Keesokan harinya, ku terbangun tanpa alarm. Jam tubuhku, hasil pelatihan bertahun di dalam penjara, telah terbiasa memaksaku bangun sebelum matahari sempat menguap dari tidurnya. Hari itu tak ada jeruji besi atau suara petugas yang memekakkan telinga, hanya heningnya rumah dan aroma sisa-sisa embun yang masih menempel di udara.
Saat kulihat jam di dinding masih menunjukan jam 4 pagi, Baru saja ku ingin menikmati kesunyian, suara azan subuh menggema, suara sound system yang sudah lama ta kudengar, membelah pagi yang masih enggan bangkit. "Subhanallah, ini baru namanya sound system ilahi," gumamku sambil tersenyum kecil.
Diriku menunggu sejenak, berharap mendengar suara ayah dari kamar sebelah. Tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. "Pasti masih tidur, klasik banget. Ayah ini memang bisa bangun lebih pagi... kalau ada acara sepak bola," pikirku sambil tertawa kecil. Kuputuskan untuk mengetuk pintu kamarnya.
Tok-tok-tok. "Yah, Subuh nih!" seruku. Tapi tidak ada jawaban. Ah, mungkin mimpinya lagi seru. Dia memang seperti itu sejak dulu, kurang dalam urusan ibadah. Tapi anehnya, dia selalu punya cara membuatku percaya bahwa dia orang yang paling dekat dengan Tuhan. "Tuhan itu paham kok, aku ini capek kerja buat anak-anak. Itu udah ibadah juga," begitu alasan klasiknya. Kreatif memang.
Diriku menyerah. Daripada menunggu ayah yang mungkin masih bernegosiasi dengan bantal, kuputuskan untuk berwudhu. Air wudhu yang dingin menyapa kulitku seperti seorang teman lama yang sudah lama tak kujumpai. Diriku menarik nafas panjang, mengumpulkan niat dan khusyuk dalam sholat subuh.
Selesai sholat, ku duduk sejenak di atas sajadah, tanpa perlu berebut antri di toilet, seperti kebiasaan pagi di penjara. ku tata sajadah kembali ke tempatnya, ku beralih merapikan tempat tidur. Kebiasaan ini terbawa dari penjara, di mana disiplin dan kerapian adalah hal yang terus diawasi. Tapi kali ini, tidak ada sipir yang akan memeriksa, hanya diriku sendiri yang merasa tidak nyaman kalau ada selimut kusut di sudut kasur.
Namun, di balik kebebasan itu, ada rasa rindu yang menggigit. Rindu pada keteraturan aneh di balik jeruji. Juga rindu pada kehangatan Bu sipir, yang selalu menyapa pagiku dengan senyum dan dan menghitung kami. Ah, pagi ini tak ada yang menghitung kami, memastikan tidak ada yang kabur semalam. Tapi ada harapan. Mungkin hari ini diriku bisa membuat hariku lebih bermakna. Setelah ini, aku harus membangunkan ayah—dengan sarapan pagi wajib ala anak yang baru pulang: sepiring nasi goreng telor ceplok dan secangkir kopi.
Dengan semangat baru, aku memutuskan untuk ke dapur, berniat membuat sarapan untuk diriku dan ayah. "Yah, masa baru keluar penjara udah nggak bisa masak, malu dong sama para seseupuh penjara dan Bu Hera yang mengajariku memasak," gumamku menyemangati diri sendiri sambil melangkah. Kupikir, ini bisa jadi awal yang baik untuk menunjukkan rasa terima kasihku pada ayah, meskipun selama ini hubungan kami lebih sering diisi dengan kebisuan daripada percakapan.
Ku buka kulkas, berharap menemukan inspirasi bahan makanan. Tapi yang kudapati malah pemandangan yang cukup memilukan: hanya beberapa kaleng minuman soda yang sudah sedikit berdebu di pojokan. Tidak ada telur, tidak ada sayur, bahkan sekotak mentega pun nihil. Aku mendesah panjang sambil memandang isi kulkas yang sepi ini. "Hmm, mungkin kulkas ini juga sedang menjalani hukuman isolasi seperti aku dulu," celetukku dalam hati, mencoba menghibur diri.
Masih penuh tekad, diriku bergerak ke rak dapur. Siapa tahu ada beras atau mie instan tersimpan di sana. Tapi setelah memeriksa setiap sudut lemari, ku hanya menemukan setumpuk piring yang sudah lama tak dipakai dan... bungkus plastik kosong. Aku menggaruk kepala, merasa sedikit bingung tapi juga geli.
"Hebat juga, ternyata rumah ini sukses ikut program diet ekstrim," ucapku sambil terkikik kecil.
Ku hela nafas panjang, duduk di kursi dapur yang dingin. Suara jam dinding di ruang tengah menjadi satu-satunya irama di pagi itu. Dapur ini kosong, senyap, dan sepi—seolah-olah menyiratkan perasaanku saat ini. Aku memandangi rak kosong, lemari tanpa bahan makanan, dan kulkas yang hanya menyala tanpa isi. Rasanya seperti sindiran halus: "Selamat datang kembali di dunia nyata!"
Ku tersenyum kecil, teringat masa-masa di penjara. Di sana, sekadar mendapatkan sepotong ubi rebus sudah bisa membuat hati melompat kegirangan. Meski makanannya pas-pasan, kami tak pernah kekurangan. Semua hasil dari tangan kami sendiri—memanen singkong, menanak nasi di atas kayu bakar, atau membuat sup sederhana dari bahan seadanya. Di sini? Dapur ini bahkan tak punya bawang merah untuk mengusir rasa laparku.
Sambil mencoba menenangkan diri, aku berdiri dan berkata pada diriku sendiri, "Oke, kalau dapur tidak bersahabat, kita serang warung depan saja!" Ada semangat baru yang muncul, meski hanya untuk mencari sarapan. Aku mencoba mengingat nasi uduk langganan Ayah dulu. "Eh, tapi jangan-jangan yang jual nasi uduk itu juga sudah pensiun?" gumamku sambil tertawa kecil.
Langkahku menuju pintu terhenti ketika aku tersadar sesuatu. Aku butuh uang. Refleks aku merogoh dompet tua yang kutemukan di kamarku tadi malam. Kukira mungkin ada lembaran uang yang tersisa, peninggalan masa lalu. Tapi, nihil. Dompet itu kosong melompong, hanya ada kartu identitas usang yang fotonya membuatku meringis.
Diriku termenung sejenak, mencoba memahami kenyataan pahit ini. Di kehidupan penjara, ku tidak pernah memikirkan soal uang. Semua sudah tersedia—dari makanan, pakaian, hingga kebutuhan dasar lainnya. Memang serba minim, tapi tak pernah ada tekanan seperti ini. Di sana, kami menghasilkan apa yang kami butuhkan dengan keringat dan kerja keras, tanpa melibatkan uang sama sekali. Di sini? Segalanya butuh uang, bahkan untuk sekadar mengisi perut di pagi hari.
Pikiran tentang apa yang akan kulakukan setelah ini mulai membanjiri benakku. Bagaimana aku bisa mencari penghasilan? Aku mantan napi, tanpa pengalaman kerja yang relevan, tanpa gelar pendidikan tinggi. Rasa bingung bercampur galau memenuhi kepala.
Namun, di balik semua itu, ada dorongan kuat untuk bertahan. Aku mungkin tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku tahu satu hal: aku tidak ingin kembali ke penjara, baik secara harfiah maupun metaforis. Dunia ini terasa asing, tapi aku yakin aku akan menemukan jalanku, entah bagaimana caranya.
Sambil membuka kunci rumah, ku berbisik pada diriku sendiri, "Oke, satu langkah kecil dulu. Kita mulai dengan nasi uduk—dan cari tahu apa yang bisa kulakukan setelah itu." ku tersenyum kecil, mencoba memberi keberanian pada diriku sendiri. Setidaknya, aku tidak akan menyerah pada pagi pertama kebebasanku.
Saat kubuka pintu depan, udara pagi langsung menyapa wajahku, dingin tapi menyegarkan. Baru saja aku hendak melangkah keluar, pintu kamar ayah berderit. Dia muncul dengan mata sedikit sembab dan rambut yang tampak seperti habis duel dengan bantal.
"Sarah, mau ke mana pagi-pagi begini?" tanyanya sambil menguap lebar.
"Cari sarapan, di dapur nggak ada apa-apa yang bisa dimasak," jawabku sambil menyilangkan tangan. Memang benar, isi dapur cuma ada sisa bumbu dapur yang bahkan tikus pun enggan menyentuh.
Ayah tampak berpikir sejenak, lalu dengan nada yang serius tapi lembut berkata, "Mau beli pakai apa? Kamu kan nggak punya uang. Sini duduk dulu."
Tanpa banyak protes, tau akan kenyataan, ku duduk di sofa. Tapi di dalam hati, aku mulai bertanya-tanya, apa rencana dia kali ini? Beliau kemudian mengambil ponselnya dan mulai mengetik sesuatu dengan semangat yang biasanya hanya muncul kalau sedang rebutan tiket bola.
Aku menatapnya bingung. "Ayah pesankan makanan dulu," katanya santai, tanpa menoleh.
"Pesan? Pesan gimana? Ayah telepon warung Bu Etek?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Seingatku, ayah bukan tipe yang terlalu melek teknologi. Dulu saja dia pernah minta aku ketik pesan BBM buat acara kantor.
"Bukan. Tunggu aja, nanti ada yang antar nasi uduk kesukaanmu."
Aku semakin bingung. "Gimana caranya kok bisa ada teman ayah pagi-pagi begini mau antar nasi uduk?"
Ayah terkekeh, lalu menjawab dengan santai, "Bukan teman ayah, tapi abang Gojek."
Aku mengerutkan kening, lalu menatapnya dengan wajah penuh tanya. "Gojek? Apaan tuh?"
Ayah tertawa lebih keras, seperti baru menyadari diriku adalah makhluk purba yang baru saja keluar dari hibernasi. "Aduh, Sarah, kamu ketinggalan zaman banget. Gojek itu aplikasi di HP. Kamu pesan makanan atau apa pun lewat sini, nanti ada orang yang antar ke rumah."
Ku terdiam, mencoba mencerna informasi itu. "Jadi... abang-abang ini kerjaannya cuma antar makanan? Mereka kayak kurir, gitu?"
"Ya, kurang lebih. Tapi bukan cuma makanan, apa aja bisa. Bahkan kalau kamu mau nitip beli ikan cupang juga bisa," jawab ayah, dengan nada penuh kebanggaan seolah dia CEO Gojek.
Diriku menatapnya lama, lalu berkata, "Ya Allah, dunia udah maju banget. Aku ketinggalan kereta teknologi ini, Yah. Kalau gitu, besok-besok ku pesan cilok atau tahu bulat aja biar sekalian nostalgia."
Ayah hanya terkekeh sambil kembali fokus pada ponselnya. Diriku bersandar di sofa, tersenyum kecil. Dunia memang sudah berubah banyak. Tapi yang tak berubah adalah cara sederhana ayah yang cuek tapi tetap perhatian, meski dengan nasi uduk dan cerita lucu tentang teknologi.
Sambil menunggu nasi uduk datang, ku tatap ayah yang masih asyik dengan ponselnya. Dalam hatiku, muncul rasa bersalah. Sudah tua, tapi ayah masih harus memikirkan urusan rumah tangga sendirian. Lalu tiba-tiba, terlintas ide untuk bertanya.
"Yah, diriku bisa kerja apa ya sekarang? Maksudku, buat bantu-bantu sedikit. Aku kan nggak bisa terus-terusan nganggur," tanyaku hati-hati.
Ayah menghentikan aktivitasnya dan menatapku, lalu tersenyum tipis. "Kerja apa? Kamu kan baru keluar... ya, kamu ngerti sendirilah, nggak gampang cari kerja buat mantan napi. Apalagi kamu juga ga punya ijazah, belum selesai kuliah."
Diriku terdiam. "Memang, diriku mantan napi, tapi kan sudah terbukti tak bersalah, sudah bebas" Jawabku. Diriku masih terlalu muda saat masuk penjara. Baru semester awal kuliah, semangatku waktu itu masih membara. Tapi sekarang, membayangkan dunia kerja yang penuh kompetisi saja sudah membuatku merasa terpojok. "Jadi... apa aku nggak ada harapan?" tanyaku pelan.
Ayah diam sejenak lalu berkata. "Bukan nggak ada harapan, cuma jalannya lebih sulit. Ayah waktu masih muda dulu juga susah cari kerja padahal ayah lulusan sarjana muda akademi industri, cari kerja itu penuh persaingan yang nggak main-main." Ayah berhenti sejenak sambil memandang foto keluarga di dinding. "Dulu ibumu yang guru PNS banyak membantu, makanya kita bisa punya rumah ini, menyekolahkan kalian dan ayah bisa bertahan sampai pensiun." Ayah tertunduk "Tapi Sekarang? Ayah cuma kerja serabutan, pasang instalasi listrik kalau ada yang manggil. Tapi ya itu, nggak tentu ada tiap bulan."
Mendengar cerita ayah, diriku jadi teringat sesuatu. "Jadi sekarang kita cuma bergantung sama uang pensiunan ibu?" tanyaku, sedikit kaget. Ayah mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. "Iya, nggak seberapa, tapi cukup buat hidup sederhana. Kalau kamu mau bantu, ya kita cari sama-sama caranya."
Diriku mengangguk, meski dalam hati sedikit bingung. Obrolan ini mengingatkanku pada kisah-kisah kelam para napi di dalam penjara. Banyak di antara mereka yang terjebak di situasi seperti ini, di mana pilihan hidup terasa sempit. Ada seorang teman sekamarku dulu, yang akhirnya membunuh seseorang karena tak tahan ditagih utang terus-menerus. Ada juga yang terlibat perampokan kejam demi memberi makan anak-anaknya. Dan tak terhitung mereka yang akhirnya tergoda ke dunia narkoba karena pekerjaan halal terasa mustahil ditemukan.
Diriku menunduk, meremas tangan sendiri. "Yah, Sarah nggak mau jadi kayak kawan-kawanku, yang masuk penjara karena faktor ekonomi," kataku pelan. "Diriku mau bantu cari cara, cari penghasilan yang halal, meskipun aku belum tahu caranya. Diriku nggak mau menyusahkan ayah lebih dari ini."
Ayah menatapku, lalu menepuk pundakku lembut. Mata beliau penuh pengertian, seperti sinar matahari pagi yang menembus kabut. "Nggak apa-apa, Sarah. Kita cari pelan-pelan. Yang penting, kamu nggak kehilangan niat baikmu. Tuhan pasti tunjukkan jalannya. Kalau nggak sekarang, besok. Kalau nggak besok, lusa. Yang penting, jangan nyerah."
Kata-kata ayah itu sederhana, tapi rasanya seperti pelukan hangat yang sudah lama tak kurasakan. Diriku mencoba menenangkan hatiku yang gelisah. Mungkin benar kata ayah, perjalanan ini memang baru dimulai. Tapi aku tahu satu hal pasti—diriku tidak sendiri.
Tiba-tiba suara HP ayah berbunyi. Nada deringnya lagu dangdut lama, membuatku tersenyum kecil. Ayah mengangkat teleponnya, "Halo, iya, betul, pesanan nasi uduknya ya? Oh, sudah sampai? Oke, terima kasih." Lalu ia menutup telepon dan berkata, "Sarah, nasi uduknya udah sampai. Kamu tolong ambil di luar pagar, ya."
ku mengangguk, melangkah ke depan rumah. Di sana, seorang abang ojek sudah menunggu dengan kantong plastik berisi nasi uduk. Diriku bertanya, "Berapa, Bang?"
Abang itu tersenyum sambil menjawab, "Udah dibayar pakai gopay, Neng."
Aku mengangguk bingung. "Oh, makasih, Bang," kataku sambil membawa kantong nasi uduk itu masuk ke dalam rumah. Di dalam, aku menatap ayah sambil mengerutkan alis. "Yah, sekarang juga bisa bayar pake HP ? Betapa gaptek diriku. Nanti ajarin beli lewat HP ya."
Ayah tertawa kecil, suaranya seperti meledek. "Ya nanti ayah ajari kamu. Tadi waktu pesen, ayah cuma pencet-pencet sambil baca tulisan di layar terus bayar pakai gopay."
Diriku tertawa kecil mendengar jawaban ayah. "Iya, iya. Hebat deh, Yah."
Kami tertawa bersama, dan aku duduk kembali di meja makan. Sarapan nasi uduk di hari kedua kebebasanku terasa sangat spesial. Ada canda, ada harapan, dan yang terpenting, ada ayah di sisiku.
"Sarah," kata ayah di sela suapannya. "Kamu tahu nggak? Nasi uduk ini enak karena ada sambelnya. Sama kayak hidup, ada manis, ada pedes. Yang penting, kita nikmati aja, jangan takut sama rasa yang baru."
Diriku tersenyum. Ayah memang selalu punya cara unik untuk membuatku merasa lebih baik. Hari itu ku sadar, dengan ayah di sisiku, diriku punya kekuatan untuk menghadapi apa pun yang ada di depan.
.