Malam itu, diriku berbaring di ranjang sempitku di dalam sel, mataku tertuju pada langit-langit yang kusam. Hanya ada cahaya redup dari lampu koridor yang menembus jeruji, menerangi sebagian ruangan dengan kilauan samar. Di sela-sela suara langkah petugas yang berpatroli, suara-suara lain memenuhi pikiranku—memori, perasaan takut, harapan, dan kecemasan bercampur aduk.
Besok, setelah 13 tahun, mungkin akan menjadi hari terakhirku di sini. Bayangan kebebasan yang selama ini hanya sebuah mimpi, kini begitu dekat, namun sekaligus begitu sulit kugapai. Diriku memejamkan mata, mencoba untuk tidur, tapi kecemasan itu tak berhenti menggerogoti ketenanganku.
"What if… it doesn't go as planned?" tanyaku pada diriku sendiri dalam hati. "What if I have to stay here? Will I be able to survive anymore?"
Diriku merasakan sesak di dadaku. Selama bertahun-tahun ku sudah mencoba menerima keadaanku, mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin hidup di balik jeruji ini adalah takdirku. Tapi sekarang, setelah semua bukti baru dan sidang yang dijalani, ada harapan yang mengintip—dan itu justru membuatku lebih takut. Ku ingin bebas, ingin hidupku kembali, tapi ku juga takut, khawatir akan kemungkinan kekecewaan yang akan terjadi besok.
Terdengar suara dari sel sebelah. Seorang narapidana lain yang sudah hampir 3 bulan bersamaku di sini, berbicara dengan nada rendah.
"Mbak Sarah… kamu masih bangun, ya?" bisiknya.
"Iya, … diriku nggak bisa tidur," jawabku pelan.
Dia mendekat ke jeruji yang memisahkan sel kami. "Aku bisa ngerti, Mbak. Besok adalah hari besar buat kamu. Aku juga merasakan hal yang sama saat aku diadili, dulu. Tapi bedanya, aku nggak punya kesempatan yang kamu punya sekarang." Suaranya lembut, penuh pengertian, seakan ia ingin berbagi kekuatan padaku.
Diriku hanya bisa tersenyum samar, meski dia tak bisa melihatnya. "Ku… takut. Takut berharap terlalu tinggi."
"Kamu berhak untuk berharap, Mbak Sarah," balasnya tegas. "Selama 13 tahun ini, kamu terus kuat, terus bertahan meski keadaan nggak adil buat kamu. Kamu berhak mendapat kesempatan untuk hidup kembali di luar sana."
Tiba-tiba, suara langkah petugas semakin mendekat. petugas yang sering mengawasi blok kami, berhenti di depan selku. Dia menatapku dengan senyum kecil yang langka. Mungkin ia tahu bahwa besok adalah hari penentu bagi hidupku.
"Sarah," katanya lembut, "besok bisa jadi hari yang sangat berbeda buat kamu. Kamu sudah banyak melalui ujian di sini, dan aku, serta banyak yang lain, yakin kamu akan menemukan jalan yang lebih baik. Malam ini, cobalah tidur, kumpulkan kekuatanmu. Kamu butuh energi untuk hadapi hari esok." tegurnya dengan sopan. "Oh, iya ini ada titipan dari ayahmu, pakaian baru untuk kamu kenakan besok."
Aku mengangguk pelan, menahan air mata yang mendesak di sudut mataku. "Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah memperlakukan saya dengan baik selama ini."
Ibu petugas senior itu hanya mengangguk, wajahnya penuh simpati, sebelum melanjutkan tugasnya berpatroli. Ku terdiam kembali, dan kenangan mulai berputar dalam benakku.
Bayangan hari-hari pertama di sini kembali melintas—kesepian yang pekat, ketakutan tanpa henti, dan perasaan terasing dari dunia luar. Di awal-awal masa tahanan, diriku sering bermimpi tentang kebebasan, tentang keluargaku, tentang hidup yang mungkin tak akan pernah lagi kurasakan. Tapi seiring berjalannya waktu, diriku terpaksa belajar menerima kenyataan ini sebagai rumahku. Bahkan diriku mulai berteman, bersahabat, berkeluarga dengan sesama narapidana, seperti Bu Hera, Dini, Ms Sarah para sesepuh dan beberapa lainnya, yang masing-masing membawa kisah pahitnya sendiri. Bersama mereka, ku belajar untuk tetap bertahan, meski tak ada harapan yang pasti.
Namun, besok… pikiranku kembali pada sidang esok hari. Itu bisa menjadi titik akhir dari semua ini, sebuah kesempatan untuk meraih kembali hidupku yang hilang. Diriku menarik napas dalam-dalam dan berbicara pada diriku sendiri, mencoba menenangkan kegelisahan yang mengguncang batinku.
"Sarah, kamu sudah sampai sejauh ini. Kamu sudah bertahan selama 13 tahun, dan besok, kamu akan berdiri dengan kepala tegak. Apa pun yang terjadi, kamu harus siap. Kalau memang kebebasan itu untukmu, maka kamu akan menerimanya dengan hati yang kuat."
Kawanku, yang masih terjaga di sebelah, mendengar suaraku yang lirih. "Kamu pasti bisa, Sarah," katanya, seakan merespons pembicaraanku dengan diri sendiri. "Aku doakan yang terbaik buat kamu besok. Siapa tahu, aku nggak akan melihatmu lagi di sini. Tapi aku harap, kamu bisa menikmati kebebasanmu dan jalani hidup yang sebenarnya."
Diriku mengangguk, meski ia tak bisa melihat, merasa bersyukur atas dukungan dari teman-temanku yang lain, dari petugas, dan terutama dari Bu Hera, keluarga serta Mas Maulana yang sudah memperjuangkan kebebasanku.
Dengan perasaan cemas namun penuh harap, ku menutup mata, berharap bisa tidur sejenak. Besok adalah hari yang mungkin akan mengubah segalanya—dan diriku harus siap, apa pun hasilnya.
Hari keputusan akhir telah tiba.
Pagi itu, suasana hatiku terasa begitu kacau. Jantungku berdebar cepat, dan pikiranku terus-menerus dihantui ketidakpastian. Meski ini adalah hari yang telah kutunggu selama 13 tahun, rasanya sulit untuk membayangkan apa yang akan terjadi di dalam ruang sidang nanti. Ruang tunggu di luar ruang sidang terasa lebih sempit dari biasanya, meski hanya diriku, Ayah, dan Mas Maulana yang duduk di sana. Hawa tegang memenuhi ruangan, dan setiap detik berlalu dengan perlahan, seakan-akan waktu ikut bermain-main dengan kecemasan yang berkecamuk di dadaku. Telapak tanganku dingin, nafasku pendek-pendek. Ku tak bisa duduk diam; kakiku terus menggoyang tanpa sadar.
Mas Maulana memperhatikan kegelisahanku dan . Dengan nada lembut, ia berkata, "Sarah, cobalah tarik nafas dalam-dalam. Fokus pada nafasmu. Ini semua sudah kita persiapkan; apa pun yang terjadi, kita sudah memberikan yang terbaik."
Diriku mencoba mengikuti sarannya, menarik nafas dalam-dalam, tapi perasaan takut itu tetap sulit hilang. "Mas, diriku takut. Bagaimana kalau… kalau ternyata keputusannya tidak seperti yang kita harapkan?" ku tatap Mas Maulana dengan mata penuh kecemasan. "Diriku nggak tahu kalau ku bisa menghadapinya lagi."
Diriku berdiri di dekat jendela kecil ruang tunggu di luar ruang sidang, mengenakan gaun biru muda yang Ayah hadiahkan untuk hari ini. Gaun itu sederhana namun elegan, pas sekali dengan tubuhku. Warnanya lembut, memberi kesan tenang yang berlawanan dengan kegelisahan yang kurasakan di dalam hati. Setelah bertahun-tahun hidup di dalam lapas, diriku hampir lupa rasanya mengenakan pakaian yang membuatku merasa "utuh" sebagai diriku sendiri. Bertahun-tahun diriku bekerja keras di pulau penjara, kulitku yang dulu terbakar matahari kini mulai cerah kembali, dan ku merasa lebih kuat dan lebih percaya diri dari sebelumnya.
Ayah menghampiri, memandangku dengan senyuman yang penuh kasih sayang, lalu menghela napas dalam-dalam. "Sarah, kamu terlihat cantik sekali hari ini," ujarnya sambil menyentuh bahuku dengan lembut. "Ini hari yang besar, Nak. Ayah tahu kamu mungkin takut dan gelisah, tapi ingat, kamu sudah melalui semua ini dengan keberanian yang luar biasa."
Diriku berusaha tersenyum, meski hatiku tetap berdebar. "Terima kasih, Ayah. Tapi ku tak tahu apa yang akan terjadi nanti. ku takut semua ini hanya akan menjadi kekecewaan lagi."
Ayah menggeleng pelan. "Percayalah, Sarah. Hari ini berbeda. Lihat saja, Mas Maulana bahkan tak bisa mengalihkan pandangannya darimu sejak pertama kali melihatmu tadi," ucapnya dengan senyum jahil yang membuat wajahku sedikit memerah.
Diriku melirik ke arah Mas Maulana, yang berdiri tidak jauh dari kami. Saat mata kami bertemu, dia langsung menundukkan pandangannya, seolah mencoba menyembunyikan senyumnya. Gaun biru yang kukenakan mungkin terlihat sederhana, tapi tatapan Mas Maulana membuatku merasa seolah mengenakan sesuatu yang luar biasa.
Ayah tertawa kecil melihat reaksi kami. "Kamu tahu, Sarah, Ayah nggak pernah ragu soal Mas Maulana. Dia pria baik, gigih, dan dia benar-benar peduli padamu. Ayah yakin dia bisa menjadi seseorang yang penting dalam hidupmu nanti."
Wajahku memerah semakin dalam. "Ayah… ini kan masih soal sidang," jawabku, berusaha meredakan perasaan malu yang tiba-tiba muncul. "Kita belum tahu apa yang akan terjadi setelah semua ini selesai."
Ayah tersenyum lebar. "Sarah, justru karena ini hari besar, Ayah mau kamu tahu bahwa kamu punya masa depan yang bisa kamu rencanakan, bukan hanya masa lalu yang membelenggu."
Mas Maulana akhirnya mendekat, menatap kami berdua dengan tatapan yang lembut namun penuh perhatian. "Saya setuju dengan Pak, Sarah," katanya sambil menatap langsung ke mataku. "Saya tidak hanya ada di sini untuk memenangkan sidang ini, tapi juga untuk memastikan kamu bisa menjalani hidup yang seharusnya kamu miliki—dengan semua kebahagiaan dan kebebasan."
Perasaan cemas yang sejak tadi memenuhi hatiku perlahan-lahan mulai mereda. Dukungan yang tulus dari Ayah dan Mas Maulana memberiku kekuatan baru untuk menghadapi apapun yang akan terjadi di ruang sidang nanti. Meski ku tak tahu apa yang akan diputuskan hakim, ku merasa bahwa ku tak lagi sendiri dalam menghadapi ketidakpastian ini.
Mas Maulana tersenyum lagi, dengan tatapan yang seolah mengatakan bahwa ia akan selalu ada di sisiku, apapun hasilnya nanti. Sementara Ayah menepuk bahuku, memberikan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh seorang ayah yang penuh kasih.
Dengan keyakinan baru, diriku menghela napas panjang dan mempersiapkan diri. Hari ini adalah hari penentu. Dan apa pun yang terjadi, ku tahu bahwa hari ini adalah awal dari kehidupan baru yang menungguku di luar sana.
Mas Maulana tersenyum, menatapku dengan tatapan yang hangat dan penuh perhatian, lalu berkata, "Sarah, apa pun keputusan hari ini, kita akan menghadapi ini bersama. Setelah ini selesai, kamu memiliki kehidupan yang baru menunggu—dan saya akan selalu ada di sisimu, selama kamu menginginkannya."
Dengan nafas yang lebih tenang dan hati yang lebih kuat, diriku akhirnya bisa tersenyum, menatap Ayah dan Mas Maulana, dua sosok yang selama ini menjadi kekuatan utamaku. Diriku tahu, apa pun hasilnya hari ini, ku tak lagi sendirian. Ketegangan itu masih ada, tapi kini ku siap menghadapinya—dengan keyakinan dan harapan baru yang tumbuh di hatiku.
Penentuan
Ruang sidang kembali penuh, diisi oleh keluarga, pendukungku, dan mereka yang telah mengikuti kasusku selama lebih dari 13 tahun. Ketegangan menyelimuti ruangan saat ketiga hakim mengambil tempat duduk mereka. Semua orang menunggu momen yang akan menentukan nasibku.
Hakim ketua, sosok tegas yang telah mendengarkan dengan seksama sepanjang persidangan ulang, mulai membacakan keputusan. "Setelah meninjau kembali semua bukti yang diajukan, termasuk kesaksian saksi dan bukti baru yang muncul, kami menemukan bahwa putusan asli sangat cacat.
M E N G A D I L I
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Terdakwa.
1. Terdakwa Sarah Rahmawati tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Tunggal Penuntut Umum;
2. Membebaskan Terdakwa oleh karena itu dari dakwaan Penuntut Umum;
3. Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan;
4. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
Pengadilan dengan ini membatalkan putusan bersalah sebelumnya. Terdakwa dibebaskan dari semua tuduhan."
Kebisingan memenuhi ruangan, diikuti oleh gelombang desas-desus lega. Hatiku berdebar kencang saat mendengar kata-kata yang telah kutunggu selama 13 tahun lamanya. Diriku bebas. Jaksa penuntut umum, yang telah menjadi lawan sengit sepanjang persidangan, berdiri dan berbicara kepada pengadilan.
"Jaksa penuntut umum tidak keberatan dengan keputusan ini, Yang Mulia. Mengingat bukti baru dan kesaksian ibu korban, kami sependapat dengan temuan pengadilan."
Diriku sujud syukur sambil sedikit berteriak "Alhamdullilah" Air mata memenuhi mataku saat kenyataan kebebasanku mulai terasa. Orang tuaku, yang telah mendukungku dengan tenang melalui semua sidang, menangis haru.
Jaksa yang selama persidangan menjadi lawan bicara kami juga tersenyum dan mengangguk. "Selamat menjalani hidup baru. Gunakan kesempatan ini dengan baik, ya."
"Ini bukan hanya akhir dari masa hukuman, tapi awal dari hidup yang lebih baik. Semoga semua pengalaman ini menjadi pelajaran berharga."
Hakim pun mendekat. "Mewakili negara, saya sampaikan permohonan maaf atas kesalahan hukum." Dengan penuh penghormatan mengangguk. "Sekali lagi saya minta maaf atas semua yang terjadi. Semoga ke depan, kamu bisa menemukan kedamaian yang pantas kamu dapatkan."
Pengacaraku, yang telah berjuang tanpa lelah untuk pembebasanku, tersenyum hangat padaku. Dia meletakkan tangannya yang menenangkan di bahuku, dan aku tahu bahwa momen ini akan tetap bersamaku selamanya.
Diriku menyadari bahwa perasaanku padanya lebih dari sekadar rasa terima kasih; itu adalah koneksi yang melampaui hubungan profesional kami. Caranya menatapku, caranya mendengarkan—seolah-olah dia melihat diriku yang sebenarnya, bukan hanya tahanan yang pernah aku jadi.
Saat keputusan itu dibacakan, diriku berdiri terpaku, seakan waktu berhenti sejenak di tengah ruangan penuh dengan bisikan lega dan air mata haru. Ku melihat ke arah keluargaku, khususnya Ayah yang sudah bertahun-tahun menunggu momen ini. Mata kami bertemu, dan dalam pandangan itu, kami berbagi kelegaan yang sama, rasa syukur yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Saat itulah, Mas Maulana—pengacara yang telah berjuang tanpa lelah di sisiku—menghampiri, tersenyum hangat sambil menatapku dengan sorot mata yang penuh arti. Tangannya yang hangat bertumpu di bahuku, memberi dukungan terakhir yang kubutuhkan di momen penuh emosi ini.
"Alhamdulillah, Saya selalu percaya bahwa hari ini akan datang, Sarah," katanya dengan suara tenang namun penuh kebahagiaan. "Ini bukan hanya kemenangan di ruang sidang, tapi juga kemenangan atas semua yang sudah kamu lalui."
Diriku hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Mas Maulana… ku tak akan pernah bisa membalas semua yang telah Mas lakukan untukku. Tanpa Mas, mungkin diriku tidak akan bisa berdiri di sini."
Ia tersenyum lagi, lalu menepuk bahuku dengan lembut. "Kamu tidak sendiri, Sarah. Keluarga kamu, teman-teman, bahkan orang-orang yang percaya padamu… mereka semua adalah kekuatanmu."
Saat itu, Ayah mendekat, wajahnya masih basah oleh air mata bahagia. Dia menatap Mas Maulana, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya erat.
"Mas Maulana… saya tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih saya dengan kata-kata. Kami berhutang segalanya pada perjuanganmu. Sarah bisa mendapatkan hidupnya kembali berkatmu," kata Ayah dengan suara bergetar.
Mas Maulana tersenyum dan menggeleng pelan. "Saya hanya melakukan tugas saya, Pak. Sarah-lah yang benar-benar berjuang. Dialah yang bertahan dan terus percaya di tengah semua ketidakadilan ini."
Dengan hidup bebas di depan mata, ku merasa siap untuk melangkah ke babak baru dalam hidupku—bersama orang-orang yang menyayangiku, dan dengan keyakinan bahwa kebahagiaan yang sebenarnya akhirnya berada dalam jangkauanku.