Diriku duduk di samping Bu Hera, mendengarkan tanpa menyela. Pikirannya berat, nafasnya terhela perlahan, seolah setiap tarikan dan hembusan itu adalah upaya untuk melepaskan beban bertahun-tahun yang telah beliau simpan dalam diam. Suara lembutnya hampir tenggelam dalam keheningan malam yang pekat, namun diriku mendengar tiap kata, tiap cerita yang dirinya ungkapkan tanpa kutanya, tanpa paksaan. Beliau mulai bercerita tentang masa-masa awalnya di pulau penjara ini, tentang pemindahan mendadak yang tak pernah dibayangkan, dan bagaimana kehidupannya berubah selamanya setelahnya.
"Sarah," Beliau memulai, suaranya pelan tapi jelas. "Saat pertama kali saya menginjakkan kaki di sini... rasanya seperti dihukum untuk kedua kalinya. Bukan hanya oleh pengadilan, tapi juga oleh alam. Pulau ini, meskipun indah, menakutkan dalam cara yang sulit dijelaskan. Hutan yang lebat, hawa lembab yang menusuk, dan kesunyian yang hanya diisi oleh suara ombak dan angin. Semua itu menekan, membuatku merasa terjebak di dalam sangkar tanpa dinding."
kemudian Bu hera mulai bercerita, diriku menatapnya, membayangkan bagaimana wanita ini yang dulu sangat dihormati, bahkan ditakuti, kini berada di tempat yang begitu asing, diisolasi dari semua yang pernah beliau kenal. Tanpa ku sadari, perasaanku mulai campur aduk—antara simpati, penasaran, dan rasa hormat yang baru.
Perlahan, Bu Hera melanjutkan, ketika dirinya harus beradaptasi dengan hidup yang jauh dari segala kenyamanan yang dulu dikenalnya. Diriku mendengarkan setiap kata yang keluar darinya, merasakan setiap emosi yang tertuang dalam kisahnya.
-----------
Hidup di Pulau Lapas khusus
Saya teringat saat duduk di sudut sel, menatap kosong ke dinding dingin yang terasa begitu tak bersahabat. Keheningan yang menyelimuti bangunan tua ini seakan berbicara denganku, menyampaikan rasa kesendirian yang menusuk. "Saya sudah tahu ini akan terjadi… tapi rasanya tetap seperti dihantam ribuan batu," gumamku lirih, suaraku nyaris tenggelam dalam bunyi langkah-langkah petugas yang mendekat.
Saya sudah siap saat seorang sipir perempuan senior masuk ke selku, menatapku dengan wajah datar yang tak menyimpan empati. "Kamu sudah siap? Ini akan jadi perjalanan panjang," katanya dengan nada hambar, mencerminkan rutinitas yang sudah ia lakoni berkali-kali.
Tanpa banyak bicara, dia mulai menyiapkan segala keperluan untuk pemindahanku. Saya hanya diam, tenggelam dalam pikiranku. Perjalanan ini bukan sekadar jarak fisik, tapi perjalanan batin yang akan membawaku semakin jauh dari kehidupan yang pernah aku kenal. Sebuah perjalanan menuju pengasingan terakhir di pulau terpencil, di mana hanya satu kepastian: waktu tanpa ujung.
"Siap? Siapa yang bisa siap untuk dikirim ke pulau tanpa harapan itu?" tanyaku sambil tertawa getir. "Mereka bilang tempat itu seperti neraka di bumi, lapas khusus untuk terpidana seumur hidup dan hukuman mati. Apa itu benar?"
Sipir itu terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Saya tidak pernah ke sana, tapi dari yang saya dengar… tak banyak orang yang kembali."
Saya mencoba meredakan kegelisahan yang mulai merayap. "Kasasi dan bandingku telah ditolak. Mereka benar-benar ingin saya menghilang dari sana. Mungkin mereka berpikir saya pantas disingkirkan bahkan kalau perlu dikubur hidup-hidup."
Sipir perempuan senior itu, menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan. "Setiap orang punya takdir masing-masing. Ada yang kembali berubah, ada yang tidak akan pernah kembali. Saya tidak tahu mana yang lebih baik."
Saya hanya terdiam, kata-kata itu seperti palu yang menghantam harapan terakhir dalam hatiku. "Keadilan… konsep yang dulu saya junjung tinggi. Kini, apa yang tersisa? Ternyata, semua ini hanya permainan nasib, dan saya kalah telak."
Tak lama, waktu pemindahan tiba. Dengan berat hati, saya berdiri, menatap pintu jeruji selku dan tersenyum pahit. "Tenang? saya akan mencoba, tapi jangan berharap terlalu banyak." Diiringi petugas, dengan tangan terborgol, saya bersama tiga napi perempuan lainnya berjalan melewati gerbang lapas menuju kendaraan tahanan. Perjalanan itu terasa lambat, melintasi hiruk pikuk sore jalanan kota untuk terakhir kalinya. Lalu kami tiba di pelabuhan khusus, tempat dimana kapal khusus bersandar untuk membawa kami ke pulau penjara.
Hari itu, Kapal mulai bergerak, membawa kami berserta beberapa petugas pengawal. Perjalanan melintasi lautan yang bergejolak, langitpun mendung kelabu, seolah mencerminkan nasib kami. Saya memandang tiga narapidana perempuan lainnya—masing-masing dengan kisah hidup yang kelam.
Ada seorang wanita muda yang membunuh, menikam suaminya saat tertidur, Suaminya sering menyiksanya. Lalu seorang mantan ratu narkoba yang akhirnya tumbang. Juga seorang mantan pengusaha perempuan sukses yang terjerat kasus penipuan besar.
Saat di lapas saya mulai memahami dibalik kejahatan mereka semua, di sisi lain, seperti saya, mereka dihantui ketidakpastian dan keputusasaan.
Ku ingat saat perempuan pengusaha itu mencoba memecah keheningan, suaranya gemetar, "Perjalanan ini… eksotis sekali, ya? Seperti liburan pesiar ke pulau terpencil."
Mantan perempuan muda, dengan nada sinis, menimpali, "Ya, hanya saja tanpa tiket pulang, perjalanan seumur hidup tanpa opsi kembali."
Mantan ratu narkoba tersenyum kecut. "Setidaknya kita dapat pengawalan bersenjata. Ini pertama kalinya aku merasa penting lagi."
Saya hanya diam, membiarkan percakapan berlalu seperti angin laut yang dingin hingga akhirnya mereka tertidur di gelapnya malam, di tengah lautan tak bertepi.
Setelah semalaman perjalanan laut fajarpun tiba, tubuhku masih terhuyung karena mabuk laut, sementara pikiranku tetap berputar. Petugas yang duduk tak jauh mengawasi membangunkan kami dengan senyum tipis. Dengan suara rendah, akhirnya ia berkata, "Selamat datang di surga terakhir… atau mungkin neraka terindah dengan pemandangan laut."
Kata-katanya menelusup dalam hatiku, tapi saya tetap bungkam, mataku tertuju pada cakrawala. Di sana, pulau itu mulai tampak, sekadar titik hitam yang sunyi di tengah lautan biru, tempat di mana hidupku akan menemui akhirnya.
Ketika kapal merapat di dermaga kayu yang ringkih, suara ombak dan angin yang dingin menyambut kami. Semua terasa mencekam. Petugas penjara, bersenjata lengkap, berdiri tanpa ekspresi. Saat kami turun dari kapal, seorang narapidana mencoba menutupi ketakutannya dengan candaan sarkastik. "Sambutan hangat, ya? Pasti ada karpet merah menanti."
Bu Rita sipir senior mendekat, dengan datar menjawab, "Karpet merahnya tidak ada. Yang ada jalan setapak yang becek berbatu."
Saya tersentak mendengar jawaban sinis itu, namun segera menyembunyikan keterkejutanku. "Tak apa, saya lebih suka jalan di atas lumpur."
Ketika kami mulai digiring menuju gerbang penjara yang hanya berupa pagar kawat tak terlalu tinggi, tak ada dinding tinggi di penjara ini pikirku merasa heran. Saya mencuri pandang ke arah para napi perempuan yang sedang berbaris di belakangku. Ada yang tertawa sinis, ada yang tampak acuh, tapi di mata kami semua terpancar rasa takut yang sama.
"Jadi, ini tempat di mana kita hidup tanpa benar-benar hidup," gumamku dalam hati saat itu, "Atau mungkin di sinilah kita mati tanpa sempat mengakhiri hidup," balas seorang narapidana lain di sampingku.
Begitu gerbang penjara terbuka, kami melangkah masuk ke dalam kehidupan baru yang penuh penderitaan. Itulah Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan, proses penerimaan langsung dimulai tanpa basa-basi. Meski saya sudah terkurung di penjara sebelumnya, peraturan ketat fasilitas ini tak memberikan pengecualian. Semua narapidana, tanpa memandang latar belakang, harus melalui prosedur penerimaan yang melelahkan.
Petugas yang pertama mendekat adalah perempuan paruh baya bertubuh kekar dengan ekspresi datar dengan name tag tertulis nama Rita. Tanpa banyak bicara, ia mengarahkan saya ke ruang pemeriksaan. Langkahku terasa berat, namun ku tak punya pilihan lain.
Identitasku diverifikasi terlebih dahulu. Suara petugas yang dingin memenuhi ruangan kecil itu. "Nama: Raden Roro Herawati." jawabku dengan lelah, "Iya."
"Masa hukuman: seumur hidup, Tindak pidana: Korupsi," lanjut petugas. Kata-katanya menggema seperti palu hakim yang menjatuhkan vonis untuk terakhir kalinya. Ku hanya diam, tidak ada lagi yang perlu dibantah.
Saat memalukan saat penggeledahan tubuh dimulai. Dengan prosedur tanpa ampun, mereka memeriksa setiap inci tubuhku. Semua perintah ku ikuti tanpa komentar. Petugas lain berdiri mengawasi tanpa ekspresi, memastikan tak ada barang terlarang. Rasanya, martabat yang tersisa benar-benar terhancurkan.
Setelahnya, kami diminta mandi, sebuah ritual yang lebih terasa seperti upaya untuk "menyucikan" diri. Mandi dengan gayung dari batok kelapa, tanpa pancuran, seolah membasuh dosa-dosa masa lalu. Air yang dingin menyentakku, meski mandi dihadapan perempuan lain telah ku alami berkali-kali selama di penjara, tetaplah saat yang memalukan, dengan bilik mandi tanpa pintu dan hanya dilapisi kain tipis.
Begitu selesai, kami diberi seragam penjara — baju daster polos berwarna kusam yang menandakan statusku sebagai penghuni pulau ini. Tidak ada lagi pakaian pribadi, tidak ada tanda-tanda individualitas. Kini, saya hanyalah satu dari banyak jiwa yang tersisih. sambil membagikan selembar selimut tipis, Petugas memberi kami sarapan pagi berupa ubi rebus, sudah lama sekali saya tak merasakan nikmatnya ubi rebus.
Dengan perasaan kosong, ku ikuti petugas menuju blok Mapenaling, di mana kami menghabiskan 14 hari pertama di sel individu. Di sana, saya tahu hidupku tak lagi milikku sendiri. Ini adalah kehidupan di dalam tempat yang tanpa belas kasih, tempat di mana semua pilihan buruk berakhir, menguburku di dalamnya.
--------------
Penyesalan yang tulus
Ketika beliau menemukan dirinya terperangkap di pulau penjara perempuan ini, kenyataan pahit dari situasinya terasa seperti beban besi yang tenggelam ke dasar lautan. Hilang sudah setelan jas yang dulu ia kenakan dengan bangga, hilang pula palu hakim yang pernah menjadi simbol kekuasaan dan kendali atas hidup orang lain. Sekarang, yang tersisa hanyalah seragam penjara yang lusuh dan robek. "Bagaimana bisa sampai seperti ini?" bisiknya lirih pada suatu malam, ketika ia duduk di sudut gelap selnya.
Diriku duduk di samping Bu Hera, mantan hakim, ibu penghancur sekaligus ibu penyelamatku yang kini menjadi rekan satu blok di pulau penjara ini. Ia menatap jauh ke arah ladang yang luas, nafasnya panjang, dan mata sayunya terlihat seperti membawa beban berat yang tak terucapkan. Lalu tiba-tiba, aku melihat air mata jatuh perlahan dari sudut matanya, membasahi pipinya yang kini tak lagi menunjukkan kekuasaan.
"Kamu tahu, air mata ini gak akan pernah bisa menghapus semua penyesalan," ujarnya pelan, suara bergetar.
Ku terdiam, membiarkan beliau melanjutkan kata-katanya.
"Semua kesalahan yang kubuat... keputusan-keputusan yang kuambil waktu itu... aku dulu pikir semua itu benar, atau setidaknya aku menutup mata dan telinga, berpura-pura begitu." Ia tertawa kecil, tapi tawanya getir, penuh luka. "Tapi kenyataannya, waktu gak bisa diputar balik. Aku gak bisa mengubah apa yang pernah kulakukan."
Diriku menepuk pundaknya, mencoba memberinya sedikit ketenangan. "Bu Hera, manusia itu pasti pernah terluka. Kita semua punya penyesalan, dan mungkin ini cobaan yang harus dijalani buat kita semua. Yang penting, hikmahnya bisa kita ambil, kan?"
Beliau mengangguk lemah. "Iya... tapi coba lihat, aku baru menyadari itu semua setelah semuanya terlambat, setelah aku gak lagi punya kuasa buat memperbaiki apa yang dulu kulakukan." Suaranya pecah, penuh dengan sesal yang seakan menumpuk selama bertahun-tahun.
"Bu, kalau mau menangis, menangislah. Kita manusia, kita bisa terluka, kita bisa menangis. Tapi yang paling penting, kita juga bisa belajar dari semua ini, mengambil hikmah, meski dalam keadaan sesulit apa pun," kataku, teringat lirik lagu Dewa yang kusukai, berharap kata-kataku bisa memberinya kekuatan.
Bu Hera menghela napas panjang, dan air matanya kembali jatuh. "Kamu benar... mungkin, mungkin dari sini aku harus mulai belajar. Belajar menerima, belajar melepaskan... dan mungkin, belajar memaafkan diri sendiri."
Kami terdiam beberapa saat, memandangi langit yang mulai memerah di ufuk barat. Rasanya, dalam hening itu, ada pemahaman baru yang tumbuh di antara kami—bahwa di balik setiap luka, selalu ada hikmah tersembunyi yang menanti untuk ditemukan, meski itu datang bersama dengan penyesalan yang tak kunjung hilang.
Malam pun tiba, dan saatnya kami kembali ke sel masing-masing, menghentikan cerita Bu Hera untuk sementara. Di sepanjang jalan menuju barak, pikiranku penuh dengan kisah-kisah yang baru saja kudengar darinya. Dari cerita-cerita yang beliau bagikan, perlahan ku mulai memahami sikap dan tindakannya di masa lalu. Terasa ironis bahwa seorang hakim, sosok yang diharapkan menjadi simbol keadilan, justru menjadi bagian dari trauma yang pernah kualami, seorang hakim yang mempermainkan hukum.
Sejak lama, diriku sudah mencoba menerima nasib sebagai seorang narapidana, berusaha berdamai dengan kenyataan pahit yang harus kujalani. Namun, kisah Bu Hera meneguhkan keyakinanku bahwa sebenarnya diriku tidak bersalah. Di sisi lain, mendengarkan pengakuan beliau, juga membuka mataku pada betapa rapuhnya keadilan di negeri ini, di mana hukum bisa begitu mudah dipermainkan oleh seseorang yang seharusnya menjadi pelindung kebenaran.
Diriku tersenyum kecil, berusaha menutupi perasaan hangat yang tiba-tiba muncul di dada. Saat itu Bu Hera bukan lagi sosok yang dihormati, namun sama seperti kami semua di pulau itu, seorang terpidana seumur hidup. Tetapi di pulau ini beliau kembali menjadi seorang yang baik, meskipun di balik semua kekerasan nasib yang beliau terima, masih peduli pada orang lain, terutama diriku.
Kedekatan kami menjadi tidak biasa di pulau penjara itu, bahkan mungkin dianggap aneh, namun kurasa itulah yang membuatnya begitu berarti.
"Kehidupan di sini… mengajariku banyak hal," lanjut beliau lagi, kini suaranya sedikit bergetar. "Tentang arti kebebasan yang sesungguhnya. Bukan sekadar kebebasan fisik, tapi kebebasan dari penyesalan, dari kesalahan yang dulu kuanggap kecil namun berujung pada bencana besar."
Diriku merasakan dorongan untuk berkata sesuatu, meskipun kata-kata itu terasa berat. "Bu, aku senang bisa mendengar cerita Ibu. Ku merasa kita tidak sendirian dalam penyesalan, dalam upaya untuk menerima masa lalu."
Bu Hera tersenyum lembut, wajahnya yang lelah tampak lebih damai dalam cahaya rembulan. "Kau benar, Sarah. Tak ada satu pun dari kita yang sempurna. Tapi, seperti kata orang bijak, kadang penjara terbaik adalah tempat di mana kita bisa menemukan siapa diri kita yang sebenarnya."
Tanpa ku meminta, Bu Hera mulai membuka dirinya. Beliau bercerita tentang hari-hari awal pemindahannya ke pulau penjara perempuan ini, perubahan hidup yang teramat besar dan rasa tak berdaya yang menyertainya. Dalam tiap kalimatnya, terselip penyesalan dan rasa bersalah yang mendalam. Matanya menerawang, seakan-akan ia kembali ke masa-masa saat semuanya dimulai.
"Kamu tahu, Sarah…" katanya dengan suara hampir berbisik, "pada awalnya, saya marah. Kepada dunia, kepada orang-orang di sekitar, bahkan kepada dirimu…" Ia menundukkan kepala, jemarinya meremas tangan dengan gemetar. "saya menyalahkan semua orang kecuali diriku sendiri. Tapi, seiring waktu... aku mulai melihat kebenaran. Bahwa apa yang terjadi padamu adalah akibat dari keputusan-keputusan yang kubuat."
Diriku merasakan tenggorokanku tercekat. Dalam pertemuan pertama kami di penjara ini, Bu Hera adalah sosok yang tak mau mendengar penjelasanku, meyakini kesalahan yang tak pernah kulakukan. Namun kini, tatapannya berubah; ada sesuatu yang tulus dalam pandangannya, dan itu meluruhkan sebagian kebencian yang pernah kutahan.
"Saya tahu, Sarah," lanjutnya dengan suara yang lebih pelan, hampir tenggelam dalam keheningan malam, "sekarang saya yakin bahwa kamu tidak bersalah. saya kini yakin kamu tidak pernah berniat mencelakai Doni, putraku. Mungkin saya terlalu terlambat untuk menyadari ini, tapi… tolong… maafkan aku. Karena kebencianku, karena keangkuhanku... karena semua ini yang telah menahanmu di pulau ini selama hampir 13 tahun."
Suaranya yang lembut penuh dengan penyesalan. Kupegang tangannya, merasakan dinginnya, namun juga kekuatan yang mengalir dari genggamannya. Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi Bu Hera yang rapuh dan manusiawi, sisi yang selama ini tersembunyi di balik sosoknya yang dulu angkuh dan penuh kuasa.
"Bu…," kataku, suaraku bergetar, "terima kasih untuk pengakuan itu. Mungkin ini tidak mudah bagi Ibu, dan ku juga tak bisa langsung melupakan semuanya. Tapi mendengar Ibu mengatakan ini… rasanya seperti sebagian bebanku juga terlepas."
Kami berdua terdiam, membiarkan keheningan menyelimuti kami. Malam itu, dalam keheningan yang menggantikan semua kebencian, kami berbagi sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Di antara rasa sakit dan penyesalan, seakan ada secercah harapan yang perlahan-lahan menyusup, menghangatkan dinginnya penjara ini. Diriku tahu, perjalanan kami belum selesai, tetapi di malam itu, mungkin untuk pertama kalinya, aku tidak lagi merasa sendirian dalam rasa sakit ini.
Sunyi itu tak lagi mencekam. Sunyi itu adalah tanda bahwa kami saling memahami, bahwa tak ada lagi kata yang perlu diucapkan. Keduanya hanyut dalam kenangan dan harapan akan hari esok yang lebih damai, meskipun di tempat yang tak pernah mereka bayangkan sebagai rumah.