Dua minggu setelah menjalani masa orientasi di Lapas perempuan di ibukota, hidupku yang terasa monoton tiba-tiba saja mendapatkan warna baru. Hari itu, petugas mendatangiku "Sarah, ada yang ingin bertemu." ucapnya tegas sambil memakaikan borgol dan membuka pintu selku, tanpa bertanya, diriku dikawal menuju di sebuah ruangan kecil dengan dinding bercat kusam dan suasana yang dingin. "tunggu di sini, saya akan persilahkan pengacaramu masuk." ucap petugas. Diriku menunggu pengacaraku datang. Perasaan gugup, antusias, dan canggung bercampur jadi satu. Sudah lama sekali diriku tidak berhadapan langsung dengan seorang pria, apalagi pria yang katanya memiliki reputasi sebagai salah satu pengacara muda paling berbakat di kota.
Pengacara Ganteng
Ketika pintu berderit terbuka, hatiku seolah berhenti sejenak. Dia masuk, seorang pria bertubuh tinggi, atletis, ganteng, rambut hitam yang klimis tertata rapi, dan senyum yang entah bagaimana terasa menenangkan tapi juga membuat jantungku berdegup lebih kencang. Jasnya terlihat elegan meski dasinya agak miring—detail kecil yang justru membuatnya terlihat lebih manusiawi di mataku.
"Assalamualaikum, Sarah Ratnawati?" suaranya dalam tapi lembut, seakan dirancang untuk menenangkan orang yang diajaknya bicara. Diriku hanya mengangguk, lidah kelu. Dia memperkenalkan diri, "Saya Maulana Yusuf, pengacara anda, kita sudah sempat komunikasi lewat telepon waktu itu." Senyumnya mengembang, tapi ada kilatan serius di matanya, seperti dia benar-benar ingin membantuku. Ada kehangatan aneh yang menyelinap di antara rasa cemas yang tadi memenuhi hatiku.
Saat menjabat tangannya, diriku merasakan sengatan lembut yang membuatku terdiam sejenak. Bukan karena sakit, tapi karena ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan—perasaan yang belum pernah diriku rasakan sebelumnya. Diriku buru-buru menarik tangan dan menunduk, takut dia bisa membaca keterkejutanku.
"Waalaikumsalam, Pak Maulana, terima kasih sudah datang dan membantu" jawabku gugup. Diriku merasa suaraku sedikit bergetar, dan itu membuatku semakin canggung. Dia tertawa kecil, sebuah tawa yang membuat garis-garis di wajahnya terlihat lebih ramah.
Dia duduk di seberangku, kembali serius, tatapannya tenang dan menenangkan. "Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya Mbak Sarah, saya sudah mempelajari kasus anda, dan saya yakin kita bisa menyusun argumen yang kuat untuk pembebasan anda, jadi tolong tandatangani surat kuasa ini," ucapnya dengan nada yakin.
Kami duduk, dan dia mulai menjelaskan proses persidangan ulang. Namun, pikiranku terus melayang. Setelah lebih dari 13 tahun terkurung, bisa berbicara dengan orang lain seperti ini terasa begitu aneh. "Kamu tidak tahu seberapa berartinya kesempatan ini bagi diriku," ucapku pelan, berusaha menahan emosi yang meluap.
"Ini hanya awal, Mbak Sarah. Kita harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa ada bukti baru," jawabnya, menatapku dengan serius. "Apa yang bisa anda ceritakan tentang kejadian itu?"
Saat diriku mulai mengisahkan kejadian tragis yang menimpaku, kenangan pahit kembali menghantui. Kejadian di puncak gunung, pertengkaran yang tak pernah berujung, dan bagaimana semuanya berujung pada kematian pacarku. "Saya tidak membunuhnya. Itu semua kecelakaan," ucapku, air mata menggenang di mataku. "Cerita lengkap sudah saya tulis di surat."
"Tapi kita harus bersiap. Evaluasi psikologis dan tes pendeteksi kebohongan akan segera dilakukan. Penting untuk memverifikasi pernyataan Anda tentang kejadian itu—tentang kematian pacar Anda."
"Bawa santai saja, Mbak Sarah. Saya nggak menggigit kok," candanya sambil membuka tasnya di meja. "Oh iya, saya bawakan kopi sama cemilan. Saya dengar ga ada kopi di sini, jadi saya pikir ini bisa bikin kita ngobrol lebih nyaman."
"Wah, terima kasih, ngerepotin, kebetulan udah lama ga minum kopi Pak," jawabku sambil bercanda.
Dia menatapku dengan pandangan yang seolah mencoba menembus dinding yang selama ini kubangun. Tatapan itu hangat, tidak menghakimi, dan jujur saja, sedikit terlalu menawan untuk seseorang yang biasa bergelut di dunia hukum.
"Kita sepertinya seumuran, kan? Panggil saja Mas, nggak usah Pak segala," tambahnya sambil menyesap kopinya. Diriku hanya tersenyum kecil, merasa kikuk. "iya Pak, eh Mas."
Dia mulai membuka berkas dan menjelaskan langkah-langkah yang akan kami ambil untuk kasusku, tapi pikiranku hampir tak bisa fokus. Suaranya menjadi latar belakang lembut yang menenangkan, sementara diriku mencuri pandang ke arah wajahnya yang bersungguh-sungguh saat berbicara.
Di tengah diskusi, dia melontarkan lelucon kecil untuk mencairkan suasana, dan diriku tanpa sadar tertawa—sebuah tawa yang rasanya seperti kebebasan kecil di tengah penjara ini.
Dia menyeruput kopinya pelan, kemudian meletakkan cangkir itu sambil menatapku dengan senyum yang seperti akan menyusun kalimat iseng.
"Mbak Sarah," katanya dengan nada ringan, "tahu nggak, sebenarnya ada tipe orang yang mau datang ke penjara secara sukarela?"
Diriku mengerutkan kening, mencoba menebak, tapi akhirnya hanya menggeleng. "Siapa?" tanyaku penasaran.
"Ya, pengacara… dan orang yang ngaku tidak bersalah," jawabnya sambil menyeringai.
Diriku sempat terdiam sebentar, lalu tawa kecilku pecah tanpa bisa kutahan. "Duh, Mas, lawakan macam apa itu? untung pengacara nya ganteng jadi bolehlah," balasku sambil menggeleng geli.
Dia tertawa kecil sambil mengangkat bahu. "Lah, itu jokes spesial penjara! Biasanya sukses bikin klien saya yang paling muram pun ketawa. Tapi kalau kamu senyum begini, berarti saya nggak salah kan?" katanya, matanya menyala jahil.
Diriku hanya bisa menunduk sambil mencoba menyembunyikan senyumku, tapi percuma. Dia sudah menang dengan caranya sendiri, membuat suasana yang tadinya tegang jadi lebih hangat.
"Kalau nanti diriku keluar dari sini, bakal dipastikan nggak akan kembali lagi ke penjara," kataku dengan nada bercanda.
"Bagus, itu langkah pertama menuju kehidupan bebas. Tapi jangan lupa juga, langkah pertama lainnya adalah percayakan kasus kamu sama pengacara yang lucu ini," balasnya dengan nada menggoda.
Diriku tertawa lagi, kali ini lebih lepas. Siapa sangka, di balik keseriusan seorang pengacara, ternyata ada sisi humor yang bisa membuat diriku, seorang narapidana yang kehilangan banyak harapan, merasa hidup kembali.
Ada sesuatu tentang Mas Maulana yang membuat diriku merasa… hidup kembali. Mungkin itu karena keyakinannya bahwa diriku pantas mendapatkan keadilan, atau mungkin karena caranya memperlakukanku seperti seseorang yang berharga. Tapi lebih dari itu, ada percikan halus di antara kami yang tak bisa kuhindari—percikan yang membuat diriku bertanya-tanya, apakah dia juga merasakannya?
Disisi lain, pikiranku masih terasa sesak. "Dan kalau diriku gagal lagi gimana?" tanyaku lirih, mataku berkabut dengan kecemasan.
"Tenang aja Mbak Sarah, kali ini kamu tidak akan gagal," Mas Maulana pengacaraku meyakinkanku, matanya penuh keyakinan. "Kita sudah berjuang sejauh ini. Kamu telah hidup dengan kebenaran ini bertahun-tahun, dan psikolog itu akan menyadarinya."
Di akhir pertemuan singkat itu, diriku meminta tolong padanya, "Pak eh Mas, bisakah tolong bantu hubungi orang tuaku, H. Suryo Subranto? Diriku ingin tahu kabar ayahku."
Setelah pertemuan kami usai, Mas Maulana tampak berpikir sejenak, kebingungan mencari HP dan kunci mobilnya, padahal kunci mobilnya dititipkan di loker. "Kenapa, Pak? Cari sesuatu?" tanyaku bingung melihat gelagatnya.
"Iya, cari kunci. Lah, kenapa panggil Pak lagi? Panggil saja Mas," balasnya.
"Tadi kan Pak, eh Mas, cuma bawa berkas saja ke sini, nggak bawa kunci," jawabku.
"Oh iya, lupa. Kunci tadi dititipkan di loker," katanya dengan nada bercanda.
Lalu dengan nada jahil ia menambahkan, "Oh iya, ada lagi nih. Kamu tahu nggak kenapa penjara itu tempat yang paling aman buat orang lupa kunci?"
Diriku mengerutkan kening lagi. "Kenapa, Mas?"
"Soalnya di sini semua pintu otomatis terkunci dari luar!" katanya sambil tersenyum lebar.
Diriku tertawa sampai harus menutupi mulutku dengan tangan. "Mas, itu bercanda atau sindiran, sih?" tanyaku sambil menggeleng tak percaya.
"Anggap saja bonus dari pengacara. Saya nggak cuma bantu membebaskan kamu, tapi juga bikin kamu senyum. Itu bagian dari servis," jawabnya dengan nada main-main.
"Wah, kalau servisnya seperti ini, bisa-bisa diriku ketagihan punya kasus," balasku sambil bercanda.
Dia tertawa lepas. "Kalau itu, jangan! Nanti saya pensiun lebih cepat karena kelelahan ngurusin kamu terus!" candanya.
Diriku merasa lebih ringan setelah obrolan ini. Maulana tahu bagaimana caranya membawa kehangatan di tempat yang dingin seperti penjara. Dan anehnya, diriku merasa percikan kecil antara kami semakin terasa nyata.
Setelah pertemuan kami, saat berjalan kembali ke sel, diriku tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang berputar-putar dalam kepala. Bertahun-tahun diriku terkurung jauh dari dunia, namun kini ada pria ini—pengacara tampan ini—yang membuatku merasakan gejolak perasaan yang telah lama terlupakan. Rasanya seperti ada harapan baru yang mulai tumbuh di dalam diriku, meski keraguan dan ketakutan masih membayangi setiap langkahku.
Setelah kembali ke sel, pikiranku terus dipenuhi oleh percakapan tadi. Maulana Yusuf. Nama itu terus bergema di kepalaku. Pengacara tampan itu tidak hanya membawakan berkas dan kopi, tapi juga membawa sesuatu yang belum diriku rasakan selama bertahun-tahun: kehangatan dan harapan.
Diriku berbaring di ranjang sempit yang sudah lama menjadi satu-satunya tempatku merenung. Perasaan canggung bercampur dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang membuatku merasa hidup kembali. Bukan hanya karena senyum dan candaan Mas Maulana, tapi karena caranya memandangku, seolah diriku adalah seseorang yang layak diperjuangkan.
Malam itu, diriku mencoba membaca ulang surat yang pernah kutulis tentang kejadian di puncak gunung. Setiap kata membawa kembali kenangan pahit yang ingin kulupakan, tapi entah kenapa, ada keyakinan baru di dalam hatiku. Mungkin, dengan bantuan Mas Maulana, kebenaran yang selama ini terpendam akan menemukan jalannya.
Dua hari berlalu, Pagi berikutnya, petugas berdiri di depan pintu selku. "Sarah, ada pesan dari pengacaramu," kata sipir yang biasa membawa kabar. Diriku langsung merasa jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya.
"Pesan apa, Bu?" tanyaku sambil berusaha menutupi rasa gugup.
"Hari ini pengacaramu belum bisa berkunjung, tetapi dia berhasil menghubungi orang tuamu. Ayahmu menyampaikan salam dan berharap segera bertemu dengan mu," jawabnya.
Air mata langsung menggenang di mataku. Rasanya sudah lama sekali diriku tidak mendengar kabar dari keluarga. Tiba-tiba, rasa syukur memenuhi hatiku. Maulana tidak hanya membantu kasusku, tetapi juga menjembatani diriku dengan dunia luar yang telah lama kutinggalkan.
keesokan harinya.
Saat sesi konseling berikutnya, diriku bertemu Mas Maulana lagi di ruang pertemuan. Kali ini, dia terlihat lebih santai, dengan kemeja biru yang digulung sampai siku, tanpa dasi. Dia tersenyum hangat saat melihatku masuk.
"Mbak Sarah, ini ada beberapa berkas yang perlu ditandatangani lagi, oh iya, tadi malam saya sudah bicara panjang dengan ayahmu, tentang keadaanmu dan perkembangan kasusmu. Beliau sangat merindukanmu, besok rencananya akan berkunjung ke sini menemuimu," katanya, membuka percakapan dengan nada lembut.
Diriku hanya bisa mengangguk pelan. "Terima kasih, Mas Maulana. Kamu nggak tahu betapa berharganya ini untukku," ucapku sambil mencoba menahan air mata.
"Mbak Sarah, tugas saya bukan hanya membantumu bebas dari penjara, tapi juga membantu kamu berdamai dengan diri sendiri," katanya, tatapannya serius tapi penuh empati.
Kami kembali membahas strategi untuk persidangan ulang. Kali ini, diriku berusaha lebih fokus, meskipun sulit untuk mengabaikan caranya bicara yang membuat diriku merasa dihargai. Setiap kali dia melontarkan candaan kecil, diriku tak bisa menahan senyum.
"Mas Maulana," kataku pelan di akhir pertemuan, "kalau nanti diriku bebas, kamu akan datang, kan?"
Dia terdiam sejenak, kemudian tersenyum sambil menatapku dengan mata yang penuh keyakinan. "Tentu saja. Tapi kamu harus berjanji satu hal."
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Jangan pernah kembali ke sini lagi, kecuali sebagai tamu yang datang untuk berbagi cerita sukses," jawabnya, nadanya serius tapi tetap hangat.
Diriku tertawa kecil. "Janji," ucapku, meskipun hati kecilku berharap ada lebih dari sekadar hubungan profesional di antara kami.
Saat dia meninggalkan ruangan, diriku menyadari bahwa, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, diriku merasa tidak sendirian lagi. Maulana tidak hanya menjadi pengacara, tetapi juga cahaya kecil yang membimbingku menuju kebebasan—bukan hanya kebebasan dari penjara, tetapi juga dari bayang-bayang masa lalu.
Penghapus Rindu
Keesokan harinya, di dalam sel sempit itu, perasaanku benar-benar campur aduk. Pikiran tentang hari-hari yang terus berlalu tanpa kepastian sering kali membebaniku. Namun, tiba-tiba suara sipir memecah keheningan.
"Sarah, cepat kemari. Ada kunjungan," katanya sambil memasangkan borgol di tanganku dengan gerakan yang sudah ia lakukan ribuan kali sebelumnya.
Jantungku berdebar. Siapa yang datang? Sudah bertahun-tahun tak ada yang menjenguk atau sekedar berkomunikasi denganku, apalagi setelah peristiwa kematian ibuku. Dengan langkah cepat namun hati yang berat, diriku mengikuti sipir menuju ruang kunjungan—ruang panjang yang dibatasi kaca tebal antara pengunjung dan kami, para narapidana. Di sana, sekitar lima belas napi sedang bertemu dengan orang-orang yang mereka rindukan. Suara tangis dan tawa terdengar bersahut-sahutan, membuat suasana menjadi campuran antara haru dan kebahagiaan singkat.
Dan saat mataku menangkap sosok yang duduk di balik kaca, langkahku terhenti sejenak. Ayah. Setelah lebih dari sepuluh tahun tanpa kabar, akhirnya ia datang. Perasaan itu seperti gelombang besar yang menghantam—rindu, canggung, marah, dan rasa aneh yang sulit kujelaskan memenuhi dadaku. Ingin sekali ku peluk tapi kaca memisahkan, hanya ku tempelkan telapak tangan ke kaca pembatas, Ayah menyambutnya. Wajahnya tampak jauh lebih tua dari terakhir kali aku melihatnya. Rambutnya yang dulu hitam kini memutih, guratan kesedihan dan penyesalan terukir jelas di wajahnya. Ia mengenakan kemeja polos yang sedikit kusut dan celana lusuh, namun di matanya ada sesuatu yang membuat hatiku bergetar: kerinduan yang mendalam.
Sipir berdiri di dekatku dan berkata, "Waktumu 10 menit."
Diriku menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh dalam hatiku sebelum duduk di kursi di hadapan kaca itu. Ayah tersenyum kecil, meski matanya berkaca-kaca.
"Ayah merindukanmu," katanya dengan suara yang bergetar. Kalimat sederhana itu menusukku hingga ke tulang. Ingin rasanya aku marah, berteriak padanya atas kepergiannya yang begitu lama. Tapi di sisi lain, kerinduan yang selama ini kubendung mendesak keluar begitu hebatnya.
"Tahukah kamu," lanjutnya pelan, "meski tidak pernah berkabar sejak ibumu meninggal, ayah selalu mendoakanmu? Puncak rindu paling dahsyat adalah ketika dua orang tidak saling berkomunikasi, tetapi saling mendoakan."
Diriku terdiam, tak mampu menjawab. Hanya bisa menatapnya dengan mata yang mulai panas. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi sekaligus menyakitkan. Ia menyentuh kaca di depannya, dan diriku pun menempelkan tanganku di sisi kaca yang sama. Sentuhan kami terhalang oleh dinginnya material itu, namun kehangatan emosinya terasa menembus ke dalam hatiku.
"Ayah tidak menghubungimu," lanjutnya dengan suara yang berat, "karena takut membuatmu semakin menderita di sini. Kerinduan, Sarah, adalah siksa yang kejam. Tapi hari ini, doa ayah akhirnya terjawab."
Diriku menggigit bibir, mencoba menahan emosi yang sudah lama tertahan. Tapi akhirnya, tangisku pecah. Air mata yang selama ini aku tahan mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Tidak ada waktu untuk menuntut penjelasan, tidak ada ruang untuk menyalahkan. Yang tersisa hanya rasa kehilangan yang begitu besar dan cinta yang selama ini tersembunyi di balik jarak dan waktu.
Ayah duduk di seberangku, wajahnya terlihat lelah tapi hangat. "Sejak ibumu meninggal, Ayah juga kesepian," katanya pelan, suaranya bergetar. "Ayah berjuang sendiri membiayai adikmu sampai lulus kuliah."
Diriku mengangguk sambil mengusap air mata. "Sarah rindu sekali, Ayah. Ayah sehat kan?" tanyaku dengan suara gemetar.
Ayah tersenyum, meski matanya juga berkaca-kaca. "Iya, Alhamdullilah, Ayah sehat. Sekarang Ayah sudah pensiun. Oh iya, kemarin Pak Maulana datang ke rumah."
Diriku tahu. Mas Maulana, pengacaraku, juga menjalin komunikasi dengan Ayah. Ayah melanjutkan, "Pak Maulana sudah menjelaskan perkembangan kasusmu, Nak. Kita akan berjuang bersama, Sarah. Kami percaya kamu akan mendapatkan keadilan."
Ada kekuatan dalam suara Ayah, meskipun aku tahu harapan itu terasa begitu rapuh. Tapi aku memilih untuk mempercayainya. Untuk pertama kalinya, aku ingin percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, ada jalan keluar dari kegelapan ini.
"Maafkan Sarah atas semua ini, Ayah," ucapku pelan, suara hampir tak terdengar. "Sarah ingin keluar dari sini. Sarah ingin memperbaiki semuanya."
Ayah menatapku dengan mata penuh keyakinan. "Kita akan melakukannya," jawabnya tegas.
Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku merasakan kehangatan yang selama ini hilang. Meskipun semua ini hanya terjadi di balik kaca pemisah ruang kunjungan, aku merasa seolah telah menyentuh hatinya. Tanganku ingin menjangkau, tapi aku tahu itu tidak mungkin. Namun momen itu, sesaat yang kecil tapi sangat berarti, memberi secercah cahaya di ujung terowongan gelap yang selama ini kulalui.
Ketika sipir memberi isyarat bahwa waktuku sudah habis, ku merasa ada begitu banyak yang ingin aku katakan. Tentang rasa sakit yang ku rasakan, tentang kerinduanku yang begitu dalam, tentang pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak pernah mendapatkan jawaban. Tapi semua itu hanya terhenti di tenggorokanku, tak mampu keluar.
Diriku berdiri perlahan, menatap Ayah sekali lagi. Ku ingin mengingat setiap detail wajahnya—kerutan di sudut matanya, garis tegas di dahinya, dan senyum kecil yang penuh keikhlasan.
"Ayah, jaga diri baik-baik," bisikku, berharap waktu bisa berhenti sejenak. Tapi ku tahu, ku harus kembali ke kenyataan, ke tempat di mana ku akan kembali menghitung hari.
Ayah mengangguk, memberikan senyuman terakhir. "Kamu juga, Nak. Tetap kuat, Jaga dirimu, Sarah," katanya dengan suara yang hampir tak terdengar. "Ayah akan kembali lagi."
Saat itu, diriku sadar, meskipun ada jarak yang memisahkan kami, cinta seorang Ayah tetap menjadi alasan untuk terus berjuang. Harapan itu, meski kecil, cukup untuk menerangi jalanku yang panjang dan penuh liku. Dan saat aku berbalik, langkahku terasa begitu berat. Aku tahu, meski singkat, pertemuan ini telah mengisi kekosongan yang selama ini menghantuiku.
Semakin Akrab
Seminggu berikutnya, pertemuan dengan pengacaraku menjadi lebih rutin. Setiap kali dia datang, hatiku berdebar menantikannya, dan diriku sering tertangkap basah tersenyum hanya dengan memikirkannya. Dia selalu profesional, namun ada kehangatan yang tak terbantahkan di antara kami yang membuatku gugup sekaligus bersemangat.
Suatu sore, saat kami tengah membahas kasus ku dengan intens, dia menyandarkan diri ke kursinya, mengusap rambutnya dengan tangan. "Kamu tahu," katanya dengan nada main-main, "kamu punya cara membuat argumen hukum paling rumit terdengar seperti cerita sederhana. Saya kagum pada itu."
Pipiku memerah mendengar pujiannya. "Diriku… hanya ingin kebenaran didengar," gumamku, merasa tersipu di bawah tatapannya.
Dia mendekatkan wajahnya sedikit, tatapannya mengunci pandanganku. "Dan itulah sebabnya saya percaya padamu. Kamu lebih kuat daripada yang kamu sadari."
Di momen itu, aku merasakan sambaran kehangatan dan koneksi yang menghapus semua rasa gugupku. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari satu dekade, aku merasakan percikan sesuatu yang lebih—sesuatu yang membuat jantungku berdebar dan nafasku tercekat.
Seiring berjalannya waktu, pembicaraan kami beralih dari yang semata-mata soal hukum ke topik-topik lebih pribadi. Kami berbagi cerita tentang hidup, impian, dan beban yang kami pikul. Setiap pertemuan meninggalkanku dengan perasaan rindu yang sulit dijelaskan, dan aku mulai menantikan waktu bersama dia sebagai sorotan hari-hariku.
Menjelang tanggal sidang, kami semakin yakin. Ada celah dalam kasus ini—kesalahan yang mungkin akhirnya bisa memberiku kesempatan untuk membuktikan ketidakbersalahan ku. Namun, keraguan tetap membayangi seperti bayangan gelap yang sulit diabaikan.