Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Jeruji Waktu

šŸ‡®šŸ‡©Upt0uy0u
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
2.7k
Views
Synopsis
Hidupnya bagai mimpi buruk. Di usia muda, ia harus meringkuk di balik jeruji besi, dituduh membunuh kekasihnya. Hukuman seumur hidup menghancurkan masa depannya. Namun, di balik jeruji, ia menemukan kekuatan untuk bertahan hidup dan sebuah kebenaran yang mengejutkan. Kejadian tak terduga mempertemukannya kembali dengan sosok yang menjadi dalang di balik hukumannya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Pertemuan Tidak Disangka

Kejadian hari itu tiga tahun yang lalu masih terpatri kuat dalam ingatanku. ketika seorang ibu penghancur sekaligus penyelamatku untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Lapas Perempuan tempatku ditahan saat itu. Sejatinya, awal dari cerita ini telah berlangsung jauh sebelumnya, tapi kehadiran ibu itu adalah titik balik dalam hidupku.Ā 

Waktu itu, denyut kehidupan di pulau penjara ini baru saja dimulai bahkan sebelum fajar, saat langit masih hitam kelam dan dingin malam masih menggigit kulit. Suara langkah berat para penjaga membunyikan lonceng, membagunkan para narapidana warga binaan pemasyarakatan. Kemi bergegas bergerak dalam barisan teratur mengisi udara dengan gema yang sendu. Tubuh-tubuh lelah dan wajah-wajah yang pucat karena kurang tidur serta kekurangan gizi, semuanya dipaksa untuk bersiap menjalani hari panjang di ladang. Tidak ada jeda, tidak ada pilihan untuk menolak; hamparan sawah yang luas seolah mengulurkan tangan-tangannya yang tak berujung, menanti untuk ditaklukkan.

Di tengah kabut pagi yang masih menyelimuti, suara keras lonceng dan teriakan seorang petugas penjara membangunkan para tahanan yang masih terlelap di barak. Dengan nada yang lantang, ia mulai memanggil-manggil.

"Ayo, jangan molor aja! Bangun! Ini udah waktunya ke kerja! Kalian kira ini hotel? Cepetan bangun!"

Beberapa tahanan menggeliat malas, ada yang masih mencoba nutup telinga, berharap bisa dapat sedikit waktu tidur lagi. Tapi petugas itu gak main-main. Ia mengetuk ranjang salah satu narapidana yang masih memejamkan mata dengan ujung kakinya.

"Heh, Sarah! Jangan pura-pura tidur! Bangun! Ini rapikan kamar! Udah waktunya kerja!" ujarnya dengan suara tegas, sementara diriku yang setengah terbangun mengusap matanya, masih mengantuk.

Diriku mengerang, "Aduh, Bu, kasih waktu sejam lagi, belum adzan subuh ini, siapa tahu masih ada waktu buat tidur sedikitā€¦" setengah bercanda, Tentu saja, tanpa jam atau penanda waktu yang pasti, hari-hari kami berputar sesuai dengan ritme penjara, yang sering kali tak sejalan dengan tubuh kami.

Petugas langsung membalas dengan nada ketus, "Subuh apa? Kamu waktu subuh malah tidur nyenyak! Ayo bangun! Kalau mau rezeki, tuh, rezeki ada di sawah. Langsung cari sendiri!"

Di sebelahku, Dina yang sudah bangun lebih dulu tertawa kecil, lalu menepuk punggungku sambil berbisik, "wis ta lah, Mbak, gak usah ngeyel. Tuh, Bu Petugas wis arep ngamuk, nurut ae ben aman."

Diriku menghela napas panjang, lalu dengan berat hati bangkit dan melangkah keluar barak, bergabung dalam barisan. Petugas yang tadi membangunkan kami terlihat puas melihat semua narapidana mulai bergerak.

Di sudut ruangan, antrean untuk kamar mandi sudah ramai. Hanya ada lima bilik toilet sederhana, dibatasi kain tipis dan dinding yang hanya setinggi leher, membuat suasana tak nyaman dan aroma tak sedap melingkupi ruang. Seorang tahanan mendesak dari belakang, "Cepet, woi! Mules, nih, nggak tahan lagi!" yang lain menyahut sambil cemberut, "Sabar, bentar lagi selesai!"

Antrian panjang ini sudah menjadi bagian dari rutinitas pagiā€”sekadar mencuci muka atau bergiliran BAB atau BAK di toilet yang terbatas adalah keseharian yang memaksa kami menghadapi kenyataan hidup di penjara ini.

Tanpa sempat mandi, kami berbaris rapi menuju ladang atau aktivitas lain yang ditentukan petugas. Seorang petugas bercanda di sepanjang barisan, "Nah, gitu! Kerja di sawah, olahraga gratis. Badan kalian sehat, nggak perlu bayar gym, lho. Tiap hari begini, dijamin langsing!"

Beberapa dari kami tertawa pahit, sementara yang lain hanya menghela napas, melangkah berat menuju ladang. Tubuh yang lelah sudah siap untuk hari panjang berikutnya, kembali membanting tulang di bawah sinar matahari yang tak pernah berbelas kasih.

Pulau Penjara perempuan

Pulau penjara mempunyai nama resmi Lapas Perempuan kelas 1A Lembah Harapan, diriku tak mengerti kenapa dinamakan Lembah Harapan, Di sini, harapan tidak lebih dari bayangan samar yang sulit diraih. Bagi kami, harapan untuk bebas sudah hampir padam.

Penjara ini dirancang khusus untuk para narapidana warga binaan pemasyarakatan yang dianggap sebagai "kasus tak tertolong", mereka yang dijatuhi hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati.

Merekaā€”kamiā€”dikirim ke sini untuk diasingkan dari dunia luar, terputus dari masyarakat yang pernah kami kenal, seolah hidup kami telah dipisahkan secara permanen dari kehidupan yang pernah kami jalani. Tak ada harapan untuk kembali, tak ada jalan untuk membuktikan perubahan, karena hukuman ini bukan sekadar penahanan fisik, tapi sebuah pengasingan tanpa akhir.

Pulau penjara ini dijalankan dengan konsep swasembada self sustain yang ketat. Pemerintah sengaja mendirikan penjara ini untuk mengurangi biaya pengelolaan, memaksa kami menjalani hidup dengan aturan keras yang meminimalkan pengeluaran negara. Tidak ada tempat bagi kemewahan atau kelonggaran.

Di sini, kami narapidana harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami sendiriā€”dari pertanian, peternakan, hingga perkebunan. Sawah yang kami garap adalah sumber pangan kami, ladang yang kami olah dengan tangan kasar dan tubuh yang lelah menjadi jantung keberlangsungan hidup di sini. Energi listrik sepenuhnya bersumber dari tenaga surya, dan baterai cadangan seringkali hanya cukup bagi kebutuhan petugas, meninggalkan kami dalam gelap saat malam datang.

Selain menanam dan memanen, kami bertanggung jawab atas setiap aspek perawatan pulau ini. Setiap sudut penjara kami bangun dan pelihara sendiriā€”dari memperbaiki bangunan yang lapuk, merawat pagar yang mulai berkarat, hingga memahat kayu dan memotong logam. Setiap hari menjadi serangkaian kerja fisik yang tiada habisnya. Namun, di balik semua ini, ada ironi yang menggelitik; kehidupan di sini, dalam banyak hal, terasa lebih mandiri dan bekerja keras dibandingkan ketika kami bebas di luar sana.

Realita ini adalah tamparan keras, seolah-olah hidup kami di pulau ini hanyalah pengingat bahwa kami dianggap sebagai beban oleh masyarakat luar. Namun, di sisi lain, pekerjaan yang terus-menerus ini mengundang kami untuk berintrospeksiā€”merenungi kesalahan-kesalahan masa lalu, mengikis ego, dan mencoba menerima kenyataan hidup dalam keterbatasan yang tiada ujung.

Pulau penjara perempuan ini terletak di sebuah negara yang damai, di mana narapidana hanya berjumlah sekitar 0,1% dari total populasi. Dari angka itu, hanya sekitar 4% yang perempuan. Mayoritas di antaranya, sekitar 60%, dihukum karena kasus narkoba. Sisanya adalah perempuan yang menjalani hukuman atas korupsi, pembunuhan, perampokan, terorisme, dan kejahatan berat lainnya.

Pulau ini sendiri adalah bagian dari kompleks vulkanik aktif, membentang seluas 13 kilometer persegi. Puncak gunung berapi di pulau ini menjulang hingga 1.949 meter di atas permukaan laut. Meskipun hidup di sini keras dan penuh ketidakpastian, iklim lautnya cenderung nyaman, dengan suhu yang berkisar dari 19Ā°C di malam hari selama musim hujan hingga mencapai 36Ā°C saat siang hari di musim kering. Curah hujan moderat turun antara Juni hingga September, sementara pada bulan-bulan lain hujan lebat mendominasi, dengan rata-rata tahunan mencapai 3.200 mmā€”menjadikannya tanah yang ideal bagi pertanian kami di tengah keterasingan ini.

Kompleks penjara ini terletak sekitar satu kilometer dari garis pantai, pada ketinggian 30 meter di atas permukaan laut, cukup aman dari ancaman tsunami. Penjara menempati area dua hektare yang dilindungi oleh pagar kawat berduri, sementara lahan pertanian kami yang mencakup 20 hektare terletak di sekitarnya, di sinilah kami menggarap tanah untuk menanam makanan kami sendiri. Di luar kompleks utama, sebuah dermaga kecil dan asrama petugas terletak terpisah, menyediakan akses terbatas dan pengawasan bagi kami yang menghuni pulau ini.

Demi keamanan, penduduk asli yang dulunya menetap di pulau ini telah dipindahkan ke pulau lain yang berdekatan, sehingga kini hanya tersisa kami, para narapidana, dan petugas yang bertugas mengelola tanah dan menjaga penjara. Para wanita yang dipenjara di sini, meski jauh dari jangkauan dunia luar, hidup dalam lingkungan yang sepintas mendukung produktivitasā€”namun, produktivitas ini tak lebih dari tuntutan kemandirian tanpa imbalan kebebasan atau peluang reintegrasi ke masyarakat.

Di dalam kompleks, tempat tinggal kami sederhana: lima blok penjara masing-masing terdiri dari 10 kamar sel berukuran 3x5 meter, setiap sel menampung lima narapidana dalam ranjang susun. Jendela kecil dengan jeruji, sebuah WC, dan bak kecil adalah satu-satunya fasilitas yang ada. Setiap ruangan terasa sempit, tanpa perabotan lain untuk kenyamanan.

Di tengah kompleks, ada halaman terbuka yang menjadi tempat berkumpul kami, lengkap dengan lapangan voli sederhana dan beberapa bangku kayuā€”salah satu dari sedikit fasilitas 'rekreasi' yang ada. Gedung administrasi, ruang makan, dan klinik kecil juga berada di sekitar area ini.

Pulau penjara ini mencerminkan pendekatan pemerintah yang sangat hemat anggaran, dengan fokus utama pada isolasi dan swasembada. Tidak ada kemewahan atau program rehabilitasi di luar keterampilan dasar untuk bertahan hidup di sini. Kami hidup dalam kondisi yang keras, dengan pengawasan yang terbatas, dipaksa membangun dan memelihara kehidupan kami sendiri dalam keterasingan yang nyata dari dunia luar.

Sebuah KejutanĀ 

Matahari mulai meninggi, menyengat kulitku yang terpapar langsung. Keringat membanjiri wajah, lenganku terasa pegal karena terus mencangkul. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan rasa lelah yang mulai menyeruak. Tiba-tiba, mataku menangkap sosok yang tak asing di ujung ladang. Seorang narapidana baru, yang baru saja menyelesaikan minggu keduanya di masa mapenalingā€”masa pengenalan lingkungan bagi narapidana baru.

Sosok itu, seorang perempuan paruh baya dengan tubuh tambun, wajah pucat, dan tatapan kosong, semakin jelas saat ia melangkah mendekat. "who's that?" Aku mengerjap, mencoba memastikan apa yang kulihat. Jantungku berdegup tak karuan. Diaā€¦ ibu dari mantan pacarku. Dulu hakim, "Bener itu ibunya Doni !"

Semakin dekat, semakin jelas sosok itu di depanku. Rambutnya yang dulu hitam kini memutih, kulitnya mulai keriput, dan langkahnya tampak berat. Aku tertegun, jantungku berdebar kencang. Tidak salah lagiā€¦ itu dia, ibu dari mantan pacarku. Wanita yang telah menghancurkan hidupku bertahun-tahun lalu. "Damn, I can't believe what I see," gumamku pelan, nyaris tak percaya dengan apa yang kulihat.

Kemunculannya memicu kenangan pahit yang sudah berusaha kuhapus selama bertahun-tahun. Ingatan buruk itu kembali menyeruak, sebuah trauma dari 12 tahun yang lalu yang selalu kucoba kubur dalam-dalam. Namun kini, ibu yang dulu kulihat masa kejayaannya sebagai seorang hakim kini berdiri di sini, dalam seragam tahanan yang sama. Tanpa aku tahu, kehadirannya akan mengubah hidupku.

Dari sebelahku, Dina berbisik sambil tersenyum sinis, memperhatikan ibu itu yang kini mencoba mencangkul tanah. "Mbak, coba deloken si ibu lemu iku? Sing jek tas teko rong minggu wingi? Jarene ibu iku mantan hakim, yo," bisiknya pelan, menahan tawa melihat ibu itu yang tampak canggung dan kaku, jelas belum terbiasa dengan cangkul di tangannya.

Aku menggelengkan kepala, masih tercengang. "What the hell, why is she here? What did she do?" gumamku pelan. Pertanyaan itu memenuhi pikiranku, menciptakan campuran antara amarah dan rasa penasaran yang belum bisa kutahan.

Hatiku berdebar kencang saat rasa takut mulai merayap ke seluruh tubuh. Kenangan masa lalu yang menyakitkan muncul begitu saja, membawa kembali perasaan tak berdaya yang dulu kurasakan di ruang pengadilan. Namun, di tengah rasa gentar yang membuncah, diriku tak memiliki keberanian untuk mendekatinya. Ada jurang besar yang memisahkan kamiā€”jurang antara seorang mantan hakim dan seorang narapidana yang ia vonis.

Hari itu, hari pertama beliau dipekerjakan di sawah, Wajahnya yang dulu tampak tenang dan penuh kendali kini menunjukkan kelelahan dan ketakutan. Tangannya, yang dulu begitu terampil memegang pena dan menandatangani keputusan-keputusan hukum, kini melepuh dan kesakitan akibat harus mencangkul di tanah lumpur yang lengket, yang tak pernah mengenal belas kasihan. keringat bercucuran membasahi baju yang beliau kenakan, tubuhnya yang obesitas menambah kesulitan bergerak di lumpur menjadi siksaan tersendiri.Ā 

"Mbak, kok ibuk iku ketok'e keweden ngono yo?" bisik Dina padaku sambil mencuri pandang. Tatapan beliau beralih ke sekeliling, waspada, seolah-olah mencari-cari seseorang.

"iyo opo'o ibuk iku, kok iso nyasar nang kene, pejabat biasane ngadem nyantai nang kantoran, saiki macul koyok awak dewe," celetukku datar. "delok'en klambine wis teles kebes, lepek kabeh, padahal jek tas macul diluk." lanjut Dina.

Tak ada yang tahu pasti berapa banyak musuh yang ia buat selama berkarier, tetapi kekhawatiran itu tampak jelas di wajahnya setiap kali ia berusaha keras menyelesaikan tugasnya di sawah. Ketika tubuhnya lemah dan tangannya perih, rasa takut akan balas dendam membuatnya semakin terpuruk. Beliau tahu, tidak ada yang abadi, termasuk kekuasaan dan perlindungan yang pernah ia dapatkan di dunia luar. Di tempat ini, semuanya telah berubah. Ia tidak lagi seorang hakim yang dihormati, melainkan seorang narapidana seperti yang lainā€”terjerat dalam lingkaran penyesalan yang tak berujung.

Diriku masih belum berani mendekatinya. Dari kejauhan, kuperhatikan bagaimana beberapa narapidana lain mulai mencoba mengajaknya berbicara, mungkin untuk mengenalnya lebih jauh, mungkin untuk sekadar melonggarkan rasa asing di antara mereka.

Melihat mantan hakim itu tampak ragu dan canggung, seorang narapidana seniorā€”ibu tua yang sudah bertahun-tahun tinggal di pulau iniā€”melangkah mendekatinya. Ibu tua itu memiliki wajah penuh guratan usia, dan ekspresinya memancarkan pengalaman hidup yang keras. Ia menghampiri dengan langkah tenang, menatap mantan hakim itu dengan pandangan penuh pengertian, bukan dendam ataupun niat buruk, melainkan ketenangan yang tak mudah dijelaskan.

"Assalamualaikum, Bu," sapanya lembut, suaranya rendah dan menenangkan, seakan hendak mengusir kecemasan dari hati si mantan hakim. "Selamat datang di Lapas Perempuan Lembah Harapan. Jangan khawatir, ya. Nggak pernah kebayang, ya, dulu, bakal sampai di sini?" katanya, lalu duduk di sampingnya tanpa jarak berlebihan. "Sini aja, Bu. Nggak perlu takut. Di sini, kita semua udah sama sekarangā€¦ semua sama-sama terpidana. Nggak ada yang bakal bertindak bodoh atau berbahaya."

Mantan hakim itu terlihat kaget sekaligus lega mendengar kata-kata ibu tua itu. Dengan wajah yang sedikit lebih tenang, ia perlahan tersenyum, menyadari bahwa mungkin di sini ia akan menemukan sisi kemanusiaan yang dulu sering ia lupakan.

Mantan hakim itu menundukkan kepalanya, matanya berkaca-kaca. Ia menyadari, di sini tidak ada lagi kekuasaan atau status yang membedakan mereka. Semua adalah manusia yang telah jatuh ke dalam jurang yang sama. Namun, meskipun demikian, ketakutan akan masa lalu tetap melekat kuat, dan penebusan dosa-dosa yang telah dilakukan tampak masih sangat jauh dari jangkauan.

Dalam tempat ini, tidak ada lagi kekuasaan, tidak ada lagi status sosial. Semua narapidana, tanpa kecuali, hidup dalam kesetaraan yang penuh kesedihan dan penyesalan. Itu adalah suara dari ketakutan masa lalunya, tetapi tidak ada racun, tidak ada hasrat untuk balas dendam. Hanya kepasrahan. Perlahan, ia menyadari bahwa mereka semua hancur oleh sistem, kini terjebak dalam siklus yang sama tak berperasaan. Ia telah takut akan kemarahan mereka, tetapi malah menemukan penyesalan bersama, bahkan di wajah-wajah orang-orang yang pernah ia hancurkan hidupnya.Ā 

"Bu, capek, ya?" tanya narapidana lain yang duduk di sebelahnya.Ā "Sangat," jawab bu hakim sambil mengusap peluh di wajah. "Wajar, Bu. Lama-lama juga terbiasa," lanjutnya sambil tersenyum.

"Aku menyesal,Tapi itu tidak mengubah apa pun." ujar mantan hakim itu dengan suara lemah. "Menyesal itu awal yang baik, Bu. Tapi ya gitu, nikmati aja hidup di sini, apa lagi kalau panjang umur." sahut napi senior, saat mereka beristirahat sejenak dari pekerjaan yang melelahkan, sore itu.Ā 

Mantan hakim itu tersenyum kecil. "Duh, makasih ya jeng, sudah menghibur... susah juga ternyata, jauh lebih susah dari yang saya bayangkan."

"Yah, lama-lama juga terbiasa, Bu," balasnya, lalu mengedipkan mata. "Lagian katanya, kerjaan di sini bikin kurus lho, Bu! Nanti Ibu langsing tiga bulan lagi."

Wanita paruh baya ituā€”mantan hakim yang dulu diseganiā€”merasa tersinggung, namun tidak terlalu dalam. Ia tahu bahwa di ladang berlumpur ini, di bawah tatapan tajam pengawas dan langit yang tak bersahabat, ia hanyalah narapidana, tak ada beda dari para napi lainnya. Berkeringat dan membungkuk, ia mengayunkan cangkulnya ke tanah lengket yang terasa begitu berat, seolah tidak peduli siapa dirinya dulu. Setiap kali cangkulnya menyentuh tanah, ia merasa seakan sedang menggali lebih dalam ke masa lalunya sendiriā€”ke dalam semua dosa dan kesalahan yang dulu ia anggap sepele.

Tetesan keringat mengalir di pelipisnya, jatuh ke tanah, bercampur dengan lumpur yang lengket di kakinya. Setiap gerakan terasa lamban, setiap tarikan napas dipenuhi dengan kepenatan fisik, namun juga perih batin yang terus-menerus menghantuinya. Di balik bayangan tubuhnya yang membungkuk, di tengah sinar mentari yang terik, ada bayangan lain yang lebih gelapā€”bayangan masa lalunya.

Ia teringat keputusan-keputusan yang pernah ia jatuhkan di ruang sidang, dengan palu yang ia ketuk penuh keyakinan, seolah dirinya tak pernah salah. Kini, di setiap pukulan cangkul yang ia lemparkan, ia merasa seperti sedang menghukum dirinya sendiri, mencoba mengikis penyesalan yang membusuk di lubuk hati. Berulang kali ia menahan napas, menahan rasa sesak, namun tidak ada apa pun yang bisa menepis kenyataan. Mungkin benar kata orangā€”di hadapan waktu, semua manusia sama, tak peduli pangkat atau gelar.

Ia tersadar bahwa bukan hanya tubuhnya yang memikul beban ini. Jiwanya juga terbebani oleh rasa bersalah yang tak kunjung hilang, menghantui setiap langkah yang ia ambil di ladang ini. Mungkin, seperti yang dikatakan oleh perempuan muda tadi, ia bisa mengubah dirinyaā€”menjadi seseorang yang lebih kuat, yang lebih tulus menerima hukuman ini sebagai cara untuk menghapus noda masa lalunya. Tapi mampukah ia?

Kesegaran Sore

Saat matahari perlahan menghilang di balik bukit, menyisakan langit yang terbakar warna oranye dan merah muda, para narapidana perempuan berjalan beriringan menuju sungai di ujung ladang. Suara langkah-langkah mereka yang pelan terdengar berirama, menandakan kelelahan namun juga harapan yang mereka bawa bersama. Keringat dan debu menempel di wajah serta pakaian mereka, tapi langkah-langkah itu kini lebih ringan, seolah-olah sungai yang menanti di depan memberikan sedikit pelipur dari hari-hari yang berat.

Sesampainya di tepi sungai, mereka mulai melepaskan seragam mereka, melucuti segala beban yang melekat sepanjang hari. Tidak ada rasa malu atau sungkan; hanya keakraban yang terjalin karena hari-hari panjang yang mereka lalui bersama di tempat ini. Kulit mereka, yang kecoklatan terbakar matahari, menampakkan bekas kerja keras, dengan telapak tangan dan kaki yang kapalan. Beberapa dari mereka tertawa kecil, mengomentari kulit yang semakin kasar atau wajah yang tampak semakin kusam, mencoba melupakan sementara kenyataan hidup yang keras di tempat ini.

"Aduh, tangan gue udah nggak kayak tangan cewek lagi," kata salah seorang perempuan muda dengan nada bercanda. Ia mengangkat telapak tangannya yang kasar, lalu tertawa kecil.

Yang lain di sebelahnya menimpali, "Sama, semua di sini jadi serba sama. Cantik, ganteng, putih, item, semua nggak penting lagi." Mereka tertawa bersama, tawa yang melepas ketegangan sejenak.

Air sungai yang sejuk menyapa saat mereka mulai berendam, menenangkan otot-otot yang lelah. Mereka membiarkan air membasuh debu, rasa letih, dan segala beban yang menumpuk. Suasana menjadi lebih ringan; terdengar suara tawa dan canda yang mengisi udara. Beberapa dari mereka mulai memercikkan air, saling beradu percikan, seperti anak-anak yang bermain bebas tanpa peduli waktu.

"Eh, jangan basahin rambutku, dong!" teriak salah satu dari mereka sambil tertawa lepas ketika yang lain memercikkan air ke arahnya.

"Lah, kenapa? Rambut kita udah kayak sapu ijuk gini. Basah dikit malah bagus, sekalian kondisinya," balas yang lain, menggoda.

Tawa mereka mengisi senja yang perlahan mulai gelap. Sesaat, dalam dinginnya air sungai dan hangatnya tawa teman-teman mereka, segala yang berat terasa lebih ringan. Mereka tahu bahwa kebebasan ini hanya sementara, namun itu cukup. Sesaat di sungai itu, mereka bukan narapidana, bukan manusia yang dihantui masa lalu; mereka hanya perempuan-perempuan yang bisa tertawa, melepas lelah, dan menikmati kebersamaan.

"Kau pikir bisa merasakan kebebasan, kesegaran seperti ini setiap hari di luar sana?" tanya seorang narapidana sambil memercikkan air ke temannya.

"Setiap hari kita bisa mandi segar seperti ini langsung dari sumber air alami", "kalau aku bisa bertahan selamanya di sini," jawab yang lain "ya iyalah kita disini kan terpidana seumur hidup" sahut yang lain dengan senyum tipis di wajahnya.

Namun, tak semua tertawa. seorang narapidana baru berdiri diam di tepi sungai, membiarkan arus air membelai kakinya yang mulai kapalan, matanya menatap kosong ke arah pegunungan yang menjulang di kejauhan. Ia tidak perlu mengucapkan sepatah kata pun; tatapannya sudah cukup menggambarkan kerinduan akan kebebasan sejati yang tampak begitu jauh dari jangkauan. Sarah dengan ingatan yang samar merasa mengenali ibu itu.

Setelah sekitar lima belas menit, satu per satu narapidana mulai keluar dari air, mengeringkan diri mereka dengan handuk yang sudah usang dan mengenakan kembali seragam lusuh mereka. Meskipun pakaian mereka kembali mengekang tubuh, semangat mereka terasa sedikit lebih ringan. Sebuah ikatan yang tak terucapkan terjalin di antara mereka, sebuah persahabatan yang dibangun dari rasa sakit dan kesulitan bersama.

Saat mereka berjalan kembali ke barak penjara, mereka tidak hanya membawa kelegaan fisik dari mandi sore itu, tetapi juga sedikit pelarian dari kenyataan keras kehidupan mereka. Meski hanya sesaat, kebersamaan di sungai itu memberi mereka napasā€”sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh tembok penjara yang dingin dan kaku.

"Kalian tahu," bisik seorang dari mereka saat mereka berjalan beriringan kembali ke kompleks, "sesederhana apapun ini, air itu... rasanya seperti satu-satunya kebebasan yang masih bisa kita punya di sini."

"Ya," jawab temannya sambil menatap langit yang mulai gelap, "setidaknya bintang-bintang dan sungai ini belum bisa mereka kurung."

Saat malam mulai tiba dan langit berubah menjadi gelap, mereka naik dari sungai dengan rasa segar dan lega yang baru. Berpakaian lagi, mereka berjalan perlahan kembali ke barak, tanpa beban, setidaknya untuk saat itu.