Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 40 - Jumat Berkah

Chapter 40 - Jumat Berkah

Keesokan harinya, setelah menyelesaikan rutinitas pagi—memasak, mencuci piring, dan sarapan bersama Ayah—aku melangkah menuju bengkel Pak Hendro tepat pukul 7:30 pagi. Jaraknya hanya sekitar satu kilometer dari rumah, cukup dekat untuk berjalan kaki sambil menikmati udara pagi yang segar. 

"Selamat pagi, Neng! Ada yang bisa dibantu?" tanyanya dengan logat khas Sunda, sambil menyunggingkan senyum hangat.

"Selamat pagi, Pak. Saya Sarah, sudah janjian untuk interview dengan Pak Hendro," jawabku sopan.

"Oh, jadi Neng Sarah, ya? Anak Pak Suryo? Yang baru keluar dari..." Dia terdiam sebentar, sebelum melanjutkan dengan senyum agak canggung, "...yang baru pulang?"

Diriku tersenyum memahami, lalu mengangguk. "Betul, Pak." sepertinya diriku sudah terkenal di lingkungan sekitar rumah ku. 

"Perkenalkan, saya Mang Ujung, karyawan kepercayaan Pak Hendro. Silakan masuk, Neng. Pak Hendro sepertinya masih otw, tapi biasanya bentar lagi sampai.

Mang Ujang mempersilahkanku menunggu di ruang yang sederhana. Ruang tunggu yang menyerupai ruang tamu kecil, tampaknya dirancang untuk para pelanggan. kantor bengkel terletak tepat di sebelahnya, kulihat terdapat tiga meja kerja yang tampak berantakan dengan dokumen, alat tulis, dan beberapa spare part kecil. 

Sekitar jam delapan, pintu depan terbuka pelan, dan masuklah seorang pria paruh baya berpenampilan sederhana, namun berwibawa. "Assalamualaikum, Sarah, ya?" sapanya sambil menjulurkan tangan.

"Waalaikumsalam, Betul, Pak. Saya Sarah. Terima kasih sudah memberi saya kesempatan untuk datang hari ini."

Pak Hendro tersenyum. "Oke, kita langsung saja, ya. Silakan ceritakan sedikit tentang diri kamu."

Interview dimulai dengan diiringi latar suara khas bengkel: suara mesin, obrolan mekanik, dan sesekali dentingan alat. Diriku menceritakan tentang latar belakangku, termasuk masa sulit yang pernah kulewati. Aku memilih untuk jujur, karena bagiku kejujuran adalah langkah awal untuk mendapatkan kepercayaan. ku lanjutkan dengan beberapa kemampuan yang kumiliki.

Pak Hendro mendengarkan dengan serius, sesekali mengangguk. Setelah ku selesai, ia berkata, "Sarah, semua orang punya masa lalu. Tapi yang saya lihat sekarang adalah orang yang ingin berubah dan bekerja keras. Itu yang penting buat saya."

Ia kemudian mengetes kemampuanku menggunakan komputer dan Excel. Jujur, sudah lama sekali diriku tidak menyentuh software itu, terakhir saat diriku kuliah. Meski sudah lama tidak menyentuh komputer dan program-program itu yang tampilan yang sudah banyak berubah, tapi syukurlah, otot memori di otakku masih bekerja dengan baik. Diriku berhasil menunjukkan bahwa aku cukup mahir mengoperasikan keduanya. Pak Hendro terlihat puas.

Pak Hendro kemudian menjelaskan tugasku nanti: mencatat keuangan, mengelola stok barang, berkomunikasi dengan pelanggan dan supplier, serta membantu bagian operasional jika dibutuhkan. Pekerjaan itu terdengar menantang, tapi aku tahu ini adalah kesempatan besar.

"Ya udah, Sarah. bisa mulai kerja hari Senin minggu depan," katanya dengan nada santai.

Diriku hampir menangis karena lega dan bahagia. "Terima kasih banyak, Pak Hendro. Saya gak akan mengecewakan kepercayaan ini."

Pak Hendro juga menjelaskan sistem gaji: untuk tiga bulan pertama, diriku akan digaji harian sebesar 100 ribu per hari, dan setelahnya, gajiku akan disesuaikan dengan UMR. Dalam hati, ku bertanya-tanya berapa sih sebenarnya UMR itu? Tapi ku hanya mengangguk semangat, tak ingin terlihat seperti orang yang clueless.

Saat berjalan pulang, ada rasa bahagia yang tak terbendung. Pekerjaan di bengkel ini adalah awal yang baru—langkah pertamaku untuk membuktikan diri. Diriku merasa, di balik cobaan berat yang pernah kujalani, Tuhan selalu menyimpan jalan untuk kembali bangkit. 

Sesampainya di rumah, dengan penuh semangat kusampaikan kabar gembira kepada ayah bahwa diriku diterima bekerja di bengkel Pak Hendro dan bisa mulai hari Senin depan. Ayah terlihat sangat gembira. Tanpa ragu, memelukku erat sambil berkata, "Ini awal yang baik, Sarah. Ingat, bekerja itu bukan hanya soal menghasilkan uang, tapi juga soal belajar dan membuktikan dirimu."

Diriku mengangguk sambil tersenyum. Ayah melanjutkan dengan penuh perhatian, "Nanti, bekerja yang sungguh-sungguh, ya. Dunia kerja penuh dengan persaingan, tapi kalau kamu jujur dan rajin, insya Allah rezekimu akan selalu ada."

Obrolan kami pagi itu terasa begitu hangat dan menyenangkan. Hari ini benar-benar terasa seperti Jumat berkah. Tak lama kemudian, ayah bersiap-siap untuk pergi ke masjid melaksanakan salat Jumat.

Setelah ayah berangkat ke masjid, diriku menuju kamar. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba muncul. Ku coba menyalakan komputer tuaku yang sudah lama tak tersentuh. Tak kusangka, setelah beberapa saat menunggu, komputer itu masih bisa menyala. Diriku tersenyum lebar, seperti bertemu teman lama. Rasa nostalgia langsung menyeruak saat melihat desktopnya yang penuh dengan file-file lama.

Ku buka sebuah folder yang berisi foto-foto masa kecilku. Ada foto aku bersama ibu, ayah, dan adikku ketika kami berkunjung ke rumah kakek nenek di desa. Wajahku ceria dalam setiap gambar, seolah tak ada beban hidup yang pernah kurasakan. Mataku kemudian tertuju pada file berisi tulisan-tulisan lama, termasuk puisi dan cerita pendek yang pernah kutulis saat di sekolah menengah dulu. Membacanya kembali membuatku tersenyum kecil. Aku merasa seperti menemukan kembali bagian diriku yang sempat hilang.

Setelah puas bernostalgia, dan mencoba mengasah kembali kemampu excel ku. aku memutuskan untuk membereskan kamar. Ada rasa ingin memperbarui suasana agar lebih nyaman dan segar. Saat merapikan meja, aku menemukan sebuah buku harian lama yang sudah usang. Dengan hati-hati, aku membuka halaman-halamannya. Di sana tertulis banyak impian yang pernah kubuat. Salah satu yang mencuri perhatianku adalah impian untuk "membangun bengkel sendiri". Aku terdiam sejenak, memandangi tulisan itu dengan campuran rasa haru dan semangat baru.

"Mungkin ini awal langkah untuk menghidupkan kembali mimpiku," pikirku. Pekerjaan di bengkel Pak Hendro bukan sekadar pekerjaan biasa. Ini bisa menjadi jalan untuk mewujudkan sesuatu yang lebih besar di masa depan.

Tak lama, ayah pulang dari masjid dengan senyumnya yang hangat. Kami makan siang bersama sambil membicarakan rencana-rencanaku ke depan. Ayah memberikan banyak nasihat dan aku mendengarkannya dengan penuh antusias. Obrolan kami dipenuhi dengan canda tawa, membuatku merasa lebih optimis. Dukungan ayah benar-benar menjadi kekuatan yang luar biasa untukku.

Hari itu, aku merasa hidupku mulai kembali terarah. Ada harapan baru yang tumbuh di hatiku. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjalani hari-hari ke depan dengan lebih tekun dan penuh rasa syukur. Mungkin aku belum sampai di tujuan, tapi aku yakin setiap langkah kecil yang kuambil sekarang akan membawaku mendekat pada mimpi-mimpiku. Di dalam hati, aku berbisik, "Ini adalah awal dari perjalanan baru. Ku siap tuk melangkah."

Kunjungan Mas Maulana

Hari mulai gelap. Selepas waktu Maghrib, saat diriku tenggelam dalam alunan ayat suci, terdengar ketukan halus di pintu depan. "Masuk aja, nggak dikunci kok," seruku, mengira ayah pulang dari masjid usai sholat Maghrib berjamaah. Tapi ketukan itu kembali terdengar, disertai ucapan salam dengan suara yang sangat kukenal, "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabku sambil bergegas membuka pintu. Benar saja, Mas Maulana berdiri di sana dengan senyum khasnya, meski kali ini ada rona lelah di wajahnya. Dia masih mengenakan pakaian rapi, kemeja yang terlihat sedikit kusut, tapi tetap memancarkan wibawa.

"Eh, Pak… eh, Mas Maulana, silakan masuk," ucapku gugup, mencoba menutupi rasa bahagia yang entah kenapa sulit disembunyikan.

Kami duduk di ruang tamu, suasananya masih hangat oleh aroma dupa yang menyala sejak tadi.

"Kok nggak kasih kabar dulu, Mas?" tanyaku, mencoba memecah kesunyian.

"Iya, kebetulan selesai sidang, tiba-tiba kepikiran pengin tahu kabarmu aja," jawab Mas Maulana sambil tersenyum. Jawabannya membuatku tersipu malu, tapi aku mencoba tetap tenang.

"Wah, rumahmu jadi kelihatan rapi banget. Hampir nggak kukenali tadi," katanya, matanya menelusuri sudut-sudut ruangan.

"Iya, Mas. Kan masih nganggur, jadi ada waktu buat beres-beres. Pelan-pelan rumahnya aku rapikan biar nggak bosan," jawabku sambil tertawa kecil.

"Sebentar, ya. Aku buatkan minum dulu. Mas mau kopi atau teh?"

"Nggak usah repot-repot, tapi kalau ada kopi, boleh deh," jawabnya santai.

Aku pun ke dapur, hati ini berdebar tanpa alasan. Sambil menyiapkan kopi, aku berpikir, kenapa rasanya seperti ini setiap kali bertemu Mas Maulana? Setelah semuanya siap, aku kembali ke ruang tamu membawa dua cangkir kopi hangat.

"Nih, Mas. Kopi hitam mudah-mudahan suka," kataku sambil meletakkan cangkir di depannya.

Sambil menemani Mas Maulana menyeruput kopi, Diriku bercerita tentang hal-hal yang kulakukan belakangan ini. Mulai dari menghadapi cibiran tetangga, perjuanganku mencari pekerjaan, hingga rencanaku melanjutkan kuliah. Mas Maulana mendengarkan dengan penuh perhatian, kadang menimpali dengan candaan yang membuatku tertawa.

"Oh iya, ini ada sesuatu buatmu," katanya tiba-tiba, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya.

"Apa itu, Mas?" tanyaku penasaran.

"Hadiah kecil buatmu, Buka aja," jawabnya singkat sambil tersenyum penuh arti.

"Wah Mas Maulana memang pengacara terbaik dan tidak sombong, tetapi diriku merasa lebih nyaman jika aku tidak menerima hadiah ini." Karena rasa sungkan dan sedikit khawatir, ku tolak dengan halus hadiah itu. Dalam pikiranku, Mas Maulana bukan lagi pengacaraku, dan sekarang diriku hanya menganggapnya teman tanpa ikatan apa pun.

Tapi seperti biasa, Mas Maulana tak mudah menyerah. Dengan senyum yang menenangkan, ia berkata, "udah ambil aja, Sejak menangani kasusmu, saya jadi lebih dikenal. Klienku sekarang banyak. Ini bentuk terima kasihku."

Dengan ragu, akhirnya kubuka kertas hadiah itu yang terbungkus rapi dengan kartu kecil bertuliskan, "Selamat menikmati kebebasanmu Sarah. Terimalah hadiah ini untuk menemani hari-harimu kedepan, Semoga hidupmu kini dan ke depan lebih indah dari sebelumnya, Salam Pengacaramu yang perhatian Maulana Yusuf. " Ucapannya terasa puitis dan sedikit berlebihan—persis seperti gaya Mas Maulana.

Dalam genggamanku kini ada sebuah kotak warna putih bertuliskan iPhone 15. "Aduh, Mas. Ini terlalu mewah. Diriku nggak bisa terima," protesku sambil mencoba menyerahkan kembali kotaknya. Tapi Mas Maulana tetap bersikeras, "Kamu pantas mendapatkannya. Lagi pula, ini hadiah kecil saja, anggap saja ucapan terimakasih ku."

Karena diriku juga keras kepala, ku terima hadiah itu tapi dengan syarat, "Baiklah, kalau memang Mas Maulana maksa, nanti ku bayar setelah gajian. Jangan anggap ini hadiah, anggap saja diriku nyicil!"

Ia tertawa kecil mendengar ucapanku. "Kenapa ketawa?" tanyaku, setengah kesal.

"Nanti lihat saja gajimu pertama kali, terus bandingkan dengan harga HP itu," jawabnya sambil menyandarkan punggung ke kursi, menikmati reaksiku.

Diriku menatapnya dengan cemberut. "Maksudnya apa sih? Emang diriku nggak bisa bayar?"

Mas Maulana hanya tersenyum, lalu berkata sambil berkelakar, "Udah tenang aja, cicilannya bisa pakai senyuman. Itu pun kalau kamu nggak lupa senyum pas lagi sibuk kerja nanti."

Obrolan kami berlanjut, penuh candaan ringan, tapi ada sesuatu yang menggantung di udara. Entah kenapa, diriku merasa HP ini bukan hanya soal hadiah... mungkin lebih dari itu. Tapi biarlah, pikirku. Semua akan terjawab pada waktunya.

Tak terasa, obrolanku dengan Mas Maulana begitu mengalir. Suasana yang semula kaku kini dipenuhi tawa dan cerita. Hingga akhirnya, terdengar ucapan salam, Ayah pulang dari masjid. Beliau langsung menghampiri kami di ruang tamu dan menyalami Mas Maulana dengan hangat.

"Wah ada Pak Maulana, gimana kabar? kok ga info dulu kalau mau datang." sapa ayah sambil tersenyum.

"Alhamdulillah sehat, Pak. Iya tadi setelah selesai sidang, iseng aja mampir sekalian mau ketemu Sarah. Bapak sendiri bagaimana kabarnya? Semoga selalu diberi kesehatan," jawab Mas Maulana dengan nada hormat.

Untuk menghindari ucapan ayah yang kadang kelewatan, diriku yang mulai merasa lapar, spontan mengajak mereka makan malam bersama. "Yuk, makan malam di sini saja. Kebetulan aku sudah siapkan makanan tadi sore," ajakku sambil beranjak menuju dapur.

Menu sederhana itu—sayur sop hangat, ikan layang goreng, dan sambal terasi—ternyata membawa kehangatan tersendiri. Kami makan bersama di meja makan kecil di sudut ruang keluarga. Percakapan ringan mengalir di sela-sela suapan. Ayah tampak senang, begitu juga Mas Maulana.

Ajakan Kencan ?

Setelah waktu menunjukkan larut malam, Mas Maulana akhirnya pamit. Namun sebelum benar-benar pergi, ia tiba-tiba berbicara kepada ayah dengan nada yang santai, tapi membuatku hampir tersedak:

"Pak, bolehkah besok saya ajak Sarah jalan-jalan sebentar? Ada tempat bagus yang ingin saya tunjukkan."

Diriku menoleh tajam, sedikit kaget dan tak siap dengan ajakan itu, sementara ayah malah tertawa kecil. "Silakan, Maulana. asal Sarah Jangan di tinggal di jalan nanti ga bisa pulang sendiri dia, ya terus pulangnya jangan terlalu malam saja, ya."

Diriku hanya bisa terpaku, tapi dalam hati muncul sebuah pertanyaan yang membuatku tak tenang: Apa ini sebuah ajakan kencan?

Mas Maulana berpamitan dengan senyum tipis, meninggalkanku dalam kebingungan sekaligus harapan. Diriku masih terpaku di kursi ruang tamu, merenungkan ucapan terakhirnya. Jalan-jalan? Dengan ku? Ini bukan hal biasa. Apalagi untuk seseorang sepertiku, yang baru mulai merangkai kembali hidup dari serpihan masa lalu. terlebih lagi diriku bukan ABG lagi, diriku telah dewasa

Pikiranku masih terus berputar, bercampur antara logika dan harapan yang sedikit nakal. "Sarah, jangan kebanyakan mikir. Ini cuma jalan-jalan, bukan lamaran!" gumamku, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, sisi nakal dalam diriku terus mengganggu, "Tapi kan, siapa tahu ini jalannya... lagipula, udah terlalu lama ga ada cowok sekeren itu yang ngajak jalan?"

Diriku menggeleng keras, mencoba mengusir pikiran aneh itu. Namun, pertanyaan baru muncul: "Apa benar Mas Maulana masih bujang?" Sebuah misteri yang tiba-tiba terasa sangat penting. Jangan-jangan... ah, tidak! Diriku mencoba menghibur diri dengan mengingat bahwa orang sebaik dia pastinya sudah punya banyak pengagum.

Sementara itu, Ayah yang juga masih duduk di kursinya, tiba-tiba bersuara, "Sarah, jangan negative thinking." Ayah —seperti membaca pikiranku— lanjut berkata, "Inget ya, cowok itu kadang niatnya tulus, tapi bisa juga cuma main-main, bisa juga lagi ngetes. Jadi jangan terlalu termakan harapan, tapi jangan juga kamu main-main."

Diriku tersentak. "Ayah, serius banget ngomongnya! Baru diajak jalan, kok udah kayak sudah mau diajak nikah di KUA!" Ayah tertawa, tapi ku bisa melihat senyumnya penuh arti, seolah mengingatkan bahwa kesempatan seperti ini tidak datang dua kali.

Diriku masih melamun, bayangan Mas Maulana dengan senyumnya yang tenang kembali muncul. ku coba mencari alasan logis mengapa dia tiba-tiba ingin jalan-jalan denganku. Apa dia hanya ingin berbagi cerita? Atau... mungkin dia punya maksud lain?

"Sarah, jangan GR. Fokus aja sama hidupmu. Tapi kalau dia serius, ya, kenapa tidak?" pikirku sambil menarik selimut.

Di kamar, ku pikirkan lagi ajakan itu. Ku mencoba menganalisis setiap detail interaksi kami sepanjang malam. Apakah ada yang aneh? diriku terlalu banyak tertawa? Atau dia hanya bersikap ramah seperti biasa? Mungkin dia hanya ingin membantu mengalihkan pikiranku dari keresahan, mengingat kehidupan yang sedang kutata kembali.

Malam itu, diriku tidur dengan perasaan campur aduk—antara gugup, senang, dan sedikit penasaran. Tapi satu hal yang ku tahu pasti: besok, diriku harus siap, apa pun yang terjadi. Apakah ini akan jadi awal kisah baru atau hanya sekadar ajakan santai, ku tak boleh melewatkan kesempatan untuk menjalani hidup lebih berwarna.

Hari itu, benar-benar Jumat berkah bagiku, semangat hidupku kembali menyala.