Sarah namaku, saat ini, diriku telah terbebas dari jeruji waktu yang membelengu pikirku, yang mengurung batinku, yang membatasi gerak ragaku. Statusku mantan terpidana seumur hidup. Diriku sedang berusaha membangun masa depan.
Mantan narapidana, sebuah label yang seharusnya tak pernah kusandang. Jalan hidupku berbalik, entah keajaiban atau kebetulan atau takdir, ketika vonis yang mengunci sisa hidupku di penjara dibatalkan. Penjara bukanlah rumah yang semestinya bagiku.
Diriku tak bersalah, Diriku korban ketidakadilan yang menyakitkan. Hukum saat itu telah menghakimiku, hukum telah memutuskan bahwa diriku adalah penjahat keji, yang tak termaafkan. Sebagian besar hidupku dihabiskan di pulau penjara, sebuah tempat yang seharusnya tak pernah menjadi bagian dari kisah hidupku.
Diriku adalah korban fitnah, korban salah paham yang menyudutkanku tanpa ampun. Siapa sangka, fitnah memang lebih kejam daripada pembunuhan. Mungkin ini adalah cara Tuhan menguji ketabahanku, tetapi sungguh, mata dunia tak pernah sempurna melihat kebenaran. Keadilan yang diatur oleh manusia terlalu sering meleset, tak jarang meninggalkan luka yang mendalam. Meski pengalaman hidup dipenjara tak semua buruk, ada pelajaran yang bisa kuambil.
Hari ini, diriku kembali menginjakkan kaki di gedung pengadilan. Bangunan tua yang penuh wibawa ini menyimpan banyak kenangan pahit dan manis dalam hidupku. Di sinilah warga negara mencari keadilan, dan di sinilah pula nasib seseorang ditentukan. Tempat yang katanya menjunjung tinggi keadilan, tapi sering kali terasa lebih seperti arena adu kekuasaan.
Namun, apakah keadilan itu benar-benar hadir? Atau hanya permainan retorika para ahli hukum dan pejabat berjas hitam? Jujur saja, setelah pernah 13 tahun mendekam di balik jeruji karena kesalahan orang lain, ku tak lagi terlalu peduli. Keadilan itu seperti hantu, semua orang percaya keberadaannya, tapi hanya sedikit yang benar-benar melihatnya.
Di negeri ini sistem peradilan menganut prinsip "Tiga Pilar Keadilan"—yaitu hakim, jaksa, dan pengacara. Namun, banyak yang berpendapat bahwa prinsip ini lebih sering jadi panggung drama dibandingkan arena keadilan. Sebuah survei pernah menunjukkan bahwa hampir 50% masyarakat Indonesia kurang percaya pada sistem peradilan. Oh, dan jangan lupa, vonis bebas atau bersalah kadang lebih dipengaruhi siapa yang bisa mempekerjakan pengacara paling mahal. Suap masih saja terjadi, Hakim yang mulia yang dianggap perwakilan tuhan masih sibuk dengan urusan duniawi begitu pula jaksa perwakilan pemerintah yang bertugas melindungi rakyat.
Tapi hari ini berbeda. Ini bukan lagi tentang diriku. Ini tentang dirinya. Hari ini, diriku di sini tak sekedar untuk mencari keadilan, tapi jugs untuk menonton jalannya sidang, menyaksikan karma bekerja. Dirinya, yang dulu tega memfitnahku, kini duduk di kursi terdakwa. Entah bagaimana rasanya menjadi dirinya sekarang. Mungkin dia merasa seperti seekor tikus yang tertangkap jebakan. Diriku hanya berharap jebakan itu cukup kuat untuk menahan semua dosanya.
Hidupku yang dulu hancur kini perlahan kubangun kembali. Tapi sebelum diriku bercerita lebih jauh, semua kisahku berakhir di sini di gedung pengadilan ini, tempat segala kisahku bermula dan mungkin akan berakhir.
Pagi itu, ruang sidang pengap dan dipenuhi wajah-wajah penasaran. Diriku dengan mataku sendiri, kami semua akan menyaksikan nasib seseorang yang dulu kukenal begitu baik, begitu manis dalam kenangan mudaku. Namun akhirnya akan menghadapi vonis atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap mantan pacarku dulu. Kini dia menghadapi tuntutan berat, hukuman penjara seumur hidup menanti. Ironis, bukan? Seorang yang 13 tahun lalu menjebloskanku ke balik jeruji besi kini akan mendapat ganjarannya.
Sejak awal ku tahu, kebenaran itu seperti balon udara, mungkin bisa ditekan, disembunyikan, tapi tak pernah benar-benar hilang. Dan hari ini, kuharap balon itu meletus tepat di wajahnya. Kalau boleh jujur, diriku akan sedikit menikmati momen ini. "Penjara Seumur hidup pantas untukmu" gumamku dalam hati sambil menahan senyum yang terlalu lebar. Dirinya akan merasakan apa yang dulu kurasakan. Ironi karma, lebih tajam dari pisau mana pun. Kehidupan penjara akan membuatnya tersiksa, membuatnya jera, membuatnya jera, membuatnya menyesal, membuatnya sadar akan kesalahanya.
Kehidupan penjara 13 tahun lamanya telah mengajarkanku bertahan hidup. Kini, diriku siap melangkah ke depan dengan tenang, tuntas sudah ganjalan. Hidupku punya tujuan: kuliah, bekerja, dan berbakti pada orang tua. Diriku ingin membina keluarga yang penuh cinta, sesuatu yang saat itu hanya bisa kuimpikan dari balik jeruji.
Bayangan Kehidupan di Penjara masih menghantui, meski diriku telah bebas, rasa itu belum sepenuhnya hilang. Manis-pahit kehidupan di penjara masih membekas, seperti ukiran dalam di hatiku yang tak akan pernah benar-benar pudar. Kebebasan ini terasa berat; bayang-bayang kehidupan di penjara masih mengikat, seperti bayangan "rumah" yang pernah memenjarakan jiwa dan ragaku.
Ku coba meyakinkan diriku bahwa semua ini adalah ujian dari Tuhan. Sebuah perjalanan untuk menempa ketabahan dan menguji iman.
Inilah kisahku, sebuah kisah tentang perjuangan dan harapan, kisah tentang kehilangan segalanya, bertahan, menerima keadaan, menikmati pertemuan yang tak diduga, dan akhirnya menemukan kembali sebagian diriku di tengah cobaan yang tampaknya mustahil untuk dilalui. Sebuah kisah tentang perjuangan hidup, mencari keadilan di dunia yang sering kali buta, dan tentang bagaimana aku, seorang wanita tangguh, menemukan kekuatan di tengah badai yang menghancurkan.
Kisah diriku, bukan kisah balas dendam bukan juga kisah penyesalan, banyak pelajaran yang kudapat. Ini adalah perjalanan hidup, perjuangan seorang perempuan yang pernah kehilangan segalanya, dan kini kembali membangun dunianya dari puing-puing. Sebuah kisah tentang pengalaman, jatuh, bangkit, dan tentu saja balas dendam kecil.