Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 18 - Seorang Pembunuh

Chapter 18 - Seorang Pembunuh

Diriku berhenti sejenak, merasa air mata mulai menetes. Kenangan itu begitu nyata, dan aku bisa merasakan kembali malam itu—perasaan gugup, jantung berdebar, dan percikan-percikan kecil kebahagiaan yang melingkupi kami. Bu Hera tidak menyela, hanya menunggu dengan sabar. Tatapannya menuntunku untuk melanjutkan, Tak lama kemudian Kulanjutkan ceritaku.

----------------

Tahanan

Diriku tak akan pernah lupa saat pertama kali tiba di gedung Polrestabes, seorang polwan mendata data diri, mencap sidik jari, mengambil foto, kemudian meminta ku mengganti pakaian yang ku kenakan dengan seragam tahanan berwarna oranye. Dengan alasan keamanan celana panjang ku di potong sebatas lutut, dan yang paling mengejutkanku, bahkan tak diperbolehkan mengenakan bra berkawat milik ku. Rasanya seperti semua identitasku direnggut. Warnanya mencolok, memanggil perhatian siapa pun, seperti pernyataan keras bahwa aku bersalah, bahkan sebelum pengadilan dimulai.

Saat pertama kali melangkahkan kaki ke dalam sel tahanan, jantungku berdegup kencang. Ruangan itu redup, sempit, dengan bau lembap yang menyengat. Di dalamnya, sekitar dua puluh perempuan duduk berdesakan di lantai, masing-masing dengan tatapan lelah dan pasrah. Begitu diriku masuk, beberapa di antaranya menoleh sebentar, lalu kembali sibuk dengan pikiran mereka sendiri, mungkin sudah terbiasa dengan aliran tahanan baru. 

Diriku diberi alas tidur tipis di pojok ruangan yang terasa dingin dan keras. Tidak ada ruang pribadi, tidak ada tempat untuk benar-benar merasa nyaman.

Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata. Di hari pertama itu diriku tak kuasa menahan tangis, hampir semalam tak bisa tidur.

Di dalam sel, diriku bukan hanya orang baru, tapi juga yang paling muda. Begitu kabar bahwa aku ditahan atas dugaan pembunuhan pacarku menyebar, tatapan mata mereka mulai berubah. Tidak ada belas kasihan; justru yang ada hanyalah rasa ingin tahu yang kejam, seolah kehadiranku memberinya hiburan baru di tengah kebosanan.

Sore itu, saat aku sedang duduk di sudut, seorang perempuan dengan wajah keras mendekatiku. "Jadi, kamu ini 'si pembunuh' itu, ya?" tanyanya sambil menyeringai. salah satu tahanan kasus penipuan. 

"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya perempuan lain yang duduk di sampingnya, yang ditahan karena pencurian. Mereka menatapku dengan mata penuh minat, meski nada suara mereka dingin.

"Aku nggak bersalah," jawabku pelan, menahan desakan rasa takut dan kesal di dadaku. Tapi mereka malah tertawa.

"Alaah, anak baru selalu bilang begitu," ujarnya sambil terkekeh. "Nggak mungkin polisi salah nangkep, ya nggak?" Dia menoleh ke arah tahanan lain, mencari dukungan. Mereka mengangguk atau tersenyum kecil, seolah-olah sudah menghakimiku sejak awal.

"Pacar sendiri kok dibunuh," katanya sambil geleng-geleng kepala. "Kamu pacaran sama orang kaya, ya? Mungkin habis dikasih harta, terus habis manfaatnya kamu buang, begitu?"

"Enggak, bukan begitu. Aku nggak tau kejadiannya," kataku, mencoba menjelaskan. Tapi suaraku terdengar lemah, tak ada satu pun dari mereka yang terlihat percaya.

"Cinta emang bisa bikin gila, ya, mbak," sambung seorang ibu-ibu yang lebih tua di pojok, suaranya penuh sindiran. "Untung anak-anak saya nggak ikut-ikutan jadi pembunuh cuma gara-gara cinta."

Berhari-hari di sini, diriku yang termuda dan lugu, hanya jadi bahan olokan, terutama saat mereka merasa bosan. Mereka selalu punya sesuatu untuk dikatakan, entah itu lelucon atau sekadar ejekan yang menyakitkan. 

Setiap malam, diriku harus menekuk tubuh di antara orang lain, berusaha tidur dengan irama nafas dan dengkuran yang bercampur menjadi satu. 

Suatu malam, saat aku sedang berusaha tidur, suara bisik-bisik mereka terdengar lagi, cukup keras untuk membuatku tak bisa memejamkan mata.

"Kalau dia memang bunuh pacarnya, kok bisa dia setenang itu ya?" bisik ibu tua dengan suara yang dibuat setengah berbisik, tapi cukup keras agar aku mendengar. "Mungkin karena masih muda, ya. Belum tahu dosa. Lagian kalau udah terlanjur basah, mau nyesel juga buat apa?"

"Kita lihat aja nanti kalau dia ketahuan bersalah," tahanan lain menimpali, "katanya hukumannya berat, lho. Cocok, biar sekalian tahu rasa."

Kata-kata mereka seperti menghujam. Aku menelan ludah, mencoba menahan semua emosi yang bercampur di dada. Di sini, tidak ada teman; hanya ruang sempit penuh prasangka dan ketakutan. Aku terus bertahan dengan satu harapan kecil, bahwa kebenaran akan terungkap di pengadilan nanti. Tapi entah mengapa, semakin hari, harapan itu pun terasa makin jauh dari genggaman.

Yang paling mencolok adalah mereka yang terkait dengan kasus narkoba. Beberapa tampak tenang, seolah ini bukan kali pertama mereka berada di tempat seperti ini. Mereka bercerita dengan suara rendah, tentang keluarga yang jauh dan berantakan, janji yang terputus, dan impian yang kini hanya jadi kenangan. 

Penyidikan

Hari-hariku di sana mulai terasa lambat, terperangkap dalam lingkaran yang sama. Sementara proses BAP berjalan selama dua puluh hari, aku berbagi ruang dengan perempuan-perempuan lain, yang ceritanya tak kalah suram. Beberapa dari mereka terseret kasus pencurian kecil-kecilan – entah demi bertahan hidup atau sekadar memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Ada juga yang terjerat dalam kasus penggelapan dan penipuan; wajah-wajahnya tampak penuh penyesalan atau kebingungan, seperti mereka tak sepenuhnya paham mengapa bisa sampai di sini.

Di hari kedua, menjelang sore, seorang petugas membawaku and menyuruhku duduk di ruang interogasi, dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Di seberangku, seorang polisi berpakaian rapi mengamati dengan tajam, sementara pengacaraku, seorang dari Lembaga Bantuan Hukum yang sederhana, duduk di sebelahku, tampak sedikit gelisah. 

Tapi mereka menafsirkannya lain. Mereka menggali pesan-pesan lama, memotong-motong percakapan kami, dan menemukan hanya bagian yang menguatkan tuduhan mereka. "Lihat ini," salah seorang penyelidik berkata sambil menunjuk pesan di layar. "Kalian sering bertengkar. Terlihat bahwa hubungan kalian tidak baik-baik saja."

Diriku mencoba membantah. Ku katakan bahwa kami memang sering berdebat, tapi itulah cara kami saling memahami. Perdebatan itu bukan tanda kebencian, tapi bagian dari hubungan kami. Setelah setiap pertengkaran, kami selalu berbaikan, saling menguatkan. Namun, pernyataanku hanya dianggap sebagai pembelaan lemah.

"Apa kau mencintai Doni?" salah satu penyelidik bertanya, sorot matanya tajam seakan ingin menembus pikiranku.

"Ya," jawabku tanpa ragu.

"Kalau begitu, mengapa kau meninggalkannya malam itu?"

Diriku terdiam, tersentak oleh pertanyaan itu. Ku tahu keputusanku meninggalkan Doni malam itu adalah kesalahan besar, tapi ku tak pernah bermaksud menyakitinya. "Aku marah," jawabku pelan. "Kami bertengkar, dan ku hanya butuh waktu untuk sendiri. Aku tak pernah menyangka akan berakhir seperti ini..."

Tapi kalimatku seolah hilang di udara. Tidak ada yang mendengarkan. Yang mereka lihat hanyalah seorang pacar yang "terlalu emosional", yang mungkin saja tega mendorong kekasihnya ke lembah dalam amarah buta. Di mata mereka, diriku bukan lagi korban yang kehilangan seseorang yang kucintai. Diriku hanyalah tersangka, seorang yang diduga melakukan tindakan keji.

Polisi itu menatapku tajam, tangannya menunjuk syal merah yang tergeletak di meja seolah benda itu adalah bukti hidup yang bisa berbicara. "Sarah, syal ini ditemukan di TKP. Kamu tahu artinya, kan? Ini bukti kuat yang memberatkanmu," katanya, nadanya tegas tapi ada sesuatu di baliknya, seperti tekanan yang samar namun menusuk.

Diriku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tatapanku lurus ke arah syal itu. "Itu memang milikku," aku mengakui, "tapi aku tidak ada di sana saat kejadian." Aku tahu ucapanku terdengar lemah di telinga mereka, tapi aku tidak akan menyerah pada kebohongan ini.

Polisi itu menghela napas panjang, menggeleng kecil, seolah sudah jenuh mendengar bantahanku yang berulang-ulang. Dia bersandar di kursinya, lalu melanjutkan dengan nada lebih intens, "Kami punya saksi. Saksi yang melihat kamu di sekitar TKP. Lalu ada bukti lainnya, semuanya mengarah ke kamu. Kalau kamu mengaku sekarang, hukumannya bisa lebih ringan. Kami akan pertimbangkan memakai Pasal 338 KUHP – pembunuhan biasa. Kamu tahu hukumannya, kan? Paling lama 15 tahun." Matanya mengunci pandanganku, mencari celah, mencari tanda bahwa aku goyah.

Diriku menggenggam tanganku erat di bawah meja. Kata-katanya menusuk, tapi aku tahu aku harus tetap tenang. Aku menggigit bibir, menahan gejolak yang hampir meledak.

Dia melanjutkan, kali ini suaranya lebih dingin. "Kalau kamu tetap berkeras… kami bisa mengenakan Pasal 340 KUHP – pembunuhan berencana. Dengan pasal ini, kamu diancam hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau paling tidak dua puluh tahun." Suaranya datar, tapi ancamannya menguap di udara, membuat ruangan itu terasa semakin sempit.

Pengacara LBH di sebelahku, seorang pria paruh baya dengan raut wajah yang lelah namun penuh tekad, berdeham pelan. "Sarah punya hak untuk tetap diam, Pak. Selama dia merasa tidak bersalah, dia tidak perlu mengaku apa pun. Bukti-bukti ini… semuanya masih perlu diuji lebih lanjut," katanya, nada suaranya tetap tenang meskipun aku bisa melihat keraguan tipis di sorot matanya. Dia mungkin tahu bahwa perkara ini lebih berat dari yang bisa dia tangani, tapi setidaknya dia mencoba.

------

Kenangan itu terus berputar di kepalaku, seolah menguji keyakinanku yang kian terkikis oleh waktu. Wajah polisi itu, dengan sorot matanya yang dingin dan nada bicaranya yang sengaja disusun untuk membuatku goyah, muncul kembali. Seandainya aku mengaku saat itu, meski aku tak bersalah, mungkin hidupku kini berbeda. Mungkin aku tak akan terjebak di balik jeruji besi selama ini. Tetapi, apa artinya kebebasan yang dibeli dengan sebuah kebohongan?

Aku menatap ke Bu Hera, merasakan hembusan angin yang membawa aroma laut. "Kalau saja aku mengambil tawaran itu..." pikiranku terpecah. "Mungkin aku sudah bebas dari penjara ini, menjalani sisa hidup di luar sana, meski dengan beban kebohongan di pundakku." Pikiran itu, meski menggoda, tak bisa kupungkiri tetap meninggalkan rasa getir yang menyesakkan dada.

Namun, suara lembut Bu Hera mengingatkanku. "Jangan pernah sesali keputusanmu, Sarah," katanya dengan penuh ketegasan dan kehangatan. "Semua ini ada hikmahnya, bahkan saat kamu tidak bisa melihatnya sekarang." Bu Hera, dengan segala kebijaksanaannya, selalu bisa menyadarkanku dari rasa putus asa dan menuntunku kembali pada keteguhan hati.

Bu Hera menguatkanku ketika semangatku melemah. "Jalan kebenaran sering kali tidak mudah, Sarah. Menjalani hukuman karena dosa yang tak pernah kau lakukan memang menyakitkan, tapi lebih menyakitkan lagi hidup di luar sana dengan nama baik yang ternoda oleh kebohonganmu sendiri."

diriku menarik napas dalam-dalam, menahan gejolak emosi yang berputar-putar di hatiku. "Mungkin aku akan berada di penjara lebih lama dari yang kukira," batinku. "Tapi aku tetap akan keluar dari sini dengan kepala tegak, bukan dengan beban penyesalan yang tak terbayarkan." Bayangan kebebasan kini bukan sekadar keluar dari penjara, tapi keluar dengan kebenaran di pihakku—betapapun berat jalan untuk mencapainya.

Untuk saat ini, aku hanya bisa berdoa agar ada kesempatan meninjau ulang kasus ini membawa secercah harapan. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap setia pada kebenaran. Tidak peduli seberapa panjang dan sulit jalan ini, aku bertekad untuk menemukan kedamaian dalam kejujuran, dan itulah yang membuatku bertahan hingga saat ini.

------

Diriku menelan ludah ragu dan ketakutan, mencoba menguatkan suara yang rasanya semakin tenggelam. "Saya… saya tidak bersalah," ulangku dengan tegas, kali ini lebih lantang, meskipun hatiku berdegup keras. Aku bisa merasakan tatapan polisi itu semakin tajam, tapi aku menolak untuk menunduk atau menunjukkan rasa takutku.

Ruangan itu seolah dipenuhi keheningan tegang. Polisi itu menatapku sejenak, lalu merapikan berkas-berkas di depannya dengan gerakan cepat, seakan menyudahi perdebatan ini. "Baiklah. Kami akan lanjutkan sesuai prosedur. Tapi ingat, Sarah, keputusan kamu hari ini akan sangat menentukan masa depanmu." 

Ku duduk terpaku, menyadari bahwa setiap kata dan keputusanku membawa beban yang tak terbayangkan. Tapi meskipun semuanya terlihat suram, aku tahu satu hal – aku tidak akan mengaku pada sesuatu yang tidak pernah kulakukan, tidak peduli seberapa besar tekanan yang mereka berikan.

Diriku di kantor polisi dan diinterogasi berjam-jam. Petugas mengajukan pertanyaan yang sama berulang-ulang, mencoba menemukan celah dalam setiap jawaban. Setiap detil kecil mereka pertanyakan, seolah setiap kata yang kuucapkan bisa menguatkan dugaan mereka. Mereka meminta ponselku, memeriksa setiap pesan, setiap panggilan. Di sana, memang ada rekaman perdebatan kami malam itu—kata-kata yang tidak penting, ungkapan kekesalan yang seharusnya tidak berarti apa-apa.

Polisi itu menggelengkan kepala, tampak sedikit jengkel. "Ya sudah. Tapi, begitu semua bukti dikumpulkan dan berkas dinyatakan lengkap, kami akan melimpahkannya ke kejaksaan. Kamu tahu itu, kan?"

Aku menatapnya tanpa ekspresi, mencoba untuk tidak menunjukkan ketakutanku. Aku tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Setelah berkas perkara dinyatakan P21, tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali berharap keadilan masih ada, meskipun peluangnya tipis. Aku memejamkan mata sejenak, menguatkan diriku.

Beberapa hari kemudian, berita datang. Berkas perkaraku telah dilimpahkan ke kejaksaan. Aku tahu jalan panjang menanti di depan.

keesokan harinya diriku berdiri dengan tangan terikat di belakang punggung, di hadapan sorotan kamera yang tajam. Sesi konferensi pers itu dimulai. Di depanku berdiri seorang pejabat polisi dengan wajah serius, yang dengan tegas menjelaskan kasus ini di depan para wartawan. Nama dan wajahku terpampang di layar, disandingkan dengan bukti-bukti yang disebutkan milikku, foto TKP, dan keterangan saksi-saksi yang menudingku.

"Saudari Sarah adalah tersangka utama dalam kasus ini. Bukti-bukti kuat telah mengarah pada dirinya, dan kini penyidikan kasusnya sudah hampir mencapai tahap P21, yang artinya jiks seluruh berkas dinyatakan lengkap dan akan dilimpahkan ke kejaksaan," kata pejabat itu dengan suara yang nyaris tanpa emosi.

Sementara itu, aku hanya bisa menunduk. Mataku terasa panas, bukan karena ingin menangis, tapi karena rasa malu yang teramat dalam. Aku tahu bahwa dunia di luar sana, keluarga dan orang-orang yang mengenalku, mungkin tengah menyaksikan tayangan ini, mencoba mencari kebenaran di balik wajahku yang terlihat kusam dan letih. Mereka semua mungkin bertanya-tanya, apakah aku benar-benar bersalah?

Seusai konferensi pers itu, aku dibawa kembali ke ruang tahanan. Koridor yang panjang terasa semakin sempit. Di sepanjang jalan, aku bisa merasakan tatapan para petugas, beberapa tampak iba, namun tak sedikit yang menatap penuh curiga, seolah yakin bahwa aku memang pantas berada di sini.

Dunia seolah berbalik melawanku. Orang-orang yang dulu mengenalku kini memandangku dengan curiga. Berita tentang kematian Doni menyebar, dan setiap media memuat kisah kami dengan sensasi yang semakin mencekik. Mereka menulis tentang "perempuan muda berwatak keras" yang "mungkin merasa terancam" oleh pacarnya yang sukses dan berpengaruh. Mereka menuduhku memanfaatkan status sosial Doni. Spekulasi demi spekulasi tanpa dasar beredar luas, mengubah kisah cinta kami menjadi sebuah tragedi penuh tuduhan. Namun meski tidak banyak membantu keluarga ku tetap mendukung.

Keesokan harinya, orang tuaku datang. Wajah mereka tampak lebih tua dari biasanya, seperti ada beban berton-ton yang menimpa mereka dalam waktu semalam. Ayahku menatapku dalam diam, sementara ibuku hanya bisa meremas tanganku dengan penuh kekhawatiran.

"Ma... Pa... aku nggak bersalah... aku nggak melakukan ini..." suaraku pecah, mencoba meyakinkan mereka, meski suara itu lebih terdengar seperti isak tertahan.

Ayahku menarik napas panjang, menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. "Nak... kami tahu kamu bukan orang seperti itu. Kami percaya sama kamu... tapi..." Ayah terdiam, suaranya bergetar. Diriku bisa merasakan betapa beratnya situasi ini untuk mereka, dan itu menghancurkan hatiku lebih dalam.

Ibu menunduk, menggenggam tanganku erat. "Kami mau bantu, tapi… kondisi kami…," kata ibu dengan suara pelan, nyaris berbisik. "Pengacara itu mahal, Nak. Ibu dan Ayah nggak tahu harus bagaimana."

Ayahku, yang selama ini selalu tegar, hanya menatapku tanpa berkata apa-apa. Diriku bisa melihat betapa ia mencoba menahan rasa sakitnya, mencoba menjadi kuat. "Kami... kami akan berusaha bantu kamu sebisanya. …."

Diriku mengangguk, memahami keterbatasan mereka. "Aku ngerti, Pa. Aku ngerti…"

Ku hanya bisa mengangguk pelan, memahami keterbatasan mereka. Di dalam hatiku, aku berharap ada keajaiban yang bisa mengubah semua ini, namun diriku juga tahu, keajaiban seperti itu jarang datang untuk orang-orang sepertiku.

Hari-hari di tahanan berlalu dalam keheningan dan penantian. Ku sering melamun, memandangi langit-langit sel yang dingin dan lembap, bertanya pada diriku sendiri bagaimana ini bisa terjadi. Setiap detik berlalu dengan lambat, seakan waktu menolak bergerak dan menyiksaku dalam keheningan yang memekakkan telinga.

Diriku kehilangan kendali atas hidupku sendiri. Setiap hari berjalan seperti kabut yang menyesakkan, dan aku merasa semakin terpuruk dalam kebingungan dan rasa bersalah yang tak terjelaskan. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, adakah aku benar-benar penyebab semua ini? Adakah satu kata, satu tindakan yang kuambil dengan gegabah yang kini membuatku terseret dalam mimpi buruk ini?

Dalam sunyi malam, ketika diriku sendiri, bayangan Doni terus menghantui. Ku teringat senyumnya, bagaimana ia menatapku dengan tatapan teduh. Tapi kini, bayangan itu berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap, penuh tuduhan yang tak terucapkan.

Hidupku berubah total. Diriku bukan lagi seorang mahasiswi hukum yang penuh cita-cita. Aku menjadi bagian dari kisah tragis yang mereka ciptakan—dalam alur yang tak pernah kusangka akan kutempuh.

Setelah interogasi panjang yang membuat tubuh dan pikiranku lelah, malam itu juga statusku resmi ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan. Diriku dibawa ke sel tahanan di Polres dengan tangan gemetar dan hati yang terasa hancur. Ruangan dingin itu menjadi tempat baruku, sempit dan tanpa cahaya. Ku coba menenangkan diri, menguatkan hati, tapi bayangan Doni, tatapan tajam polisi, dan bisikan-bisikan dari teman-temanku terus menghantui.

Setiap kali polisi datang untuk BAP, aku berharap ada jalan untuk membuktikan bahwa aku tak bersalah. Tapi setiap kali kembali ke sel, kenyataan menghantam lebih keras – semua bukti justru memberatkan, semua saksi seolah mengarah padaku. Tak ada yang bisa kulakukan selain menunggu di tengah ruangan yang kian terasa menyempit, dengan segala sorotan dan prasangka.

Waktu seperti berhenti di sana, di dalam sel yang tak mengenal malam atau siang. Hanya ada suara langkah kaki petugas, suara desahan panjang, atau keluhan sesama tahanan. Aku belajar menyimak cerita mereka, entah itu keluhan tentang makanan yang hambar atau tentang rasa takut pada masa depan yang tak pasti. Meski berbeda latar belakang, kami di sini sama-sama terikat oleh rasa kehilangan dan kecemasan yang menggantung.

Saat hari ke-20 tiba dan aku diberitahu bahwa berkas perkaraku siap dilimpahkan ke kejaksaan, rasanya campur aduk antara lega dan takut. Lega karena mungkin ini akan membawaku selangkah lebih dekat menuju kepastian, tapi juga takut akan apa yang menanti di depan – apakah masih ada harapan bagi seorang seperti aku, di mata sistem yang sudah memvonis sejak hari pertama?

--------

Diriku menceritakan semuanya kepada Bu Hera. Dengan suara yang gemetar, kuungkapkan setiap perasaan dan ketakutan yang mengisi hari-hariku di dalam tahanan. Bu Hera mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk, menunjukkan bahwa ia mengerti beban yang sedang kutanggung.

Ketika ku selesai, Beliau menatapku dengan mata penuh kelembutan dan berkata, "Nak, Saya seorang hakim, di pengadilan saya selalu persilahkan setiap orang untuk mendapat kesempatan menyampaikan kebenarannya. Jangan pernah menyerah, meski jalan di depan terasa sulit." Kata-katanya seperti embusan udara segar di ruangan yang selama ini terasa sesak.

Percakapan dengan Bu Hera membuatku sedikit lebih kuat, seolah ada harapan yang masih bisa kugapai, meski samar. Ku tahu perjalanan ini masih panjang dan berat, tapi setidaknya malam ini diriku punya secercah kekuatan untuk bertahan dan melanjutkan.