Minggu pagi adalah hari yang paling dinantikan oleh para penghuni Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan. Bukan hanya karena dianggap sebagai hari libur, tetapi juga menjadi penanda akhir pekan yang panjang—sesuatu yang bagi kami terasa begitu istimewa. Di tempat ini, kalender, jam, atau penanda waktu modern lainnya tidak ada. Kami hanya bergantung pada pergantian siang dan malam, pergerakan matahari, dan perubahan musim sebagai petunjuk waktu. Bagi kami yang dijatuhi hukuman seumur hidup, konsep waktu menjadi kabur, karena kami tahu bahwa sisa hidup akan habis di pulau ini, di balik tembok besi dan pagar kawat berduri. Hari-hari seakan mengabur satu dengan lainnya, namun Minggu pagi selalu hadir dengan cara yang berbeda.
Minggu pagi terasa seperti secercah harapan di tengah kehidupan yang monoton. Tidak ada perbedaan signifikan antara hari-hari lainnya dalam rutinitas kami yang ketat, namun pada pagi itu, ada sesuatu yang menandakan perbedaan. Suara petugas yang mengumumkan bahwa panggilan telepon gratis akan segera dimulai, menggema di seluruh area lapas. Sebuah pengingat bahwa di balik dinding ini, ada dunia luar yang masih menunggu. Dunia yang pernah kami kenal, dunia yang kini terasa semakin jauh, namun tetap hidup dalam kenangan dan harapan.
Bagi banyak penghuni Lapas, Minggu pagi berarti satu hal: telepon atau video call dengan keluarga. Seperti secercah cahaya di terowongan gelap, telepon ini menjadi jembatan antara kami dan orang-orang yang kami cintai. Setiap kali giliran kami tiba, hati ini berdebar, antara bahagia dan cemas. Bahagia karena bisa mendengar suara atau melihat wajah orang-orang yang kami rindukan, tetapi juga cemas karena keterbatasan waktu yang diberikan, serta rasa takut bahwa setiap percakapan mungkin menjadi percakapan terakhir dalam beberapa minggu, atau bahkan bulan.
Di ruang yang sudah disiapkan untuk telepon, beberapa narapidana berkumpul, menunggu dengan harapan dan ketegangan. Kami duduk atau berdiri, sebagian besar dengan tangan terlipat, mata terus menatap ponsel yang ada di meja, menunggu giliran dipanggil. Hanya ada lima ponsel yang tersedia di ruang tersebut, untuk puluhan narapidana yang antri. Kami berbaris dengan sabar, meskipun terkadang perasaan cemas menguasai diri. Setiap telepon atau video call hanya diberikan waktu terbatas, sekitar 10 hingga 15 menit. Waktu yang terasa begitu singkat, tetapi begitu berharga.
Mereka yang telah mendapat giliran bergegas mengambil ponsel, dengan tangan gemetar kadang karena kegembiraan, kadang karena nervous. Di layar kecil itu, mereka bisa melihat wajah anak-anak, suami, orang tua, atau saudara-saudara mereka. Beberapa dari kami terdiam, menatap wajah yang dulu sering ditemui dalam keseharian, tetapi kini terasa asing karena jarak waktu yang begitu lama. Beberapa menitikkan air mata, ada yang tertawa, ada yang berbicara dengan suara bergetar. Semua perasaan bercampur aduk dalam percakapan singkat itu. Mereka bertanya tentang kabar, tentang kehidupan di luar, sementara kami berusaha menggambarkan keadaan di sini—meski kami tahu bahwa kata-kata tak akan pernah bisa sepenuhnya menggambarkan kenyataan.
Bagi kami yang menjalani hukuman seumur hidup, pertemuan-pertemuan singkat ini adalah pengingat akan apa yang telah hilang, tetapi juga penanda bahwa masih ada yang menunggu di luar sana. Setiap percakapan, meskipun singkat, memberikan kekuatan untuk menghadapi hari-hari berikutnya. Namun, ada juga yang merasakan kehilangan lebih dalam setelah panggilan itu berakhir. Ketika suara telepon terputus dan layar kembali gelap, perasaan kesepian menyelimuti. Realitas keras kembali datang, dengan segala batasan yang ada.
Namun, kami tahu, dalam kesendirian dan keterbatasan ini, panggilan telepon Minggu pagi adalah satu-satunya waktu di mana kami merasa lebih dekat dengan dunia luar. Ini adalah kesempatan yang kami nanti-nantikan, meski waktunya terbatas dan tidak ada jaminan kapan kami bisa merasakannya lagi. Sebuah hadiah kecil yang membawa harapan, sebuah pengingat bahwa meskipun kami berada di sini, kami tidak benar-benar terpisah dari orang-orang yang kami cintai.
"Cuma sepuluh menit," kata seorang narapidana sambil menatap layar dan tersenyum pahit, "tapi sepuluh menit itu bikin hidup jadi lebih berwarna." Panggilan video ini memang singkat, tapi bagi mereka, itu adalah penghubung kecil ke dunia luar. Satu-satunya pengingat bahwa ada orang yang masih memikirkan mereka di luar sana. Meski begitu, panggilan video ini punya aturan ketat. Mereka hanya boleh menerima panggilan tanpa bisa menelpon balik. namun dihari-hari lain tersedia layanan khusus bagi keluarga yang ingin menyampaikan kabar darurat.
Pengawasan panggilan ini juga ketat. Pihak penjara selalu memastikan bahwa panggilan hanya untuk komunikasi yang wajar dan pihak keluarga Napi yang terdaftar saja. Kalau sampai ada yang melanggar aturan, seperti mencoba dihubungi orang yang tidak terdaftar, haktersebut bisa dicabut.
Biarpun ada banyak batasan, para narapidana tetap sangat menghargai waktu singkat ini. Di momen-momen singkat ketika mereka bisa bertatapan dengan keluarga, ada secercah harapan yang terasa. Mereka jadi ingat bahwa meskipun terpisah, mereka tidak sendirian.
Pagi itu, seperti minggu pagi lainnya, saat sinar matahari mulai menyentuh tanah, diriku menikmati bermain voli bersama beberapa kawan. Kami tertawa, berteriak, dan berusaha melupakan sejenak beban hidup yang menghimpit. Keceriaan kecil itu terpotong saat seorang petugas lapas mendekat dan memanggilku.
Tiga bulan sudah, surat permohonan peninjauan kembali yang ku susun bersama Bu Hera —mantan hakim, yang sudah kuanggap sebagai ibuku di sini- dikirimkan melalui petugas lapas. Rasanya waktu berlalu begitu lama. Setiap detik menambah ketegangan yang terpendam dalam hati, seolah hidupku dalam penantian yang tak berkesudahan.
Di balik jeruji besi ini, harapan sering kali menjadi satu-satunya pegangan yang bisa kutemukan. Bu Hera, mantan hakim, ibunya Doni, yang telah menjadi penyelamatku di tengah hidup yang serba sulit ini, berjanji akan berjuang untukku. Beliau telah tahu betul bagaimana rasanya terjebak dalam dunia ini tanpa peluang untuk keluar. Keberanian dan keteguhan hatinya menjadi api yang menyalakan harapanku, meskipun ku tahu bahwa segala sesuatu yang bisa kulakukan hanyalah menunggu, menunggu, dan terus menunggu.
Pagi itu, suara petugas menghentikan penantianku. "Sarah, ada panggilan untukmu," katanya dengan nada datar, seperti biasa.
Diriku langsung tergerak, seakan tubuhku bergerak tanpa perintah. Panggilan itu—ku tahu itu—adalah sesuatu yang penting. Sambil bergegas menuju ruangan yang sudah disediakan, perasaanku campur aduk antara cemas dan antusias. Petugas menyerahkan sebuah ponsel—sebuah benda yang sudah begitu asing bagiku. Teknologi ini sudah terlalu lama kuabaikan. Diriku masih ingat jelas, terakhir kali ku memegang ponsel, itu sekitar sepuluh tahun lalu, saat kabar kematian ibuku datang, menghancurkan semua harapan dan membawaku ke tempat ini.
Ku pegang ponsel itu dengan canggung, merasa aneh sejenak. Layarnya begitu canggih tinggal di sentuh, jauh lebih maju dari yang terakhir kali ku lihat. Tapi kali ini, ku tidak punya waktu untuk terpana. Di seberang sana, suara seorang pengacara menyapaku.
"Halo Assalamualaikum Sarah? perkenalkan saya, Maulana Yusuf. Saya yang akan menangani kasusmu."
Suara itu, meskipun terdengar profesional, membawa kehangatan yang langsung membuat hatiku sedikit lebih tenang. Pengacara baru? Diriku menelan ludah, mencoba menata pikiranku. Setidaknya ini kabar baik, kan? Ada seseorang yang mau memperjuangkan nasibku, seseorang yang bersedia mengambil alih kasus yang telah memenjara hidupku selama bertahun-tahun.
"Waalaikumsalam, Pak, Apakah surat permohonan peninjauan kembali sudah sampai?" tanyaku dengan suara yang sedikit gemetar.
"Ya, sudah. Kami sedang memprosesnya. Saya paham situasi yang kamu hadapi, Sarah. Ini akan menjadi perjuangan panjang, tapi saya berjanji, saya akan berusaha semaksimal mungkin," jawabnya dengan tenang.
"Syukur Alhamdullilah, Pak. Saya benar-benar berharap bisa segera disidangkan" balasku bersemangat.
"ya sudah nanti saya kabari kalau ada perkembangan." tutupnya.
"Terima kasih, Pak mohon bantuannya." tutupku.
Diriku menutup mata sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Sebuah harapan baru—meskipun masih jauh dan tidak pasti—kembali tumbuh. Diriku belum tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ku merasa ada secercah cahaya di ujung terowongan gelap ini. Mungkin, hanya mungkin, diriku bisa keluar dari sini. Mungkin masih punya kesempatan untuk mengubah hidupku.
Meskipun waktunya terbatas, setiap kalimat dari pengacara itu memberikan secercah kekuatan baru untuk bertahan. Ku tahu perjuanganku belum selesai, dan jalan yang harus kutempuh masih panjang. Tapi pagi itu, di tengah penantian yang begitu lama, diriku merasa lebih dekat dengan kebebasan daripada sebelumnya.
Suasana hatiku semakin ceria setelah menerima kabar tadi. diriku kembali ke kegiatan yang sempat terhenti—permainan voli yang sedang berlangsung. Di lapangan kecil itu, seiring dengan suara riuh teman-temanku, diriku merasa sejenak bisa melupakan segala beban hidupku. Dalam satu putaran bola, ku merasa bebas.
Diriku melompat tinggi, menundukkan kepala sedikit, lalu dengan tenaga penuh, melepaskan sebuah smash tajam. Bola meluncur cepat, tak mampu dijangkau oleh lawan. Point untuk tim kami. Kurasakan sensasi yang luar biasa ketika bola itu jatuh di lapangan lawan. Momen kecil seperti itu, kemenangan dalam permainan voli, terasa seperti pencapaian besar bagi kami di sini, di antara tembok-tembok yang membatasi kebebasan.
Beberapa teman yang duduk di luar lapangan menghampiri, tertawa dan memberi selamat. Mereka tahu betul bahwa di dalam penjara, apapun yang membuat kita merasa hidup dan dihargai menjadi sangat berarti.
"Keren, Sarah! Smash-nya tajam banget," salah satu dari mereka, Bu Hera, berkata sambil menepuk pundakku. "Nak Sarah, Ada kabar bagus, ya? Kelihatan sekali kamu ceria."
Diriku tersenyum tipis, berusaha menjaga ekspresi wajah agar tidak terlalu terbuka. Bu Hera dan beberapa kawan lainnya sudah cukup lama tahu tentang perjuanganku untuk mengajukan peninjauan kembali. Ku tidak ingin memberi harapan yang terlalu tinggi, tapi entah kenapa, rasanya hari ini berbeda. Ada perasaan ringan di dadaku, seolah bisa menghadapi segala sesuatu dengan lebih baik.
"Iya, ada kabar. Pengacara baru ku—Pak Maulana Yusuf—bilang kalau kasusku sedang diproses. Mungkin ada perkembangan sedikit," jawabku, mencoba tidak terlalu menunjukkan rasa terlalu antusias. "Tapi masih jauh sih, belum ada yang pasti."
"Apapun itu, yang penting tetap semangat, Sarah," kata Bu Hera sambil menepuk tangan. "Hari-hari kita di sini memang penuh dengan ketidakpastian, tapi jika kita tetap kuat, sedikit demi sedikit pasti ada jalan keluar."
Aku mengangguk pelan, merasakan energi yang datang dari kata-katanya. Di sini, di penjara ini, kita memang harus mencari kekuatan di setiap sudut. Kekuatan dalam setiap percakapan, dalam setiap permainan, dalam setiap langkah yang kita ambil meskipun dalam kebingungan.
Seiring permainan berlanjut, diriku merasa lebih ringan. Smash demi smash, tim kami menang beberapa set berturut-turut. Senyum lebar muncul di wajahku—sesuatu yang jarang terjadi belakangan ini. Hari ini, di tengah keterbatasan ini, ada rasa sedikit kebebasan, sedikit lebih hidup.
Ketika pertandingan selesai, beberapa teman berkumpul di sekitar lapangan, membicarakan hasil pertandingan dan bercanda. Namun pikiranku kembali melayang ke percakapan dengan pengacara tadi. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, ada secercah harapan yang tak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam diriku sendiri.
Mungkin benar kata Bu Hera, bahwa meskipun kita terkurung dalam batasan-batasan ini, selama kita tetap semangat dan berusaha, jalan keluar pasti ada. Dan dirku, untuk pertama kalinya, merasa lebih dekat untuk meraih kebebasan itu—kebebasan bukan hanya fisik, tetapi juga kebebasan jiwa yang telah lama terpenjara oleh penyesalan, rasa takut, dan ketidakpastian.
Hari yang menyenangkan—bukan karena kemenangan di lapangan voli, tetapi karena diriku merasa lebih dekat dengan apa yang kutunggu selama ini: kebebasan, baik dari penjara ini maupun dari beban berat yang selama ini menekan hatiku.
Kebutuhan primer
Hari barupun tiba, seperti biasa setelah rutinitas pagi yang gaduh dan perhitungan tuntas, saatnya pembagian tugas oleh petugas jaga. Pagi itu diriku kebagian tugas di ruang garmen, ada suplai kain baru saja datang. Ruangan garmen ini baru didirikan sekitar tiga tahun yang lalu, sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan primer akan pakaian yang layak bagi kami sekitar 200 narapidana. Sebelumnya kebutuhan primer kami akan pakaian selalu kekurangan, sering kali kami menggunakan pakaian yang sudah tidak layak penuh sobekan, compang camping, dikarenakan suplai yang terbatas dari ibukota dan menghabiskan biaya besar.
Baru beberapa kali diriku mendapatkan tugas di bagian garmen ini, namun dengan bimbingan dari beberapa napi yang memiliki skill menjahit, diriku sudah cukup mahir untuk menandai pola, memotong kain, bahkan menjahit hingga menjadi pakaian jadi.
Ruangan garmen ini menjadi salah satu tempat paling vital di pulau penjara ini, dengan deretan sepuluh mesin jahit yang berdengung setiap harinya. Di sini, kami memproduksi semua barang berbahan kain yang dipakai di oleh kami narapidana : seragam, seprai, handuk, mukena, bahkan pakain dalam dan berbagai kebutuhan kain lain. Di ruangan ini juga, kami bisa menggunakan gunting dan cutter—alat yang jarang ditemukan di luar ruangan ini, dan memerlukan pengawasan ketat dari petugas.
Saat diriku mulai merapikan tumpukan kain di mejaku, seorang ibu napi senior datang dan mengambil tempat di sebelahku, menyiapkan kain yang akan dijahitnya menjadi mukena. Wajahnya tampak tenang, matanya fokus pada setiap lipatan kain.
"Sarah," katanya pelan, sambil membelai kain di tangannya, "kamu tahu, dulu sebelum di sini, saya seorang penjahit, tapi saat itu tidak pernah terpikir betapa pentingnya sebuah pakaian. Di sini, dengan segala macam aktivitas kerja, seragam ini rasanya sudah seperti... kulit kedua kita."
Aku tersenyum pahit, menanggapi sambil menyesuaikan benang di mesinku. "Iya, Bu. Anehnya, meskipun seragam ini bukan milik pribadiku, diriku menghargai pakaian sederhana ini. Bahkan, rasanya lebih penting dari pakaian mana pun yang pernah kupakai di luar sana."
Ibu penjahit tadi mengangguk setuju. "Mungkin karena kita tahu, ini satu-satunya kain yang menutup tubuh kita. Kalau robek, kita yang menjahit. Kalau berlubang, kita yang tambal." Dia menghela napas sejenak, kemudian melanjutkan, "Setiap jahitan punya arti di sini. Bahkan meskipun ini hanya pakaian yang sangat sederhana, kita mengandalkannya setiap hari."
Diriku melihat sekeliling, memperhatikan beberapa narapidana lainnya yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang sedang membuat pola, memotong kain untuk seragam baru, ada yang mengukur panjang mukena, ada yang menambal lubang pada seragam usang. Kami semua bekerja tanpa henti penuh konsentrasi, hanya dipecah oleh suara mesin jahit yang berirama.
Satu suara lain terdengar dari sisi meja. Salah satu napi muda, bertanya dengan nada ragu, "Bu, kenapa ya kita tidak pernah dikasih model pakaian lain? Kan, model seragam ini sudah lama banget. Saya suka bosan lihatnya."
Ibu penjahit tersenyum tipis sambil tetap fokus pada pekerjaannya. "Nak, seragam ini memang bukan soal model. Kita di sini tidak punya kemewahan untuk memilih. Seragam ini adalah perlindungan kita. Di sini, kita sama—tidak ada yang lebih, tidak ada yang kurang."
Diriku menimpali, "Fashion mode is part of the daily air and it changes all the time we can't follow it" "Kamu tahu, seragam ini, meskipun sederhana dan tanpa kantong, tapi nyaman dipakai siapa saja, Setidaknya dengan semua keterbatasan ini, kita dapat pakaian ini gratis dan bisa kita andalkan setiap hari."
Napi itu mengangguk pelan, tampaknya memahami maksudku, meski masih ada sedikit kekecewaan di matanya.
Saat kami melanjutkan pekerjaan, Bu penjahit berbisik padaku, seakan-akan meluahkan pikirannya, "Sarah, kamu tahu, hidup di sini tidak memberi kita banyak pilihan, tapi paling tidak kita bisa menciptakan sedikit kenyamanan bagi diri kita sendiri."
Dirku mengangguk pelan, kembali fokus pada jahitanku. Ada kedamaian kecil dalam kesibukan kami di ruang garmen ini—tempat di mana setiap seragam, setiap seprai, dan setiap mukena dibuat dengan tangan dan kesabaran kami sendiri. Barang-barang sederhana ini bukan hanya sekadar kain. Mereka adalah penopang kami, dan, dengan cara yang sulit diungkapkan, mereka juga pengingat bahwa di balik setiap benang yang kami jahit, ada tekad untuk terus bertahan.