Setiap hari, ketika matahari mulai tenggelam, melemparkan bayangan panjang di dinding beton yang suram, di blok sel, saat itu tiba lagi—sharing session sesi berbagi, para narapidana sekitar 40 orang penghuni blok itu kembali dari kerja keras mereka untuk berkumpul selama satu jam di area umum. Sesi ini dimaksudkan sebagai program rehabilitasi, cara untuk mendorong refleksi diri, mungkin juga membangun sedikit kepercayaan di antara para perempuan. Namun, kenyataannya, ini hanya menjadi rutinitas lain dalam hari-hari mereka yang panjang, tak berubah dan membosankan.
Sebagian besar narapidana telah menceritakan kisah mereka berkali-kali. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi yang bisa ditutupi, tidak ada lagi pengungkapan yang mengejutkan. Sekarang, mereka hanya berbagi apa yang mereka lakukan hari itu—apakah ada sipir yang memperlakukan mereka tidak adil, atau jika ada narapidana lain yang melewati batas. Semuanya sudah menjadi hal biasa, hampir mekanis.
Tapi malam ini berbeda.
Ada wajah baru di antara kami—seorang ibu paruh baya, berusia hampir 60 tahun. Wajahnya tidak asing bagiku, diriku mengenalnya, seorang ibu yang selama ini kusebut, kuyakini sebagai penghancur hidupku, penghancur masa depanku. Beliau baru saja dipindahkan ke blok kami, beliau terlihat berbeda dari kebanyakan narapidana lain: tubuhnya tinggi, gemuk, berdiri tegak dengan suara pelan tapi memiliki kekuatan yang tak terjelaskan. Sejauh ini, dia belum bercerita apa pun tentang alasan keberadaannya di sini, tapi rumor sudah tersebar dengan cepat. Dia adalah seorang mantan hakim—iya, hakim, profesi yang selama ini dianggap sebagai penegak keadilan, sosok yang menjatuhkan hukuman bagi banyak narapidana di sini.
Rasa penasaran pun muncul. Semua orang tahu, kisah dari seorang pendatang baru selalu mengundang perhatian. Ini adalah giliran kami untuk menyingkap lapisan-lapisan misteri dari kehidupan seseorang, untuk melihat apa yang membawa mereka ke tempat kelam dan terasing ini.
Dua orang sipir yang bertugas mengawasi sesi itu, tampak bosan seperti biasanya, memberi isyarat kepada mantan hakim itu untuk mulai bercerita. "Bu, silahkan mulai perkenalan diri terus lanjut ceritakan kisahmu."
Beliau berdiri perlahan, menatap seisi ruangan, matanya menyapu wajah-wajah lelah yang menatap penuh perhatian. Kebanyakan dari kami sudah terlalu sering mengikuti sesi semacam ini hingga kebal terhadap cerita dan latar belakang masing-masing, namun malam itu, semua orang terlihat berbeda. Ada semacam antusiasme yang jarang muncul. Semua orang menunggu, diam dalam harapan tak terucap, mendengarkan kisah dari sosok yang pernah memiliki kekuatan di luar jangkauan kami.
Mantan hakim itu berdiri perlahan, menarik nafas panjang sebelum memulai. Dia mengamati ruangan, mengamati wajah-wajah yang menantinya, lalu matanya tidak berani lagi menatap mereka, terarah ke lantai beton yang dingin di bawah kakinya.
"Nama saya…," ia terdiam sejenak, menelan perasaannya yang bergejolak. "Nama saya Herawati, kalian benar saya dulu memang hakim senior. Puluhan tahun hidupku ku habiskan di ruang sidang, menentukan salah benar seseorang, menjatuhkan vonis tugasku. Di tempat itu, kekuasaan ada di tanganku. Saya adalah suara yang memutuskan keadilan." Beliau berhenti sejenak, Tatapannya kembali tajam ke sekitar.
"Percayalah saya dulu taat pada hukum, pada keadilan, pada kemanusiaan. Terlepas takdir, Saya percaya bahwa jika kita bertindak benar, mengikuti aturan, semuanya akan berjalan lancar sesuai rencana." Narapidana lain saling berpandangan sinis namun para narapidana itu terdiam, merasakan beban dari setiap kata yang ia ucapkan. Matanya berkilat sesaat, namun tetap tenang. Ia melanjutkan, "Tapi saya... salah, membiarkan keserakahan menguasai diriku. Uang, posisi, pengaruh, semua itu menjadi lebih penting daripada keadilan. Diriku sadar telah menghancurkan hidup banyak orang karena keputusanku yang diwarnai oleh suap."
Tiba-tiba, suasana ruangan berubah menjadi dingin. Narapidana lain saling berpandangan, teringat pada kehidupan mereka sendiri yang hancur oleh keputusan hakim—dan mungkin oleh orang-orang seperti beliau. Beberapa wajah tampak marah, sementara yang lain tampak kosong, terbiasa dengan pengkhianatan.
Dia menundukkan kepalanya, tangannya mengepal seolah menahan rasa malu yang mendalam. "Ketika mendapati diriku di sini... saya sadar bahwa keadilan itu bukan hanya tentang hukum. Ini juga tentang kemanusiaan, dan saya sudah lama kehilangan keduanya."
Malam itu, sesi berbagi yang biasanya monoton dan membosankan berubah menjadi momen refleksi mendalam. Para narapidana lainnya mendengarkan dengan seksama, meskipun sebagian dari mereka mungkin masih menganggapnya dengan skeptis.
Seorang wanita, yang duduk di pojok, menyela dengan nada tajam, "Keadilan, katamu? Kau tahu berapa banyak orang yang menderita karena keputusan salah dari seorang hakim seperti milikmu? Kita semua di sini karena sesuatu yang tidak adil, memang kita kirminal yang bersalah, namun kalian para hakim hampir tidak pernah menanyakan dan mau tau apa alasan tindakan kita."
Mantan hakim itu mengangguk, menerima setiap kata dengan tenang. "Saya tahu. Saya juga merasakan itu, Dan itu adalah beban yang harus kutanggung seumur hidup. Tetapi di sini... di sini diriku hanya bisa berusaha memperbaiki diriku, meskipun saya tak bisa memperbaiki apa yang telah kulakukan kepada orang lain."
Tak ada yang menjawab. Mereka semua tahu, di tempat seperti ini, pengampunan dan penebusan bukanlah hal yang mudah. Namun, malam itu, mantan hakim itu telah membuka sebuah pintu kecil menuju hatinya, dan mungkin, hanya mungkin, satu langkah kecil menuju penebusan telah dimulai.
Para narapidana menatap mantan hakim itu dengan campuran rasa sinis dan penasaran. Bisikan-bisikan kecil terdengar di sudut-sudut ruangan, mencerminkan ketidakpercayaan dan kemarahan mereka terhadap sistem yang telah mengecewakan mereka berkali-kali. Kini, di hadapan mereka, berdiri seorang mantan hakim yang seharusnya menjadi simbol keadilan, tapi ia sama rusaknya dengan sistem yang telah menghancurkan hidup mereka.
Mantan hakim itu melanjutkan, suaranya tegang dengan kemarahan yang tertahan. "Kalian mungkin bertanya-tanya kenapa saya ada di sini. Mengapa seorang hakim senior, yang dulunya memegang palu keadilan, sekarang duduk bersama kalian, terpidana seumur hidup. Kalian ingin tahu latar belakang perbuatanku?" cerita berlanjut setelah menghela nafas panjang.
"Saya ingin balas dendam atas kehilangan yang amat saya cintai," katanya dengan suara yang lebih rendah, hampir seperti bisikan. "Jadi, awalnya saya mulai menerima suap. Bukan karena uang, tapi karena itu memberiku pelampiasan dendam, memberiku rasa puas yang tak bisa kupenuhi dengan cara lain. Entah mengapa saya merasa puas mengirim orang-orang ke penjara, meskipun beberapa dari mereka belum tentu bersalah". "Dorongan kekuasaan semakin menjadi, nafsu mengalahkan diriku, pernah kubiarkan yang bersalah pergi, asalkan mereka memberiku sesuatu. Apa saja, selama saya merasa punya kendali atas dunia ini. Seolah saya bisa menghukum dunia atas apa yang telah diambil dariku."
Kata-kata terakhirnya disampaikan dengan kelelahan. Ia duduk kembali, tubuhnya melemas, seolah beban pengakuannya terlalu berat untuk ditanggung. Para narapidana tetap terdiam, tak tahu harus berkata apa. Mereka terbiasa dengan cerita kekerasan dan pengkhianatan, tapi ini lain. Ini adalah pengakuan dari seseorang yang dulu berdiri di atas mereka, namun kini jatuh lebih dalam ke dalam jurang kesalahan dan penyesalan.
Seorang narapidana, yang sebelumnya hanya mendengarkan di pojok ruangan, tiba-tiba berbicara dengan suara rendah tapi tegas, "Kamu pikir kamu satu-satunya yang kehilangan sesuatu? Kamu pikir rasa sakitmu lebih besar dari rasa sakit kami?" Wajahnya keras, tapi ada kesedihan yang tampak di balik amarahnya.
Mantan hakim itu hanya mengangguk. "Tidak. Tahu apa kalian rasa sakitku. ku tahu saya telah menghancurkan hidup banyak orang. Tapi rasa sakitku tak terhapuskan. Itu adalah beban yang harus kutanggung sampai mati."
Seorang narapidana yang duduk di sudut, dengan luka yang sama dalam hidupnya, menatap tajam ke arah mantan hakim itu. "Kau pikir kita ini apa?" tanyanya, nadanya tak berperasaan, tapi ada getaran rasa sakit di dalamnya. "Kami semua di sini juga karena sesuatu telah diambil dari kami. Tapi itu tidak memberiku hak untuk mengambil hidup orang lain atau menghancurkan hidup orang lain."
Mantan hakim itu mengangkat kepalanya perlahan, menghapus air matanya. "Aku tahu," katanya, suaranya hampir tak terdengar. "ku tahu sekarang, tapi pada saat itu... pada saat itu, saya tidak peduli. Saya hanya ingin dunia merasakan sakit yang ku rasakan. Ku kira jika saya membuat orang lain menderita, kesedihanku akan berkurang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya."
Salah satu narapidana, seorang perempuan yang pernah menjadi seorang ibu sebelum masa penjara merenggut segalanya, menghela napas panjang. "Anak Kau mati, kah? Awak bisa bayangkan apa yang kau rasakan. Kehilangan seorang anak, itu suatu yang menghancurkan. Tapi balas dendam… itu tidak pernah menyembuhkan apa pun, hanya membuat luka semakin dalam."
Kata-kata itu menghantam sang mantan hakim seperti pukulan yang tak terduga. Matanya terbelalak, penuh dengan rasa malu yang mendalam. Ia menatap ke arah perempuan itu, dan di sana, ia melihat cermin dari rasa sakit yang selama ini ia sembunyikan. Kehidupannya hancur bukan hanya karena ulah orang lain, tetapi juga karena dirinya sendiri. Dia tahu, hidup yang dirusaknya tidak hanya milik mereka yang dia vonis, tetapi juga hidupnya sendiri—terutama setelah ia terjerumus ke dalam jurang suap, amarah, dan kebencian. Semua itu telah memenjarakannya jauh sebelum dia mengenakan seragam narapidana.
Tiba-tiba, seorang perempuan lainnya menyela, nadanya penuh sinisme dan kekecewaan. "Kau pikir kita semua di sini tanpa alasan?" matanya memicing, penuh kebencian yang sudah lama dipendam. "Awak mencuri dan membunuh karena anak-anak awak kelaparan. Awak tak punya pilihan lain. Tapi kau tahu apa? Awak dipenjara tanpa ada yang peduli, kenapa awak melakukannya. Bagaimana nasib anak-anakku? Hakim seperti kau cuma lihat hitam dan putih, benar atau salah, tapi tak pernah lihat alasan di balik semua itu!"
Suasana dalam ruangan itu semakin tegang. Setiap kata yang keluar menggali lebih dalam rasa sakit yang dialami masing-masing. Para narapidana, yang biasanya terbiasa dengan keheningan sunyi, kini saling berhadapan dengan luka-luka yang tersimpan lama, terpendam di balik masa lalu mereka yang kelam.
"Cukup!" Suara Bu Hakim tiba-tiba memecah suasana, suaranya bergetar marah, penuh emosi yang tertahan bertahun-tahun. "Dua belas tahun yang lalu... dua belas tahun lalu, di awal bulan Januari, saya kehilangan anakku! Putraku! Satu-satunya anakku!" Ia berdiri dengan gerakan yang tegang, suaranya meninggi, dan matanya memerah. Air mata yang selama ini terpendam kini mengalir deras, tak bisa dibendung lagi. "Dia dibunuh! Dibunuh!" teriaknya, suaranya menggema di sudut-sudut ruangan yang sempit itu, memecah keheningan dan membekukan seluruh perhatian. Beberapa narapidana terkejut, menundukkan kepala, sementara yang lain memandangnya dengan tatapan dingin, tanpa belas kasihan.
"Tubuhnya... mayatnya, ditemukan seminggu kemudian, di dasar lembah gunung. Membusuk... penuh belatung! Kejam!" Jeritannya semakin menyayat hati, penuh dengan kemarahan dan kesedihan yang ia pendam terlalu lama. Tangannya bergetar, menggenggam kerah bajunya, seakan berusaha mengendalikan dirinya namun gagal.
Semua orang terdiam, terserap dalam tragedi yang baru saja ia ungkapkan. Tak ada yang tahu harus bereaksi seperti apa. Perempuan-perempuan itu, yang biasa menghadapi penderitaan mereka sendiri, kini melihat sekilas rasa sakit yang berbeda, tapi tidak asing.
Pengungkapan
Suaraku, teriakan ku, tanpa persiapan, datang begitu tiba-tiba, memecah keheningan yang mencekam. "Tidak! Itu tidak benar! Semua itu salah! Bu Hera!"
Semua kepala langsung menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis muda yang selama sesi berbagi ini selalu diam, duduk di sudut ruangan dengan tubuh gemetar. Diriku, Sarah Ratnawati, berdiri menatap Bu Herawati—mantan hakim yang selama ini hanya kulihat sebagai sosok berkuasa—dengan wajah pucat dan nafas tersengal-sengal. Kegelisahan mencengkeram ku erat, begitu kuat hingga nafasku terasa sesak. Narapidana lain, bahkan petugas yang berdiri di tepi ruangan, mulai melirik ke arahku, bingung dengan apa yang baru saja terjadi.
"Kau bilang... anakmu... Doni?" suaraku keluar serak dan bergetar, seolah menahan beban yang telah lama ku pendam. Wajahku terasa memanas, darah mengalir deras ke kepalaku, dan mataku mulai basah oleh ketakutan yang tak dapat lagi ku sembunyikan. "Dua belas tahun yang lalu?"
Bu Herawati tertegun sejenak, matanya yang tadi dipenuhi amarah kini tertuju padaku, seolah ia baru saja menyadari keberadaan ku. Namun, hanya sekejap kemudian, sorot matanya kembali dipenuhi kemarahan yang membara. Wajahnya yang tadi penuh dengan penderitaan mendadak berubah murka. Ia berdiri, gemetar dengan amarah yang hampir tak tertahankan.
"Kau... gadis keji itu, Sarah!" teriaknya, suaranya melengking penuh kebencian. Tangannya mengepal erat seolah menahan luapan emosinya. "Kau yang membunuhnya! Kau membunuh Doni, anakku! Kau yang menghancurkan hidupku!"
Kata-katanya seperti cambuk yang menghantam keras ke seluruh tubuhku. Diriku hanya bisa duduk kaku, tak mampu melawan atau menjawab. Tubuhku gemetar, sementara kenangan buruk itu kembali menyeruak dari sudut pikiranku. Nafasku semakin berat, seolah dunia di sekitarku mengecil dan mencekik. Air matanya terus mengalir tanpa henti, dan suaranya bergetar dengan rasa sakit yang telah ia pendam selama bertahun-tahun.
"Hukuman di dunia ini tidak pernah cukup! Tidak pernah terasa seperti keadilan bagiku!" jeritnya, penuh dengan kebencian yang meluap-luap.
Seketika, suasana ruangan menjadi tegang. Beberapa narapidana hanya bisa terdiam, terkejut melihat ledakan emosi yang menggelegar ini. Yang lain menundukkan kepala, merasa seolah mereka tengah menyaksikan benturan dua kehidupan yang terluka parah.
Diriku tahu, ini saatnya menghadapi semua. Mungkin sudah terlambat untuk menjelaskan, tapi kata-kata itu harus keluar. Semua yang ku simpan selama bertahun-tahun, kebenaran yang selalu menghantuiku sejak hari itu.
Diriku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menguasai diri di tengah pandangan marah Bu Herawati dan rasa takut yang menghantam seluruh tubuhku. "Aku... aku tidak membunuh Doni," ucapku akhirnya, meski suaraku nyaris tenggelam oleh keheningan ruangan.
Ruangan itu mendadak menjadi sunyi, seolah-olah seluruh dunia berhenti sejenak. Kenangan itu… kejadian mengerikan di pegunungan... kembali menghantamku seperti ombak besar yang tak bisa dihindari. Bagaimana diriku dan Doni bertengkar. Bagaimana amarah menguasai diriku, membuatku pergi meninggalkannya sendirian di sana. Dan ketika diriku kembali, Doni sudah tiada—menghilang entah ke mana. Semua itu mengalir di benakku seperti mimpi buruk yang tak pernah bisa kulupakan, meskipun ku sudah coba membuangnya, menyalahkan situasi, bahkan menyalahkan perasaanku sendiri.
Namun kini, berdiri di hadapan Bu Herawati—ibu dari Doni—semua pertanyaan yang selama ini kupendam tentang apa yang benar-benar terjadi hari itu menghantamku tanpa ampun. Mataku terasa panas, tubuhku gemetar, dan kesadaran bahwa diriku mungkin tidak akan pernah mendapatkan pengampunan dari wanita ini membuat jantungku berdetak lebih cepat.
Para narapidana lain menatap kami berdua dengan bingung dan tegang, seolah merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kisah kelam masa lalu yang terungkap kembali. Suasana di ruangan itu begitu mencekam, hampir tak tertahankan. Ketegangan menggantung di udara, menghimpit setiap orang yang berada di dalam ruangan kecil itu.
Tatapan Bu Hera menusukku dalam-dalam, matanya penuh dengan kebencian dan duka yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun. Mataku dan matanya bertemu, dan dalam sepersekian detik itu, kami berdua terperangkap dalam badai emosi yang semakin tak terkendali. Ia melihatku, bukan sebagai gadis muda yang sedang menjalani hukuman, tetapi sebagai sumber dari seluruh penderitaan yang telah merusak hidupnya.
Diriku tahu, kata-kata apa pun yang akan kuucapkan mungkin tidak akan mengubah apa pun. Tapi diam juga tidak akan menyelamatkan kami. Ketegangan ini begitu nyata, seperti gunung berapi yang siap meledak kapan saja. Semua orang di dalam ruangan itu tahu bahwa sesuatu akan segera pecah.
Namun sebelum apa pun bisa terjadi, sebelum kemarahan atau penyesalan bisa meluap keluar dari bibir kami, suara seorang penjaga tiba-tiba memecah suasana. "Waktu habis. Kembali ke sel kalian, cepat!" serunya dengan nada tegas, memotong ketegangan yang telah memuncak. Petugas khawatir ketegangan akan meledak menjadi perkelahian sengit. Tiga bulan lalu, kejadian perkelahian massal terjadi di halaman, mereka saling baku hantam, jambak, tinju, sikut, dan tendang. Tubuh-tubuh terbanting ke dinding, dan darah berceceran di tanah, banyak yang terluka dan berdarah. Yang paling parah di antara mereka ditandu ke klinik penjara untuk dirawat.
Mendengar perintah petugas, para narapidana mulai bergerak, mengabaikan percikan emosi yang tersisa. Ku berdiri terpaku, masih merasakan sisa-sisa ketegangan yang belum lepas. Bu Hera menatapku untuk terakhir kalinya sebelum ia perlahan berbalik dan mengikuti instruksi penjaga. Tapi diriku tahu, ini belum berakhir. Ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar yang akan segera terjadi.