Keesokan paginya, Mas Maulana menjemputku tepat waktu. Seperti yang sudah kami rencanakan, hari itu kami akan menemui Julia, mantan istri Mas Maulana sekaligus sahabatku dulu. Kami bermaksud mencari tahu kebenaran dari semua yang terjadi. Hubunganku dan Mas Maulana saat itu masih mengambang tanpa ikatan yang jelas, namun kurasakan ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara kami.
Mas Maulana bukan hanya pengertian dan bijaksana, tetapi juga perhatian dan sabar, terutama setelah bertemu dengan Keyra, putrinya. Pertemuan kami berjalan lancar dan menyenangkan. Keyra yang ceria dan mudah membaur, ternyata membuatku merasa nyaman berada di dekatnya.
Perjalanan menuju rumah Julia terasa seperti sebuah ironi: seorang mantan narapidana dan pengacaranya, sekarang duduk berdampingan, membutuhkan klarifikasi dari seorang wanita yang pernah menjadi bagian dari hidup kami berdua.
Di tengah perjalanan sambil menikmati lagu jiwa yang bersedih, Mas Maulana, tiba-tiba menatapku dengan intens, seperti seorang hakim yang siap memberikan vonis terakhir. "Sarah," suaranya berat, tapi ada kehangatan di dalamnya, "saya tahu ini mendadak. Tapi sekali laig saya harus sampaikan perasaan. Kamu tahukan ketertarikan padamu sudah tumbuh lama, bahkan sejak pertama kali kita bertemu di ruang kunjungan Lapas."
Diriku hampir tertawa mendengar pengakuan itu, meski sudah beberapa lama hubungan tanpa status kami berjalan, Diriku belum sepenuhnya siap.
Dia menggenggam tanganku, membuatku tercekat. "Saya ingin kamu memberikanku kesempatan. Bukan sekedar kesempatan biasa. Tapi kesempatan untuk kita hidup bersama, membangun masa depan."
Diriku mencoba menenangkan gejolak di dada. "Mas Maulana," kataku perlahan, "It's Okey, saya mulai merasakan hal yang sama. Tapi kalau kita hanya bicara soal pacaran, saya rasa itu terlalu remeh untuk usia kita. Kita bukan anak remaja yang bisa pacaran untuk sekedar cari senang. Lagipula, ada banyak hal yang perlu kita pikirkan. Masa lalu saya, masa lalu kamu, dan... Julia."
Perceraian
Di tengah percakapan itu, diriku tak bisa menahan rasa penasaranku itu.
"Mas, kenapa kamu ceraikan Julia?" tanyaku hati-hati, menoleh ke arahnya yang sedang fokus menyetir.
Dirinya terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang jawabannya. "Awalnya, pernikahan kami bahagia, Sarah. Kehadiran Keyra itu anugerah terindah. Saya pikir kami akan menjadi keluarga yang sempurna."
Nada suaranya mulai merendah. "Tapi perlahan, sifat egoisnya mulai kelihatan. Dia selalu merasa lebih unggul dalam segala hal. Penghasilannya lebih besar, jabatannya lebih tinggi, dan dia nggak segan-segan mengolok saya setiap ada masalah keuangan."
Mas Maulana menjelaskan panjang lebar, nada suaranya terdengar sedikit getir. Intinya, Julia merendahkan dirinya sebagai suami. Penghasilan Julia sebagai manajer di sebuah korporasi besar jauh lebih besar dibandingkan penghasilan Mas Maulana sebagai pengacara di LBH. Ketimpangan ekonomi itu akhirnya membuat hubungan mereka memburuk.
Diriku menatapnya penuh simpati. "Dia merendahkan Mas sebagai suami?"
Mas Maulana mengangguk, ekspresi wajahnya penuh beban. "Awalnya saya pikir bisa menerima, dan coba bertahan demi Keyra, demi keluarga kami. Tapi lama-lama... dia memperlakukan saya seperti karyawan, bukan pasangan. Apa-apa harus sesuai keinginannya. Kalau saya nggak setuju, dia langsung bilang saya nggak kompeten. Bahkan di depan orang lain."
Diriku tertegun mendengarnya. "Sampai seperti itu?"
"Iya. Julia itu manipulatif, Sarah. Dia tahu bagaimana caranya membuatku merasa kecil, tapi tetap terlihat baik di mata orang lain. Kalau di depan umum, dia memuji-muji Saya. Tapi di rumah...," suaranya terputus. Mas Maulana menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, "Dia bilang saya ini cuma beban. Pengacara pro bono yang nggak akan pernah bisa memberi hidup yang pantas untuk dia dan Keyra."
Diriku mengerutkan dahi, perasaan campur aduk antara marah dan kasihan. "Mas, kenapa nggak coba konseling atau semacamnya?"
"Saya usulkan itu. Tapi dia selalu bilang, masalahnya bukan di dia, melainkan di saya. Saya dituntut untuk harus berubah. Julia selalu merasa benar, dan tidak pernah mau mengakui kesalahannya, bahkan di depan konselor" katanya sambil menggeleng lemah.
ku coba mencerna semua yang baru saja kudengar. Julia yang ku kenal dulu memang cerdas dan ambisius, tapi ternyata ada sisi lain yang tak pernah kulihat.
"Kamu tahu, Sarah," katanya lagi, suaranya lebih pelan, "Saya nggak pernah merasa sehancur ini dalam hidupku. Tapi, saya juga nggak mau Keyra tumbuh di lingkungan seperti itu. Saya tak ingin dia belajar bahwa hubungan seperti itu adalah sesuatu yang normal."
Diriku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Perjalanan menuju rumah Julia terasa semakin berat dengan percakapan itu. Namun, Akhirnya ku pahami alasan Mas Maulana menceraikan Julia istrinya dan itu juga yang kurasakan dulu, sifat Julia yang egois dan manipulatif.
Mas Maulana tersenyum. Bukan senyum biasa, melainkan senyum seorang pria yang sudah terbiasa memenangkan argumen di ruang sidang. "Sarah, saya tahu semua itu. Tapi yakinlah, masa lalu kita tidak lebih besar dari apa yang kita punya sekarang."
"Tapi Mas urusanku dengan Julia belum tuntas?" Diriku sedikit ragu. "Mas, bagimanapun juga Julia itu mantan istrimu, Ibu dari Keyra anakmu, kalau kita melangkah lebih lanjut bagaimana kamu akan bisa membantu menyelesaikan masalah diriku dengan Julia. Ada baiknya kita lanjut setelah semua ini tuntas, diriku harus berdamai dengan kehidupanku sendiri."
Dia menatapku dengan kelembutan yang aneh. "Sarah, kamu bukan sekedar wanita yang berdamai dengan hidupmu. Kamu adalah wanita yang membuatku ingin berdamai dengan hidupku sendiri."
Diriku kembali terdiam. Entah bagaimana, kata-katanya berhasil memecahkan tembok yang sudah kubangun sejak lama. Tapi kemudian tertawa kecil, mencoba memecahkan suasana yang mulai terlalu dramatis. "Mas, kalau kamu terus bicara seperti ini, diriku takut akan berpikir kamu membaca terlalu banyak novel cinta murahan."
Dia ikut tertawa, meskipun bisaku lihat ada keseriusan di balik matanya. "Sarah, kalau kamu menerima, saya akan pastikan hidup kita bukan sekedar drama. Ini akan jadi kisah hidup yang nyata."
Dan dengan itu, perjalanan ke rumah Julia tiba-tiba terasa lebih hangat, meskipun ku tahu yang akan kami hadapi di sana jauh dari sederhana.
Di bawah sinar matahari yang mulai meninggi, kami berdiri berdua dengan perasaan yang campur aduk. Ada perasaan yang perlahan tumbuh, harapan yang melambung, dan tekad untuk menghadapi semua tantangan bersama. Hari itu, diriku merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, kami memiliki kesempatan untuk bahagia bersama namun ada ganjalan yang belum terungkap.
Perasaan yang tak kupahami menghampiri, antara rasa sakit, kebingungan, dan rasa ingin tahu yang begitu mendalam. Diriku masih bertanya-tanya bagaimana Julia, yang dulu kuanggap sahabat terbaikku, bisa melakukan sesuatu yang begitu kejam, setega itu menuduhku, memfitnah dengan keji diriku, sahabatnya. Begitu juga bagaimana bisa dia seegois itu pada Mas Maulana yang menurutku begitu baik. Apakah ada alasan di balik semua ini? Apakah aku salah mengira tentang dirinya? Semua pertanyaan itu terus berputar di pikiranku saat kami semakin dekat dengan rumahnya.
Sebentar lagi kami akan tiba di rumah Julia dengan harapan menemukan kebenaran, tinggal satu langkah lagi sebelum menghadapi Julia langsung. Apakah dia akan mengakui semua kesalahan yang telah dia lakukan? Ataukah dia akan terus berbohong dan menyembunyikan kebenaran? Kami akan segera tahu, dan diriku siap menghadapi apapun yang akan terjadi.
Konfrontasi
Tak lama kemudian, kami tiba. Rumah Julia begitu megah, berdiri di kawasan perumahan kelas atas di kotaku. Pilar-pilar tinggi menjulang di depan, dan taman yang terawat rapi menambah kesan mewah.
Perasaan cemas kembali muncul. Ku tatap Mas Maulana yang tampak lebih tenang, seolah sudah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Ku pandangi wajahnya sejenak, berusaha mencari kekuatan di dalam dirinya, berharap dia bisa menjadi sandaran saat aku merasa rapuh. Kami sudah berada di ujung perjalanan ini, dan aku hanya bisa berharap bahwa hari ini akan membawa penjelasan yang selama ini kami cari.
Mas Maulana menekan bel di pintu pagar. Hanya dalam hitungan detik, pintu pagar terbuka secara otomatis. Dari arah pintu utama, Julia muncul dengan langkah percaya diri. Penampilannya sempurna: gaun kasual yang elegan, riasan tipis yang mempertegas kecantikannya, dan gerak-gerik anggun yang mencerminkan status sosialnya.
Namun, senyum Julia pudar begitu dia melihatku. Diriku duduk di ruang tamu bersama Mas Maulana, menunggu kehadirannya. Matanya sejenak menatap tajam, ada kilatan kejutan di sana, tetapi dengan cepat dia menyembunyikannya di balik senyuman tipis yang terlatih.
"Maulana, mana Keyra?" tanyanya, sambil berpelukan, suaranya terdengar ramah namun ada sedikit tekanan di nadanya.
"Ada di rumah sama Abah," jawab Mas Maulana singkat, tanpa basa-basi. "Kenalkan, ini Sarah, klienku. Saya rasa kalian sudah saling kenal."
Julia mengangguk kecil, matanya kini tertuju padaku. "Hi, Sarah, masih tetap cantik dan menarik" sapanya, suaranya manis namun terasa dingin. "Lama tak bertemu. Aku tidak menyangka kamu sudah bebas sekarang dan... kita jumpa lagi di sini."
Diriku mencoba senyum sopan, menahan berbagai emosi yang berkecamuk. Di hadapanku sekarang seorang yang telah menghancurkan hidupku, kenapa dia begitu tenang? Kenapa Mas Maulana mengenalkanku sebagai klien, bukan sebagai pasangan atau setidaknya sebagai teman dekat?
Sementara itu, Mas Maulana terlihat gelisah, seperti tahu pembicaraan ini tidak akan berjalan dengan mudah. Dia duduk di ujung, memusatkan perhatian pada kami berdua, seolah-olah siap menghadapi apapun yang akan terjadi.
Julia duduk di sofa berhadapan denganku, menyilangkan kaki dengan anggun. Aura dominannya memenuhi ruangan. Ku tahu percakapan ini akan lebih dari sekadar basa-basi, dan harus bersiap menghadapi setiap kata yang mungkin akan keluar dari bibirnya.
Diriku menatapnya langsung, perasaan bergolak dalam diriku seperti api yang tak bisa dipadamkan. "Julia, kita perlu bicara. Tentang Doni. Tentang semua yang kamu lakukan padaku." Suaraku bergetar, namun berusaha keras untuk tetap tenang, untuk tidak memberi kesempatan pada emosiku menguasai.
Julia menatapku dengan senyum tipis yang terasa sangat dingin. "Silahkan, Apa lagi yang ingin kamu sampaikan, Sarah? Dirimu sudah terbukti bersalah membunuh Doni kan," jawabnya dengan nada sinis, seolah menganggap percakapan ini hanya permainan.
Diriku menggigit bibir, menahan diri untuk tidak terjerumus dalam kemarahan yang meluap. "Kau tahu kan, berkat usaha dan bantuan Mas Maulana, diriku akhirnya terbukti tak bersalah di pengadilan!" Suaraku mulai tegas, mencoba menjelaskan. "Aku tidak bersalah, Julia !"
"So what?" Julia menyeringai, suara dinginnya mengalir. "congratulation! anyway it's not my business anymore, hidupmu bukan urusanku it's correct ?" Jawab Julia sok berkuasa.
Dadaku merasa sesak. "Hei Julia, Don't feel innocent, don't lie to me, ini tentang apa yang sudah kamu lakukan padaku. Tentang fitnah dan pengkhianatan yang kamu tebarkan. why you do this to me ?" tanyaku dengan penuh emosi.
Mas Maulana, terlihat gelisah, matanya terfokus pada Julia dengan kecemasan yang jelas. Ku tahu ini bukan percakapan yang mudah, dan semuanya akan berubah menjadi sangat sulit, lebih dari yang kita bayangkan.
Mata Julia menyipit, ekspresinya berubah sejenak, tetapi dia cepat-cepat mengendalikannya. "Ah, jadi kamu masih menganggap itu semua sebagai pengkhianatan, Sarah?" jawabnya, nada suaranya meremehkan, tetapi ku bisa merasakan ketegangan yang tersembunyi di balik kata-katanya. "Kau tahu, kehidupan tidak selalu seperti yang kita inginkan. Kita semua memiliki pilihan, bukan?"
Diriku menelan ludah, berusaha keras menahan amarah yang semakin membesar. "Tapi kamu tidak hanya mengkhianatiku, Julia. Kamu juga menghancurkan hidupku dengan kebohonganmu. Apa yang kamu harapkan dari semua ini? Bahagia melihatku terpuruk?" Diriku hampir tak bisa menahan amarah lagi. Kata-kata itu keluar begitu saja, penuh emosi yang menyesakkan.
Hatiku berdegup lebih cepat, dan aku bisa merasakan kemarahan yang menggulung di dalam diri. Julia tidak berubah sedikitpun. Sepertinya dia tidak berniat meminta maaf atau menunjukkan penyesalan. Justru, dia tampak tenang, seolah-olah semua yang telah dia lakukan tidak lebih dari permainan kecil. Kecewa. Itu yang kurasakan.
"Saya rasa kita perlu klarifikasi lebih lanjut," kata Mas Maulana akhirnya, memecah ketegangan yang menggantung di ruangan. "Julia, jika ada sesuatu yang perlu dijelaskan, sekaranglah waktunya."
Julia menatap Mas Maulana dengan pandangan tajam, lalu beralih lagi ke diriku. Tiba-tiba suasana semakin mencekam, dan ku bisa merasakan ketegangan yang lebih dalam di antara mereka. Ini bukan hanya tentang diriku dan Julia. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang melibatkan Mas Maulana juga. Aku bisa merasakannya.
Diriku berdiri tegak, menatap Julia dengan tatapan penuh kebencian yang sulit kutahan. "Diriku ingin tahu kebenarannya, Julia ! kau begitu tega melukakan dan menghancurkan hidupku?"
Julia tersenyum tipis, namun senyum itu tidak mencapai matanya. Itu hanya senyum kosong, seperti senyum seseorang yang telah terbiasa hidup dengan kebohongan. "Kamu ingin tahu? Baiklah, Sarah. Tapi aku harus memberitahumu satu hal. Kebenaran bukanlah sesuatu yang mudah diterima."
Mas Maulana memotong dengan suara keras yang penuh ketegasan. "Julia, cukup. saya sudah mendengar cukup banyak. Sarah bilang kamu bersaksi melawan dia, mengatakan dia yang membunuh Doni. Apa itu benar?"
Julia menatap Mas Maulana dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada ketakutan yang samar, kemarahan yang terselubung, dan sesuatu yang lebih dalam—sebuah rasa bersalah yang tak dapat disembunyikan. "Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar saat itu," katanya akhirnya, suara serak, seakan menahan beban yang tak bisa lagi ia tahan. "apa yang salah, Doni... dia memang mati dibunuh, Maulana. Seseorang harus bertanggung jawab."
Ku rasa tubuhku bergetar. Semua yang kulakukan selama ini, semua yang kuberjuangkan untuk membuktikan diriku tidak bersalah, seolah tak berarti. Julia, sahabat yang kupercayai, dengan tenangnya melemparkan tuduhan itu padaku. "Kamu memilih menghancurkan hidup sahabatmu sendiri, hanya karena kamu butuh seseorang untuk disalahkan?" tanyaku, suaraku mulai meninggi, amarahku tak bisa lagi dibendung.
Julia menggigit bibir bawahnya, tampak gugup. "Aku… aku tidak tahu harus bagaimana waktu itu. Semua bukti mengarah ke kamu. Aku hanya… aku hanya mengatakan apa yang aku pikir benar."
"TIDAK, JULIA!" balasku, suara bergetar penuh kebencian. "Kamu tahu diriku tidak bersalah. Kamu tahu aku tidak mungkin melakukannya. Tapi kamu tetap memilih untuk berdiri di pengadilan dan menghancurkanku!"
Mas Maulana berdiri, tatapannya penuh kemarahan yang tertahan, seolah ingin meledak. "Julia, saya tidak percaya. Kamu membohongiku selama ini. Kamu tahu saya juga kehilangan Doni, tapi kamu tidak pernah mengatakan apa pun tentang bagaimana kamu membuat Sarah dipenjara. Apa yang sebenarnya kamu ketahui?"
Julia akhirnya duduk, dengan sikap sombong yang hampir tak bisa kuterima. "Aku… tahu Sarah, kau tak bersalah."
"BANGSAT! Apa yang kau katakan?!" Diriku hampir tak bisa menahan diri, tanganku terangkat, namun Mas Maulana segera menahanku, menenangkanku dengan suara lembut yang tegas.
"Sabar, Sarah," katanya dengan nada tenang, meskipun wajahnya pun penuh dengan kecemasan.
Julia tertawa kecil, tetapi tawa itu terdengar kosong, seperti seseorang yang terbiasa menyembunyikan kebenaran di balik wajah sempurna. "Oh, Sarah. Hidup itu berputar, lagian dirimu sudah bebas sekarang. Mungkin, kamu terlalu terobsesi dengan masa lalu kita. Move on, girl. Seharusnya begitu, bukan?"
Tapi ku tidak bisa begitu saja menerima semuanya. "SETAN kau Julia !!! teganya dirimu !!!" bentakku, suara serak penuh amarah. mas maulana memeluk mencoba menenagkanku.
"Apa lagi yang kau mau Sarah? Ingin tahu siapa yang dorong Doni ke jurang malam itu?" Kalimat itu keluar dari mulut Julia tanpa ia sadari, dan seketika, seluruh ruangan terasa dingin.
"Apa maksudmu, Julia? Kematian Doni bukan kecelakaan? Doni memang dibunuh?" tanya Mas Maulana dengan sigap.
Semua mata tertuju pada Julia yang tak bisa lagi menyembunyikan ekspresi terkejut di wajahnya. Tapi Julia segera mengatur nafas, berdiri dengan anggun, dan berkata dingin, "Sudah cukup. Keluar kalian dari sini,"
Diriku tetap bergeming, masih belum bisa menerima apa yang baru saja ku dengar, tak puas dengan penjelasan Julia. Namun Julia mengancam, sambil mengambil ponselnya "Cepat keluar atau saya panggil Polisi."
Tak ingin keributan berlanjut menjadi adu fisik, Mas Maulana segera menarikku, kami keluar rumah Julia dengan merasakan ketegangan yang meluap, dan walaupun ku ingin terus bertanya, ingin terus mengungkapkan semua kebohongan yang Julia, mrngungkap rahasia yang masih disembunyikan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, fitnah merupakan tindak pidana penghinaan yang diatur dalam Pasal 311. Jika terbukti, pelaku dapat dikenai hukuman penjara paling lama empat tahun.
"Mas kamu tadi rekam perkataan Julia ?" tanyaku.
Waduh sorry, ga sempat, jadi masih ga punya bukti kita." Jawab Mas Maulana sedikit menyesal.
Ku tahu satu hal: Hari itu, kebenaran telah mulai terbuka sedikit demi sedikit, diriku dikhianati sahabatku sendiri. Pencarianku untuk kebenaran atau justru menjadi dilema, memilih untuk melepaskan masa lalu dan melangkah ke depan dengan tujuan jelas atau mengejar kebenaran, membalas dendam dengan segala resikonya.