Kiara melangkah masuk ke kelas dengan hati yang terisi berbagai perasaan. Di luar, cuaca cerah, tapi dalam dirinya, seperti ada awan gelap yang menutupi semuanya. Setiap hari, seakan semakin terasa berat bagi Kiara untuk menjalani rutinitas sehari-hari. Pagi-pagi ia sudah harus mendekam dalam kesunyian rumah, menunggu ibunya pulang, dan berharap ada perubahan yang tak kunjung datang.
Hari itu terasa lebih sepi dari biasanya. Meskipun teman-teman di sekolah tampak sibuk dengan dunia mereka, Kiara merasa seperti asing di antara mereka. Tidak ada satu pun yang tahu apa yang sedang ia alami. Mereka tidak tahu bahwa setiap malam ia merasa kosong, menunggu sebuah panggilan yang tidak pernah datang dari ibu yang sibuk itu.
Saat pelajaran berlangsung, Kiara tidak bisa fokus. Pikirannya terus melayang pada ibunya, pada rumah yang terasa begitu sunyi. Ia teringat saat kecil, ketika ibunya selalu ada untuk membantu mengerjakan PR atau mengantarnya ke sekolah. Tapi sekarang, yang ada hanya kehadiran ibunya yang tak pernah utuh. Kiara merasa begitu kecil, seolah dunia ini berputar tanpa peduli pada apa yang ia rasakan.
Saat istirahat, Kiara duduk di pojokan taman sekolah, jauh dari keramaian teman-temannya. Dimas, yang tahu kakaknya sedang tidak baik-baik saja, sempat menghampirinya dan duduk di sampingnya. "Kak Kiara, kenapa cemberut? Ayo, senyum dong!" kata Dimas ceria.
Kiara hanya tersenyum tipis, meskipun di dalam hatinya terasa begitu berat. "Aku nggak cemberut, Dim," jawabnya, berusaha menutupi perasaan yang semakin menyesakkan.
Dimas tidak tahu apa yang sedang ia rasakan. Sebagai seorang adik, Dimas hanya tahu sedikit tentang dunia kakaknya. Kiara merasa seperti dunia ini semakin jauh dari dirinya. Semua orang tampak hidup dalam keasyikan mereka sendiri, sementara ia terjebak dalam kehidupan yang penuh kekosongan.
Setelah pulang sekolah, Kiara kembali ke rumah yang sunyi. Tak ada percakapan hangat antara dia dan ibunya, hanya keheningan yang semakin menekan. Ia duduk di ruang tamu, menunggu ibunya pulang, berharap ada kesempatan untuk berbicara, berbagi tentang apa yang sedang ia rasakan. Namun, seperti biasa, harapannya selalu sirna.
Ibunya kembali larut malam, dan seperti biasanya, Kiara sudah terlelap dalam tidurnya, berusaha menenangkan hatinya yang tak pernah merasa utuh. Pagi hari berikutnya, Kiara terbangun dan mendapati ibunya sudah pergi sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata.
Malam itu, Kiara merenung di kamarnya, merasa seolah dirinya terjebak dalam hidup yang penuh kesepian dan ketidakpastian. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa mungkin ini adalah jalan yang harus ia lalui. Mungkin ibunya memang sibuk, mungkin ini adalah cara ibunya menunjukkan cintanya, dengan bekerja keras demi masa depan mereka.
Namun, di dalam hati Kiara, ia tahu bahwa ia membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata itu. Ia butuh kehadiran, butuh kasih sayang yang nyata. Ia ingin merasakan ibu yang tidak hanya hadir di fisik, tetapi juga ada dalam kehidupannya—ibu yang memberi perhatian, mendengarkan setiap keluh kesahnya.
Kiara menatap langit malam melalui jendela kamar. Bintang-bintang tampak jauh, seakan tidak ada yang bisa dijangkau. Tetapi dalam hati Kiara, ia berharap suatu saat nanti, segala perasaan yang terpendam ini akan menemukan jalan keluarnya. Ia berharap suatu saat nanti, ibunya akan melihatnya bukan hanya sebagai anak yang harus mandiri, tetapi sebagai anak yang juga membutuhkan cinta dari seorang ibu.
Kiara duduk termenung di sudut ruangan rumahnya yang sepi. Tangan kanannya memeluk lututnya, sementara mata menatap kosong ke arah langit malam yang gelap. Hening. Hanya suara detakan jam di dinding yang terdengar, seolah menggema dalam kesendirian. Di luar jendela, angin berhembus pelan, menambah kesunyian yang menyesakkan hati. Ia tahu ibunya akan pulang terlambat lagi malam ini, seperti hari-hari sebelumnya.
Sudah beberapa minggu Kiara merasa semakin jauh dari ibunya. Ada jarak yang sulit untuk dijembatani—jarak yang semakin lebar dengan setiap kata yang tak pernah terucap. Sejak ibu mulai bekerja lebih lama, seakan-akan Kiara dan ibunya terpisah oleh dunia mereka sendiri. Dulu, mereka sering berbicara bersama, berbagi tawa di meja makan, tetapi sekarang, Kiara hanya menunggu dan berharap. Tapi, harapan itu semakin memudar.
Pagi itu, Kiara menyiapkan sarapan sendiri. Di dapur yang biasa penuh dengan suara riuh, kini hanya ada kesunyian yang menggelayuti. Ibunya, seperti biasa, sibuk dengan pekerjaannya yang entah kapan akan selesai. Kiara tahu, ibu bekerja keras demi keluarga mereka, tetapi ia tak bisa menahan perasaan kesepian yang semakin menghimpit.
Hari itu, Kiara menghabiskan waktu di sekolah seperti biasa, tetapi hatinya merasa kosong. Bahkan di antara teman-temannya, ia merasa terasing. Mereka sibuk dengan hidup mereka masing-masing, dan Kiara hanya bisa menjadi penonton. Dimas, adiknya, sepertinya lebih mudah beradaptasi dengan keadaan ini. Ia masih bisa tertawa dan bermain meski ibu mereka jarang ada. Tetapi Kiara? Ia merasa dunia ini semakin berat untuk dijalani seorang diri.
Saat pulang sekolah, Kiara menemukan rumahnya masih sepi. Tak ada suara langkah kaki ibu yang biasa terdengar di rumah. Ibunya belum pulang, dan Kiara mulai merasa seolah dunia ini mulai memutarnya lebih lambat. Ia merasa seperti terjebak di dalam kehidupan yang tak pernah memberi ruang untuknya.
Saat ibu akhirnya pulang malam itu, Kiara duduk menunggu dengan hati yang tak sabar, berharap bisa berbicara. Namun, ketika ibu masuk, ia tampak lelah dan cemas. Tanpa kata-kata, ibu langsung menuju meja kerja dan membuka laptopnya.
Kiara menarik napas dalam-dalam, berusaha mengontrol emosi yang hampir meledak. "Ibu," ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Kenapa kita selalu begini? Kenapa kita semakin jauh?"
Ibunya menoleh, wajahnya penuh kelelahan. "Kiara, kamu tahu aku bekerja keras untuk kita. Aku ingin kita hidup lebih baik. Tapi kadang, aku memang tidak bisa memberi banyak waktu untukmu."
Kata-kata itu, meskipun penuh pengertian, tetap terasa hampa di telinga Kiara. Ia tahu ibunya bekerja keras, tetapi ia juga tahu, ibunya tidak bisa melihat betapa ia merindukan perhatian dan kasih sayang. Kiara ingin berteriak, tapi ia hanya bisa menatap kosong, merasa terabaikan. Bagaimana ia bisa memahami jika ibunya sendiri tidak mengerti perasaannya?
Malam itu, Kiara berbaring di tempat tidurnya, memandang langit-langit yang gelap. Berulang kali ia mencoba menenangkan pikirannya, tetapi semuanya hanya terasa semakin kacau. Keinginan untuk diakui, untuk dihargai sebagai seorang anak, semakin membebani dadanya.
Pikirannya kembali melayang pada masa kecilnya. Ia ingat bagaimana ibunya selalu ada untuknya, bagaimana mereka pernah saling berbagi cerita dan tawa. Namun, sekarang semuanya berubah. Segalanya terasa lebih sulit, lebih jauh, dan Kiara merasa semakin kehilangan arah.
Hari-hari berlalu, dan Kiara semakin merasa terperangkap dalam dunia yang tidak memberinya kebahagiaan yang ia dambakan. Ia berusaha untuk tetap kuat, tetapi di dalam hatinya, ada bagian yang merindukan sesuatu yang lebih—sesuatu yang lebih dari sekadar kesibukan dan ketegangan hidup.
Kiara tahu, ia harus menemukan jalan untuk berdamai dengan keadaan ini, meskipun itu sulit. Tetapi dalam keheningan malam itu, dengan hanya suara angin yang berbisik, Kiara berjanji pada dirinya sendiri untuk terus bertahan. Karena, meskipun ibunya tidak selalu ada, Kiara tahu, ia harus mencari cahaya di tengah kegelapan itu.