Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 51 - Kebenaran yang Berat untuk Diungkap

Chapter 51 - Kebenaran yang Berat untuk Diungkap

Pagi itu, udara masih dingin menggigit. Sisa hujan semalam membasahi jalanan yang licin, memantulkan warna kelabu langit. Ku siapkan motorku, teman perjalanan panjangku. Bagiku, seorang mantan napi tanpa pengalaman kerja dan ijazah yang memadai, profesi sebagai driver ojek adalah pilihan yang paling logis. Sederhana, cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, sekaligus memberiku ruang untuk merenung.

Kuselipkan helm di kepala, menyalakan motor, dan meluncur ke jalanan yang mulai ramai. Sesekali, pikiranku melayang ke komentar-komentar sinis yang kerap kudengar. Penolakan dari calon penumpang bukan hal baru bagiku, terlebih sebagai seorang perempuan.

"Mungkin karena gengsi, malu diboncengi perempuan. Atau karena motorku matic kecil," pikirku sambil tersenyum tipis. "Atau mereka mengira diriku ini nggak bisa baca peta. Padahal, hanya karena satu dua kesalahan belok kanan tapi malah belok kiri, semua perempuan disamaratakan."

Diriku tertawa kecil mengingat stereotip itu. Tapi tak apa. Pekerjaan ini adalah caraku bertahan, dan bangga melakukannya.

Tak lama kemudian, sebuah order pertama masuk ke aplikasi. Nama yang muncul di layar membuatku sedikit terkejut: Hendra Prawira. Nama ini tidak asing. Diriku mencoba mengingat-ingat, dan ketika kutemui sosoknya di titik penjemputan, ingatanku menguat. Wajah itu tidak berubah banyak. Pakaiannya rapi, khas seorang pekerja kantoran. Dia kawanku dulu, saat kuliah.

Tanpa ragu, aku menyapanya lebih dulu. "Hendra, ingat sama aku?"

Dia tampak bingung. Matanya memandangiku penuh tanda tanya, hingga akhirnya kubuka masker dan helmku.

"Loh, kamu Sarah, kan? Bukannya kamu..." Ia ragu melanjutkan kalimatnya.

"Alhamdulillah, baru bebas setahun lalu. Terbukti tak bersalah di pengadilan," jawabku singkat, mencoba menyembunyikan getir di suaraku.

"Oh..., Congratulation selamat ya, Sudah bebas," suaranya sedikit kikuk dan terlihat canggung.

"Yuk berangkat, nanti telat ngantor," kataku sambil menyerahkan helm padanya. Ia menerimanya tanpa berkata apa-apa.

Sepanjang perjalanan, keheningan sempat terjadi diantara kami. Suara knalpot dan deru kendaraan lain menyelimuti percakapan yang belum sempat kami mulai. Di tengah macetnya jalan, diriku tak tahan lagi untuk membuka topik. "Eh, kamu tahu Julia, kan kawan kita dulu?"

"Tau dong, kenapa dengan dia?" tanyanya, sedikit terkejut.

"Dia akhirnya ngaku kalau memfitnahku dulu," kataku pelan, mencoba menjaga nada suaraku tetap datar.

Hendra tertegun. "Astaga...! Ga mungkin, Yang benar? "

Kulanjutkan ceritaku. "Bener kok! Dia sendiri yang bilang semua itu minggu lalu."

"Wah keterlaluan dia, Maaf ya Sarah, waktu itu aku nggak bisa ngebelain kamu." tanggap Hendra.

"Tapi diriku masih binggung apa alasannya setega itu, kami kan sahabat waktu itu." kusampaikan rasa penasaranku pada Hendra.

"Oh... soal itu," gumam Hendra. "Saya ingat. Dia memang nggak suka kamu sejak Doni lebih memilih berteman dekat sama kamu daripada dengannya. Tapi nggak nyangka kalau julia sampai tega segitunya."

Penjelasan Hendra dan Bu Hera membuat segalanya terasa lebih masuk akal, tapi juga lebih menyakitkan. Julia, teman yang dulu kuanggap sahabat, tega melakukan semua itu hanya karena iri dan cemburu. Tapi yang masih tak pernah kumengerti, kenapa harus Doni yang meninggal?

"Sarah, saya nggak tahu harus bilang apa," ucap Hendra akhirnya, memecah lamunanku. "Saya tahu ini nggak mudah buat kamu."

Diriku tersenyum tipis, meski dadaku terasa berat. "Nggak apa-apa, Hen. Semua sudah berlalu. Yang penting sekarang diriku punya kesempatan untuk memulai lagi."

"Tapi ini belum selesai," ku lanjutkan percakapan, "Sekarang diriku dan Mas Maulana punya bukti yang kuat untuk menjerat Julia."

"Bukti apa?" tanya Hendra, nada suaranya berubah, lebih tajam, penuh rasa ingin tahu.

Namun, sebelum sempat ku jawab, kami tiba di depan sebuah gedung perkantoran megah. Diriku menghentikan motor, dan Hendra turun sambil menatapku dengan raut yang sulit kuartikan. Ada rasa bersalah di matanya, tapi juga kekaguman yang samar.

"Makasih ya, Sarah. Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku," katanya, menyodorkan kartu nama dan uang lebih dari tarif perjalanan.

Diriku mencari-cari uang kembalian di kantong kecil jaketku, tapi tidak cukup. "Sebentar ya, coba cari lagi."

Hendra menggeleng, senyumnya mengembang. "Nggak usah. Anggap aja buat tambahan semangat."

Diriku hanya bisa tersenyum kecil sambil mengangguk. Uang lebih itu, entah karena kasihan atau sebagai bentuk dukungan, tetap terasa seperti pengingat akan jarak yang tak kasat mata di antara kami—antara hidupku yang berjuang dari dasar dan hidupnya yang melangkah di atas jalan yang jauh lebih mulus.

Setelah Hendra masuk ke gedung kantornya, Diriku menatap jalanan yang mulai padat, penuh orang dengan tujuan masing-masing. Perasaan aneh menyelimuti. Ada sedikit kelegaan karena akhirnya kebenaran mulai terungkap, tapi luka lama masih belum sepenuhnya sembuh.

Langit mendung, udara pagi itu terasa dingin menusuk kulit, seperti mengingatkanku bahwa perjalanan ini masih panjang. Tapi satu hal yang pasti, diriku menyalakan motor lagi, mengarahkan pandangan ke depan. Jalanan licin mungkin penuh bahaya, tapi itu takkan menghentikanku.

Keinginan untuk Kembali ke Bangku Kuliah

Siang itu, rasa iri yang menumbuhkan motivasi timbul setelah bertemu Hendra kawan lamaku yang terlihat sukses kerja kantoran. Seharusnya diriku bisa seperti kawan-kawanku, sukses dalam karir dan kehidupannya. Hal ini membuat semangat untuk maju semakin besar pada diriku, Pertemuan dengannya semakin memantik kembali sebuah mimpi lama yang terkubur: menyelesaikan kuliah. Bagiku lulus kuliah penting tak cuma meraih ilmu namun untuk mengimbangi dunia yang menjadi semakin timpang. Empat tahun pendidikan tinggi bisa mengubah nasib seseorang seumur hidup.

Rasanya seperti kembali ke masa remaja, ketika masih bersemangat dengan berbagai rencana besarku. Kuangkahkan kaki ke sebuah universitas swasta ternama dan bersejarah di kota, kampus awal mula reformasi tempat anak orang kaya berkuliah. Bangunannya menjulang megah di jalan protokol, dengan taman rapi dan mahasiswa yang lalu-lalang membawa buku tebal. Belasan tahun lalu, diriku sempat kuliah di universitas negeri, namun kini tak akan pernah cukup layak untuk masuk ke sana kembali. Kali ini, kuberanikan diri mendatangi universitas swasta.

Di bagian informasi, seorang petugas perempuan menyambutku dengan senyuman hangat. Ia menjelaskan prosedur pendaftaran dengan rinci, hingga akhirnya sampai ke bagian yang membuatku tercekat.

"Untuk uang pendaftaran untuk fakultas Hukum, total 40 juta. Lalu biaya per semester, 10 juta," katanya sambil menyerahkan brosur dan silabus perkuliahan.

Angka-angka itu terasa seperti pukulan berat di dada. Kenapa kuliah sekarang begitu mahal, 14 tahun yang lalu ketika diriku diterima di universitas negeri biaya cuma 5 juta dan per semester cuma 1 juta. Kepalaku langsung penuh dengan hitungan yang tak ada habisnya. Dengan penghasilan sebagai ojek, uang sebanyak itu bukan hanya sulit—itu mustahil. Apakah sekarang orang miskin ga bisa kuliah. Kini pendidikan tinggi bukan lagi jalan untuk memutus rantai kemiskinan, melainkan malah menjadi simbol ketidakadilan, di mana hanya mereka yang mampu secara finansial yang bisa melangkah lebih jauh.

Diriku tersenyum kaku dan mengucapkan terima kasih sebelum beranjak keluar dari ruangan ber-AC itu. Langkahku terasa berat saat melewati koridor kampus yang dihiasi poster-poster seminar dan acara mahasiswa. Semua tampak begitu jauh dari realitasku.

Di luar, di bawah pohon rindang yang sedikit melindungi dari teriknya matahari, duduk sendirian, mataku memandang brosur yang masih kugenggam erat. Di dalam hatiku, pergolakan dimulai.

"Bagaimana caranya?" bisikku pada diri sendiri. Penghasilanku sekarang, jangankan uang pendaftaran, uang semester saja sudah seperti puncak gunung yang terlalu tinggi untuk kugapai. Ayahku, yang dulu menjadi satu-satunya tumpuan, sekarang sudah pensiun. Meminta bantuannya jelas bukan pilihan.

Namun, di tengah pikiran-pikiran itu, ada suara kecil yang terus bergema: apakah diriku harus menyerah menggapai mimpi? Mimpi memang gratis tapi menggapainya butuh perjuangan serta biaya. Bagiku Menyerah bukan pilihan.

Diriku tahu bahwa kembali ke bangku kuliah bukan hanya tentang gelar. Ini tentang membuktikan pada diriku sendiri bahwa mimpi bisa kuraih, bahwa masih ada kesempatan untuk mengubah jalan hidupku. Jika ingin mewujudkannya, harus kutemukan cara.

Langit mulai cerah saat kembali ke jalanan, bersiap menjemput penumpang berikutnya.

Sebuah Pesan yang Menggetarkan Hati

Tak berselang lama, kuterima order lain. Hidup harus terus berjalan dan rodaku harus berputar. Namun, di tengah perjalanan, ponselku bergetar di saku jaket. Kusisihkan sejenak di pinggir jalan untuk membaca pesan.

"Sarah, saya akan bertemu Julia, sekalian mengantar Kyera. Akan kusampaikan kecurigaan soal keterlibatannya dalam kematian Doni. "

Pesan dari Mas Maulana itu membuatku terdiam sejenak. Bukan karena tidak siap mendengar kabar itu, tapi karena tahu langkah ini berisiko. Julia bukan hanya bagian dari masa laluku, tapi dia juga ibu dari Kyera, anak yang tak bersalah.

Ini bisa menjadi awal kehancuran bagi kehidupan Kyera. Diriku tak bisa membayangkan bagaimana anak kecil itu akan memandang ibunya jika kebenaran terungkap kelak.

Sudah 14 tahun berlalu sejak Doni meninggal, sejak ku jalani hukuman atas kejahatan yang tak pernah kulakukan. Pengadilan memang akhirnya membebaskanku, tapi luka dari tuduhan itu tak pernah sembuh. Sekarang, pertanyaan terbesarku bukan lagi tentang apakah Julia bersalah, tapi apakah kebenaran ini layak diungkap jika hanya akan membawa lebih banyak penderitaan.

Pandangan Mas Maulana berbeda. Sebagai seorang pengacara, ia percaya bahwa kebenaran harus diungkap apa pun risikonya. Tekadnya mengagumkan, tapi juga menakutkan. Julia mungkin akan menyangkal segalanya, atau lebih buruk, menyerang balik. Bukti yang kami miliki masih terlalu rapuh.

Diriku menyalakan motor kembali, mencoba mengalihkan pikiran, tapi bayang-bayang pertanyaan terus menghantui. Apa yang akan terjadi dalam pertemuan itu? Apakah Julia akan menunjukkan sisi manusiawinya, atau malah semakin membuat segalanya menjadi lebih rumit?

Rasa Bimbang di Jalanan bersamaan suara deru motor lain yang melintas mengiringiku kembali ke jalan. Kulihat sekeliling, menatap wajah-wajah asing di tengah hiruk pikuk kota. Setiap penumpang yang naik selalu membawa cerita, sebagian ringan, sebagian berat.

Namun siang itu, pikiranku tetap terfokus pada pesan dari Mas Maulana. Di satu sisi, diriku berharap misteri ini segera terungkap, agar aku bisa meninggalkan masa lalu yang membayangi hidupku. Tapi di sisi lain, ku takut. Takut pada kenyataan yang mungkin terlalu berat untuk diterima.

Hujan mulai turun lagi, rintiknya pelan tapi cukup untuk membuatku harus menepi dan mengenakan jas hujan. Di bawah langit yang sendu, aku melanjutkan perjalanan, membawa beban pertanyaan yang belum terjawab.

Mungkin, seperti jalan licin ini, kehidupan adalah sebuah perjalanan yang tak bisa selalu kita kendalikan. Namun, satu hal yang pasti: aku akan terus melaju, apa pun yang menantiku di tikungan berikutnya.

Di tengah hujan yang tak kunjung reda membuat jalanan tergenang dan semakin padat, pikiranku terus melayang ke Julia dan Mas Maulana.

Tepat saat ku berhenti di sebuah warung untuk menghangatkan diri dengan secangkir wwdang jahe hangat ponselku kembali bergetar. Kali ini, panggilan dari Mas Maulana.

"Sarah, Saya baru saja dari rumah Julia," suaranya terdengar berat, penuh emosi yang tertahan.

"Apa yang dia katakan, Mas?" tanyaku, setengah takut mendengar jawabannya.

"Sarah, Saya ga sempat bertemu langsung dengan Julia. Aneh, dia mendadak membatalkan pertemuan tanpa alasan jelas," katanya.

Diriku berusaha memahami situasinya. "Mungkin dia tahu sesuatu, Mas. Mungkin dia mulai curiga," jawabku dengan hati-hati.

Dalam percakapan itu, juga kuceritakan pertemuan tak sengajaku dengan Hendra Prawira, kawanku dulu semasa kuliah. Ternyata, Mas Maulana mengenal Hendra juga. "Hendra? Saya tahu dia. Dulu dia mantan karyawan di kantor Julia. Sepertinya ada sesuatu yang Hendra ketahui," ujar Mas Maulana, suaranya mulai terdengar penasaran.

Diriku melanjutkan, "Nah, itu dia, Mas. Diriku jadi agak khawatir kalau dia sudah bocorin rencana kita ke Julia. Apalagi dia kan mantan karyawannya, siapa tahu masih setia banget sama Julia."

Mas Maulana terdiam sejenak di seberang telepon, seperti sedang menimbang-nimbang. "Kekhawatiranmu masuk akal, Sarah. Kita harus main kucing-kucingan nih. Jangan lagi kasih info tentang Julia sama dia, tapi juga jangan sampai dia curiga. Kita harus lebih pintar." katanya dengan nada tegas.

"Oke aman kalo gitu Mas. Diriku akan lebih waspada." Jawabku

"Tapi Sarah, Spunya firasat kalau ada yang lebih besar di balik semua ini. Julia bilang dia mau jelasin semuanya, tapi minta ketemuan berdua aja, tanpa Kyera dan dirimu. Aneh, ya?," kata Mas Maulana, suaranya terdengar semakin serius.

Diriku kembali meneguk wedang jahe hangat, berusaha menenangkan diri. Hujan di luar makin deras, seakan mengikuti gelisah di hatiku. Rasanya, badai dikehidupanku belum akan selesai. Malah kayak baru mau mulai. Pikiranku semakin penuh. Apa yang Julia sembunyikan? Jika dia benar-benar terlibat, apa yang membuatnya merasa tidak punya pilihan? Apakah ada orang lain yang memaksanya, ataukah dia terjebak dalam situasi yang rumit?

Percakapan dengan Mas Maulana berakhir dengan kesepakatan untuk mencari tahu lebih banyak tentang peran Hendra dalam hubungan dengan Julia. Sepertinya, teka-teki ini justru semakin rumit.

Kisah ini belum selesai. Kebenaran, bagaimanapun juga, akan selalu menemukan jalannya.

Sosok Aneh di Jalanan

Sore itu, seperti biasa, diriku berencana pulang, hujan ringan masih turun, membuat jalanan licin dan sedikit berkabut. Awalnya, semuanya berjalan seperti biasa—mengantar penumpang ke berbagai tempat, mendengarkan cerita singkat dari mereka.

Namun, di tengah keramaian jalanan, diriku mulai merasa ada yang aneh. Ada seorang pria, mengendarai motor hitam dengan helm full face tertutup rapat, yang terus berada di belakangku. Awalnya kupikir dia hanya kebetulan mengambil rute yang sama, tapi setelah beberapa kali berbelok dan melewati jalan-jalan kecil, dia masih mengikutiku.

Hatiku mulai berdebar. Apakah ini hanya paranoia, atau benar-benar ada yang menguntitku? Aku mencoba mengalihkan pikiran, mungkin dia hanya kebetulan mengambil arah yang sama.

Namun, ketika berhenti di sebuah warung untuk membeli air, pria itu juga berhenti, pura-pura memeriksa ponselnya. Mataku mencuri pandang ke arahnya, tapi helmnya yang gelap membuat wajahnya sulit terlihat.

Diriku memutuskan untuk mencoba menguji niatnya. Setelah selesai membeli air, aku sengaja mengambil jalan memutar, melewati gang-gang kecil yang jarang dilewati. Pria itu tetap mengikutiku.

Saat itu, ku coba menghadapi Ketakutan, harus mengambil tindakan. Diriku berhenti di sebuah pos polisi yang kebetulan ada di pinggir jalan. Dengan berlagak santai, kuhampiri petugas yang berjaga.

"Pak, maaf, boleh tanya? Saya merasa ada orang yang mengikuti dari tadi," kataku pelan, sambil melirik ke arah pria itu yang juga berhenti di kejauhan.

Petugas itu mengangguk dan memandang ke arah pria yang kumaksud. "Oke, Mbak. Kalau begitu, tunggu di sini sebentar. Biar saya periksa."

Namun, sebelum petugas itu sempat mendekat, pria itu menyalakan motornya dan pergi dengan cepat, meninggalkan rasa penasaran yang semakin dalam di hatiku. Siapa dia? Apa tujuannya mengikutiku?

Teka-teki Baru yang Muncul, Setelah kejadian itu, ku kembali ke jalanan seperti biasa, tapi perasaan waspada tak kunjung hilang.

Di malam harinya, di kamarku, diriku merenungkan semua yang terjadi. Apa ini ada hubungannya dengan masa laluku? Atau hanya kebetulan belaka?

Di satu sisi, rasa takut, tapi di sisi lain, ada semacam dorongan untuk mencari tahu. Mungkin ini adalah bagian dari teka-teki besar yang belum terungkap. Dan seperti biasa, ku tahu bahwa hidupku tak pernah sederhana—selalu ada misteri yang menunggu untuk dipecahkan.

Penguntit misterius

Ketika sedang ngojek sore itu, perasaan aneh mulai muncul lagi. Sudah beberapa kali diriku merasa seperti diawasi. Saat berhenti di lampu merah, ada motor yang sepertinya selalu berada di belakangku. Waktu memutar arah untuk menghindari jalan macet, motor itu ikut berbelok. Kebetulan? Mungkin. Tapi lama-lama, naluri ini berkata lain.

Diriku percepat laju motor, berharap bisa menghilangkan jejak. Namun, saat melintasi persimpangan jalan, suara motor lain terdengar mendekat. Kupandang kaca spion, dan di sana dia lagi—masih mengikutiku. 

Degup jantungku semakin cepat. "Apa dia ingin mencelakakanku? Merampok? Atau…" pikiranku terus menerka-nerka. Kupacu motorku lebih kencang, mencoba mencari jalan menuju tempat ramai. Tapi pria itu tetap mengekor. 

Akhirnya, lagi-lagi diriku berhenti di depan pos polisi kecil di dekat perempatan. Kupikir, kalau dia berniat jahat, dia pasti tidak akan berani mendekat. Aku turun dari motor dan berpura-pura berbicara dengan seorang petugas di sana. Pria itu berhenti di kejauhan, lalu tampak memutar balik motornya. 

Namun, misteri ini belum selesai. Siapa dia sebenarnya? apakah debt collector yang sering meneror warga, tapi diriku tak punya urusan Pinjol, tagihan kredit motorku juga lancar, Apakah diriku punya musuh? Lalu apa tujuannya? Dan kenapa dia pergi begitu saja saat aku mendekati pos polisi? 

Ditengah kebahagiaan hari itu, lalu ku sadari satu hal: masa laluku mungkin belum benar-benar selesai. Entah itu soal Julia, kesalahan vonisku, atau hal lain yang belum kusadari, ada sesuatu yang mencoba menyeretku kembali. Tapi satu hal yang pasti, aku tak akan menyerah begitu saja.