Pagi menjelang siang itu, suasana ceria berubah tiba-tiba menjadi tegang. Memori kelam terbuka kembali, penuh luka, amarah, dan kepahitan yang telah bertahun-tahun ku pendam.
Diriku menatap Mas Maulana dengan mata yang penuh rasa sakit dan amarah yang terpendam bertahun-tahun. "Kau tau, Julia... mantan istrimu. meski dia sahabatku dulu." diriku berhenti sejenak, "Kau tau mas, Dia itu setan ! kejam ! Jahat ! dia yang buat diriku kehilangan segalanya."
Kata-kataku keluar pelan tapi tajam, seolah-olah setiap suku katanya adalah belati yang mengiris hatiku sendiri.
Mas Maulana bingung. "Apa maksudmu Sarah?"
Diriku menarik nafas, berusaha mengendalikan emosi yang meledak-ledak. "Julia-lah yang menuduhku membunuh Doni. "Julia-lah yang menuduhku membunuh Doni! Dia yang memutarbalikkan fakta, yang membuat Bu Hera, ibu Doni, percaya padanya. Dia menyusun skenario yang sempurna, membuatku terlihat seperti seorang pembunuh keji!"
Wajah Mas Maulana berubah drastis. Matanya melebar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Sarah... Julia yang melakukan itu?"
Air mataku mulai menggenang. "Awalnya diriku juga tak percaya Mas, Dia sahabatku, tapi...."
Lalu tertawa getir, tawa yang menggema di ruangan sunyi itu. "Kesaksiannya, bukti-bukti yang disampaikannya penuh rekayasa, ku yakin itu semua perbuatannya. Dia begitu lihai menyembunyikan wajah aslinya, sampai-sampai semua orang percaya padanya."Mas Maulana terdiam, matanya berkaca-kaca.
Dia terlihat sangat terpukul, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Sarah... saya tidak pernah menyangka Julia tega melakukan hal seperti itu." Mas Maulana menggeleng pelan, ekspresi wajahnya campuran antara bingung dan tidak percaya. "Tapi kenapa, Sarah? Kenapa dia melakukan itu padamu? Kalian sahabat, kan? Apa mungkin ada kesalahpahaman?"
Diriku tertawa pahit, suara yang bahkan membuatku sendiri merasa terluka. "Kesalahpahaman? Tidak, Mas. kurasa dia iri padaku, terlebih Doni mencintaiku, dan Julia tahu itu. Dia memanfaatkan situasi kematian Doni untuk menghapusku dari hidupnya sepenuhnya. Dia ingin semua orang percaya bahwa akulah penyebab kematian Doni."
Ruangan terasa sunyi. Bahkan Keyra, yang biasanya ceria, tampak bingung melihat wajah-wajah tegang di sekelilingnya. Mas Maulana akhirnya bicara, suaranya lebih berat. "Sarah, saya ga tahu soal ini. Saya tak tahu Julia punya masa lalu seperti itu."
Diriku tertawa kecil, penuh kepahitan. "Tentu saja kau tidak tahu. Dia manipulatif, sempurna dalam menutupi segalanya. Dia mungkin terlihat manis dan lembut, tapi dia jahat, dia itu sangat jahat, Iblis Mas."
"Sarah…" Mas Maulana dengan suaranya berat, seolah ia baru saja menelan beban yang terlalu besar. "Kamu yakin Julia yang melakukan itu? Julia yang… menyaksikan sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak tahu?"
Diriku menahan rasa sakit yang kembali mencuat seperti luka lama yang terbuka. "Dia sahabatku, Maulana. Seseorang yang dulu sangatku percaya. Tapi tenganya dia berdiri di pengadilan, bersaksi bahwa …" suaraku bergetar, "diriku yang membunuh Doni."
Mas Maulana mengusap wajahnya dengan kedua tangan, menarik napas dalam-dalam. "Saya tidak pernah tahu detail kasusmu saat itu. Saya tahu Doni meninggal, tapi Julia tidak pernah membahasnya secara rinci. Dia hanya bilang…pacarnya, dirimu Sarah sebagai tersangka."
Hatiku mencelos mendengar kata-kata itu. "Tentu saja dia tak akan bilang. yang pasti dia ahli memutarbalikkan fakta, membuat semua orang percaya bahwa diriku dalang di balik kematian Doni. Bahkan Bu Hera—ibu Doni—percaya padanya. Kesaksiannya adalah alasan utama diriku dipenjara."
Diriku menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang meluap. "karena fitnahnya, Diriku menderita, Mas. Kehilangan masa mudaku, kehilangan kepercayaan diriku, dan… hampir kehilangan harapan."
Mas Maulana terdiam, wajahnya tampak berpikir keras, seperti mencoba menyusun kepingan puzzle yang tiba-tiba tercerai-berai di depan matanya. "Sarah, jika ini benar, kita harus menyelidikinya. Saya juga ingin tahu kebenarannya, takkan bisa kubiarkan ini berlalu begitu saja."
Diriku menatap Mas Maulana yang tampak terguncang. Wajahnya seolah berusaha mencerna informasi yang baru saja ku ungkapkan. "Satu hal Mas, sampai sekarang diriku ga tau apa motifnya sampai dia setega itu pada diriku." Tanganku gemetar, namun ku tahu, jika tidak mengungkapkan kebenaran ini sekarang, diriku akan selamanya terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu.
Mas Maulana terdiam, menatapku dengan mata yang penuh penyesalan. "Sarah, saya tidak tahu harus berkata apa. Kalau yang kamu katakan ini benar… berarti keputusan saya menceraikan dirinya sudah tepat, saya selama ini hidup dengan seseorang yang… yang manipulatif."
"Kamu tidak tahu apa-apa saat itu," jawabku pelan, mencoba menahan air mata. "Tapi sekarang, kamu tahu. diriku tidak mengharapkan apa-apa darimu, Maulana. sekarang diriku ingin kebenaran terungkap, ingin tau apa motifnya, ingin dia bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan padaku."
Keyra, yang sejak tadi sibuk bermain boneka di lantai, tiba-tiba mendongak. "Kak Sarah, kenapa nagis? sedih ya?" tanyanya polos.
Ku usap pipiku, menyembunyikan jejak air mata yang nyaris jatuh. "Enggak, sayang. Kak Sarah cuma lagi cerita sama Ayah. Kamu main boneka aja, ya?"
Dia mengangguk dan kembali bermain, tapi tatapan polosnya sempat membuatku merasa bersalah. Diriku tidak ingin Keyra, yang tidak tahu apa-apa, terlibat dalam masa lalu kelam ini.
Mas Maulana bersandar ke sofa, pandangannya menerawang. "Sarah, Saya harus mendengar ini langsung dari Julia. Kalau ini benar, Saya tidak bisa tinggal diam, akan kumita dia minta maaf padamu."
"Apa maaf ? Mas ga cukup cuma permintaan maaf saja, lagian maaf ga bisa mengubah apa yang terjadi, Mas?" potongku, suaraku mulai bergetar. "Apakah maafnya bisa mengembalikan nama baikku? Mengembalikan kepercayaan orang-orang padaku? Menghapus bertahun-tahun rasa sakit yang ku tanggung sendirian?"
Ku berdiri, dengan langkah gemetar karena emosi yang membuncah, merasa sesak, seolah udara di ruangan itu tiba-tiba lenyap. "Kau tidak akan pernah bisa memahami apa yang ku rasakan. Hidupku hancur karenanya, Mas. Dan sekarang, dia muncul lagi dalam hidupku."
"Astaghfirullah tenang Sarah, kita selesaikan ini." Mas Maulana mencoba menenangkanku.
Diriku mengangguk. "Sudah terlalu lama diriku menahan semua ini. Dia harus tahu bahwa diriku tidak akan tinggal diam lagi."
Cuma sebuah Kebenaran Tak ada Dendam
Di tengah keheningan yang mulai mencekam, Ayah muncul dari balik pintu seperti seorang penyelamat. Cangkir tehnya diletakkan dengan sengaja agak keras di atas meja, menimbulkan bunyi kecil yang kontras dengan suasana tegang. "Wah, wah, wah, ada apa ini? Kenapa pada serius semua? Mau makan siang kok kayak mau sidang kasus pembunuhan," ledek Ayah sambil tersenyum lebar.
Diriku berusaha menghela nafas, mencoba meredakan emosi yang mulai menggelegak. "Yah, ini ga cuma soal masa lalu, soal sesuatu yang bikin diriku sakit hati banget."
Ayah mengangguk paham, lalu duduk di kursi di sampingku. "Masa lalu ya? Hmm... kayaknya kalau masa lalu itu digali terus, nanti keluarnya bukan cacing, tapi hantu-hantu lama deh. Mending kita biarin aja dia tidur nyenyak di kuburan," katanya sambil bercanda.
Mas Maulana terlihat tak setuju. "Tapi, Yah, kalau apa yang Sarah bilang itu bener, berarti Julia harus bertanggung jawab. Ini bukan cuma soal masa lalu, ini soal keadilan."
"Julia siapa? sahabatmu yang dulu menuduhmu itu kah?" tanya ayah yang terlihat ikut penasaran.
Diriku segera menjawab "Iya, Julia yang jahat itu, ternyata mantan istri Mas Maulana."
Ayah tersenyum kecil, lalu menepuk bahu Mas Maulana. "ooh, Sarah, Maulana, Ayah ngerti kok maksud kalian. Tapi, kalau urusan keadilan itu, kadang-kadang kita harus mikir panjang. Soalnya, kalau kita kejar keadilan terlalu jauh, nanti bisa-bisa kita malah nyasar ke jalan buntu. Kamu pernah ngalamin sendiri kan Sarah." setelah menyeruput teh dicangkirnya melanjutkan "Lagian sekarangkan ada Keyra juga nih. Masa mau bikin anak kecil ini jadi ikut-ikutan pusing."
Keyra mendongak mendengar namanya disebut, lalu tersenyum lebar. "Aku ga pusing kok Abah"
Ayahku tertawa, mengacak rambut Keyra yang halus. "Iya, Keyra anak Ayah Maulana yang paling pintar. Jadi, Abah tidak mau ada yang bikin Keyra sedih, ya. Termasuk Kak Sarah dan Ayahnya Keyra."
Diriku mencoba menahan senyum kecil, meski pikiranku masih berkecamuk. "Tapi Ayah, sekarang diriku tidak bisa diam saja. Ini bukan hanya tentang diriku. Ini tentang kebenaran."
Ayah mengangguk pelan, tatapannya serius. "Ayah tidak melarang kamu mencari kebenaran, Sarah. Ayah cuma ingin kamu berhati-hati. Jangan sampai apa yang kamu lakukan sekarang justru membuka luka baru yang lebih besar daripada luka lama. Kadang, ada hal yang lebih baik diselesaikan dengan maaf, bukan dengan kemarahan."
Mas Maulana tampak termenung, seolah mencerna kata-kata Ayah. Diriku sendiri merasa sedikit menghangat, meski beban di hatiku belum sepenuhnya hilang.
"Sarah," Ayah melanjutkan dengan nada lembut. "Hidupmu sekarang sudah mulai membaik. Ada Keyra, ada Maulana, ada keluarga baru yang mungkin bisa kamu bangun. Jangan biarkan bayangan masa lalu merusaknya. Kalau kamu yakin ingin menghadapi Julia, pastikan kamu melakukannya dengan kepala dingin, bukan dengan hati yang penuh dendam."
Diriku menatap Ayah, hatiku terenyuh oleh perhatiannya. "Terima kasih, Ayah. Diriku mengerti."
Ayah tersenyum lembut, lalu menatap Keyra. "Nah, Keyra, gimana kalau kita makan es krim? Kamu mau es krim?"
Keyra langsung melompat kecil di kursinya. "Mauuu!"
Diriku dan Mas Maulana tersenyum melihat antusiasme Keyra. Ayah benar—dia selalu punya cara untuk membawa sedikit cahaya bahkan di tengah kegelapan. Mungkin aku harus belajar darinya bagaimana menjalani hidup tanpa terlalu terjebak pada masa lalu. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan melangkah tanpa memikirkan segala risikonya terlebih dahulu.
Saat mencari kebenaran
Pagi menjelang siang itu, Keyra tertidur nyenyak kecapean, kulihat Mas Maulana mencobe menghubungi Julia mantan istrinya. Diriku samar mendengar pembicaraan mereka dari ruang tamu. Julia terdengar ceria di awal, tapi suaranya berubah ketika Mas Maulana mulai membicarakan diriku.
Di ruang tamu, suasana menjadi tegang. Mas Maulana tampak serius, matanya tertuju pada layar ponsel. Tanpa sengaja, diriku mendengar percakapannya dengan Julia.
"Julia, saya ingin datang ke rumah kamu besok," ucap Mas Maulana dengan nada tegas.
Suaranya yang biasanya lembut terdengar begitu dingin. "Ada hal yang harus kita bicarakan. Dan Sarah... dia akan ada di sana."
Ada jeda panjang di seberang sana. Julia terdengar ragu-ragu. "Sarah? Siapa Sarah? Maulana, kau membuatku bingung." Mas Maulana menarik nafas dalam-dalam.
"Sarah, sahabatmu dulu. Masa kau lupa? Wanita yang kau tuduh membunuh Doni."
Suara Julia meninggi. "Apa? Sarah ada di sana? Tapi... tapi dia kan dipenjara! Bagaimana bisa dia keluar?"
"Besok, Julia. Kita selesaikan semuanya besok," potong Mas Maulana, lalu mengakhiri panggilan
Setelah panggilan itu berakhir, suasana di ruang tamu terasa begitu sunyi, meski di dalam diriku, ada badai yang bergemuruh. Kata-kata Julia tadi terus terngiang di pikiranku: "Dia kan dipenjara! Bagaimana bisa dia keluar?" Ada kebencian yang masih kental dalam suaranya, seolah dia tidak pernah menganggapku sebagai korban dari rencana liciknya.
Mas Maulana bangkit dari sofa, menatapku yang berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh tanda tanya. "Kau dengar, ya?" tanyanya pelan, meski sebenarnya dia sudah tahu jawabannya.
Diriku mengangguk, mencoba menenangkan diri. "Mas Kamu dengarkan semuanya. Jadi... iblis itu masih berpikir diriku adalah pembunuh Doni?"
Mas Maulana mendesah berat, lalu berjalan mendekatiku. "Sarah, saya tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu antara kalian berdua. Tapi, saya janji akan mencari kebenarannya. Saya ingin semuanya jelas, agar tidak ada lagi yang disembunyikan."
Diriku tertawa kecil, getir. "Kebenaran, Mas? Apa yang kau harapkan dari seseorang seperti Julia? Dia tidak akan mengakui apa pun, apalagi di depanmu."
"Kita harus coba, Sarah. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kau berhak mendapatkan keadilan," ucapnya, suaranya penuh tekad.
Namun, aku tahu ini bukan hanya tentang keadilan. Luka yang ditinggalkan Julia padaku sudah terlalu dalam untuk sembuh hanya dengan satu konfrontasi. Tapi aku juga tahu, untuk melanjutkan hidupku, aku harus menghadapi masa lalu itu—baik atau buruk hasilnya.
"Baiklah," diriku akhirnya berkata. "Besok, kita akan temui dia. Tapi jangan berharap diriku bisa menahan emosi jika dia mencoba memutarbalikkan fakta lagi."
Mas Maulana mengangguk, lalu menyentuh pundakku. "Saya ada di pihakmu, Sarah. Apa pun yang terjadi, saya akan mendengarkanmu."
Siang itu, setelah keheningan yang panjang, diriku kembali dikuasai gejolak pikiran. Esok, Mas Maulana telah mengajakku bertemu Julia, mantan istrinya sekaligus pemfitnahan diriku.
Namun, alasan di balik perceraiannya dengannya masih menjadi teka-teki. Ketika diriku mencoba bertanya, suasana berubah canggung, seolah ada dinding tak terlihat yang menghalangi jawaban.
"Mas, eeh ... kalau boleh tahu, apa alasan perpisahanmu dengan Julia." Tanyaku dengan sedikit ragu.
Belum sempat dijelaskan, Keyra terbangun dari tidur siangnya, wajah mungilnya basah oleh keringat. Rumah ayahku, yang sederhana dan tak memiliki AC, terasa seperti oven di tengah terik siang. Meskipun pintu dan jendela terbuka lebar, hawa pengap menambah sesak di dadaku.
Tak ingin Keyra rewel, Mereka berpamitan pulang. "Besok aja ya Sarah, saya akan jelaskan semuanya, kami pamit pulang dulu, assalamualaikum." Jawab Mas Maulana
Setelah Keyra dan Mas Maulana pulang, diriku duduk diam di ruang tamu. Kepergian mereka meninggalkanku dalam pusaran pikiran yang tak menentu. Kecemasan akan menjadi ibu tiri sedikit mereda, namun misteri kematian Doni kembali menyeruak. Doni, pacarku, anak Bu Hera, tewas dengan cara yang tak pernah jelas hingga kini. Meskipun diriku sudah dinyatakan tak bersalah di pengadilan, tapi stigma itu tak sepenuhnya pergi, dan beban di hati ini tetap ada.
Besok, kuharap kebenaran akhirnya akan menemukan jalannya. Tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Maulana, Bu Hera, dan semua yang terlibat dalam masa lalu yang kelam ini. Diriku ingin mengangkat tabir misteri itu, meringankan beban hati yang selama ini menggerogotiku perlahan.
Sambil bersiap untuk berangkat ngojek sore itu, sambil berdiri di depan cermin di kamar, bayangan diriku terlihat begitu lelah, wajahku pucat, mataku sembab. Keringat dingin mengalir di pelipisku. Kugenggam erat pegangan helm yang ada di tanganku. "Apa yang sebenarnya terjadi, Sarah?" bisikku pada diri sendiri.
"Dan apa yang sebenarnya disembunyikan Julia?" tanyaku lagi, kali ini dengan kemarahan yang membara. Julia, sahabatku dulu, mantan istri Mas Maulana, entah kenapa muncul kembali di tengah kehidupanku. Ada sesuatu yang janggal, sesuatu yang membuat semua ini terasa lebih rumit dari yang kubayangkan.
Suara hatiku tak bisa diam. "ku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, kebenaran harus diungkapkan" ucapku dengan suara rendah tapi penuh tekad. jika esok tidak membawa kebenaran, diriku sendiri yang akan mencarinya, meskipun itu berarti menggali luka lama yang sudah berusaha kukubur dalam-dalam.
Di luar, langit senja malam tahun baru terlihat muram, seakan mencerminkan badai yang bergulung-gulung di dalam pikiranku. Diriku mengendarai motor, melaju ke jalan raya, membawa beban pertanyaan yang semakin berat di pundakku. Namun, jauh di dalam hati, ku tahu: malam tahun baru, namun bagiku ini adalah awal dari akhir segalanya. Rahasia yang selama ini terkubur akan mulai terkuak. Atau mungkin, diriku justru akan menemukan sisi gelap yang lebih menakutkan dari yang pernah kubayangkan.