Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 12 - Mengerti Memahami Memaafkan

Chapter 12 - Mengerti Memahami Memaafkan

Minggu Pagi yang Berbeda

Minggu pagi ini, seperti biasa, matahari bersinar terik, menyentuh kulit dengan sinar panas yang membuat udara terasa semakin pekat dan lengket. Setelah apel pagi, aku berjalan pelan menuju halaman, masih terbawa pikiran tentang apa yang baru saja terjadi. Dalam minggu-minggu terakhir, suatu perasaan optimis yang belum pernah datang sebelumnya mulai menghampiriku. Ada harapan baru yang tumbuh, meskipun hanya seberkas cahaya kecil di ujung terowongan gelap ini. 

Tapi, tetap saja, harapan itu ada. Setidaknya untuk saat ini. 

"Mbak Sarah, awakmu eroh gak? Onok program anyar nang kene," kata Dina, teman sel yang duduk di sampingku, sambil mencibirkan bibirnya. 

Aku menoleh padanya, mengernyitkan dahi. "Program opo maneh iku?" jawabku, masih sedikit bingung dengan kata-kata yang baru saja dia ucapkan.

"Pelatihan bela diri silat. Kabeh kudu melu, jarene gawe ngatasi bullying antar awak dewe, ben awak dewe tambah kuat, iso nglawan lek onok sing nyerang," jawab Dina dengan nada sinis, seolah tidak percaya dengan kebijakan baru ini. 

Ku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. "Bela diri ?" Diriku mengernyitkan dahi lebih dalam. "Ide opo maneh iku, iso berhasil ta?" pikirku. Diriku tahu betul bagaimana keadaan di sini—di mana yang lemah akan selalu jadi korban. Dulu, diriku sering melihat orang-orang yang lebih kuat menyalahgunakan kekuasaan mereka, menghancurkan yang tak bisa melawan. Bahkan diriku sendiri saat awal-awal menghuni pulau penjara ini pernah menjadi korban dari permainan itu, yang lemah ditindas, dipermainkan, di bully oleh yang kuat, suatu hukum alam tanpa norma. 

"Koyok'e usaha sio-sio. Tapi ga opo-opo dicoba, ga onok salah'e juga," balasku setengah bercanda, meskipun di dalam hatiku, rasa ragu masih menggelayuti. Ada sedikit tanya besar di dalam pikiranku. Apakah ini bisa berhasil? Tapi aku tahu, tidak ada salahnya mencoba.

Pagi itu juga, diriku berdiri di tengah halaman penjara, mengikuti instruksi dari petugas yang juga bertindak sebagai pelatih bela diri. Pencak silat, yang sudah tak asing lagi bagiku karena pernah ku pelajari di masa lalu, kini terasa berbeda. Ada ketegangan dalam gerakan-gerakan yang kami lakukan. Setiap langkah, setiap tendangan, dan setiap pukulan seakan membawa beban yang lebih berat dari sekadar latihan fisik. Tapi meskipun aku hampir tidak percaya dengan ide ini, ada sesuatu dalam diriku yang merasa tertarik. Ini mungkin cara yang tepat untuk melawan—bukan hanya untuk melawan yang lainnya, tapi juga untuk melawan ketakutan yang selama ini menghantui diriku.

---

Latihan Bela Diri yang Melelahkan

Minggu pagi itu, sinar matahari menyengat tanpa ampun, menelusup ke setiap sudut pulau penjara yang terisolasi. Udara terasa panas dan lengket, dipenuhi bau keringat dari para narapidana yang tengah berlatih silat. Mereka bergerak dengan keras, masing-masing dengan wajah penuh tekad, sementara petugas penjara yang juga bertindak sebagai pelatih berdiri di samping, mengawasi setiap gerakan kami dengan tatapan penuh perhatian.

Ini adalah eksperimen baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebuah langkah radikal yang diambil oleh pihak berwenang untuk menghentikan kekerasan yang telah lama menggerogoti penjara ini. Sebagai bentuk upaya mengatasi penindasan antar narapidana, di mana yang lemah selalu menjadi korban dari yang kuat, mereka mencoba mengganti metode pengawasan lama dengan sesuatu yang lebih terstruktur—yaitu, seni bela diri, memperkuat napi lemah. 

Setiap narapidana warga binaan pemasyarakatan, tanpa terkecuali, diwajibkan mengikuti pelatihan bela diri. Dari pencak silat hingga taekwondo, dari tinju hingga jujitsu, semua disiplin ilmu bela diri dipelajari dengan tujuan yang jelas: menjadikan setiap penghuni penjara memiliki kemampuan fisik yang setara. Dengan harapan besar, diharapkan tidak ada lagi yang berani menindas, dan para pelaku kekerasan pun harus berhadapan dengan lawan yang bisa menandingi mereka.

Awalnya, tentu saja, tak semua orang menerima gagasan ini dengan lapang dada. Beberapa narapidana bahkan mencemooh program ini. Mereka melihatnya sebagai kebijakan yang konyol, sebuah bentuk hiburan bagi petugas penjara yang hanya ingin memantau mereka lebih ketat. Sementara itu, sebagian lainnya, terutama mereka yang lebih kuat, merasa terancam. Mereka sudah terbiasa menjadi penguasa tak tertantang di pulau ini, dan latihan bela diri hanya akan meruntuhkan dominasi mereka.

Namun, mungkin seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan, mulai akan muncul perubahan. Para narapidana yang awalnya sinis dan meremehkan program ini, akan mulai merasakan dampaknya. Pelatihan yang melelahkan dan penuh tantangan fisik itu membuat kami semua menyadari bahwa bukan hanya tubuh yang harus dilatih, tetapi juga pikiran dan hati. Disiplin, kesabaran, dan pengendalian diri mulai menjadi pelajaran penting yang kami terima.

Para instruktur, yang sebagian besar adalah petugas penjara dengan latar belakang seni bela diri yang solid, mendorong kami hingga batas kemampuan. Tidak ada kata "lemah" di sini. Setiap orang dipaksa untuk mengatasi ketakutan mereka, mengatasi kelemahan tubuh, dan menemukan kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka. Diriku, yang semula ragu, kini merasa ada sesuatu yang mulai berubah.

---

Persahabatan dalam Kesulitan

Tantangan-tantangan itu tidak datang dengan mudah. Rasa sakit, kelelahan, dan frustrasi sering kali menguji mental kami semua. Namun, melalui perjuangan itu, kami mulai membentuk ikatan yang kuat. Kami yang dulu berselisih karena kejahatan yang kami lakukan di luar sana, kini menemukan persamaan dalam perjuangan kami di sini. Di atas matras latihan, kami bukan lagi seorang pembunuh, seorang pencuri, atau seorang penipu. Kami adalah rekan, sesama pejuang yang berusaha menguasai tubuh kami, dan dalam banyak hal, menguasai hidup kami.

Latihan-latihan fisik yang melelahkan membawa kami keluar dari rutinitas harian yang penuh kebencian dan kekerasan. Kami belajar untuk tidak hanya bertarung dengan tangan, tetapi juga dengan hati kami. Kami menemukan bahwa kekuatan sejati bukan hanya berasal dari otot-otot tubuh, tetapi juga dari ketenangan pikiran dan kekuatan untuk mengendalikan diri.

---

Dominasi yang Mulai Pudar

Perubahan ini tidak hanya terjadi di dalam kelas latihan. Di luar, di halaman penjara yang terbuka, suasana pun mulai berbeda. Mereka yang dulunya merupakan penguasa tak terbantahkan di pulau ini kini harus menghadapi lawan yang sejajar dengan mereka. Mereka yang dulunya menindas kini harus berbagi ruang dengan kami yang lebih berani, lebih kuat, dan lebih terampil.

Kekerasan tidak serta-merta menghilang. Masih ada perkelahian sesekali, masih ada ketegangan yang tersembunyi di bawah permukaan. Namun, ada perbedaan yang jelas. Perasaan takut yang dulunya menghantui kami, kini mulai digantikan dengan rasa hormat yang baru. Rasa hormat yang datang dari kesadaran bahwa siapa pun bisa tumbuh, siapa pun bisa kuat, siapa pun bisa belajar untuk menjadi lebih baik.

---

Transformasi Perlahan

Penjara pulau yang dulu dikenal sebagai tempat yang penuh kekerasan dan keputusasaan kini mulai berubah. Tidak ada perubahan yang bisa terjadi dalam semalam, dan proses ini masih jauh dari selesai. Namun, yang pasti adalah bahwa benih-benih perubahan telah ditabur, dan meskipun perjalanan ini panjang dan penuh tantangan, langkah-langkah kecil menuju kedamaian dan pemulihan telah dimulai.

Pelatihan bela diri yang semula hanya dianggap sebagai cara untuk mengatasi kekerasan, kini lebih dari sekadar itu. Ini telah menjadi cara bagi kami untuk menebus dosa-dosa kami, untuk menebus diri kami sendiri. Setiap gerakan, setiap pukulan, dan setiap tendangan adalah langkah menuju pengendalian diri, menuju pemahaman yang lebih dalam tentang siapa kami dan apa yang telah kami lakukan.

Setiap minggu yang berlalu membawa kami lebih dekat kepada diri kami yang lebih baik. Dan meskipun kami tidak tahu apa yang akan terjadi setelah kami meninggalkan penjara ini, satu hal yang pasti: kami akan keluar bukan hanya dengan tubuh yang lebih kuat, tetapi juga dengan jiwa yang lebih kuat, lebih siap untuk menghadapi dunia luar dengan cara yang berbeda.

Sementara itu, bagi mereka yang tidak percaya bahwa perubahan bisa terjadi, yang masih melihat diri mereka sebagai korban atau pelaku, mereka akan segera menyadari bahwa pulau ini bukan lagi tempat yang bisa mereka kuasai begitu saja. Setiap hari di sini mengajarkan kami bahwa kekuatan sejati bukanlah tentang menindas, melainkan tentang mengangkat diri sendiri dan orang lain. Jika dulu penjara ini adalah tempat yang mengikis harapan, kini ia menjadi tempat di mana harapan itu tumbuh kembali—dalam setiap pukulan, dalam setiap latihannya, dalam setiap langkah ke depan.

Dan bagi kami yang telah berjuang dengan keras

-----------

Perlahan-lahan, kami mulai saling mengerti dan memaafkan

Waktu berjalan lambat, enam bulan sudah sejak pertemuan pertama kami. Kami semakin saling memahami, rasa sakit yang perlahan kami kenali dan terima. Perlahan-lahan, kami mulai saling mengerti dan memaafkan, meskipun tanpa kata. Dalam dinginnya kehidupan penjara ini, aku mulai melihatnya sebagai sosok ibu, seseorang yang tak pernah diriku miliki selama dua belas tahun ini. Dia, di sisi lain, tampaknya mulai menganggapku sebagai anaknya. Ada harapan yang muncul dari balik penyesalan di matanya, harapan yang tak pernah kurasakan dari orang lain di sini.

Di sisi lain, kutahu beliau masih memiliki naluri seorang hakim yang terlatih dari bertahun-tahun di ruang sidang, beliau mulai mengagumi keyakinanku. diriku bisa merasakannya. Bagiku, kebenaran itu masih teguh berdiri di dalam hati. Ku tak bersalah, diriku tidak bersalah.

Ketika tragedi itu terjadi, diriku baru delapan belas tahun, masih sangat muda, polos. Dua belas tahun berlalu, dan semua upaya telah ku coba, banding, kasasi serta permohonan grasi pertamaku, semua telah ditolak. Sekarang usiaku sudah hampir melampaui tiga puluh tahun, tapi kuyakini masih ada masa depan, yang penuh dengan impian dan harapan, meski cita-cita dan impian terdahulu itu sudah lama kandas di penjara ini.

Setelah latihan bela diri yang melelahkan, yang berat, ku duduk di sudut lapas, di atas tikar tipis yang sudah mulai usang, memandang Bu Hera yang duduk di sudut lainnya. Wajahnya terlihat jauh lebih lembut sekarang, meski guratan kesedihan tak pernah benar-benar hilang dari sorot matanya.

Enam bulan berlalu sejak pertama kali kami berbagi ruang ini, dan meski kami jarang berbicara, kehadirannya menjadi sesuatu yang menenangkan. Tak pernah kubayangkan, bahwa di penjara ini aku akan menemukan sosok yang secara tak terduga mulai mengisi ruang kosong dalam hatiku, ruang yang tak pernah kutemukan sejak ibu pergi.

Di pulau penjara ini, dengan iklim tropis yang panas dan lembap, rambut panjang menjadi beban tersendiri. Berusaha mencairkan suasana dan mencoba lebih akrab dengannya, aku menawarkan bantuan untuk memotong rambutnya. Aku sudah cukup mahir menata dan memotong rambut selama bertahun-tahun di sini; keahlian yang kupelajari untuk menambah sedikit kenyamanan di tempat yang keras ini.

Bu Hera mengiyakan tawaranku dengan anggukan pelan, dan aku pun meminta izin kepada petugas untuk meminjam gunting. Di penjara ini, gunting termasuk benda terlarang, hanya bisa digunakan dengan izin dan pengawasan ketat. Setelah petugas mengawasi dan menyerahkan gunting kepadaku, kami duduk di bawah pohon rindang di sudut halaman penjara. Angin hangat berembus, membuat dedaunan di atas kami berdesir lembut, sementara aku mulai memangkas rambut Bu Hera dengan hati-hati.

Saat rambutnya jatuh perlahan, percakapan kami mengalir lebih dalam dari yang pernah kubayangkan.

"Kau ingat, Sarah?" katanya tiba-tiba, suaranya nyaris tenggelam dalam angin. "Saat pertama kali kau di persidangan. Saat itu aku hanya tahu satu hal: kau harus dihukum. Hati ini sudah tertutup untuk mendengarkan apa pun darimu." Ada nada getir dalam suaranya, dan untuk pertama kalinya, aku melihat kilatan penyesalan di matanya.

Aku menghela napas, berusaha menahan emosi yang selama ini terkubur. "Saya ingat, Bu. Kata-kata Ibu waktu itu menghantui saya selama bertahun-tahun." Aku berhenti sejenak, menenangkan diri, lalu melanjutkan, "Tapi Ibu juga harus tahu… saya tidak pernah bermaksud mencelakakan Doni. Saya juga kehilangan dia."

Ada hening panjang di antara kami. Aku merasa Bu Hera mulai meresapi kata-kataku, walau ia masih memandang ke arah dedaunan di depannya, menghindari tatapanku.

Setelah beberapa saat, ia berbisik, "Saat itu, saya buta oleh rasa sakit. Saya merasa kalau… kalau ada yang harus disalahkan, mungkin rasa hancur saya akan berkurang. Saya hanya ingin kau merasakan sakit yang sama."

Perkataannya membuatku tertegun. Rasanya aneh, mendengar pengakuan dari seseorang yang dulu begitu keras dan tak terjangkau. Perlahan, aku kembali memangkas ujung-ujung rambutnya yang tak rapi, mencoba memahami luka di balik semua kebencian itu.

"Ibu kehilangan putra tunggal, saya paham," kataku pelan. "Tapi mungkin kalau kita bisa bicara seperti ini dulu, segalanya akan berbeda."

Bu Hera terdiam, lalu akhirnya menoleh padaku dengan tatapan yang jauh lebih lembut daripada sebelumnya. "Mungkin benar, Sarah. Tapi sekarang… apa lagi yang bisa kita lakukan? Kita di sini, dengan sisa hidup yang hanya menunggu habis."

Kami melanjutkan percakapan itu, berdua saling mengakui luka dan penyesalan yang menghantui. Di bawah pohon rindang itu, aku menyadari bahwa dinding kebencian yang dulu memisahkan kami mulai runtuh perlahan, menyisakan ruang bagi kami untuk memahami rasa sakit satu sama lain.

Bu Hera menatapku sejenak, seolah bisa membaca pikiranku. "Kamu masih yakin, ya… bahwa kamu tidak bersalah?"

Diriku menatapnya balik, mencoba menelaah apa yang tersembunyi di balik pertanyaannya. "Iya, Bu… aku tidak pernah membunuh Doni tidak ada niat sedikit pun untuk menyakitinya. Setiap hari, keyakinan itu terus ada, bahkan ketika orang lain menyangsikannya. Itu satu-satunya yang kupegang, yang membuatku tetap kuat selama ini."

Bu Hera mengangguk pelan, matanya menunjukkan pemahaman yang mendalam. "Saya tahu, Nak Sarah… rasanya memang sulit sekali. Selama ini saya juga hidup dalam bayang-bayang kebencian, menaruh kesalahan sepenuhnya padamu. Mungkin karena rasa sakit kehilangan, yang mendorongku untuk mencari orang yang bisa kusalahkan. Tapi di sini… di balik tembok ini, saya jadi banyak berpikir. Mungkin kesalahan bukan sepenuhnya pada orang lain… mungkin juga pada caraku sebagai orang tua…"

Diriku terdiam, merasakan kegetiran yang mendalam dalam suaranya. Mungkin, ini pertama kalinya diriku benar-benar mendengar suara hati Bu Hera, bukan hakim yang dulu mengadiliku atau seorang ibu yang kehilangan putranya.

"Bu, mungkin kita sama-sama terluka… sama-sama terjebak dalam perasaan bersalah, entah pada diri sendiri atau pada orang lain," ucapku, mencoba menggali kedalaman perasaanku sendiri. "Kadang aku merasa… seandainya waktu bisa diputar, mungkin semuanya akan berbeda."

Bu Hera tersenyum kecil, senyuman yang samar namun penuh harapan. "Sarah, aku… aku dulu selalu berpikir bahwa ketegasan dan kedisiplinan adalah yang terbaik untuk Doni. Tapi mungkin saya terlalu keras. Mungkin dia hanya butuh seseorang yang lebih mendengar, seseorang yang lebih menerima… bukan sekadar seorang ibu yang selalu menuntutnya untuk sempurna."

Diriku mengangguk, mencoba memahami perspektifnya. "Diriku pun kadang bertanya-tanya, Bu… apakah ada yang bisa kulakukan untuk menyelamatkannya. Tapi pada akhirnya, kita hanya manusia biasa, bukan? Ada batas untuk apa yang bisa kita lakukan."

Keheningan kembali mengisi ruang di antara kami, namun kini bukan keheningan yang menegangkan. Rasanya justru damai, seakan beban bertahun-tahun mulai terangkat sedikit demi sedikit.

Bu Hera memandangku lagi, kali ini matanya lebih hangat, lebih bersahabat. "Sarah, mungkin kita di sini untuk menemukan sesuatu. Bukan hanya hukuman, tapi kesempatan untuk berdamai dengan diri sendiri. Ku ingin kamu tahu… saya tak lagi memandangmu dengan kebencian."

Diriku tak mampu membalas kata-katanya, hanya bisa mengangguk dengan mata yang mulai memanas. "Terima kasih, Bu… untuk semuanya. Mungkin aku tak akan pernah bisa mengubah pandangan semua orang, tapi setidaknya… bisa berdamai dengan diri sendiri dan dengan orang lain di sini, itu sudah lebih dari cukup."

Bu Hera mengulurkan tangan, dan aku menyambutnya, seakan merasakan hangat yang sudah lama hilang dari hidupku. Dalam keheningan malam itu, kami akhirnya menemukan kedamaian, dalam bentuk saling menerima dan memaafkan.

Di dalam hati, aku berjanji pada diriku sendiri: "Hari ini, berdamailah, Sarah. Semua akan baik-baik saja." Buat pertama kalinya, aku merasa ada harapan—bahkan dalam tempat yang terasa sehitam ini.

Bagiku, kebenaran akan ketidakbersalahanku tetap satu-satunya hal yang kupunya, satu-satunya yang kupertahankan. Meski secara hukum negara diriku terpidana yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, yang harusnya mengakui kesalahan, menyesal, dan bertobat.

Masih tiga tahun lagi sebelum ku bisa mengajukan grasi lagi, setelah grasi terdahulu ditolak menganggapku tidak menerima vonis, kurang penyesalan. permohonan grasi berikutnya merupakan kesempatan yang mungkin jadi satu-satunya jalan menuju kebebasan, mungkin juga upaya terakhirku sebelum menyerah, menerima jalan hidupku mati di pulau ini yang tidak akan kusesali.

Bu Hera menatapku dalam, dan dalam pandangan itu aku melihat sosok seorang ibu yang terluka. "Mungkin aku tidak akan pernah benar-benar tahu apa yang terjadi antara kau dan Doni," katanya. "Tapi… jika memang kau tak bersalah, aku harap suatu saat ada keadilan yang berpihak padamu."

Diriku mengangguk, berusaha menahan air mata yang mulai memenuhi pelupuk mata. "Terima kasih, Bu. Walaupun kata-kata ini tidak mengubah segalanya, setidaknya… saya tahu Ibu tidak sepenuhnya membenci saya lagi."

Kami terdiam lagi, hanya suara angin yang menyelinap di sela-sela jeruji sel terdengar. Setelah beberapa saat, Bu Hera berkata dengan suara yang sangat lirih, seolah hanya untuk dirinya sendiri, "Saya telah belajar bahwa terkadang, pengampunan bukan soal benar atau salah, tapi tentang kedamaian dalam diri sendiri. Mungkin sudah saatnya aku belajar untuk memaafkan, tidak hanya dirimu, tapi juga diriku sendiri."

Kata-katanya itu terngiang di kepalaku, dan tanpa sadar aku mengangguk setuju. Ya, mungkin ini yang selama ini kubutuhkan—memaafkan diriku sendiri, memaafkan mereka yang menuduhku, dan memaafkan hidup yang menuntunku ke sini.

Bu Hera dan diriku duduk dalam keheningan, terperangkap dalam kesunyian yang kali ini terasa tidak begitu menekan. Kami saling memahami, dalam batas dan luka masing-masing, meski tanpa janji bahwa semua akan berubah. Kami hanya dua manusia yang terjebak dalam penjara yang berbeda—penjara rasa bersalah, penjara kehilangan, dan penjara fisik yang mengurung kami.

Tapi siang itu, kami menemukan sedikit kedamaian dalam perbincangan yang jarang terjadi, dalam niat untuk saling mengerti, untuk memaafkan diri kami masing-masing, dan untuk menerima bahwa terkadang, hidup tidak memberi kita jawaban yang kita inginkan, hanya kesempatan untuk belajar melepaskan.