Namaku Sarah. Saat ini statusku seorang mantan terpidana seumur hidup, Sebuah status yang seharusnya tidak pernah kusandang, namun kenyataan waktu itu berbeda. Entah sebuah kebetulan atau Takdir membatalkan ku untuk menghabiskan sisa hidup di penjara, tempat yang memang bukan seharusnya menjadi rumahku.
Diriku tak bersalah, tetapi saat itu hukum telah menghakimiku, hukum telah memutuskan, diriku adalah penjahat keji. Sebagian besar Hidupku dihabiskan di pulau penjara.
Diriku korban fitnah dan salah paham yang menyudutkanku tanpa ampun. Siapa sangka, fitnah ternyata memang lebih kejam daripada pembunuhan. Mungkin ini adalah cara-Mu menguji ketabahanku, tetapi sungguh, mata dunia memang tak pernah sempurna melihat kebenaran. Keadilan yang diatur oleh manusia terlalu sering meleset, tak jarang menyisakan luka yang dalam.
Dan kini diriku bebas, namun rasa itu belum sepenuhnya menguap. Manis-pahit kehidupan di penjara masih membekas, seperti ukiran dalam di hatiku yang tak akan pernah benar-benar hilang. Kebebasan ini terasa samar, masih teringat bayang-bayang kehidupan penjara yang pernah menjadi "rumah" untukku.
Diriku mencoba meyakinkan bahwa ini semua adalah ujian dari-Mu, Tuhan. Sebuah perjalanan untuk menempa ketabahan dan menguji iman.
Inilah kisahku—kisah tentang bagaimana diriku kehilangan segalanya, bertahan, menerima keadaan, menikmati, pertemuan yang tidak diduga, dan akhirnya menemukan kembali sebagian diriku di tengah cobaan yang tampaknya mustahil untuk dilalui. Sebuah kisah tentang perjuangan hidup, tentang mencari keadilan di dunia yang sering kali buta, dan tentang bagaimana diriku, seorang gadis tangguh, menemukan kekuatan di tengah badai yang menghancurkan.
Kejadian hari itu sekitar setahun yang lalu, masih terpatri kuat dalam ingatanku. ketika seorang ibu, yang telah menjadi penghancur sekaligus penyelamatku untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Lapas Perempuan tempatku ditahan saat itu. Sejatinya, awal dari cerita ku ini telah berlangsung jauh sebelumnya, tapi kehadiran seorang ibu di lapas yang sama dengan tempatku ditahan adalah titik balik dalam hidupku.
Rutinitas pagi
Waktu itu, denyut kehidupan di pulau penjara ini baru saja dimulai bahkan sebelum fajar, saat langit masih hitam kelam dan dingin malam masih menggigit kulit. Suara langkah berat para penjaga membunyikan lonceng, membangunkan kami para narapidana warga binaan pemasyarakatan.
Kami bergegas bergerak dalam barisan teratur mengisi udara dengan gema yang sendu. Tubuh-tubuh lelah dan wajah-wajah yang pucat karena kurang tidur serta kekurangan asupan gizi, semuanya dipaksa untuk bersiap menjalani hari panjang di sawah ladang, di peternakan atau di mana saja sesuai dengan arahan dari petugas. Tidak ada jeda, tidak ada pilihan untuk menolak; hamparan sawah ladang dan pulau yang luas seolah mengulurkan tangan-tangannya yang tak berujung, menanti untuk ditaklukkan.
Di tengah kabut pagi yang masih menyelimuti, suara keras lonceng dan teriakan seorang petugas penjara membangunkan para tahanan yang masih terlelap di barak. Dengan nada yang lantang, ia mulai memanggil-manggil.
"Ayo, jangan molor aja! Bangun! Ini udah waktunya ke kerja! Kalian kira ini hotel? Cepetan bangun!"
Beberapa tahanan menggeliat malas, ada yang masih mencoba nutup telinga, berharap bisa dapat sedikit waktu tidur lagi. Tapi petugas itu gak main-main. Ia mengetuk ranjangku, narapidana yang masih memejamkan mata dengan ujung kakinya.
"Heh, Sarah! Jangan pura-pura tidur! Bangun! Ini rapikan kamar! Udah waktunya kerja!" ujarnya dengan suara tegas, sementara diriku yang sebenarnya telah terbangun mengusap mata, masih mengantuk. Di tempat yang tidak memiliki jam tanda petunjuk waktu ini, Jam tubuh tanpa kita sadari mengatur dan memengaruhi ritme kehidupan.
Salah satu hal paling dasar yang diatur oleh jam tubuh adalah siklus tidur dan bangun manusia atau yang disebut dengan ritme sirkadian.
Siklus ini membuat seseorang merasa mengantuk saat malam semakin larut dan terjaga ketika pagi hari. Bahkan jika seseorang tidak mengetahui jam berapa, kondisi tersebut terjadi secara otomatis.
Untuk mengulur waktu diriku mengerang, "Aduh, Bu, kasih waktu sejam lagi, belum adzan subuh ini, siapa tahu masih ada waktu buat tidur sedikit…" setengah bercanda, Tentu saja, tanpa jam atau penanda waktu yang pasti, hari-hari kami berputar sesuai dengan ritme penjara, yang telah sejalan dengan ritme tubuh kami.
Petugas langsung membalas dengan nada ketus, "Subuh apa? Kamu waktu subuh malah tidur nyenyak! Ayo bangun! Kalau mau rezeki, tuh, rezeki ada di sawah. Langsung cari sendiri!"
Di sebelah ku, Dina yang sudah bangun lebih dulu tertawa kecil, lalu menepuk punggungku sambil berbisik, "wis ta lah, Mbak, gak usah ngeyel. Tuh, Bu Petugas wis arep ngamuk, nurut ae ben aman."
Diriku menghela napas panjang, lalu dengan berat hati bangkit dan melangkah keluar barak, bergabung dalam barisan. Petugas yang tadi membangunkan kami terlihat puas melihat semua narapidana mulai bergerak.
Di sudut ruangan, antrean untuk kamar mandi sudah ramai. Hanya ada lima bilik toilet sederhana, dibatasi kain tipis dan dinding yang hanya setinggi leher, tanpa privasi, membuat suasana tak nyaman dan aroma tak sedap melingkupi ruang. Seorang napi mendesak dari belakang, "Cepet, woi! Mules, nih, nggak tahan lagi!" yang lain menyahut sambil cemberut, "Sabar, bentar lagi selesai!"
Antrian panjang di pagi hari ini sudah menjadi bagian dari rutinitas—untuk sekadar mencuci muka, atau bergiliran memenuhi kebutuhan mendasar BAB dan BAK di toilet yang jumlahnya jauh dari cukup. Di sinilah kami dihadapkan pada kenyataan hidup di penjara yang penuh keterbatasan. Privasi adalah kemewahan yang tak pernah bisa kami miliki. Di balik punggung sesama napi yang berdesakan, ku rindu aroma sabun bertemu air yang telah lama tak ku hirup, benar tidak ada sabun bermerk buatan pabrik di sini, semua ini telah menjadi bagian dari keseharian yang kami terima dengan terpaksa.
Setiap pagi, kami segera berbaris di depan blok sel, tanpa sempat mandi atau bahkan sekedar mencuci tangan dengan layak. Tak ada pasta gigi atau sikat gigi yang bisa kami beli di sini. Sebagai gantinya, daun sirih menjadi andalan kami untuk menjaga kebersihan mulut. Ku gigit selembar daun sirih dan mengunyahnya perlahan, merasakan getir dan rasa pahit yang menyelusup di sela-sela gigiku. Mereka bilang, daun sirih memiliki antibakteri alami—cukup kuat untuk mengurangi bakteri jahat di mulut, menjaga gigi dari kerusakan, dan memberi rasa kesat pada lidah. Walaupun tak sebersih yang kami harapkan, setidaknya itu bisa membuat kami merasa sedikit lebih layak di tengah keterbatasan yang ada.
Mengunyah daun sirih setiap pagi menjadi ritual sederhana, kecil, namun bermakna, seolah memberiku sedikit kendali atas diriku sendiri di tengah dunia yang tak lagi kumengerti. Di tempat ini, terkadang hal-hal kecil seperti ini saja yang membuat kami merasa memiliki secuil harga diri. Gigi yang kuat dan mulut yang bersih mungkin tampak sepele bagi mereka yang di luar sana, tapi bagi kami, itu adalah bagian dari mempertahankan diri.
Setelah petugas melakukan penghitungan pagi, memastikan jumlah kami, memastikan tidak ada yang kabur, kami melangkah berbaris rapi berjalan tanpa alas kaki menuju ladang atau aktivitas lain yang ditentukan petugas. Seorang petugas bercanda di sepanjang barisan, "Nah, gitu! Kerja yang rajin, olahraga gratis. Badan kalian sehat, nggak perlu bayar gym, lho. Tiap hari begini, dijamin bugar langsing!"
Salah satu narapidana, tersenyum dan menanggapi, "Wah, Bu. Kalau terus gini, kami bisa jadi model fitness, nih!"
Petugas tertawa, "Iya, kan? Nanti kalau sudah keluar, bisa buka gym sendiri!"
"Kalau gitu, kami minta bonus susu protein, dong," sambung yang lain sambil mengedipkan mata.
"Bonus? Bisa aja, kalian perah sendiri dari kandang sapi! Coba nanti saya tanya komandan," jawab petugas sambil mengedipkan mata kembali, Lapas ini juga memelihara sapi untuk memenuhi kebutuhan protein susu kami.
Beberapa dari kami tertawa pahit, sementara yang lain hanya menghela nafas, melangkah berat menuju ladang. Tubuh yang lelah sudah siap untuk hari panjang berikutnya, kembali membanting tulang di bawah sinar matahari yang tak pernah berbelas kasih.
Saat di ladang, petugas lain datang mendekat, "Ingat, ya. Kalau kerja yang rajin begini, siapa tau bisa cepat dapat grasi!"
"Ya, bu! Kalau bisa kasih grasi minggu depan aja," balasku sambil tersenyum lebar.
Bagi kami, terpidana seumur hidup dan hukuman mati di lapas ini, tidak akan ada remisi pengurangan hukuman. Kami hanya bisa memohon grasi-yang belum tentu diterima-kepada presiden, kepala negara. Namun, untuk mengajukan grasi tersebut, terpidana yang bersangkutan harus mengakui kesalahannya.
"Tapi kalau grasi itu diminta kamu harus mengakui kesalahanmu, 'bahwa benar saya dihukum atas kesalahan, kejahatan yang saya lakukan, saya menyesalinya'. Hukuman dari negara sudah benar terus kamu minta grasi, minta pengampunan." kata petugas.
Diriku mendengarkan penjelasan petugas dengan hati yang berdebar. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah menghantam batinku. Diriku masih berkeyakinan tidak bersalah dan tidak akan bisa meminta grasi. Bagaimana aku bisa mengakui kesalahan yang tidak pernah aku lakukan?
"Sarah, kamu kan masih berkeras ngaku tidak salah ya ga bisa minta grasi, enggak akan bisa grasi. grasi hanya bisa kami ajukan kalau kamu sudah ngaku salah." jelasnya. "Makanya akui kesalahanmu, terima nasib, bertobat, suatu saat akan bebas dari pulau penjara ini."
Suasana hatiku bergejolak. Ada rasa putus asa yang mencoba menyelinap di tengah keyakinanku. Aku tahu, satu-satunya cara untuk mendapatkan grasi adalah dengan mengakui kesalahan. Tapi bagaimana bisa? Diriku tidak bersalah. Perasaan terjebak ini seperti jurang yang semakin dalam. Setiap harapan untuk bebas terasa semakin jauh.
Namun, di tengah kegelapan ini, aku masih memegang teguh keyakinan bahwa keadilan akan terungkap suatu hari nanti. Harapan kecil itu, meski samar, terus menguatkanku untuk bertahan. Meski jalan yang harus kutempuh terasa berat dan penuh duri, aku akan terus memperjuangkan kebenaran.
Sesaat kemudian Petugas perempuan itu membentak, "Kalian ini. Ayo cepat bergerak, semangat! Kerja keras itu bukan cuma buat grasi, tapi buat kesehatan kalian juga ! panjang umur."
Obrolan ringan seperti ini, meski terkesan sederhana dan sepele, setidaknya bisa sedikit meringankan beban bagi yang lain. Karena di balik dinding penjara ini, senyum dan canda tawa adalah barang mewah yang harus kami syukuri. Namun bagiku yang merasa tidak bersalah, membuatku terjebak di dasar jurang yang dalam. Setiap harapan untuk bebas terasa mustahil, membuat diriku hanya bisa menerima nasib, menerima keadaan, menjalani hidup di penjara ini tanpa ada kesempatan untuk bebas.
Pulau Penjara perempuan
Pulau ini merupakan satu-satunya maximum security prison bagi narapidana warga binaan pemasyarakatan perempuan di negeri ini. Mempunyai nama resmi Lapas Perempuan kelas 1A Lembah Harapan, diriku tak mengerti kenapa dinamakan Lembah Harapan, Di sini, harapan tidak lebih dari bayangan samar yang sulit diraih. Bagi kami, harapan untuk bebas sudah hampir padam.
Penjara ini bukan lapas sembarang, 'tempat pembuangan' dirancang khusus bagi kami, para narapidana warga binaan pemasyarakatan yang dianggap sebagai 'kasus tak tertolong', Kami yang dijatuhi hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati.
Diriku—kami—dikirim ke sini untuk diasingkan dari dunia luar, terputus dari masyarakat yang pernah kami kenal, seolah hidup kami telah dipisahkan secara permanen dari kehidupan yang pernah kami jalani. Tak ada harapan untuk kembali, tak ada jalan untuk membuktikan perubahan kami, karena hukuman ini bukan sekadar penahanan fisik, tapi sebuah pengasingan tanpa akhir.
Lapas di Pulau ini dijalankan dengan konsep swasembada self sustain yang ketat. Pemerintah sengaja mendirikan penjara ini untuk mengurangi biaya pengelolaan, memaksa kami menjalani hidup dengan aturan keras yang meminimalkan pengeluaran negara. Tidak ada tempat bagi kemewahan atau kelonggaran.
Di sini, kami narapidana harus bekerja sama sebagai komunitas untuk memenuhi kebutuhan kami sendiri, dari pertanian, peternakan, hingga perkebunan.
Sawah yang kami garap adalah sumber pangan kami, ladang yang kami olah dengan tangan kasar dan tubuh yang lelah menjadi jantung keberlangsungan hidup di sini. Energi listrik sepenuhnya bersumber dari tenaga surya, dan baterai cadangan seringkali hanya cukup bagi kebutuhan petugas, meninggalkan kami dalam gelap saat malam datang.
Selain menanam, memanen, memelihara ternak, kami juga bertanggung jawab atas setiap aspek perawatan pulau ini. Setiap sudut penjara kami bangun dan pelihara sendiri—dari memperbaiki bangunan yang lapuk, merawat pagar keliling yang mulai berkarat, hingga memahat kayu dan memotong logam. Setiap hari menjadi serangkaian kerja fisik yang tiada habisnya. Namun, di balik semua ini, ada ironi yang menggelitik; kehidupan di sini, dalam banyak hal, terasa lebih mandiri dan bekerja keras dibandingkan ketika kami bebas di luar sana.
Realita ini adalah tamparan keras, seolah-olah hidup kami di pulau ini hanyalah pengingat bahwa kami dianggap sebagai beban oleh masyarakat luar. Namun, di sisi lain, pekerjaan yang terus-menerus ini mengundang kami untuk berintrospeksi merenungi kesalahan-kesalahan masa lalu, mengikis ego, dan mencoba menerima kenyataan hidup dalam keterbatasan yang tiada ujung.
Pulau penjara perempuan ini terletak di sebuah negara yang damai, di mana narapidana hanya sekitar 0,1% dari total populasi, Entah memang masyarakatnya yang taat hukum atau malah kurang aparat untuk menegakkan hukum. Dari angka itu, hanya sekitar 4% yang perempuan jadi kami merupakan bagian yang teramat sangat kecil dari masyarakat.
Mayoritas di antara kami, sekitar 60%, dihukum karena kasus narkoba. Sisanya adalah perempuan yang menjalani hukuman atas pembunuhan, perampok, terorisme, korupsi dan kejahatan berat lainnya. Sepertinya hanya diriku yang tidak bersalah di lapas ini.
Pulau ini sendiri adalah bagian dari kompleks vulkanik aktif, membentang seluas 13 kilometer persegi. Puncak gunung berapi di pulau ini menjulang hingga 1.949 meter di atas permukaan laut. Meskipun hidup di sini keras dan penuh ketidakpastian, iklim tropis lautnya cenderung nyaman, dengan suhu yang berkisar dari 19°C di malam hari selama musim hujan hingga mencapai 36°C saat siang hari di musim kering. Curah hujan moderat turun antara Juni hingga September, sementara pada bulan-bulan lain hujan lebat mendominasi, dengan rata-rata tahunan mencapai 3.200 mm—menjadikannya tanah yang ideal bagi pertanian kami di tengah keterasingan ini.
Kompleks penjara ini berdiri sekitar satu kilometer dari garis pantai, tersembunyi di antara pepohonan, di pantai terdapat sebuah dermaga kayu tua yang terhubung dengan jalan setapak berbatu menuju gerbang penjara. Dermaga itu menjadi satu-satunya akses penghubung dengan dunia luar.
Berdiri di ketinggian 30 meter di atas permukaan laut, penjara ini terasa terasing dan diam, namun cukup aman dari ancaman gelombang besar Tsunami yang bisa menerjang sewaktu-waktu.
Kompleks bangunan penjara ini menempati area dua hektare, dikelilingi pagar kawat berduri tinggi yang berkarat. Awalnya kupikir pagar ini dibuat semata-mata untuk menjaga kami tetap di dalam, mencegah kami kabur, membuat seolah-olah dunia tak ingin melihat kami lagi. Namun, kemudian hari diriku menyadari bahwa kawat berduri itu lebih dari sekadar alat pembatas. Pagar merupakan pelindung, perisai yang menjaga kami dari penghuni asli pulau ini yang tak kalah buas.
Pulau ini bukan sekadar tempat pembuangan bagi kami yang dianggap 'tak layak'. Di balik deretan pohon rimbun yang mengelilingi pagar, pulau ini merupakan cagar alam kehidupan liar yang terus berdenyut. Tiap malam, suara jangkrik, katak, dan binatang malam lainya sering terdengar, menciptakan rasa cemas yang mengintai dalam kegelapan bagi yang baru tiba di sini. Seringkali, kami menemukan kemunculan jejak macan kumbang di sekitar area pertanian. Makhluk itu, hitam dan besar, adalah penguasa asli pulau ini, predator yang bergerak dalam kesunyian hutan, mengintai dari bayang-bayang.
Bukan hanya itu, kawanan kera liar juga tinggal di sekitar sini, melintasi pohon-pohon tinggi sambil melengking tajam, seolah memberi tahu kami bahwa yang benar-benar bebas adalah mereka sedangkan kami terkurung, terpenjara. Sesekali mereka muncul mendekati pagar, mencari makanan di sawah ladang kami atau sekadar menatap kami dari kejauhan, seperti mengamati makhluk asing yang terkurung hilang kebebasan. Kehidupan kami di sini adalah ironi besar; kami yang terpenjara justru membutuhkan perlindungan dari alam liar di luar, dan pagar yang seharusnya menjadi simbol pembatas secure area malah menjadi pelindung. pagar itu bukan sekadar membatasi, melainkan menyelamatkan. Di balik kawat berkarat ini, kami menyadari bahwa kami hanyalah penghuni, pendatang di pulau ini, dengan alam liar, kebuasan dan kebebasannya, adalah pemilik yang sebenarnya.
Namun, seiring waktu, suara binatang-binatang itu menjadi bagian dari keseharian. kicau burung, derik jangkrik, langkah hening macan kumbang, gemersik ular dan jeritan kera adalah pengingat bahwa pulau ini memiliki ritmenya sendiri—sebuah dunia yang tak terikat oleh hukum manusia, di mana kami hanyalah tamu tak diundang.
Komplek bangunan penjara merupakan bangunan jaman penjajahan, bergaya arsitektur kolonial didirikan di awal abad ke 20. Awalnya tempat ini bukanlah penjara, didirikan sebagai pusat penampungan penderita penyakit lepra atau kusta yang mewabah saat itu. -Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini dapat menyerang kulit, mata, hidung, dan saraf perifer. - Seiring jalannya waktu dan bertambahnya narapidana perempuan yang terlibat pemberontakan di akhir tahun 1965, dijadikanlah komplek itu sebagai Lapas khusus Perempuan.
Di luar pagar, terdapat lahan pertanian dan peternakan kami yang mencakup 20 hektare terletak di sekitarnya, di sinilah kami menggarap tanah, memelihara ternak untuk memenuhi kebutuhan makanan komunitas kami sendiri.
Di luar kompleks utama, sebuah dermaga kecil dan asrama petugas terletak terpisah, menyediakan akses terbatas dan pengawasan bagi kami yang menghuni pulau ini.
Demi keamanan, penduduk asli yang dulunya menetap di pulau ini telah dipindahkan ke pulau lain yang berdekatan, sehingga kini hanya tersisa kami, para narapidana, dan petugas yang bertugas mengelola tanah dan menjaga penjara.
Para perempuan yang terpenjara di sini, meski jauh dari jangkauan dunia luar, hidup dalam lingkungan yang sepintas mendukung produktivitas—namun, produktivitas ini tak lebih dari tuntutan kemandirian tanpa imbalan kebebasan atau peluang reintegrasi ke masyarakat.
Di dalam kompleks penjara, tempat tinggal kami sederhana: lima blok penjara masing-masing terdiri dari 10 kamar sel berukuran 3x5 meter, setiap sel menampung lima narapidana dalam ranjang susun. Jendela kecil dengan jeruji, sebuah WC, dan bak kecil adalah satu-satunya fasilitas yang ada. Setiap ruangan terasa sempit, tanpa perabotan lain untuk kenyamanan. Tanpa jaringan listrik, tanpa jaringan air bersih.
Dampak keterbatasan dan ketiadaan fasilitas penunjang sempat mengguncang ku. Diriku mengalami culture shock saat pertama kali menghuni pulau ini. Tidak ada teknologi. Informasi dan pengetahuan kami akan perkembangan dunia juga minim karena sumber informasi seperti televisi, radio, internet tak ada.
"Beradaptasi dengan lingkungan baru itu tantangan terberat. Saya yang terbiasa dengan hingar bingar kehidupan kota, lalu harus hidup, tinggal di suatu tempat yang sama sekali tidak terdapat listrik," tuturnya.
Di tengah kompleks, ada halaman terbuka yang menjadi tempat berkumpul kami, lengkap dengan lapangan voli sederhana dan beberapa bangku kayu—salah satu dari sedikit fasilitas 'rekreasi' yang ada. Gedung administrasi, ruang makan, dan klinik kecil juga berada di sekitar area ini.
Pulau penjara ini mencerminkan pendekatan pemerintah yang sangat hemat anggaran, dengan fokus utama pada isolasi dan swasembada. Tidak ada kemewahan atau program rehabilitasi di luar keterampilan dasar untuk bertahan hidup di sini. Kami hidup dalam kondisi yang keras, dengan pengawasan yang terbatas, dipaksa membangun dan memelihara kehidupan kami sendiri dalam keterasingan yang nyata dari dunia luar.