Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 5 - Pengendalian Diri

Chapter 5 - Pengendalian Diri

Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan tak terdugaku dengan Bu Hera, dan selama itu kami tidak saling berbicara. Kami melanjutkan perjalanan masing-masing dalam diam. Masing-masing saling mengamati dengan segala keterbatasan dengan hati-hati. Seolah kami tahu, kata atau tindakan apa pun yang menyimpang dapat memicu percikan konflik yang tidak kami inginkan. Kami berdua memahami taruhannya. Konflik tidak ditolerir di sini, di penjara ini, dengan aturan yang ketat dan tidak kenal ampun, sangatlah berisiko. Pertengkaran fisik diklasifikasikan sebagai pelanggaran berat, dan siapa pun yang tertangkap dapat langsung dijatuhi hukuman sel isolasi—tempat yang tidak ingin kita alami.

Kesendirian adalah hukuman yang diperuntukkan bagi pelanggar paling berbahaya atau bagi mereka yang menentang otoritas di sini. Tempat itu bukan hanya sebuah sel sempit; tempat itu merupakan sebuah sangkar yang dirancang untuk menghilangkan ego terkecil sekalipun dari seorang manusia. Seseorang bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu di sana, sendirian dengan pikirannya dan kesunyian, hanya ditemani oleh pintu besi, hingga menyerah, menerima keadaan, mengikuti aturan. Di situlah dinding-dinding itu seakan menyempit, menutup, dan di mana waktu menjadi tak ada habisnya.

Jadi, meskipun ketegangan, rasa dendam, rasa saling tidak percaya, masih terjadi di antara kami, diriku dan Bu Hera, hingga saat ini kami masih mampu menghindari konfrontasi langsung. Penjara mempunyai cara untuk mengajarkan pengendalian diri, memaksa kita untuk memperhitungkan kata-kata kita, mempertimbangkan risiko dari setiap reaksi. Di sini, keheningan adalah perisai sekaligus strategi.

Meski kegelisahanku tak kunjung hilang. Sebagian diriku menginginkan agar kegelisahan di sekitar Bu Hera ini segera lenyap, dan mencari cara untuk hidup berdampingan tanpa ancaman konfrontasi yang mengintai di balik layar. Diriku terus berkata sendiri bahwa suatu saat ini akan berlalu, waktu akan menumpulkan perselisihan kami. Tapi setiap pandangan sekilas ke arahnya, setiap gerakan halus yang dia lakukan, membuat kewaspadaan ku tetap tinggi.

Mungkin waktu akan menjawab,, pada akhirnya, ketegangan diam-diam ini akan mereda.

Informasi terbatas

Penjara ini bak benteng yang memisahkan kami dari kehidupan di luar sana. Tak ada televisi, radio, atau internet. Telepon hanya tersedia terbatas, dan kontak langsung dengan orang tersayang sangat jarang terjadi. Salah satu jembatan yang menghubungkan kami dengan dunia luar hanyalah setumpuk koran, majalah, dan buku lusuh yang tidak tentu datang setiap bulannya. Namun, keterhubungan itu pun samar-samar — semua yang kami baca setidaknya sudah sebulan bahkan lebih tertinggal, tertunda oleh cuaca yang tak menentu dan kendala logistik kapal pengangkut persediaan.

Koran, majalah dan buku usang memang punya daya magis sendiri bagi kami. Setiap kali datang, kehadirannya disambut bagai harta karun yang langka. Setiap kata terasa begitu berharga, seolah-olah kami membaca potongan-potongan kehidupan di luar sana, meskipun cerita-cerita di dalamnya sudah lama berlalu. Ironisnya, justru kabar-kabar basi ini yang menghadirkan rasa hidup, membawa kami sejenak keluar dari tembok-tembok batu dan jeruji yang membatasi pandangan kami.

Sore itu, para napi baru saja kembali blok hunian, kelelahan menghiasi wajah mereka setelah seharian bekerja keras, sesaat lagi makan malam dan rutinitas sesi berbagi harian segera dilaksanakan. Sore itu sedikit berbeda, sel blok terasa lebih ramai dari biasanya. Sebuah koran usang yang mungkin sudah berpindah tangan entah berapa kali berhasil mencuri perhatian banyak orang. Salah seorang teman sel datang menghampiri, matanya berbinar, sambil menyodorkan koran itu padaku. "Eh, ada berita final Piala Dunia, Prancis lawan Argentina!" katanya penuh semangat sambil menunjuk halaman olahraga. 

Diriku menerima koran itu dan menatap halaman yang sudah kusam. Di luar sana, pertandingan itu mungkin sudah lama selesai, tapi di sini, di balik jeruji, kami tak pernah tahu hasil akhirnya. Diriku membayangkan suasana stadion yang riuh, orang-orang yang berteriak dan bersorak, sesuatu yang terasa sangat jauh dari kehidupan kami yang sunyi. Aku tersenyum kecil dan berkata, "Kira-kira siapa yang menang, ya? Padahal di luar sana semua orang sudah tahu."

Seorang petugas yang ikut mendengarkan lantas bercanda, "Ayo taruhan! Saya pegang Argentina menang!" ucapnya sambil tersenyum iseng. Rupanya dia sudah tahu hasil pertandingan—Argentina menang lewat adu penalti dua minggu lalu. Bagi kami, momen kecil seperti ini menjadi penghubung antara dunia kami yang terbatas dan dunia di luar sana yang terasa tak terjangkau.

Dia tertawa lirih, senyumnya bercampur nostalgia. "Setidaknya kita masih bisa menebak-nebak. Daripada enggak tahu apa-apa."

Di halaman lain, Dina, sahabatku, membaca bagian kriminal dan tiba-tiba wajahnya berubah serius. "Sarah, iki kan Bu Hakim, musuhmu iku yo? Dadi awakmu sing mateni anak'e Bu Hera?"

Diriku langsung kaget, hampir kehilangan kata-kata. "Loh ngawur kon, sopo sing ngomong iku?"

Dina menyodorkan koran itu ke arahku, menunjukkan artikel yang memuat penjelasan tentang Bu Hakim dan kasus-kasus korupsi serta manipulasi hukumnya. "Iki loh, onok beritane nang koran."

Ku Telan ludah, berpikir cepat. "Yo wis, sabar yo, engko ta critani kejadiane sing sebenar'e lek urusanku karo Bu Hera wis beres."

Dina mengangguk, tapi ku tahu dalam hatinya ada segudang pertanyaan yang belum terjawab. Dan dalam hatiku, kegelisahan tumbuh kembali.

Perkelahian

Di sisi lain dari lorong-lorong yang padat di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan kelas 1A Lembah Harapan, ketegangan selalu tampak mengintai di bawah permukaan. Di penjara ini, di mana setiap barang dari luar menjadi sangat berharga meskipun tidak ada hak milik pribadi. Di sisi lain suatu hal kecil, seperti perebutan majalah tua pun bisa memicu konflik.

Sebuah majalah usang—edisi khusus dan penuh warna dari beberapa tahun lalu yang menampilkan artikel dan gambar bintang drama Korea tampan—masuk ke area umum. Majalah itu adalah peninggalan, entah bagaimana masih sangat terawat. Majalah itu penuh dengan wajah-wajah tampan yang familiar: para aktor yang kisahnya telah membawa para pembacanya melampaui tembok penjara, meskipun hanya sebentar.

Dua narapidana perempuan sama-sama mengklaim majalah itu. Seorang narapidana muda dengan temperamen pendek, butuh pengakuan, memiliki cinta yang kuat untuk drama Korea, sering menggunakannya untuk melarikan diri dari kenyataan pahitnya. Kemudian narapidana yang lebih tua dan pendiam, menghargai majalah itu untuk alasan yang berbeda; majalah itu mengingatkannya pada putrinya, yang di masa lalu sebelum terpenjara, selalu bersama menonton drama.

Ketika masing-masing menarik majalah yang rapuh itu, bisikan mereka dengan cepat berubah menjadi teriakan. Napi perempuan lain di ruangan itu melihat dalam diam, mengetahui betapa mudahnya konfrontasi kecil ini bisa berubah menjadi berbahaya. Saat emosi memuncak, dorongan menyebabkan saling dorong, dan tidak lama kemudian, keduanya saling mencakar, tidak peduli dengan peringatan dari para petugas.

"Anjing, beraninya kau, main rebut aja, ku yang menemukannya duluan! Lepaskan!" Suara narapidana senior stabil, meskipun matanya menunjukkan rasa putus asa. Dia merasa majalah tua ini menghubungkannya dengan kehidupan di luar tembok-tembok ini.

"Hei Bu tua, Kau menemukannya, tapi aku yang membutuhkannya! Kamu tahu aku hampir tidak mendapatkan apa pun untuk mengalihkan pikiranku dari tempat ini !" genggaman narapidana muda itu semakin erat, Kecintaannya pada drama bukan hanya soal hiburan—itu adalah pengingat kebebasan, tentang dunia yang sangat ia rindukan.

Narapidana senior hampir menampar junior, "Kurang ajar kau anak muda ! dasar perampok kejam" meskipun dia merasa ragu dan jantungnya berdebar. "Oh, berani melawan, kau Bu tua." sahut napi muda. 

"Anak muda, klo kamu yang membutuhkannya, tolonglah antri, hargai orang lain !" balas napi senior berusaha meredam konflik, dia thu konsekuensi buruk dari perkelahian. 

"Ah bacot, tidak penting !" balas gadis itu. "Kamu merasa paling hebat di sini, mau jadi jagoan ?" Sahut Si senior.

"Mungkin memang begitu!" balas napi muda, suaranya meninggi. "Kau perempuan tua egois, kau bunuh Suamimu karena selingkuh, Kau lupakan anak kau !"

Kata-kata itu menyakiti narapidana yang lebih tua. Wajahnya mengeras saat dia menarik majalah itu dengan kekuatan tak terduga, merobek salah satu halaman. "Jangan berani-beraninya berbicara tentang keluargaku! Kau tidak tahu apa yang telah aku lalui!"

"Kamu pikir aku peduli? Kita semua di sini sama. Kamu bukan orang istimewa!" Suara narapidana muda berubah menjadi geraman, dan tanpa berpikir, dia mendorong bahu narapidana senior, keras.

Narapidana senior terhuyung tetapi berhasil menahan diri. "Apakah ini yang kamu inginkan? Berkelahi untuk selembar kertas?"

"You know, I don't care, kau mundur aja!" balas narapidana muda, mengangkat tinjunya. Perempuan lain di ruangan itu bertukar pandang cemas, tidak yakin apakah harus ikut campur.

Tidak lama kemudian, kedua wanita itu saling dorong, tampar, dan mencakar, masing-masing berniat membuktikan klaimnya. Majalah itu dilupakan, jatuh ke lantai saat mereka bergumul, bertahun-tahun kemarahan dan frustasi yang terpendam mendidih.

Tidak butuh waktu lama bagi perkelahian tangan kosong itu untuk meninggalkan bekas—goresan di lengan, memar muncul saat tangan mendarat di kulit. Beberapa kawan mencoba menghentikan perkelahian itu, tetapi tidak ada yang berhasil, sampai seorang petugas campur tangan, kedua wanita itu akhirnya dipisahkan, masih mendidih, majalah yang compang-camping tergeletak di lantai.

"Cukup! Kalian berdua!" teriak petugas, sambil mengangkat tongkat, yang telah melihat perkelahian mereka dari kejauhan. Dengan sigap petugas jaga itu melangkah di antara mereka, bahunya yang lebar menghalangi jalan mereka.

"Bodoh kalian!" bentaknya dengan penuh amarah. "Kalian ini tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu, hukuman yang kalian terima. Sudah tahu aturan di sini, tapi kenapa masih tidak bisa menahan diri, saling menghancurkan hanya karena sesuatu yang sepele—majalah usang yang sudah rusak!"

Dengan nafas tersengal-sengal, napi muda dan narapidana senior sama-sama berhenti, tiba-tiba sadar diri akan lingkungan, mereka di penjara. Ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang tidak nyaman, semua mata tertuju pada mereka.

Narapidana senior menarik napas gemetar, suaranya nyaris berbisik. "Saya hanya ingin... satu hal, satu hal yang mengingatkanku pada rumah."

Narapidana muda menunduk menatap majalah yang robek, kemarahannya mencair menjadi sesuatu yang mirip dengan penyesalan. "Aku juga, aku hanya... aku tidak tahu. Aku sangat mederita di sini."

Rasa malu, rasa penyesalan menyelimuti, Mereka dipaksa untuk menghadapi kenyataan menyakitkan dari penahanan mereka—bahwa bahkan pelarian singkat melalui sebuah majalah pun layak untuk diperjuangkan. Luka-luka mereka sembuh, tetapi bekas luka dari konflik itu—baik yang terlihat maupun yang tak terlihat—tetap menjadi pengingat betapa rapuhnya kedamaian di dalam tembok-tembok ini.

Mereka berdua berdiri di sana, memar dan babak belur, menyadari betapa rapuhnya pelarian mereka sebenarnya. Majalah itu tergeletak dalam kondisi compang-camping, serpihan-serpihannya berserakan di lantai, mengingatkan betapa mudahnya sesuatu yang begitu kecil bisa memicu badai di dalam tembok-tembok ini.

Tak lama kemudian sambil memasangkan borgol ke tangan mereka berdua, Sipir berujar "Kalian berdua, akan berada di sel isolasi selama tujuh hari untuk merenungi perbuatan kalian. Perkelahian tidak dapat ditoleransi di lapas ini."

Napi Senior mencoba membela diri "Tapi, Bu, dia yang memulai duluan, lagian, kami hanya bertengkar karena majalah itu. Kami tidak bermaksud membuat keributan."

Dengan tatapan tajam Sipir membalas "Tidak ada alasan yang cukup untuk kekerasan. Kalian harus belajar mengendalikan diri. Di sini, setiap tindakan memiliki konsekuensi."

Narapidana Muda menyela dengan wajah kesakitan dan penyesalan "Maafkan saya bu, ku hanya ingin sesuatu untuk mengalihkan pikiranku dari tempat ini. Aku tidak punya banyak hal yang bisa membuatku merasa lebih baik."

Sipir kembali berkata "Saya mengerti, tapi kekerasan bukanlah jawabannya. Kalian harus menemukan cara lain untuk mengatasi perasaan kalian. Selama tujuh hari ke depan, pikirkan tentang bagaimana kalian bisa memperbaiki diri dan hubungan kalian dengan sesama narapidana."

Narapidana Senior akhirnya menerima "Baiklah bu, Kami akan mencoba, Bu. Kami akan mencoba untuk lebih baik."

Narapidana Muda mengikuti "Terima kasih, Bu. Kami akan berusaha."

Sipir dengan suara lembut menasehati "Baiklah, tujuh hari di sel isolasi. Ingat, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Jangan sia-siakan."

Kemudian, para petugas mengawal mereka ke sel isolasi. Setelah insiden itu dan untuk mencegah konflik lainnya, kepala sipir memutuskan bahwa tidak ada lagi bahan bacaan bagi para Narapidana. Tidak ada lagi barang dari luar lapas yang bisa digunakan oleh napi sekalipun tidak ada hak milik pribadi. Sebuah penghubung dengan kehidupan luar terputus, kini kami benar-benar terisolir.

Kedua narapidana digiring menuju sel isolasi, di mana mereka akan menghabiskan tujuh hari untuk merenungi tindakan mereka. Sel yang sempit dan dingin menunggu mereka, menjauhkan mereka dari hiruk-pikuk penjara. 

Diriku pernah merasakan kejamnya sel isolasi, ketika diriku gagal melakukan upaya bunuh diri. Selnya sunyi, gelap, lembab, sempit, terkurung sendirian, makanan sehari sekali, tanpa pakaian ganti, tanpa mandi hanya lubang WC yang bau di sudut sel. Benar-benar tempat untuk merenung dan menyesali perbuatan, asalkan selama di dalam sana, kita tetap bisa menjaga kesadaran dan tidak menjadi gila. 

Dalam sel isolasi yang sepi dan hening, narapidana diharapkan merenungkan tindakan mereka. Mereka diharap menyadari bahwa konflik mereka, yang dipicu oleh sesuatu yang tampak sepele, telah berdampak bagi yang lain, sekaligus mengajarkan mereka tentang pentingnya pengendalian diri dan memahami kebutuhan satu sama lain. Masa isolasi ini menjadi momen refleksi dan introspeksi yang dalam, membuka jalan bagi perubahan sikap dan pemahaman yang lebih baik di antara mereka.

Di seberang sel blok, diriku melihat Bu Hera berdiri di dekat pintu selnya, matanya tertuju pada perkelahian yang terjadi. Bahkan dari kejauhan, tatapannya tajam, mengamati setiap gerakan, setiap teriakan, saat pertarungan semakin meningkat. Beliau tidak menyaksikannya dengan perasaan gembira atau marah, melainkan dengan ketenangan penuh perhitungan, seolah-olah sedang menilai secara mental situasi dan konsekuensi yang akan ditimbulkannya.

Saat penjaga bergegas masuk untuk melerai perkelahian, Bu Hera tidak bergeming atau beranjak dari tempatnya. Seolah-olah beliau telah melihat adegan ini berkali-kali sebelumnya dan tahu persis bagaimana itu akan berakhir. Ekspresinya menunjukkan pemahaman diam-diam tentang apa yang akan terjadi pada mereka yang terlibat—hukuman mereka, isolasi mereka di sel isolasi, hak-hak istimewa kecil yang akan hilang dari mereka. Beliau tahu, sama seperti kita semua, bahwa hukuman ini hanya akan memperdalam kebencian dan frustrasi mereka, sehingga menciptakan sebuah siklus yang sulit untuk dihindari. 

Saat itulah diriku menyadari bahwa sebagai mantan hakim, kesadaran Bu Hera melampaui sekedar pengamatan. Beliau sepenuhnya memahami dampak konflik yang terjadi di dalam penjara. Saat mengamati nya, diriku tiba-tiba merasakan kejelasan: beliau bukan sekadar pengamat pasif. Beliau memahami bagaimana momen seperti ini membentuk realitas kita sehari-hari, bagaimana setiap tindakan, setiap keputusan yang kita ambil di tempat ini dapat memiliki konsekuensi yang bertahan lama.