunia yang terpisah, Kiara merasa semakin jauh dari ibunya.
Di rumah, ibu pulang larut malam seperti biasa. Kiara menatapnya dengan tatapan kosong, tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia ingin sekali meluapkan perasaannya, tetapi kata-kata itu terasa sia-sia. Bagaimana bisa berbicara dengan seseorang yang sepertinya tidak mendengarkan?
Malam itu, setelah makan malam yang hening, Kiara duduk di ruang tamu. Ibunya terlihat kelelahan, seperti biasa. "Ibu, aku butuh kamu," kata Kiara akhirnya, dengan suara pelan yang hampir tak terdengar.
Ibunya menoleh sejenak, matanya kosong. "Aku sedang sibuk, Kiara," jawab ibunya, sebelum kembali menghadap laptopnya.
Sakit. Kiara merasa sakit mendengar jawaban itu. Seperti ada jarak yang begitu besar antara mereka, sesuatu yang tak bisa dijembatani oleh kata-kata. Ia tahu ibunya bekerja keras, tetapi Kiara merasa dia sendiri semakin tenggelam dalam kesendirian yang semakin dalam.
Akhirnya, Kiara pergi ke kamarnya dan menutup pintu dengan pelan. Ia berbaring di tempat tidur, merasa lelah tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional. Kenapa hidup harus begitu sulit? Mengapa orang yang seharusnya selalu ada, malah terhalang oleh rutinitas yang begitu padat?
Sambil menatap langit-langit kamarnya yang gelap, Kiara bertanya-tanya apakah ia akan selalu merasa seperti ini. Terlupakan. Terabaikan. Apakah perasaan ini akan terus menghantui dirinya?
Di dalam hatinya, Kiara tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Ia ingin merasakan kasih sayang yang tulus, yang bukan hanya datang dari kata-kata, tetapi juga dari tindakan. Ia ingin ibunya melihatnya, tidak hanya sebagai anak yang harus mandiri, tetapi sebagai anak yang membutuhkan cinta seorang ibu.
Namun, Kiara juga sadar bahwa kadang-kadang kita harus belajar untuk berdiri sendiri, meskipun itu terasa sangat sulit. Dalam sepi malam itu, Kiara bertekad untuk menemukan kekuatan di dalam dirinya, meskipun tanpa kehadiran ibu yang ia harapkan.
Kiara terbangun dengan perasaan yang semakin berat. Langit pagi ini terasa kelabu, seperti perasaannya yang tak pernah terang. Ibunya masih sibuk dengan pekerjaannya, bahkan pagi ini, Kiara mendapati meja makan kosong, tanpa ada secangkir kopi atau percakapan singkat yang biasa terjadi saat mereka makan bersama. Pagi ini, ibunya seperti menghilang lebih cepat dari biasanya, tanpa memberi sedikit pun perhatian kepada Kiara.
Kiara melangkah keluar rumah dengan langkah yang terasa lebih pelan dari biasanya. Hari ini, ia memutuskan untuk pergi ke sekolah lebih awal, mencoba untuk menghindari rumah yang semakin terasa kosong. Sekolah, meskipun penuh dengan hiruk-pikuk teman-teman dan pelajaran, terasa lebih nyaman dibandingkan dengan keheningan yang selalu menyelimuti rumahnya.
Namun, bahkan di sekolah pun, Kiara merasa terisolasi. Teman-temannya, seperti biasa, tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Mereka hanya mengenal Kiara sebagai gadis ceria yang selalu siap membantu, tetapi tidak ada yang tahu betapa besar rasa kosong di dalam hatinya. Tak ada yang tahu betapa ia merindukan kehadiran ibunya—seorang ibu yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, yang bahkan tidak sempat untuk bertanya bagaimana kabar anaknya.
Kiara mencoba fokus pada pelajaran, mencoba untuk melupakan sejenak kenyataan yang menggerogoti pikirannya. Namun, setiap detik yang berlalu hanya memperburuk perasaannya. Bahkan saat istirahat, ia merasa seperti orang luar, duduk di bangku taman sendirian, melihat teman-temannya bermain dan bercanda dengan orang tua mereka di telepon. Kiara merasa seperti dirinya tertinggal, seperti tak pernah benar-benar ada dalam hidup ibunya.
Di rumah, ketika sore tiba, Kiara mendapati ibunya pulang dengan wajah yang lelah dan tanpa kata. Kiara menunggu beberapa saat, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama terpendam di hatinya.
"Ibu..." Kiara mulai, suaranya rendah. "Kenapa kita selalu begini? Aku merasa seperti aku tak ada di sini, ibu."
Ibunya tidak langsung menjawab. Ia hanya meletakkan tasnya di kursi dan membuka laptopnya. "Kiara, aku harus menyelesaikan pekerjaan ini dulu. Kita bicarakan nanti, ya?"
Kata-kata itu begitu familiar bagi Kiara. Setiap kali ia mencoba berbicara, ibunya selalu saja punya alasan untuk menghindar. Ia mulai merasa bahwa kata-kata seperti itu adalah penghiburan kosong—semacam jawaban yang digunakan untuk menutupi ketidakhadiran nyata.
Malam itu, Kiara kembali ke kamarnya. Ia duduk di pinggir tempat tidur, menatap dinding yang kosong. Semua perasaan yang terpendam mulai meledak. Ia ingin berteriak, tetapi kata-kata itu sulit keluar. Mengapa ibunya tidak bisa melihat bahwa ia juga butuh perhatian? Mengapa segala usaha Kiara untuk mendapatkan waktu bersama ibunya selalu gagal?
Dimas, adiknya, datang dengan wajah ceria, membawa sebotol susu coklat. "Kak Kiara, aku bikin susu coklat! Minum ya?"
Kiara memaksakan senyuman. "Terima kasih, Dimas," jawabnya pelan. Tetapi di dalam hatinya, ia merasa semakin jauh dari dunia anak-anak kecil yang tidak tahu apa yang sedang dia alami. Dimas, yang masih begitu polos, tidak mengerti bahwa kakaknya sedang menderita dalam sepi.
Malam itu, Kiara tidak bisa tidur. Pikirannya berputar-putar, bertanya-tanya apakah ada jalan keluar dari semua ini. Ia merasa seperti terperangkap dalam dunia yang tidak pernah memberi tempat baginya. Ia ingin keluar, ingin pergi jauh, tetapi di mana pun ia berada, perasaan ini tetap mengikuti.
Dalam kesendirian malam itu, Kiara menyadari satu hal: Ia harus belajar untuk menerima kenyataan bahwa mungkin ia tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Ibunya tidak akan pernah bisa menjadi sosok yang ia harapkan, dan Kiara harus belajar untuk hidup tanpa mengandalkan perhatian ibunya.
Meskipun begitu, Kiara tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam kesedihan yang tak berujung. Ia harus menemukan cara untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Meskipun perjalanan ini terasa berat, Kiara berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan kebahagiaan, meski tanpa ibu yang selalu ada di sisinya.