Setelah pertemuanku dengan Julia, kenyataan pahit yang selama ini tersembunyi akhirnya terkuak. Perasaan campur aduk membanjiri pikiranku—marah karena fitnahnya yang menghancurkan hidupku, lega karena kebenaran mulai terungkap, dan penasaran dengan motif di balik tindakannya. Julia mengakui bahwa dia sengaja menjebakku dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Doni, pacarku saat itu. Fitnahnya begitu sempurna hingga diriku divonis penjara seumur hidup.
Beruntung nasibku berubah berkat kehadiran Bu Hera—ibu Doni, seorang mantan hakim ketua pengadilan tinggi yang disegani—di Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan tempatku menjalani hukuman. Dialah yang menjadi trigger, pemicu kebebasanku setelah tiga belas tahun lamanya diriku hidup terpenjara. Meski kini ku telah bebas, luka yang ditinggalkan oleh fitnah dan rasa kehilangan itu masih ada.
Namun, ini bukan akhir dari perjuanganku, melainkan awal dari pengungkapan kebenaran yang lebih besar.
Meski Julia telah mengakui perbuatannya memfitnahku, masih ada banyak misteri yang belum terungkap, pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa dia tega menjebakku? Apa yang bisa kuperbuat selanjutnya? Apakah ada hubunganya dengan penyebab kematian Doni? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang selama ini tersembunyi?
Mas Maulana, pengacara sekaligus teman setiaku dalam masa sulit ini, terlihat geram setelah mendengar pengakuan Julia yang juga mantan istrinya. Namun, dia tetap tenang, mencoba mengendalikan emosinya. Ketika diriku memintanya untuk membantu menyelidiki kematian Doni lebih dalam, dia langsung menyetujui tanpa ragu.
"Saya akan membantumu, Sarah. Ini bukan hanya soal membersihkan namamu. Ini soal keadilan," katanya dengan suara mantap.
Doni, pacarku dulu, adalah satu-satunya putra Bu Hera. Sebagai anak seorang hakim yang terhormat, kehidupannya selalu tampak sempurna. Kami berkenalan saat kuliah dan sering menghabiskan waktu bersama, termasuk di vila keluarganya yang indah di pegunungan.
Namun, malam itu segalanya berubah. Doni menghilang seminggu kemudian ditemukan tewas di dasar jurang tak jauh dari vila keluarga tempat kami menghabiskan liburan kuliah bersama kawan-kawan. Polisi menyimpulkan kematiannya sebagai pembunuhan. Karena diriku adalah orang terakhir yang terlihat bersamanya, akhirnya diriku menjadi tersangka utama.
Dalam persidangan, semua bukti tampaknya mengarah kepadaku. Kesaksian Julia semakin memperkuat dugaan bahwa diriku memiliki motif untuk membunuh Doni. Julia mengklaim bahwa pertengkaranku dengan Doni karena cemburu pada kedekatan Doni dengan perempuan lain, padahal itu semua bohong. Fakta-fakta yang disajikan di pengadilan seperti telah diatur untuk menghukumku.
Petunjuk dari Masa Lalu - Jejak Syal Merah
Kini, setelah kebebasanku, diriku dan Mas Maulana mulai menelusuri kembali apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Diriku yang teringat akan satu kejanggalan saat penyidikan oleh kepolisian saat itu, ada satu bukti yang selalu kusangkal bukan milikku: sebuah syal merah yang ditemukan dekat tubuh Doni. Bukti itu sejak penyidikan hingga proses pengadilan selalu ku tolak sebagai milikku, namun tak ada yang menghiraukan, saat itu diriku tak punya prasangka siapa pemilik syal itu.
Diriku yang teringat akan kejanggalan itu segera menghubungkan perkataan Julia tadi dengan kemungkinan kehadirannya di malam tragis itu. "Mas, Kamu ingat bukti syal merah yang ada di berkas perkaraku?" tanyaku pada Mas Maulana saat kami mulai membuka kembali berkas kasus lama di ruang kerjanya.
Mas Maulana menggeleng pelan. "Saya ingat bukti itu."
Saat persidangan, syal itu disebut sebagai milikku. Namun ku bersumpah bahwa itu bukan milikku. Diriku tidak pernah memiliki syal seperti itu, dan tidak ada seorang pun yang mempercayai pembelaanku. Kini, setelah pengakuan Julia, pikiranku kembali pada syal tersebut.
"Itu bukan milikku, Apa mungkin syal itu milik Julia?" tanyaku pada Mas Maulana saat kami membahas ulang berkas kasus lamaku di ruang kerjanya.
Mas Maulana terdiam, memandangi foto syal yang ada di berkas pemeriksaan. Setelah beberapa saat, Mas Maulana berkata, "bisa jadi itu miliknya ... ada kemungkinan, dia tak sengaja meninggalkannya di lokasi kejadian. Tapi kita butuh bukti lebih lanjut. Jika syal ini milik Julia, itu bisa menjadi kunci penting untuk membuka kembali kasus ini."
Keesokan harinya kami memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Syal merah itu tertera sebagai barang bukti dan tercatat di berkas pemeriksaan diriku. Dengan koneksi Mas Maulana, kami berhasil mendapatkan akses untuk melihat berita acara pemeriksaan diriku. Saat melihat foto syal itu, hatiku bergetar. Ada sesuatu yang terasa tidak beres.
"Sarah, lihat ini," kata Mas Maulana tiba-tiba, menunjuk sebuah inisial kecil yang hampir tak terlihat di ujung syal. 'J.W.'
Diriku tertegun. "Inisial siapa ini? Julia?"
Mas Maulana merenung, kemudian wajahnya berubah tegang, nama itu tiba-tiba muncul di kepalanya. "Inisial ini... Julia Widyawati," Sahut Mas Maulana. Wajahnya menegang. "Ini syal miliknya, Sarah. Saya yakin."
"Tapi kenapa ada di dekat dengan jasad Doni ?" Diriku terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja kami temukan. Apakah mungkin Julia terlibat dalam kematian Doni? Tapi mengapa? Dan jika dia terlibat, apa hubungannya dengan fitnah Julia terhadapku?
Mas Maulana memegang pundakku, mengembalikan fokusku. ""Sarah, syal ini bukan hanya bukti biasa. Ini adalah pintu menuju kebenaran yang sudah terkunci selama lebih dari satu dekade. Kita harus membuka pintu itu, meskipun ada risiko besar di baliknya."
Mencari Kebenaran Melalui Kenangan
Seperti biasa di hari Minggu, hari dimana narapidana di Lapas Perempuan memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Diriku dan Mas Maulana memutuskan untuk menghubungi Bu Hera. Panggilan ini akan terasa berat, ku tahu, mengungkit luka lama tentang kematian Doni bukanlah hal yang mudah, tetapi ku yakin Bu Hera menyimpan petunjuk penting.
Setelah proses registrasi tuntas, beberapa saat kemudian, suara lembut namun tegas Bu Hera terdengar. "Halo, assalamualaikum Sarah? Bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Waalaikumsalam, Alhamdulillah, Bu. Saya baik. Bagaimana dengan Ibu?" sapaku, mencoba membuka percakapan dengan hangat.
"Kabar saya seperti biasanya, Nak. Ada apa, Sarah?" tanyanya lagi, kali ini lebih serius.
Kuhela napas panjang sebelum menjawab, "Saya ingin membahas sesuatu, Bu, tentang Julia... dan hubungannya dengan kematian Doni."
Suara Bu Hera terdengar sedikit terkejut. "Julia siapa?"
"Julia mantan istri Mas Maulana, sekaligus sahabat saya dulu, Bu," jawabku ragu. "Ada hubungannya dengan fitnah yang membuat saya dipenjara... dan mungkin juga dengan kematian Doni."
"Apa maksudmu, Sarah? Apa hubungan Julia dengan kematian anak saya?" Nada suara Bu Hera mulai berubah, mencampur rasa penasaran dan emosi.
"Dia mengaku, Bu... Julia memfitnah saya," kataku pelan.
Hening sejenak di seberang telepon. Kemudian, Bu Hera berbicara dengan nada yang lebih rendah, seolah ingatannya sedang kembali ke masa lalu. "Julia? Iya, saya ingat gadis itu. Dia yang bersaksi di kasusmu dulu. Julia sering datang ke rumah mencari Doni. Dia terlihat sangat menginginkan Doni, tapi Doni tidak pernah benar-benar tertarik padanya. Dia memilih kamu, Sarah."
Perkataan Bu Hera menusuk relung hatiku. "Jadi, Doni memang mengenal Julia terlebih dahulu daripada saya, dan Julia menginginkan Doni?" tanyaku, mencoba memastikan.
"Bisa jadi, pilihan Doni pada dirimu itulah yang membuat Julia marah dan memfitnahmu, Sarah," lanjut Bu Hera. Kata-kata itu membawaku ke kilasan masa lalu. Diriku teringat bagaimana Julia tiba-tiba muncul di kehidupan kami. Pandangannya yang tajam, penuh kecemburuan, dan sikapnya yang selalu mencari-cari kesalahan.
Percakapan kami semakin intens, tetapi waktu terus berjalan. Panggilan dengan Bu Hera di lapas memang terbatas, hanya sepuluh menit. Menjelang akhir pembicaraan, Bu Hera tiba-tiba berkata, "Doni punya album foto kenangan. Dia biasa menyimpan foto-foto penting di sana. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa membantumu."
Mas Maulana yang mendengarkan dari dekat langsung teringat sesuatu. "Album itu... Doni pernah menitipkannya di rumahku, Sarah. Saya akan mencarinya," ujarnya penuh semangat.
Kunjungan Pertama ke Rumah Mas Maulana
Sore itu, akhirnya aku diajak berkunjung ke rumah Mas Maulana. Rumahnya sederhana, terletak di kawasan perumahan kelas menengah yang modern. Tidak terlalu besar, namun terlihat nyaman dengan gaya minimalis yang khas. Suasananya tenang, jauh dari hiruk-pikuk, membuatku merasa sedikit lebih santai meskipun hatiku masih dipenuhi oleh banyak pertanyaan tentang misteri yang sedang kami selidiki.
Ketika tiba, aku disambut oleh seorang pria tua yang sedang membersihkan halaman depan. Senyumnya ramah, namun sorot matanya tegas. "Assalamualaikum, saya Sarah, klien sekaligus teman Mas Maulana," sapaku sopan.
"Waalaikumsalam," jawabnya dengan suara berat namun hangat. "Ini kah Nak Sarah yang sering diceritakan Maulana? Saya Haji Yusuf, bapaknya Maulana."
"Alhamdulillah, senang bertemu, Pak," kataku sambil tersenyum. Ada sesuatu yang menenangkan dalam cara beliau berbicara, seperti orang tua yang bijaksana.
"Silakan masuk, jangan sungkan," katanya, mempersilahkanku masuk ke rumah.
Saat melangkah masuk, aroma khas rumah keluarga menyambutku. Hangat, penuh dengan kesederhanaan yang terasa begitu tulus. Diriku duduk di sofa ruang tamu, namun mataku sempat menangkap pemandangan yang menghangatkan hati: Keyra, putri kecil Mas Maulana, sedang bermain di ruang keluarga bersama neneknya.
Tak lama, Keyra berlari menghampiriku. "Kak Sarah, ayo ikut main sama nenek!" ajaknya dengan riang. Ku tersenyum melihat antusiasmenya.
"Oh, ini toh Nak Sarah," sapa seorang wanita yang kulihat sedang duduk di ruang keluarga, sambil memandangi cucunya bermain. "Memang cantik, pantas saja Maulana jadi bersemangat lagi," lanjutnya dengan senyum penuh arti.
Diriku merasa wajah memerah mendengar ucapan itu. "Saya Sarah, Bu, baru sebatas klien dan teman Mas Maulana," jawabku dengan sedikit malu.
Wanita itu tersenyum tipis. "Saya Ningsih, ibunya Maulana. Iya, pelan-pelan saja, Nak Sarah. Witing tresno jalaran soko kulino, cinta itu tumbuh karena terbiasa, tahu?" godanya sambil tertawa kecil.
Diriku hanya bisa tersenyum kikuk, sementara Mas Maulana yang baru saja keluar dari dapur dengan membawa segelas air tampak sedikit salah tingkah mendengar perkataan ibunya. "Bu, sudah jangan godain Sarah. Kami sedang ada urusan penting," katanya, mencoba mengalihkan perhatian.
Namun, suasana hangat itu perlahan berubah saat kami mulai mencari album foto milik Doni. Mas Maulana tampak serius, menyisir rak-rak buku dan laci-laci kecil di ruang kerjanya. Namun, dari sorot matanya, aku bisa melihat ada sesuatu yang membebani pikirannya.
"Kenapa terlihat bingung, Mas?" tanyaku, mencoba membuka percakapan.
Mas Maulana menarik nafas panjang. "Saya cuma khawatir," jawabnya pelan, sambil melirik ke arah Keyra yang masih bermain di ruang keluarga. "Kalau Julia benar terbukti bersalah, bagaimana nasib Keyra nanti kalau ibunya harus masuk penjara?"
Diriku terdiam. Kekhawatirannya begitu wajar. Julia mungkin telah melakukan hal-hal yang keji, tetapi Keyra tidak bersalah dalam semua ini. Gadis kecil itu tidak tahu apa-apa tentang dosa ibunya.
"Mas," kataku pelan, mencoba memberinya ketenangan. "Kita fokus dulu mencari kebenaran. Keyra punya keluarga yang sayang padanya, termasuk Mas. Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri."
Dia menatapku dengan sorot mata yang penuh keraguan, tetapi kemudian mengangguk pelan. "Kamu benar, Sarah. Tapi tetap saja, ini bukan keputusan yang mudah."
Temuan yang Membuka tabir
Setelah beberapa saat mencari, akhirnya Mas Maulana menemukan album foto tua yang dimaksud. Kami duduk bersama di meja kerjanya, membuka halaman demi halaman. Foto-foto itu membawa kenangan lama: Doni tersenyum di berbagai kesempatan, bersama keluarga dan teman-temannya.
Namun, ada satu foto yang membuat kami tertegun: Doni tampak mesra dengan Julia, diambil di vila keluarga Bu Hera. Julia mengenakan syal merah yang sangat mirip dengan barang bukti yang ditemukan di lokasi kematian Doni.
Diriku menatap foto itu dengan perasaan bercampur aduk, sebuah foto yang Membuka Rahasia. "Mas, ini... syal merah itu. Apa mungkin ini syal yang di foto ini sama dengan yang ada di barang bukti ?" tanyaku dengan nada penuh kegelisahan.
Mas Maulana memandang foto itu dengan serius. "Bisa jadi, Sarah. Kalau ini benar, berarti Julia ada di sana. Tapi foto ini belum cukup untuk menjadikannya tersangka. Kita butuh bukti yang lebih kuat."
Diriku berusaha memahami kompleksitas situasi ini. "Tapi kalau ini benar, syal itu bisa jadi bukti bahwa Julia ada di dekat Doni saat itu. Dan kenapa dia tidak pernah mengaku soal ini sebelumnya?"
Diriku dan Mas Maulana duduk di ruang kerja kecilnya. Suasana hening. Hanya terdengar suara detak jam dinding, seolah menandai waktu yang terus berjalan sementara pikiran kami sibuk mencari jawaban dari misteri yang membelit hidupku.
Tanganku menyentuh lembaran terakhir album foto itu. Gambar Doni tersenyum, seperti mengejek keadaanku sekarang. Sesuatu di dalam dadaku terasa berat, seperti batu yang tenggelam ke dasar lautan. Mataku mulai panas, dan tiba-tiba air mata mengalir tanpa kendali.
"Sarah..." suara Mas Maulana memecah keheningan. Ku rasakan tangannya menyentuh lembut bahuku, mencoba menenangkanku.
Diriku menggeleng, mencoba menghapus air mataku, tapi gagal. "Aku lelah, Mas," kataku lirih. "Lelah harus membuktikan kalau diriku tidak bersalah. Lelah bertanya-tanya kenapa semua ini terjadi padaku."
Dia mendekat, berjongkok di depanku, hingga wajahnya sejajar denganku. Matanya, penuh perhatian, mencari mataku yang basah. "Sarah, kamu tidak sendirian lagi. Kita akan menemukan kebenaran ini bersama," katanya pelan.
"Aku takut, Mas," diriku mengakuinya dengan jujur, tanpa basa-basi. "Takut akhir dari kisah ini tak sesuai harapanku."
Mas Maulana menggenggam tanganku dengan kedua tangannya. Hangat. Kuat. Seolah mencoba memberikan kekuatannya padaku.
"Sarah, kamu itu wanita paling kuat yang pernah saya kenal," katanya sambil tersenyum tipis. "Kalau kamu bisa bertahan 13 tahun menghadapi ketidakadilan, saya yakin kamu juga bisa menyelesaikan ini. Dan saya akan selalu ada di sini. Di sampingmu."
Diriku hanya bisa menatapnya. Ada sesuatu dalam suaranya, dalam caranya menatapku, yang membuatku merasa sedikit lebih ringan.
Mas Maulana melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih pelan, hampir berbisik. "Kamu tahu, Sarah, dari pertama kali saya menangani kasusmu, saya kagum dengan keberanianmu. Dan sekarang, setelah semua ini, saya merasa..." Dia berhenti, seperti mencari kata-kata yang tepat.
"Apa, Mas?" tanyaku pelan, penasaran dengan apa yang akan dia katakan.
Dia menatapku dengan mata yang dalam dan jujur. "Saya merasa, ingin melindungimu. Bukan hanya sebagai pengacaramu, tapi... lebih dari itu."
Jantungku berdegup lebih cepat. Diriku tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu yang begitu tulus dalam ucapannya, membuatku kehilangan kata-kata.
"Mas..." suaraku terputus, tapi sebelum aku bisa melanjutkan, Keyra tiba-tiba berlari masuk ke ruang kerja.
"Papa, nenek bilang makan malam sudah siap!" katanya dengan riang, menghancurkan momen di antara kami.
Mas Maulana tertawa kecil dan berdiri, merapikan jasnya. "Ayo, kita makan dulu. Kamu butuh tenaga untuk melanjutkan semua ini," katanya sambil tersenyum, kembali ke sisi profesionalnya.
Namun, sebelum dia keluar, dia menoleh sekali lagi dan berkata dengan nada lebih lembut, "Sarah, ingat. Kamu tidak sendiri."
Diriku mengangguk pelan. Senyumnya malam itu masih terngiang dalam pikiranku, memberiku harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, setelah semua ini selesai, ada kebahagiaan lain yang menantiku.
Namun, pertanyaan kelanjutan misteri syal merah itu menggantung di udara, tak ada jawaban pasti. Tapi satu hal yang jelas, kami semakin dekat dengan kebenaran yang selama ini tersembunyi.