Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 25 - Kenangan Pahit

Chapter 25 - Kenangan Pahit

Sinar matahari pagi menembus celah-celah jendela kapal, menggoyangkan bayangan di dinding. Di atas perahu yang bergetar dalam perjalanan menuju peninjauan kembali kasusku, diriku, Sarah Rahmawati, merasakan gelombang emosi yang tak tertandingi. "I should never have been here" Perasaan itu terus terngiang saat memandangi ombak yang berdebur di samping kapal, mengingatkan pada segala yang telah kulewati selama dua belas tahun terakhir di pulau Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan. 

Seiring doa yang tulus, harapan yang besar, perjuangan keras dan juga diikuti kesedihan yang mendalam Bu hera, yang menjadi ibu penyelamat hidupku kebebasan kini ada di depan mataku. perjalanan menuju kehidupan baru yang mungkin menanti. 

Namun bayang-bayang kelam kebenaran di balik tuduhan yang membawaku ke sini masih membekas, tuduhan membunuh pacarku, sebuah tuduhan yang selalu kutolak. Sejak saat itu, hidupku terikat pada dinding-dinding penjara yang dingin.

"Sudah dua belas tahun," pikirku, merasakan beratnya kata-kata itu. Kenangan baik dan buruk berkelebat dalam ingatan, seakan menari-nari di antara gelombang ombak yang tak terputus. "Apa yang telah terjadi padaku? Apa yang telah kutinggalkan?"

Dalam keheningan itu, bayangan masa lalu mulai menampakkan diri. Tawa riang dari teman-teman narapidana saat kami merayakan panen, meskipun hanya dengan masakan sederhana yang kami hasilkan dan buat sendiri. Momen-momen kecil itu, di mana kami saling mendukung satu sama lain, membangun persahabatan di balik jeruji besi. "Di sinilah aku belajar arti sejati dari persahabatan," bisikku, merindukan momen-momen hangat itu.

Namun tidak semua kenangan itu manis. Diriku teringat saat-saat gelap ketika keputusasaan mencekikku. Saat penindasan menimpaku, Saat menerima kabar buruk tentang ibuku, bagaimana rasa sakitnya saat terpaksa mengubur harapan untuk kembali ke pelukan Ibu. "Berjuang sendirian di tempat ini, di mana semuanya terasa sia-sia…" pikirku, menahan air mata yang ingin tumpah. 

Pendosa

Para narapidana di lapas perempuan ini bukanlah pelaku kejahatan ringan. Sebagian besar dari kami adalah penjahat kelas berat, terlibat dalam kejahatan yang dilakukan atas dorongan emosi dan hawa nafsu. Ada pembunuh, perampok, bandar narkoba, penyelundupan manusia, teroris, bahkan mereka yang melakukan kekerasan terhadap keluarga sendiri. Di balik jeruji ini, kami terjebak dalam penyesalan atas dosa-dosa kami, mencoba memahami mengapa hidup membawa kami ke tempat ini.

Penjara ini penuh dengan perempuan-perempuan yang telah membuat kesalahan besar di masa lalunya, sebagian besar dari mereka telah mengakui dosa-dosanya, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, dan memohon ampunan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam kesendirian malam, doa-doa sering terdengar dari setiap sel, memohon ampunan, memohon kesempatan kedua. Kami tahu, dosa kami tidak hanya kepada Tuhan tetapi juga kepada negara. Sambil menunggu permohonan grasi yang diajukan ke Presiden, kepala negara kami, sebagian besar dari kami memilih untuk bertahan, menjalani hukuman yang seakan tiada akhir, dan berusaha menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Namun, di antara kami, selalu ada yang berbeda. Tidak semua perempuan yang masuk ke tempat ini datang dengan hati terbuka yang siap bertobat. Beberapa di antara kami tetap dikuasai oleh hawa nafsu dan kejahatan. Mereka adalah manusia yang seolah menyerah kepada setan—musuh terbesar umat manusia. Setan masuk ke dalam hati mereka, tidak takut neraka, bahkan tidak percaya Tuhan, membuat mereka merasa berhak berkuasa di balik jeruji ini.

Mereka menindas yang lemah, membuat penjara ini seperti neraka kecil bagi kami yang tak mampu melawan. Di luar sel, mereka tunduk kepada petugas, takut akan hukuman dan pengawasan ketat. Tapi begitu pintu-pintu sel tertutup, mereka menunjukkan wajah aslinya. Mereka berkuasa di dalam, memperbudak, menindas narapidana yang lebih lemah, meminta dilayani, dipijat, menyiksa, bahkan meminta dipuaskan sesuai keinginan mereka.

Ketakutan menjadi mata uang di sini. Jika seseorang menunjukkan kelemahan, mereka akan langsung menjadi sasaran. Tidak ada aturan di dalam sel, hanya hukum rimba yang berlaku. Diriku sendiri pernah menyaksikan dan mengalami bagaimana seorang napi yang lebih lemah dipaksa bekerja seperti pelayan pribadi—mengambilkan menyuapi makanan, memijat, mencuci kaki, dan bahkan hal-hal yang lebih menjijikkan. Semua ini terjadi tanpa bisa dicegah. Kami hanya bisa berharap bahwa satu hari, keadilan akan benar-benar datang.

Salah satu napi yang dikenal paling berkuasa di sini adalah Mama Ola. Ia dihukum seumur hidup karena kasus pembunuhan berantai, seorang perampok, perempuan bertubuh besar dengan tatapan dingin yang membuat siapa pun ciut nyalinya. Di luar sel, ia tunduk kepada petugas, bahkan sering berlagak seperti napi yang berkelakuan baik. Tapi di dalam sel, ia adalah ratu. Ia memperbudak beberapa napi yang lebih lemah, termasuk diriku.

Diriku sering dipaksa, memijat kakinya, badanya hingga larut malam. Pernah suatu kali, diriku menolak permintaannya karena tubuhku terlalu lelah setelah bekerja di ladang sepanjang hari. Dia, dengan wajah marah, menyeretku ke pojok sel. Diriku yang masih lemah saat itu tidak bisa berbuat apa-apa begitu juga napi lain di sel itu.

"Kamu pikir di sini ada yang gratis, hah?" bentaknya sambil mencengkeram kerah bajuku. "Kalau kamu mau hidup nyaman, kamu harus patuh! Kalau tidak, jangan salahkan aku kalau kamu tidak selamat di sini."

Diriku hanya bisa menangis, memohon agar dibiarkan pergi. Tapi dia tidak peduli. Ia bahkan meminta ku untuk memijatnya di depan semua orang, mempermalukanku tanpa ampun.

Di malam hari, Dina pernah menantangku "Mbak opo'o kok ga bbok lawan ?" tanyanya, mencoba memberikan dukungan.

Diriku hanya menunduk. "aku wedi, Mbak. lek ta lawan, urip ku bakal luwih sengsoro nang kene, anak buah'e akeh."

Diriku menghela nafas panjang, mencoba meredam amarah yang mendidih di dadaku. Situasi ini bukan hal baru, dan petugas sering kali menutup mata terhadap apa yang terjadi di dalam sel. Mereka hanya peduli saat kerusuhan pecah atau ada laporan resmi, yang jarang terjadi karena napi takut akan balas dendam dari penguasa sel seperti Mama Ola.

"Awakku sakjane yo wedi, Mbak. Tapi lek ga iso ngelawan sing penting awakdewe ojo sampai nyerah opo maneh putus asa," ucap Dina sambil menggenggam tanganku.

Tak lama hari-hari pun berlalu, dan diriku mencoba bertahan, beruntung penindasan antar napi itu akhirnya berakhir, dia kalah oleh ganasnya pulau ini, penyakit demam berdarah merenggut nyawanya. Tapi ku tahu, selama sistem di penjara ini tidak berubah, selama manusia penindas dibiarkan berkuasa, luka di hati para napi sepertiku akan terus menganga.

Di tempat ini, hukum rimba benar-benar nyata. Diriku sering berpikir, di mana letak keadilan dalam semua ini? Penjara seharusnya menjadi tempat pembelajaran, tempat orang-orang seperti kami bisa berubah. Tapi nyatanya, bagi sebagian orang, ini adalah neraka yang lebih mengerikan daripada hukuman mati sekalipun.

Di tempat ini, kami tidak hanya berperang dengan dosa masa lalu, tetapi juga dengan setan yang menjelma menjadi manusia di antara kami. Meski begitu, aku mencoba bertahan, memohon perlindungan kepada Allah, karena aku tahu hanya Dia yang bisa menyelamatkanku dari semua ini.

"Setan bisa menguasai hati kita jika kita membiarkannya," ucapku suatu malam kepada seorang kawan. "Tapi jika kita tetap kuat, tetap berpegang pada iman, kita bisa bertahan. Tidak peduli seberapa gelapnya dunia ini."

Bagiku, penjara ini bukan hanya tempat hukuman, tetapi juga tempat ujian. Diriku hanya berharap, ketika waktunya tiba, aku keluar dari sini sebagai manusia yang benar-benar bebas—bebas dari dosa, dari ketakutan, dan dari kekuasaan setan yang mengikat jiwa ini.

Kelaparan

Pernah beberapa bulan kami merasakan kelaparan akibat sawah kami gagal panen. Kami kelaparan, makan hanya dua hari sekali. Begitu banyak malam yang kami lewati dengan perut kosong, dan setiap hari terasa lebih berat dari yang sebelumnya. Kami terpaksa bertahan dengan apa yang ada—sesekali mendapatkan sepotong ubi keras atau air yang hampir tak layak diminum. Kelaparan menjadi sahabat yang tak diinginkan, dan ketidakpastian masa depan semakin menambah penderitaan.

Tidak hanya kelaparan, bencana alam juga datang menyapa. Badai yang datang dengan ganasnya dan gempa bumi yang hampir membunuh kami, semuanya terjadi saat kami terkurung di dalam sel, tanpa ada kesempatan untuk menyelamatkan diri. Tembok penjara yang dulu terasa kokoh kini terasa seperti perangkap maut yang siap menelan kami kapan saja. Kami berteriak minta tolong, namun tidak ada yang bisa kami lakukan selain berdoa agar bencana itu segera berlalu. Getaran gempa begitu kuat, dan angin badai begitu kencang, sampai-sampai aku merasakan seluruh dunia seperti ingin runtuh di atas kami. Kami hanya bisa berdoa dalam kegelapan sel yang sempit itu, berharap Allah masih memberi kami kesempatan untuk bertahan hidup.

Saat-saat seperti itu, aku merasa seolah-olah hidup ini begitu rapuh. Kami terkurung dalam keadaan yang tak memberi jalan keluar, terjebak dalam ruang sempit dengan kebijakan yang tidak pernah berpihak kepada kami. Di tengah rasa takut akan bencana yang datang tanpa peringatan, dan perut yang tak pernah kenyang, aku sering bertanya pada diri sendiri—apakah hidup ini akan selalu seperti ini? Apakah ada jalan keluar dari penjara ini?

Kini ku tahu, kebebasan bukan hanya soal keluar dari penjara fisik ini, tetapi juga tentang melepaskan segala rasa sakit dan penderitaan yang mengikat hati dan pikiran. Perjalanan ini memang penuh ketidakpastian, tetapi aku percaya bahwa setiap langkah yang kuambil, meski terasa kecil, membawa aku lebih dekat kepada kebebasan yang sejati. Tidak ada yang tahu kapan akhir dari perjalanan ini, tetapi aku tahu satu hal—aku tidak akan berhenti berjuang.

"Di sini juga, ku belajar bertahan hidup bertahan dari kebencian," sambungku, mengingat kembali perseteruan dengan beberapa narapidana lain. Kebencian yang kadang membuatku merasa terasing. Namun di sisi lain, kebencian itu juga memberiku kekuatan untuk bertahan. "Ada kekuatan dalam diriku yang tidak pernah kutemukan sebelumnya," kataku, merasakan api semangat yang menyala kembali. 

"Sungguh ironis," ku melanjutkan dalam batinku, "aku datang ke sini merasa tertekan dan terasing, tetapi justru di tempat ini, aku menemukan jati diriku." Meskipun penjara telah merampas banyak hal, aku menemukan keberanian yang tidak pernah kukira ada dalam diriku. "Setiap perjuangan, setiap air mata, semua itu membentuk siapa diriku sekarang."

Saat kapal terus melaju, aku juga merenungkan penyesalan yang menggelayuti hatiku. "Menyesal atas keputusan yang membawaku ke sini… menyesal tidak cukup cepat mendengarkan suara hatiku. Apakah aku bisa memperbaiki semuanya?" pikirku, berharap pada masa depan yang lebih cerah.

Kemudian, suara hatiku berbicara dengan lembut, "Sarah, kamu tidak bisa mengubah masa lalu. Tetapi kamu bisa belajar darinya. Setiap langkah yang kamu ambil, setiap keputusan yang kamu buat sekarang, adalah kesempatan untuk memperbaiki dirimu." 

Dan saat aku merasakan getaran harapan itu, aku teringat Bu Hera. "Dialah yang telah menjadi penopangku selama ini, mengajarkan bahwa meski hidup ini penuh dengan rintangan, harapan masih ada. Dia selalu percaya padaku." 

Menyadari semua ini, aku berjanji pada diriku sendiri. "Aku tidak akan membiarkan masa lalu mendefinisikan masa depanku. Aku akan mengambil semua pelajaran ini, mengubahnya menjadi kekuatan untuk melanjutkan hidup. Keluarga, persahabatan, perjuangan—semua itu akan membawaku menuju kebangkitan." 

Diriku mengusap air mata yang jatuh, kini lebih bersemangat. "Selamat tinggal masa lalu, selamat datang masa depan." Meskipun perjalanan ini penuh ketidakpastian, ada keyakinan yang tumbuh dalam diriku bahwa, akhirnya, aku akan menemukan kebebasan yang sesungguhnya—kebebasan dari dalam diriku sendiri.