Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 9 - Putus Asa

Chapter 9 - Putus Asa

Sudut kecil di halaman lapas itu terasa seperti tempat paling sepi di dunia, meski dikelilingi oleh banyak orang. Bu Hera Duduk sendiri di bawah pohon tua yang daunnya jarang memandang ke arah laut, diriku menatapnya diri ke jauhan. Ombak yang pecah di kejauhan seolah mencerminkan jiwanya yang berantakan. Hampir enam bulan beliau di sini di pulau ini, di penjara ini, beliau kesepian, belum bisa terlalu berbaur dengan napi lain.

Bagi beliau waktu berjalan begitu lambat, mungkin terasa seperti satu abad lamanya. Beliau seperti kehilangan arah, kehilangan harapan. Suami dan satu-satu anaknya sudah tiada. Meskipun dirinya terlihat kuat namun rapuh di dalam. Diriku tidak pernah melihatnya menangis. Kutahu perasaan itu, bagaimana caranya menangisi sesuatu ketika hati sudah terlalu penuh dengan rasa sakit? Keluarga? teman? Mereka bahkan tidak pernah menghubunginya. Beliau seolah sudah mati di mata mereka. Napi-napi lain? statusnya sebagai mantan hakim membuat beberapa napi lain memperlakukanku seperti musuh, membully, menertawakan kelemahannya. 

Ya Diriku pernah mengalami masa seperti itu kehilangan ibu tercinta, putus komunikasi dengan keluarga, ejekan napi lain saat mempertahankan diriku tidak bersalah. Keterbatasan keadaan di penjara ini semakin menjadi beban yang tidak bisa lagi ku tahan. Saat itu, pikiranku bertanya-tanya, apakah lebih baik jika diriku mengakhiri semuanya, rasa sakit ini akan hilang?

Kulihat Bu Hera yang sendirian di bawah pohon itu, ku arahkan diriku mendekati beliau.

"Assalamualaikum, Bu Hera," suara ku memecah lamunannya. Beliau terkejut, ku duduk di sampingnya tanpa diundang. Wajahnya kelelahan, kusut tidak lagi terlihat ketenangan, kali ini matanya tampak kosong, seolah tak tahu apa lagi yang bisa dilakukannya di sini.

"Ada apa, Sarah?" tanyanya, terdengar biasa saja. 

Beliau menghela nafas panjang, menatap laut yang sama denganku. "Saya tahu, Sarah. Saya tahu apa yang kamu pikirkan, kamu mencoba meyakinkan saya lagi bahwa kamu tidak bersalah."

Jantungku berdegup lebih kencang. Diriku diam saja, berharap suatu saat beliau akan mengerti, menerima ku. Tapi tentu saja, saat itu beliau masih belum bisa menerima. Kemudian tanpa basa-basi beliau berkata, "Sudah enam bulan saya di sini bukan waktu yang mudah. saya tahu kamu kehilangan banyak. Saya tahu tentang ibumu, saya juga tahu masa depan mu hancur." Diriku sedikit terkejut dengan ucapan yang seolah mengerti tentang apa yang kurasakan, Suaranya pelan, penuh rasa putus asa.

"Saya tahu keluargamu tidak lagi menghubungimu. Dan akhirnya saya tahu bagaimana rasanya itu ketika dunia seolah-olah telah meninggalkanmu sendirian."

Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan. "Apa gunanya, Sarah? Hidup di sini… rasanya seperti mati perlahan. Setiap hari, saya merasa semakin kecil, semakin tidak berarti. Kalau saya memang tidak diterima, kenapa saya harus bertahan berada di sini? Kenapa saya harus kehilangan semuanya? anak, suami, harta, teman, martabatku… bahkan diriku sendiri." Bu Hera tertunduk, memegang tanganku.

Diriku hanya mendengar tak menyela. "Sarah, saya merasa hidup di penjara ini tidak mudah, atau hidup di sini tak adil. Ada kalanya saya berfikir menyerah. Kamu hebat bisa bertahan selama ini di penjara, namun saya tak tahu apakah saya bisa." Diriku merasakan rasa putus asa Bu Hera, yang masih menunduk.

"Tapi tidak ada yang peduli, Sarah…" suaranya pecah. "Tidak ada yang peduli kalau saya pergi. Bahkan keluargaku, temanku sendiri tidak mau tahu keberadaan ku."

Bu Hera menatapku dengan mata layu.

Akhirnya ku tanggapi curahan hati beliau "Saya peduli, Bu. Sarah peduli, setidaknya karena urusan kita belum tuntas, diriku tidak bersalah bu, meskipun diriku tetap terpenjara di sini, saya masih berharap paling tidak ibu percaya padaku."

Mendengar ucapan ku, Air mata Bu Hera semakin deras. "Saya tidak kuat, Saya lelah hidup di sini. Saya hanya… ingin mati rasanya."

"Bu, jangan menyerah," ucapku mencoba menenangkan hatinya. "Karena menyerah tidak akan membebaskanmu dari rasa sakit ini. Saya pernah mengalaminya. Rasa putus asa itu hanya akan mewariskan luka ini kepada mereka yang peduli padamu."

"Siapa lagi yang peduli, Sarah?" balasnya

"Selain saya yang peduli, petugas juga peduli Bu kalau ibu bunuh diri, mereka yang kesusahan." Ujarku, mencoba meyakinkan beliau.

"Saya percaya masih ada suatu keinginan dalam diri Ibu yang belum tuntas—sebuah kekuatan yang bahkan Ibu sendiri belum menyadarinya. Ku yakini Ibu bisa bertahan, sudah enam bulan ibu di sini dan masih bertahan, meski Ibu merasa sendirian. Itu bukti bahwa Ibu lebih kuat dari yang dipikir." Ujarku lagi, mencoba semakin meyakinkan beliau.

Beliau memegang bahuku, kali ini lebih erat. "Bu Hera, mati rasa bukan berarti ibu lemah. Itu hanya cara tubuhmu bertahan. Tapi dengarkan saya, Bu. Rasa sakit ini bukan hukuman, melainkan ujian. ku tahu itu terdengar klise, tapi saya berbicara dari pengalaman. saya juga pernah berada di posisi seperti Ibu, di mana aku merasa tidak ada alasan untuk terus hidup. bakan sempat berupaya bunuh diri, Tapi syukur nya upayaku gagal, kemudian saya memutuskan untuk bertahan, dan saya tidak pernah menyesalinya."

Bu Hera menatapku, mencoba mencari kebohongan di mataku, tapi yang kukatakan hanyalah kejujuran.

"Lalu apa yang harus saya lakukan, Sarah? Saya tidak tahu lagi harus bagaimana."

Diriku tersenyum kecil. "Pertama, tolong berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jangan menyalahkan orang lain. Jangan biarkan tempat ini, atau orang-orang di sini, membuatmu percaya bahwa hidupmu tidak berarti. Lalu, nanti saya bantu ibu untuk temukan kawan, sahabat atau sesuatu untuk diperjuangkan, entah itu kecil atau besar. Ibu sudah bertahan sejauh ini. Jangan biarkan rasa putus asa mengalahkanmu."

Beliau terdiam, membiarkan kata-kataku meresap. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, diriku merasa ada seseorang yang benar-benar bisa kubantu, seseorang yang tidak akan kubiarkan jatuh meskipun beliau sebenarnya yang menghancurkan ku dan sampai saat itu belum bisa menerimaku.

"Terima kasih, Sarah," bisiknya. 

Kemudian petugas menghampiri kami " hei kalian kenapa duduk saja di situ, cepat kembali kerja" realitas penjara kembali menyapa kami.

Bu Hera yang sudah terlihat membaik tersenyum, lalu berdiri. "Jangan lupa, Sarah. bantu saya di sini. Kita akan melaluinya bersama."

Beliau berjalan pergi kembali ke panasnya ladang, Mungkin, hari ini, diriku mencoba membantu Bu Hera, untuk menemukan alasan untuk terus bertahan.

Suicide Attempt

Keputus asaan Bu Hera membuat ku mengingat kembali saat kelam itu. Dua tahun pertama hidupku di penjara sangat menghancurkan, setiap hari terasa seperti hukuman batin yang tak tertahankan. Tekanan dan rasa putus asa menumpuk hingga di titik aku merasa seperti tak ada jalan keluar. Pekerjaan di ladang di bawah matahari terik begitu berat, membuat tubuh dan pikiranku lelah. Kabar meninggalnya ibuku, satu-satunya sosok yang selalu mendukungku, menghancurkan sisa-sisa kekuatan yang masih kutahan.

Pikiran untuk mengakhiri hidup kerap datang, dan suatu siang, aku berusaha mewujudkannya.

Saat istirahat makan siang, tanpa sadar aku berjalan ke arah pantai. Lautan luas terbentang di depanku, tampak begitu tenang namun juga dalam dan gelap. Suara ombak yang menghantam pantai seperti memanggil, menawarkan kelegaan yang sangat kurindukan. Rasanya seperti panggilan terakhir—aku melangkah, kemudian berlari, masuk ke dalam air, membiarkan dinginnya menarik tubuhku ke dalam. Rasanya seperti kebebasan, satu-satunya jalan keluar. Aku berharap rasa sakit ini segera berakhir di sana.

Namun sebelum ombak sempat menenggelamkanku sepenuhnya, dua petugas lelaki melihat aksiku. Mereka segera berlari ke dalam air, menarikku kembali ke tepi pantai. Dengan tubuh gemetar dan lemah, aku hanya bisa terbaring di pasir, masih terbatuk-batuk mengeluarkan air asin dari paru-paruku.

Salah satu petugas berdiri di dekatku, wajahnya penuh kekecewaan. Ia menggelengkan kepala, tangannya di pinggul, seolah tak percaya dengan apa yang kulakukan. "Kau pikir bisa lari dari semua ini dengan cara itu?" katanya dengan nada yang kasar, namun terdengar ada nada prihatin yang terselip di sana. "Hidupmu sudah hancur di luar sana, sampai kau dijatuhi hukuman seumur hidup. Sekarang apa? Kau mau mengakhirinya begitu saja?"

Diriku mengalihkan pandangan, tak sanggup menatapnya. Air mata bercampur dengan sisa air laut di wajahku, sementara petugas itu terus berbicara, seolah berusaha membuatku mengerti sesuatu yang belum bisa kumengerti saat itu.

"Apakah kau percaya pada surga dan neraka?" ia bertanya tiba-tiba. "Jika kau menyerah seperti ini, apa yang kau pikir akan kau temukan di sana? Hanya penjara lain—penjara yang abadi, tanpa harapan keluar."

Perkataan itu terasa tajam, menyusup jauh ke dalam perasaanku yang sudah begitu rapuh. Napasku terengah-engah, sementara suasana di sekitar seolah berhenti sejenak, hanya suara ombak dan napasku yang terputus-putus mengisi udara.

Di saat itu, seorang narapidana senior mendekat, berjongkok di sampingku. Suaranya pelan, penuh kelembutan, tetapi juga penuh ketegasan. "Dengarkan aku," katanya. "Kau bukan orang pertama yang merasa putus asa di sini. Tapi ini bukan akhir, mengerti? Di sini, kita semua mencoba bertahan. Kalau kau memilih menyerah sekarang, kau tak akan pernah tahu apa yang mungkin terjadi selanjutnya."

Narapidana lainnya yang juga menyaksikan mendekat dan ikut berbicara dengan lembut. "Kamu harus menerima kenyataan. Menerima apa yang sudah terjadi dan apa yang membawamu ke sini. Sulit, kami tahu, tapi ini bukan kebetulan. Ini mungkin bagian dari rencana Tuhan untukmu. Kau diuji, seperti kita semua. Setiap hari adalah ujian, dan kalau kau bertahan, kau akan lebih kuat."

Ku terdiam, menatap wajah-wajah mereka yang menyimpan begitu banyak pengalaman dan luka. Wajah-wajah yang menyimpan ketegaran yang telah mereka bangun di balik semua kesulitan hidup di penjara itu. Mereka tahu betul apa yang kurasakan, dan entah bagaimana, kata-kata mereka perlahan-lahan mulai meresap.

"Kau pikir kau satu-satunya yang merasa hancur?" tanya narapidana senior itu. "Kita semua merasakan hal yang sama. Tapi kalau kita semua menyerah, tidak ada yang akan bertahan. Kau harus kuat, kau akan menemukan kedamaian itu nanti, tapi bukan dengan lari atau menyerah. Mulailah dengan menerima dirimu dan menemukan kekuatanmu."

Petugas yang tadi membentakku kini hanya mengangguk, mendukung perkataan narapidana itu dengan ekspresi serius. "Kehidupan di sini memang tidak mudah, tetapi ini adalah kehidupanmu sekarang. Jadikan ini sesuatu yang berarti, atau kau akan kehilangan segalanya. Jangan sia-siakan lagi kesempatan ini."

Ku terbaring di pasir, merasakan setiap butirnya menempel pada kulitku, seolah mengingatkanku akan kesakitan yang kutanggung. Petugas dan narapidana yang mengelilingiku memberikan perhatian yang tak kuharapkan, tetapi di saat yang sama, mereka juga membangkitkan ketidakberdayaan dalam diriku.

Dadaku sesak, bukan hanya karena rasa takut, tapi juga karena malu. Mereka benar—Diriku belum sepenuhnya memahami alasan di balik semua ini, tapi untuk pertama kalinya, ada secercah harapan yang perlahan tumbuh di dalam diriku.

Sehari berlalu di tengah kesunyian yang menyelimutiku di sel isolasi Petugas mendatangiku, "Kenapa kamu ingin mengakhiri hidupmu, Sarah?" tanya petugas yang sebelumnya memperingatkanku, suaranya kini lebih lembut, meski tetap tegas. "Apa yang kamu rasakan sampai membuatmu merasa tak ada jalan keluar?"

Diriku terdiam, memikirkan setiap kata. "Rasa sakitnya… kehilangan Ibu dan semua yang aku cintai. Di sini, hidup terasa hampa. Rasanya seperti terkurung dalam kegelapan tanpa harapan. Setiap hari seperti itu saja, dan aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan."

"Nah, inilah masalahnya," jawab petugas itu. "Kamu sudah terkurung secara fisik, tetapi kamu tidak perlu terkurung secara mental. Kamu bisa memilih bagaimana kamu ingin menghabiskan waktu di sini. Ini adalah kesempatanmu untuk belajar tentang dirimu sendiri. Untuk menemukan kekuatan yang mungkin belum kamu sadari."

Narapidana senior itu menambahkan, "Hidup kita tidak ditentukan oleh apa yang terjadi pada kita, tetapi bagaimana kita meresponsnya. Ada kekuatan dalam dirimu, dan itu bisa muncul saat kamu paling membutuhkannya. Aku pernah berada di titik terendahku, dan aku memilih untuk melawan. Kamu juga bisa."

Kata-kata mereka seolah membangkitkan semangat yang selama ini terpendam. Dalam benakku, aku mulai merenungkan kembali keputusanku untuk mengakhiri hidup. "Tapi aku tidak tahu bagaimana cara bertahan," aku mengakui, suara ku bergetar. "Rasa sakit ini terlalu berat."

Petugas itu membalas, "Berbicara tentang rasa sakit adalah langkah pertama. Kamu tidak sendirian. Banyak dari kita di sini yang juga merasakan hal yang sama. Menghadapi ketakutan dan kesedihan kita bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda keberanian."

Narapidana lain yang mengelilingiku mengangguk. "Kamu bisa berbagi ceritamu dengan kami, atau dengan petugas konseling. Mereka di sini untuk membantu. Kamu tidak perlu merasa malu untuk meminta bantuan. Kita semua memiliki momen-momen gelap dalam hidup kita. Penting untuk menemukan cara untuk keluar dari sana."

Dengan perlahan, aku mulai merasa seolah ada harapan yang tersisa, sekecil apapun itu. "Tapi bagaimana jika aku gagal lagi? Bagaimana jika aku tidak bisa bertahan?" tanyaku, merasakan keraguan menghantui.

Petugas itu tersenyum. "Kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Setiap kali kamu jatuh, kamu belajar untuk bangkit lagi. Hidup adalah tentang perjalanan, bukan hanya tujuan akhir. Cobalah untuk memberi dirimu kesempatan untuk merasakan hal-hal positif."

Narapidana senior itu menambahkannya dengan serius, "Dan jika kamu merasa terpuruk, ingatlah bahwa kamu memiliki kita di sini. Kami akan saling mendukung, dan ketika kamu merasa lemah, kami akan mengingatkanmu untuk bangkit. Tidak ada salahnya untuk merasa sakit, tetapi jangan biarkan rasa sakit itu mendefinisikan siapa dirimu."

Diriku terdiam, membiarkan setiap kata mereka meresap ke dalam hatiku. Untuk pertama kalinya, aku merasakan bahwa harapan itu bisa jadi nyata. Mungkin aku bisa mulai mengambil langkah kecil menuju penyembuhan, bukannya menyerah pada kegelapan.

"Terima kasih," kataku, suaraku kini lebih tenang. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku akan mencoba. Mungkin aku akan mulai dengan bercerita, meskipun rasanya berat."

Petugas itu mengangguk, senyum bangga tersungging di wajahnya. "Itu adalah langkah yang baik, Sarah. Ingatlah, kami semua di sini untukmu. Kamu tidak sendirian dalam perjalanan ini."

Saat kami semua saling bertukar pandangan, aku merasakan ikatan baru terbentuk di antara kami, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa sedikit lebih kuat. Mungkin hidupku di penjara ini tidak akan menjadi akhir, tetapi awal dari perjalanan baru untuk memahami diri dan menemukan kembali harapan yang hilang.

Sejak hari itu, realitas hidupku di penjara memang tidak berubah, tetapi pemahamanku berubah sedikit demi sedikit. Diriku mulai melihat bahwa bertahan hidup di sana bukan hanya soal menjalani kerja keras atau mematuhi aturan.

Diriku mulai belajar bahwa hidup adalah tentang menemukan alasan untuk tetap maju, meskipun di saat-saat tergelap sekalipun. Kekuatan itu muncul dalam bentuk-bentuk yang tak kusangka—dalam dukungan mereka, dalam ikatan yang terbentuk di antara para narapidana, dalam keyakinan bahwa suatu hari aku akan menemukan kedamaian, yang tak pernah kudapatkan jika aku terus berlari.