Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 5 - Renungan

Chapter 5 - Renungan

Keheningan malam itu semakin pekat, menggantung berat di udara, sementara suara jangkrik dan deburan ombak dari kejauhan menjadi satu-satunya irama yang bisa didengar. Di dalam selku yang sempit, yang kuanggap sebagai kamarku ini, diriku terbaring tak bisa tidur. Pikiran galau berkecamuk, memicu rindu tidur dikasur nyamanku, dipeluk sosok ibu. Di lapas ini kegalauanku ditemani oleh berbagai suara yang begitu familiar: dengkuran kelelahan para napi lain, yang meringkuk dalam tidur mereka, dan suara desahan napas seseorang yang berusaha mencari kenyamanan dalam kesendirian, menyusuri batas-batas keintiman dalam ruang yang sempit dan pengap.

Pulau penjara perempuan ini terletak di sebuah negara yang damai, di mana narapidana hanya sekitar 0,1% dari total populasi, Entah memang masyarakatnya yang taat hukum atau malah kurang aparat untuk menegakkan hukum. Dari angka itu, hanya sekitar 4% yang perempuan jadi kami merupakan bagian yang teramat sangat kecil dari masyarakat.

Mayoritas di antara kami, sekitar 60%, dihukum karena kasus narkoba. Sisanya adalah perempuan yang menjalani hukuman atas pembunuhan, perampok, terorisme, korupsi dan kejahatan berat lainnya. Sepertinya hanya diriku yang tidak bersalah di lapas ini.

Bagi kami, para narapidana, mencari ketenangan menjadi suatu perjuangan tersendiri. Terkurung di tengah kegelapan sejak matahari tenggelam hingga terbitnya fajar. Self-pleasure permainan jari adalah salah satu cara untuk meraih sedikit kesenangan, kenikmatan sesaat bagi kami secara prsonal, sedikit pelarian dari kenyataan yang menekan. Di dunia yang terkurung ini, di mana segala hal yang kita inginkan seringkali tampak jauh dan tak terjangkau, bentuk kenyamanan itu menjadi salah satu cara untuk menenangkan diri, setidaknya untuk sementara waktu. Meskipun sadar bahwa itu dosa dan hanyalah pelarian sesaat, itulah cara kami untuk merasa sedikit lebih hidup, sedikit lebih manusiawi dalam keadaan yang seolah menekan seluruh eksistensi kami.

Namun, di sisi lain, keterasingan yang terus-menerus ini mengundang kami untuk berintrospeksi merenungi kesalahan-kesalahan masa lalu, mengikis ego, dan mencoba menerima kenyataan hidup dalam keterbatasan yang tiada ujung.

Galau

Pikiranku masih terus tertuju ke ketegangan saat sesi berbagi tadi, dibarengi suasana sel yang gelap dan pengap semakin membuat setiap detik terasa seperti beban yang menekan batin mengaburkan batas antara kenyataan dan bayangan. Pertanyaan-pertanyaan itu bergulir begitu saja dalam kepalaku, seakan tak ada akhir.

"Why did she come back into my life? Why she's here? what's wrong with her?" pikirku dalam diam, menatap langit-langit sel yang mulai terasa menindih.

"Kenapa dia harus datang sekarang, mengusik luka yang belum sepenuhnya sembuh? Apakah dirinya bisa menyadari bahwa setiap pertemuanku dengannya hanya menggoreskan luka baru di hatiku ini?" Tanyaku pada diriku sendiri, mencoba mencari jawabannya di antara bayang-bayang malam.

Selama satu dekade diriku telah mencoba hilangkan kesadaran, jalani rutinitas sehari-hari di penjara ini hanya ada insting bertahan hidup, makan ketika lapar, tidur ketika lelah, kabur atau bertahan ketika diserang. Hidupku sebagai narapidana dipenjara itu sekilas mirip seperti hewan ternak yang terkurung dikandang menunggu ajal. Hampir tak ada lagi emosi, tak ada kesenangan dan kesedihan berlebih, tak ada keinginan duniawi. Tapi emosi yang lama tak kurasakan timbul kembali.

Terkadang, ku merasa begitu terperangkap oleh perasaan bersalah, dosa apa yang telah ku lakukan di masa lalu hingga nasibku seperti ini. Namun, diriku sadar, bisa jadi justru rasa bersalah itu yang harus ku bebaskan terlebih dahulu, sebelum aku bisa benar-benar merasakan kedamaian. Dosa, seperti api, dapat membakar dan membersihkan, tetapi juga dapat menghanguskan dan menghancurkan jika kita tidak tahu cara menghadapinya.

Pikiranku berputar, memutar kembali momen pertemuan tadi dengan Bu Hera. "Apa yang seharusnya ku katakana tadi? Bagaimana mungkin diriku bisa melanjutkan percakapan dengan dirinya lagi, Ibu itu yang menghancurkan hidupku, dirinya begitu penuh kebencian. Di satu sisi lainnya, diriku harus mengungkap kebenaran untuk kebebasanku, tapi gimana caranya ?" Kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan, tertahan oleh tembok-tembok sel yang dingin dan sunyi. Semua kenangan yang coba ku kubur mulai muncul kembali, membawa serta rasa galau yang tak tertahankan.

Berbaring di ranjang atas, Dina, sahabatku di lapas, mengamatiku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Suaranya terdengar lembut namun waspada saat ia menyapaku, "Mbak, ibuk iku mau sopo? Opo'o kok benci karo awakmu?"

Diriku terdiam pura-pura tertidur, tak menjawab pertanyaan Dina. Namun dalam pikiranku terus resah "Bu Hera mungkin benci padaku, tapi apakah aku pantas dibenci jika dirinya tahu yang sebenarnya ? Diriku tidak bersalah, tapi kenapa rasa bersalah ini terus menghantui? Sebagai manusia tidakah dirinya miliki perasaan iba atau belas kasihan padaku" pikirku lagi, mencoba mencari jawaban yang rasanya semakin jauh dari jangkauan.

Namun diriku tidak bisa menjawab. Lidahku kelu, seolah-olah kata-kata itu tenggelam dalam lautan perasaan yang campur aduk. Dina masih menunggu, namun aku hanya bisa diam. Pertanyaan itu—tentang kenapa Bu Hera membenciku—adalah pertanyaan yang sama yang berputar-putar di pikiranku, dan aku sendiri pun tak tahu jawabannya. Seharusnya diriku yang membencinya, dirinya menghancurkan hidupku.

Di satu sisi, kutahu dirinya adalah seorang hakim yang hidupnya dipenuhi oleh keputusan-keputusan besar. Tapi di sisi lain, dia adalah seorang ibu yang kehilangan anaknya—dan diriku, mungkin, adalah penyebab dari semua kehancurannya.

"Kenapa aku tidak bisa menjawabnya? Apa yang harus kukatakan? Apakah kebenciannya benar-benar karena aku? Ataukah ada hal lain yang aku belum tahu?" pikirku dalam diam.

Galau yang terus menghantui membuatku sulit bernafas. Tak ada tempat untuk lari, tak ada tempat untuk bersembunyi dari kenyataan yang sekarang menatapku lurus di mata. Kegelapan sel itu seakan menjadi cermin dari jiwaku yang tenggelam dalam ketidakpastian.

"Mengapa ku harus menanggung semua ini? Bagaimana bisa diriku hidup dengan beban ini setiap hari?" batinku terus bertanya tanpa henti.

"This is a big mistake! Is this all just a big misunderstanding? Is it possible to fix everything? how to get out of this nightmare?" pikirku, merasakan kepedihan yang semakin dalam.

Kubayangkan di sel lain, Bu Hera juga bergulat dengan pikirannya sendiri. Mata marah dan penuh kebencian itu kini mungkin mulai merenungkan kembali peristiwa yang terjadi bertahun-tahun lalu, saat ia melihatku—gadis yang pernah dikenalnya di ruang sidang—dan mungkin mulai mempertanyakan apakah semua yang ia yakini selama ini benar.

Waktu berlalu dalam keheningan yang mencekam. Mataku terjaga, terpaku pada langit-langit sel yang gelap. Pikiran-pikiran tentang pertemuanku dengan Bu Hera terus berputar dalam kepalaku.

Ku dengar suara langkah sepatu bot petugas jaga yang sedang patroli dan tiba-tiba sorot lampu senter dan bentaknya menggelegar, memecah keheningan, "Hei, kau! Cepat tidur!"

Suara itu menyentakku kembali ke realitas penjara ini, tapi mataku tetap tak bisa terpejam. Di kejauhan, samar-samar terdengar tawa dan percakapan petugas yang masih berjaga, tawa yang bagi mereka mungkin menjadi pelarian dari kesunyian malam, tapi bagi kami, menjadi pengingat akan perbedaan hidup yang kini kami jalani.

"Mereka tak tahu bagaimana rasanya terperangkap di sini? Mereka tak mengerti kesedihan dan kepedihan yang kami alami setiap hari?"

Diriku berguling di atas ranjang keras tanpa kasur, mencoba mencari kenyamanan, namun ketidakpastian yang membayangi pikiranku membuat tidur terasa mustahil. Di sini, di balik jeruji, waktu berjalan lambat, tapi rasa cemas berlari tanpa henti. Ku tahu besok pagi akan datang terlalu cepat, membawa serta rutinitas penjara yang melelahkan dan tanpa makna.

Hamparan sawah ladang menunggu esok. Tanah lengket yang tak kenal belas kasihan, di mana tubuh kami dipaksa bekerja di bawah terik matahari. Mencangkul tanah hingga kulit terkelupas. Semua itu adalah siklus yang tak berujung, siklus yang terus-menerus mengingatkan bahwa kebebasan adalah mimpi yang mustahil.

kegelisahanku semakin menjadi, terdengar suara petugas di pos jaga bebas tertawa, bebas bicara tanpa beban, sementara kami terjebak dalam lingkaran tanpa harapan, hanya menunggu waktu yang tak pernah berpihak.

"Bagaimana diriku akan bisa bertahan di tempat ini setelah kedatangan Bu Hera? Apakah masih ada harapan untuk masa depanku yang lebih baik?" Diriku memejamkan mata sejenak, mencoba menenggelamkan diriku dalam gelapnya malam. Namun bayangan wajah Bu Hera, marah dan terluka, kembali menghantuiku. Ku tak bisa lari dari masa lalu. Tidak di sini. Tidak sekarang.

Bayangan kelam tentang Bu Hera di masa lalu kembali muncul. Wajahnya, suaranya, semuanya masih jelas di benakku. "Bu Hera, kau buat remuk seluruh hidupku." Hati ini kembali terasa sesak, seolah-olah luka lama yang baru saja mulai sembuh kembali terbuka lebar. "Semoga waktu akan mengilhami, meluluhkan sisi hatimu yang beku," ku berbisik. Mungkin memang, ada bagian dari diriku yang masih berharap, meskipun itu terasa sia-sia. Harapan bahwa waktu bisa mengubah segalanya, bahkan yang terburuk sekalipun. 

"Semoga akan datang keajaiban," ku teruskan dalam hati, mengirimkan doa kecil meski tak ada yang bisa mendengar. "Hingga akhirnya kau pun tahu apa yang sebenarnya terjadi." Mungkin Bu Hera tidak akan pernah mengerti, atau mungkin suatu saat, beliau akan melihat dan merasakan hal yang sama, tapi sekarang, yang kuhadapi adalah diriku sendiri dan apa yang tersisa dari semua yang sudah berlalu.

Ketenangan diri

Malam itu, saat keheningan mencekam, tiba-tiba pikiranku terhenti sejenak, ku tak ingin depresi, ku tak ini mengulang kesalahanku dulu, selalu lari dari kenyataan, mencoba akhiri hidup, semua ini tidak akan bisa ku hindari, ku harus hadapi.

Seperti menemukan secercah cahaya. Ku teringat kata-kata seorang bijak yang pernah ku dengar di penjara ini, jauh sebelum semua ini terjadi. Kata-kata yang seolah datang dari kedalaman jiwa, menggetarkan hatiku.

"Apa yang kau cari di luar dirimu? Apa yang kau harapkan dari dunia yang fana ini? Jalan yang kau tempuh, bukanlah jalan ke luar, tapi jalan ke dalam," ujar suara itu, dalam pikiranku, yang terasa begitu nyata.

Ku terdiam sejenak, merenung. Apa sebenarnya yang dia maksudkan? Aku telah menghabiskan begitu banyak waktu bertanya tentang apa yang akan terjadi di luar sana, tentang kebebasan yang aku rindukan, tentang masa depan yang selalu terasa kabur. Tetapi, benarkah itu yang aku cari? Kebebasan dari penjara fisik ataukah kebebasan dari belenggu pikiranku sendiri?

"Mencari kebebasan di luar diri adalah seperti mencari air di padang pasir," lanjut suara itu. "Air itu ada di dalam hatimu. Coba selami dirimu sendiri, dan kau akan menemukan kedamaian yang sejati."

Kata-kata itu, meskipun datang dari tempat yang jauh, seperti memberi jawaban yang tak pernah terucap. Aku menyadari bahwa selama ini aku terlalu terfokus pada dunia luar, pada apa yang bisa aku capai dengan tubuhku, padahal yang lebih penting adalah apa yang ada di dalam diriku. Kebebasan sejati bukanlah terbebas dari penjara ini, tetapi terbebas dari penjara pikiran yang aku ciptakan sendiri.

Diriku menutup mata dan berusaha merenung. Mungkin benar, pikirku, kebebasan itu tidak selalu tentang melarikan diri dari kenyataan, tetapi tentang menerima kenyataan dan menemukan kedamaian di dalamnya.

"Hidup bukanlah tentang mengubah dunia di luar, tetapi mengubah dunia di dalam dirimu," suara itu berkata lagi, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, diriku merasakan sedikit ketenangan. Seperti ada beban yang sedikit terangkat dari hatiku. Mungkin, hanya mungkin, aku berpikir, jalan keluar dari penjara ini adalah jalan menuju dalam diriku sendiri.

Ku buka mata dan menghadap ke langit-langit sel yang gelap. Hati ini mungkin masih penuh dengan luka, dengan kenangan yang tak terhapuskan, dengan kerinduan yang tak pernah benar-benar pergi. Tapi, untuk pertama kalinya, aku merasa seperti ada sedikit cahaya yang menyusup di antara kegelapan itu.

Langkah demi langkah, ku akan menemukan jalan ini. Langkah demi langkah, menuju kedamaian yang tak tergantung pada apa pun selain diriku sendiri.

Namun, di antara kegelapan dan rasa putus asa itu, terkadang secercah harapan muncul, seperti bintang kecil yang bersinar di langit malam yang pekat. "Mungkin, ada sesuatu yang menunggu di luar sana, sesuatu yang lebih baik dari penjara ini," kataku dalam hati, berusaha meyakinkan diriku sendiri. Meskipun harapan itu terasa rapuh, seolah-olah bisa hancur kapan saja, tetap ada rasa bahwa mungkin suatu hari nanti, kehidupan ini akan menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar keputusasaan ini.

Namun, meskipun begitu, ku berusaha untuk menjaga harapan tetap hidup. Meskipun kecil dan sering kali rapuh, harapan itu adalah satu-satunya yang dapat menahan aku agar tidak tenggelam dalam keputusasaan. "Setiap hari adalah perjuangan," berkata pada diriku sendiri, mencoba menemukan kekuatan di tengah kegelapan yang mengurung. "Dan mungkin suatu hari nanti, ku akan menemukan jawaban dari semua pertanyaan dan doaku ini.

Di sini, dalam ketidakpastian yang terus mengintai, diriku mulai belajar untuk menemukan kekuatan dalam diri sendiri. Meski ruang ini terasa menekan, meski keheningan yang mencekam seakan menelan setiap langkah, aku tahu bahwa ku harus terus berjuang. Bahkan jika itu hanya dengan satu langkah kecil setiap harinya, ku harus terus maju. "Masa depan mungkin tak pasti," pikirku, "tapi ku tahu bahwa ku harus terus berjalan, langkah demi langkah, menuju cahaya harapan yang mungkin masih tersembunyi."

Perjalanan ini memang penuh dengan kebingungan, rasa takut, dan ketidakpastian. Namun, di tengah kegelapan yang seakan tak ada habisnya, aku berusaha menemukan sinar—meski hanya sedikit. Dan mungkin, pada suatu titik, aku akan sampai di tempat di mana segala sesuatu mulai terasa lebih terang. Sampai saat itu, aku akan terus melangkah, berpegang pada harapan yang mungkin tak tampak jelas, tetapi tetap ada di sana, memandu langkahku meski hanya setapak demi setapak.

Esok pagi, rutinitas di sawah ladang akan kami kerjakan, seperti biasa. Tapi malam itu, ku hanya terdiam, terkunci dalam sel secara fisik dan mental, terkurung dalam kenangan masa lalu dan ketidakpastian masa depan. Sementara Dina, meskipun tak mendapat jawaban, tetap berada di sisiku, memberikan kehangatan yang langka di tempat dingin seperti penjara ini.

Semoga Saja Allah Tuhan Yang Maha Kuasa membuka hati Bu Hera dan juga membuka hatiku.

Mimpi Indah

Malam terus berlalu dengan kesunyian yang tebal di blok sel itu, sesekali hanya terganggu oleh suara jangkrik di kejauhan, dengkuran dari beberapa orang yang terlelap dalam keletihan, atau desahan kecil dari seseorang yang tengah mengigau dalam tidurnya. Ada juga momen ketika suara tubuh yang terjatuh dari ranjang terdengar, mengejutkan seisi blok. Nyamuk yang beterbangan pun seolah menyerah, menghentikan upaya kami untuk mengganggu istirahat para perempuan yang teramat lelah, seolah-olah menyadari bahwa lelahnya jiwa kami jauh lebih dalam daripada sekadar tidur yang terganggu.

Namun, meski terpisah dari keluarga, sahabat, dan teman-teman masa lalu, setidaknya di tempat ini kami telah menemukan sesuatu yang menyerupai keluarga. Di antara sesama napi, di tengah kerasnya hidup di pulau penjara ini, kami membentuk ikatan baru—keluarga yang, meskipun terbentuk dari luka dan dosa masa lalu, adalah satu-satunya yang bisa diandalkan.

Pada kenyataanya di sini, mimpi hanyalah mimpi, tak ada ruang untuk dongeng dengan akhir bahagia yang ada hanya harapan kosong bagi sebagian besar dari kami yang menjalani kehidupan keras di lapas ini.

Kenyataan pahit juga selalu hadir, membayang di setiap sudut, mengingatkan bahwa hidup kami di sini telah berubah selamanya. Tak ada suami yang menanti, tak ada anak-anak yang memanggil "Ibu," tak ada rumah untuk kembali. Hanya tahun-tahun panjang yang menanti, di depan. Dan ketika—atau jika—waktu kebebasan itu datang, ketika salah satu dari kami bisa melangkah keluar dari pulau ini, dunia yang ada di sana mungkin bahkan tak lagi mengingat siapa dirinya.

Hingga akhirnya, pada pukul empat pagi, lonceng nyaring memecah kesunyian, diiringi suara ayam jago yang terkaget ikut berkokok, menyambut datangnya pagi. Kicauan burung yang ikut juga membangunkan seluruh penghuni penjara itu, membuyarkan mimpi indah, membuat para napi mulai bergerak. Dengan tubuh yang kaku dan masih setengah mengantuk, mereka menggeliat, meregangkan otot yang pegal dan menggosok mata yang masih berat, bersiap menghadapi hari yang baru. Istirahat semalam yang pendek tak cukup memulihkan tenaga, namun tak ada waktu untuk memikirkan itu. Rutinitas telah menanti, dan siklus yang sama—kerja keras, lapar, dan lelah—kembali menyelimuti kami, memberi satu-satunya harapan untuk kembali ke kasur tipis saat malam tiba.

Namun, di balik semua kelelahan itu, masing-masing dari kami masih menyimpan harapan, cita-cita yang samar-samar, sesuatu yang mungkin terasa terlalu jauh untuk digapai, tetapi cukup untuk menjadi alasan kami bertahan. Setiap pagi, saat lonceng berbunyi untuk kedua kalinya, kami tidak hanya bangkit untuk bekerja. Kami juga bangkit untuk meraih impian yang hampir tak lagi terbayangkan—kebebasan, kedamaian, dan hidup di luar dinding-dinding yang selama ini membatasi langkah kami.