Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 44 - Teman tapi mesra

Chapter 44 - Teman tapi mesra

Sebulan berlalu sejak kebebasanku, dan kehidupanku perlahan menemukan ritmenya. Rutinitas di rumah dan rutinitas pekerjaan di bengkel berjalan lancar. Diriku juga rutin tiap minggu menghubungi Bu Hera di Lapas untuk sekedar berbagi cerita.

Kebebasanku tak hanya mengubah hidupku, tetapi juga membawa dampak besar pada Ayah. Rasanya seperti keluarga kami diberi kesempatan untuk memulai lembaran baru.

Ayah, yang sebelumnya sering terlihat murung dan menyendiri, kini berubah menjadi pribadi yang lebih bersemangat. Beliau semakin rajin ke masjid untuk sholat berjamaah, bahkan sering membantu kegiatan sosial di sana. Setiap kali melihatnya berangkat ke masjid dengan pakaian rapi dan senyum yang terpancar, hatiku merasa hangat.

Bukan hanya itu, pekerjaan Ayah pun ikut mulai membaik. Dengan keterampilan sebagai tukang listrik, Ayah kini menjadi andalan di lingkungan kami. Hampir setiap hari ada saja tetangga yang datang untuk meminta bantuan—mulai dari pemasangan instalasi listrik baru hingga perbaikan kecil seperti mengganti lampu yang mati atau memperbaiki saklar.

"Pak Suryo, tolong cek kipas angin saya, ya. Sepertinya ada kabel yang putus," ujar tetangga sebelah, Bu Siti, suatu pagi.

"Siap, Bu. Nanti saya datang setelah beres kerja di rumah Pak Amin," jawab Ayah dengan nada ramah.

Kesibukan Ayah juga membawa perubahan positif pada keuangan keluarga kami. Sekarang, Ayah tidak lagi khawatir soal kebutuhan sehari-hari. Bahkan, beliau bisa menabung untuk berangkat umrah. Ada saat-saat tertentu di mana diriku memergokinya memandangi tabungannya dengan senyum kecil, seolah mengucap syukur atas rezeki yang datang setelah sekian lama.

"Alhamdulillah, Sarah," kata Ayah suatu malam saat kami duduk di ruang tamu setelah makan malam. "Dulu, Ayah sempat takut, kita nggak akan bisa bangkit lagi. Tapi sekarang, Ayah merasa diberi kekuatan baru. Semua ini karena kamu juga. Kamu pulang ke rumah membawa harapan baru untuk keluarga kita."

Kata-katanya membuatku terdiam sejenak, kemudian diriku tersenyum. "Ayah yang hebat. Kalau bukan karena Ayah terus berjuang, ku mungkin nggak akan pernah bisa merasa setenang ini."

Diriku merasa lega melihat Ayah menemukan ritme baru dalam hidupnya. Kehidupan kami yang dulu terasa penuh tekanan kini terasa lebih ringan. Namun, di balik semua itu, diriku juga tahu bahwa harus terus berjuang untuk membangun kembali masa depanku sendiri.

Keadaan ini semakin memberiku semangat untuk bekerja di bengkel Pak Hendro. Setiap hari, diriku mencoba memberikan yang terbaik, karena ku tahu bahwa keberhasilanku tidak hanya untuk diriku sendiri, tetapi juga demi Ayah, yang telah banyak berkorban demi keluarganya.

Setelah rumah rapi dan semua dokumen administrasi di bengkel beres kurapikan, pekerjaanku terasa semakin ringan. Pak Hendro juga sering memujiku karena cepat beradaptasi, dan rekan-rekan kerja mulai menerimaku tanpa ragu, meskipun statusku sebagai mantan narapidana masih jadi bahan gurauan mereka.

Sementara itu, hubunganku dengan Mas Maulana semakin dekat. Sejak kencan pertama yang serba tidak direncanakan itu, kami rutin bertukar pesan setiap malam. Obrolan kami ringan, sering kali diselingi canda. Dia selalu tahu cara membuatku tersenyum setelah hari yang melelahkan. 

Sebulan telah berlalu Mas Maulana selalu berhasil menyisipkan kejutan kecil di sela-sela kesibukannya, tiba-tiba muncul di bengkel tanpa pemberitahuan, membawakanku camilan favorit, atau sekadar mengajakku jalan-jalan sore.

Namun, meski hubungan kami semakin dekat, tetapi tetap saja tanpa ada pernyataan yang jelas diantara kami, tak ada status yang jelas. Pacar? Bukan. Teman? Juga terasa terlalu biasa untuk menggambarkan kedekatan ini. Diriku jadi teringat lagu yang dulu sering diputar saat masa sekolah dulu:

Cukuplah saja berteman denganku

Janganlah kau meminta lebih

Ku tak mungkin mencintaimu

Kita berteman saja, teman tapi mesra.

Ironisnya, lagu itu seolah menjelaskan situasiku saat ini.

Namun, ada satu keanehan yang terus mengusik pikiranku. Setiap malam Minggu dan hari Minggu, Mas Maulana seperti lenyap dari peredaran. Tak ada kabar, tak ada pesan. Seperti seorang aktor yang tiba-tiba menghilang di tengah pertunjukan. Diriku pernah bertanya langsung padanya, tetapi jawabannya selalu terdengar mengambang.

"Saya sibuk, Sarah," katanya suatu kali, ketika aku menyinggung soal menghilangnya di akhir pekan.

"Sibuk apa? Kan cuma weekend," desakku.

Dia hanya tertawa kecil. "Ada hal-hal yang perlu aku urus. Nanti kalau waktunya tepat, aku ceritakan semuanya."

Jawaban itu membuatku semakin curiga. Apakah mungkin Mas Maulana sudah memiliki seseorang di hatinya? Atau, lebih buruk lagi, apakah dia sedang menjalani hubungan ganda? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, meski diriku berusaha mengabaikannya demi menjaga hubungan yang ada.

Pekerjaanku di bengkel Pak Hendro berjalan lancar. Kehadiranku di sana, sebagai satu-satunya perempuan, ternyata menarik perhatian. Kecantikan diriku memang bisa dibanggakan.

"Sarah, iki onok mobil nganggur wis mari di repair. Nggko sore ta ajak ngopi gelem?" tanya salah satu montir, Wawan, sambil tersenyum jahil.

Diriku hanya terkekeh dan menggeleng. "Nggak, Mas Wawan. Nanti sore diriku mau istirahat di rumah."

"Ah, nggak mungkin. Semua lelaki di sini aja tergila-gila sama kamu," celetuk Dimas, montir lain yang lebih muda.

"Kalau semua tergila-gila, kenapa diriku masih single sampai sekarang?" balasku sambil bercanda.

"lek ngono ta ajak jadian saiki, lek perlu ta parani omahmu sesok, ta lamar awakmu" ujar Mas Wawan dengan wajah serius.

Mereka semua tertawa, tetapi ku tahu mereka sepenuhnya bercanda. Ada kalanya perhatian mereka terasa sedikit berlebihan, tetapi ku tak bisa menyalahkan. Kehadiranku di bengkel memang menjadi hal yang "tidak biasa," terutama bagi para pria lajang di sana.

Diriku mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaanku dan tidak terlalu memikirkan Mas Maulana. Namun, setiap kali malam Minggu tiba, bayangannya kembali muncul. Perasaan ingin tahu bercampur harapan selalu menggangguku.

Apakah hubungan ini akan membawa kejelasan, atau hanya sekadar menjadi "teman tapi mesra" seperti lirik lagu itu?

Sementara itu, adikku semakin siap melamar pacarnya, Insya Allah bulan depan, rencana pernikahan juga sudah dijalankan.

Terungkap

Tiga bulan telah berlalu sejak awal kedekatanku dengan Mas Maulana. Hubungan ini berjalan seperti sebuah lagu lama—teman tapi mesra. Tidak ada status yang jelas, hanya perasaan yang menggantung di antara kami.

Namun, ketidakpastian yang menyelimuti hubungan dengan Mas Maulana masih seperti awan mendung yang enggan pergi. "Kalau memang dia serius, dia akan menunjukkan keseriusannya," gumamku pada diri sendiri, mencoba menenangkan hati yang gundah.

Esok paginya, diriku memulai hari seperti biasa. Rutinitas pekerjaan di bengkel memberiku jeda untuk merenung lebih dalam. Di sela-sela mencatat stok suku cadang, aku tersenyum kecil mengingat Ayah yang pernah berkata, "Kalau orang benar-benar sayang, dia nggak akan ragu. Tapi kalau banyak alasan, artinya dia belum siap atau mungkin nggak serius."

Kata-kata itu terasa begitu relevan sekarang.

Di sela waktu istirahat, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Mas Maulana:

"Sarah, maaf soal tadi malam. Saya nggak bermaksud mengulur waktu. Saya sedang mempersiapkan sesuatu untuk kita. Bisa kita bicara lagi nanti?"

Pesan itu membuatku sedikit lega, meskipun diriku tahu ini belum cukup untuk menjawab semua keraguanku. "Kita lihat nanti," pikirku, sembari memasukkan ponsel ke saku.

Kecewa itu muncul lagi, seperti yang sudah-sudah. Ketika diriku mengajaknya menghadiri acara lamaran adikku, Anugrah, ia menolak. Seperti biasa, alasan klasiknya muncul, "Lagi banyak urusan, Sarah." Akhir pekan selalu menjadi misteri, seolah dia hilang ditelan bumi. Ku tahu ada yang dia sembunyikan, dan diriku harus mencari tahu kebenarannya.

Hari itu, sepulang kerja, Mas Maulana menjemputku di bengkel. Katanya, dia ingin mengajakku bersantai di taman kota.

Saat diriku menoleh ke kursi belakang mobil, mataku langsung tertuju pada sebuah tas kecil berwarna cerah di kursi belakang. Tas itu terlihat seperti milik anak-anak, dengan gambar kartun yang lucu di depannya.

"Punya siapa ini, Mas?" tanyaku sambil mengangkat tas itu.

"Oh, itu… punya anak SD dekat rumah, Sarah," jawabnya cepat, tanpa menoleh. "Kadang-kadang numpang saya berangkat sekolah."

Jawabannya terdengar datar, tapi ku putuskan untuk tidak membahas lebih lanjut, diriku fokus ingin menyampaikan rencana melanjutkan kuliah ku. Entah mengapa diriku tak terlalu curiga, saat itu.

Kami tiba di taman dan memilih duduk di kafe kecil yang menghadap ke air mancur. Sore itu terasa nyaman. Aku menyampaikan niat untuk kembali kuliah. Setelah beberapa saat mencari informasi bersama melalui HP, ternyata melanjutkan kuliah di kampus negeri tempatku dulu belajar tidak memungkinkan. Mas Maulana merekomendasikan beberapa kampus swasta yang memiliki program khusus untuk mahasiswa yang ingin melanjutkan studi setelah lama vakum.

"Sarah, saya yakin dengan kemampuanmu. Kamu cuma butuh kesempatan," ujarnya, memberikan semangat. Kata-katanya selalu penuh keyakinan. Namun, misteri tentang dirinya tetap mengusik pikiranku. Mengapa dia selalu tak ada kabar setiap akhir pekan? Apakah dia menyembunyikan sesuatu?

Di satu sisi, aku merasa nyaman bersamanya. Dia hadir saat aku butuh, memberikan semangat ketika lemah, dan selalu memperlihatkan ketulusan. Namun di sisi lain, ada ruang kosong yang seolah tak bisa kuraba. Seperti ada bagian dari hidupnya yang sengaja dia sembunyikan dariku.

Ketika kami berbicara tentang rencana kuliahku, Mas Maulana berkata, "Sarah, hidupmu baru dimulai lagi. Jangan ragu untuk mengejar apa pun yang kamu inginkan. Saya di sini untuk mendukungmu."

Kata-katanya membuatku tersentuh, tapi aku tahu bahwa jika ingin melangkah lebih jauh dengan Mas Maulana, aku harus mengungkap apa yang masih menjadi misteri. Keinginan untuk bertanya langsung terus muncul, tapi aku selalu menundanya, takut jika jawabannya justru merusak apa yang sudah kami bangun.

Namun, Misteri tentang Mas Maulana tetap mengusik pikiranku. Mengapa dia selalu tak ada kabar setiap akhir pekan? Apakah dia menyembunyikan sesuatu? di dalam hati, ku tahu, tidak ada hubungan yang bisa bertahan tanpa kejujuran. Dan suatu hari nanti, diriku harus memberanikan diri untuk mencari tahu kebenaran, apa pun risikonya.

Sore itu, jawabannya akhirnya muncul sendiri.

Semua berjalan menyenangkan sampai Mas Maulana menerima panggilan video di ponselnya. Awalnya, dirinya terlihat ragu untuk mengangkat, tetapi akhirnya dia jawab panggilan itu.

"Hallo, Ayah!" terdengar suara anak kecil dari ponsel. Suara itu terdengar ceria, diikuti tawa renyah khas anak-anak. Seketika, aku merasa ada sesuatu yang patah di dalam diriku.

"Sebentar ya, Sayang. Ayah lagi di luar," kata Mas Maulana sambil melirik ke arahku. Suaranya terdengar canggung, dan ia segera mematikan panggilan itu.

Diriku menatapnya tajam. "Ayah?" tanyaku perlahan, mencoba menahan gejolak yang mulai menyeruak di dadaku. "Mas, itu anak siapa? terdengar jelas tadi memanggil 'Ayah'."

Mas Maulana mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Sarah… saya minta maaf. gak ada maksud menyembunyikan ini darimu. Tapi saya memang punya anak."

Diriku terdiam, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja terungkap. "Berarti kamu sudah menikah?" tanyaku, suaraku bergetar.

"Dulu, ya," jawabnya lirih. "Saya sudah bercerai. Anakku tinggal bersama mantan istriku, tapi saya masih sering bertemu dan mengurus kebutuhannya."

Seketika, dunia di sekitarku terasa hening. Perasaan dikhianati, marah, dan bingung bercampur menjadi satu.

"Kenapa kamu nggak bilang dari awal, Mas?" tanyaku, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Kamu pikir diriku nggak berhak tahu?"

Mas Maulana menatapku dengan mata penuh penyesalan. "Saya tunggu saat yang tepat. Kalau kusampaikan di awal, saya juga takut kehilanganmu, Sarah. Saya tahu ini salah. Tapi saya benar-benar suka sama kamu."

Diriku menggeleng pelan, merasa sulit untuk mempercayai kata-katanya. "ku gak tahu, Mas. Diriku butuh waktu untuk berpikir."

Tanpa menunggu jawaban darinya, diriku bangkit dari kursi dan berjalan pergi. Sore itu, langit terlihat begitu mendung, seakan mencerminkan hatiku yang sedang berperang dengan berbagai perasaan.

Sore itu menjadi momen terberat bagiku. Perasaan nyaman yang selama ini hadir bersama Mas Maulana tiba-tiba berubah menjadi keraguan yang mendalam. Langkahku menuju pintu keluar taman terasa berat, sementara suara Mas Maulana memanggil namaku dari kejauhan menggema di antara pikiranku.

"Sarah, tunggu!" Suaranya terdengar putus asa, tetapi diriku tetap berjalan tanpa menoleh. Dalam hati, ku tahu bahwa keputusanku untuk menjauh sementara adalah hal yang tepat.

Ku tahu, harus membuat keputusan—apakah bisa menerima masa lalunya, atau apakah harus melepaskan segalanya demi menjaga diriku sendiri. Yang jelas, ku tak akan lagi membiarkan diriku terjebak dalam hubungan tanpa kejelasan.

Ku butuh waktu

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus berkecamuk. Langkahku terasa berat, seolah setiap jejak yang kutinggalkan membawa potongan-potongan luka dan kekecewaan. Ku sadar, bukan salah Mas Maulana sepenuhnya—dia punya masa lalu, seperti halnya aku. Tapi menyembunyikan fakta sebesar itu, hingga diriku harus mengetahuinya dari panggilan video anaknya? Rasanya seperti dihujani jarum di tengah badai.

Sesampainya di rumah, Ayah yang sedang menyiram tanaman langsung menyadari ada sesuatu yang tidak beres. "Sarah, kenapa mukanya begitu? Ada masalah sama Maulana?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.

Kuhela napas panjang dan menjawab, "Ayah, ternyata Mas Maulana punya anak. Dia nggak cerita dari awal."

Ayah berhenti menyiram, meletakkan selangnya, lalu duduk di kursi teras. "Oh, jadi itu masalahnya. Terus, gimana perasaanmu sekarang?"

Diriku menatap Ayah, berusaha menahan tangis. "Diriku gak tahu, Yah. kecewa karena dia gak terbuka . Tapi ku tahu gak gampang buat dia menceritakan itu."

Ayah mengangguk pelan, mencoba mencerna ceritaku. "Sarah, setiap orang punya masa lalu. Sama seperti kamu. Kalau kamu butuh waktu buat nerima itu, ambil waktu. Tapi ingat, jangan cuma lihat masa lalunya. Lihat juga gimana dia memperlakukan kamu sekarang."

Malam itu, diriku merenungkan kata-kata Ayah. Ku tahu hidup tidak selalu hitam dan putih. Ada abu-abu di antaranya, yang sering kali penuh kerumitan. Mas Maulana tidak salah mencintaiku, tapi caranya yang menyembunyikan kebenaran membuatku merasa kehilangan kepercayaan.

Malam itu juga, pesan dari Mas Maulana masuk ke ponselku:

Sarah, maaf kalau Saya telah mengecewakanmu. Kalau kamu mau mendengarkan, saya akan jelaskan semuanya. Kalau kamu butuh waktu, saya akan menunggu. Karena buatku, kamu adalah bagian dari masa depan yang ingin kubangun.

Pesan itu menyentuhku, tapi juga mengingatkan bahwa tidak cukup hanya dengan kata-kata. Aku butuh bukti. Hubungan ini bukan hanya tentang saling suka, tapi juga tentang kejujuran, kepercayaan, dan komitmen.

Ku putuskan untuk mengambil waktu. harus kupikir matang-matang, bukan hanya untuk sekarang, tapi juga untuk masa depan. Jika ku putuskan untuk melangkah dengan Mas Maulana, ku harus benar-benar siap menerima seluruh dirinya, termasuk masa lalunya.

Dan jika tidak... mungkin ini adalah tanda bahwa diriku harus melanjutkan hidupku ke arah lain. Apa pun keputusanku nanti, satu hal yang pasti: ku tidak akan lagi membiarkan diriku berada di hubungan yang menggantung tanpa kejelasan. Karena diriku pantas mendapatkan lebih.