Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 53 - Pernikahan Adikku

Chapter 53 - Pernikahan Adikku

Kamis Pagi 12 Januari 2023, hari baik untuk akad nikah Anugrah adikku dan Zainab pacarnya akhirnya tiba. Diriku teringat perdebatan penuh canda antara Anugrah dan ayahnya Zainab ketika menentukan tanggal pernikahan, beliau meminta tanggal lahir kedua pasangan itu untuk mengitung hari baik berdasarkan weton, sebuah tradisi yang masih bertahan di masa kini.

Rumah kami penuh aktivitas. Tetangga sudah berdatangan, sibuk membantu memasak, menyusun seserahan, atau sekadar julid menjadi komentator profesional. "Bu, ini buahnya disusun kayak candi Borobudur ya, biar unik!" teriak salah satu tetangga. Di dapur, ibu-ibu sibuk menggoreng risol sambil sesekali tertawa cekikikan mendengar cerita lucu, ada juga yang sibuk ngerekam buat live reel katanya.

Anugrah, adikku, sudah berdiri di ruang tamu dengan jas hitam yang membuatnya tampak seperti model. Tapi, ekspresinya sama sekali tidak setenang model. Tangannya sibuk merapikan dasi yang sudah sempurna, sambil sesekali melirik Ayah yang masih santai memakai kaos oblong lusuh dan sarung kotak-kotak.

"Yah, tolong ganti baju dong! Ini akad nikah aku, buruan !" Anugrah protes dengan nada panik.

Ayah hanya terkekeh santai. "Santai aja, Leh. Pengantin kan kamu, bukan Ayah. Lagian, cuma ganti baju aja ga akan lama kan."

Tetangga yang mendengar percakapan itu ikut tertawa. Anugrah hanya berusaha menenangkan diri sambil garuk kepala.

Sementara itu, diriku juga sudah selesai berdandan. Kebaya merah yang kupakai terasa pas, dan mengikat rambutku dengan gaya sanggul sederhana. Ayah bilang, "Wah cantiknya putri ayah, merah itu warna keberuntungan, biar hidupmu ga sial terus Sarah."

Di tengah semua kesibukan, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Diriku menoleh ke jendela dan melihat Mas Maulana turun dari mobil. Dia mengenakan kemeja batik yang rapi dan celana hitam. Penampilannya seperti pengacara di iklan layanan masyarakat, tampak sangat siap menghadapi sidang... atau akad nikah.

"Assalamualaikum Sarah," sapanya sambil melangkah masuk ke ruang tamu. Diriku berbalik, dan untuk beberapa detik, dia hanya diam. Matanya terpaku padaku seperti orang lupa caranya bernafas. Diriku yang biasanya cuek, mendadak merasa pipiku memanas.

"Kebaya merahnya bagus," katanya akhirnya, suaranya pelan dan sedikit gugup.

Aku hanya tersenyum kecil sambil berusaha tetap santai. "Terima kasih, Mas. Tapi ini bukan diriku yang nikah, lho. Fokusnya tetap di Anugrah."

Dia tertawa kecil dan duduk di kursi dekatku. "Bisa nggak kalau sebentar fokusnya pindah ke kamu?"

Diriku bingung. Sebelum sempat menjawab, Anugrah tiba-tiba muncul, masih dengan ekspresi panik.

"Kak Sarah, tolong bantu atur Ayah! Dia belum ganti baju tuh, dan ini udah jam 10 gini! Kalau Ayah nggak ganti baju dalam lima menit, telat nanti!" katanya sambil melirik jam tangannya dengan cemas.

Diriku tertawa dan langsung berdiri. "Baik, Bos. Tenang, semuanya di bawah kendali." melirik Mas Maulana sebelum beranjak. "Kita lanjut ngobrol nanti ya, Mas."

Mas Maulana hanya tersenyum sambil mengangguk, lalu melanjutkan mengamati suasana rumah yang ramai.

Saat berjalan menuju kamar Ayah, masih bisa kumendengar Mas Maulana berusaha mencairkan suasana dengan bercanda. "Kalau semua tamu di sini sepenuh ini, gimana di rumah mempelai perempuan nanti? Jangan-jangan lebih ramai dari pasar malam."

Tetangga yang mendengar candanya langsung tertawa. Pagi itu benar-benar penuh dengan canda dan tawa, meskipun ada sedikit kepanikan di sana-sini. Tapi bukankah itu yang membuat setiap acara keluarga terasa lebih hidup?

Ayah memang selalu punya cara untuk mencuri perhatian di tengah kesibukan. Ketika aku masuk ke kamarnya, dia sedang sibuk mencari dasi di antara tumpukan pakaian. Tapi begitu melihatku, alih-alih bergegas bersiap, dia malah tersenyum lebar dan berkata, "Sarah, kenapa nggak kamu sama Mas Maulana sekalian aja nikah hari ini? Kan hemat biaya catering, langsung satu kali acara!"

"Ayah!" Diriku hampir menjatuhkan sisir di tanganku. "Nikah itu nggak kayak pesan nasi goreng, Ayah. Nggak bisa dadakan gitu!"

Ayah hanya tertawa kecil. Namun, Mas Maulana yang baru saja masuk membawa minuman untuk Ayah tampak canggung luar biasa. Dia batuk pelan sambil mengalihkan pembicaraan. "Eh, ngomong-ngomong, harga BBM baru naik, ya? Kemarin saya lihat berita, kayaknya pengaruh ke tarif ojek juga, nih."

Diriku memutar mata, sementara Ayah justru makin gembira menggoda. "Lihat tuh, Sarah. Dia udah tahu kondisi ekonomi. Cocok, kan? Pikirkan lagi, deh."

Belum sempat membalas, suara klakson dari luar membuat kami semua panik. Mobil Elf yang kami sewa sudah datang, tapi Ayah masih belum juga ganti baju lengkap. Dia akhirnya menemukan dasinya, tapi sabuknya hilang entah ke mana. Tanpa sabuk, celana Ayah yang sudah kebesaran mulai melorot sedikit demi sedikit. Pemandangan ini langsung memicu gelak tawa kecil dari beberapa tetangga yang mengintip dari luar.

Mas Maulana, tanpa pikir panjang, langsung melepas ikat pinggangnya. "Ini, Pak. Pakai dulu, biar nggak ribet nanti di sana."

Ayah menerimanya dengan senyum lebar, lalu mengikat celananya dengan ikat pinggang Mas Maulana. "Wah, makasih, Nak Maulana. Kalau bukan karena kamu, bisa-bisa celana Ayah jadi hiburan tambahan di akad nikah ini."

Sementara Ayah sibuk dengan celananya, elf pertama sudah penuh dengan seserahan dan anggota keluarga lainnya. Elf kedua, yang sedianya untuk Ayah, Anugrah, Mas Maulana dan diriku, juga penuh dengan tetangga yang mendadak memutuskan ikut.

"Nak, kamu sama Mas Maulana aja berangkat duluan pakai mobilnya dia. Nanti Ayah nyusul," perintah Ayah, dengan gaya seorang jenderal yang membagi pasukan.

Diriku menatap Ayah curiga. "Ayah sengaja, kan?"

"Ya nggak lah," jawabnya sambil terkekeh. "Kan biar kamu nggak telat. Lagian nanti Ayah share loc biar Mas Maulana tahu jalannya."

Diriku hampir protes, tapi Mas Maulana sudah mengangguk setuju. Dengan sedikit enggan, ku ikuti saran Ayah. Kami pun berangkat berdua menuju rumah Zainab, mempelai perempuan adikku. meski tau tentang motif sebenarnya Ayah.

Di perjalanan, suasana di dalam mobil terasa sedikit kikuk. Untuk mengisi keheningan, diriku akhirnya membuka pembicaraan. "Mas, terima kasih banyak ya. Bukan cuma soal sabuk tadi, tapi juga semua yang Mas lakuin buat aku. Gugatan ganti rugi itu... diriku nggak tahu harus ngomong apa lagi."

Mas Maulana tersenyum kecil. "Nggak usah dipikirin, Sarah. Itu memang hak kamu. Lagipula, itu cuma langkah awal. Kalau perlu bantuan apa-apa lagi, bilang aja."

"Beneran nggak nyangka bisa dapat 600 juta. akhirnya bisa kuliah lagi. Bahkan, mungkin lebih dari itu."

"Memang harus, Sarah. Kamu itu pintar. Jangan sia-siain kesempatan ini."

Diriku mengangguk pelan. Ada sesuatu di cara Mas Maulana berbicara yang membuatku merasa nyaman, tapi di saat yang sama juga membuatku ingin memeperjelas hubungan tanpa status kami berdua.

"Mas, diriku mau bilang satu hal," ucapku, menguatkan hati. "Aku bersyukur Mas selalu ada buatku. Tapi aku nggak mau pacaran, maklum sudah bukan bocah lagi."

Mas Maulana terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Saya ngerti, Sarah. kamu tahukan saya juga pernah gagal membina rumah tangga dengan Julia."

"Tapi Ini bukan soal masa lalu Mas atau diriku nggak percaya. Cuma... belum bisa, belum saatnya aja. Diriku masih perlu waktu untuk berdamai dengan banyak hal."

"Tenang aja. Saya nggak ke mana-mana," jawabnya dengan tenang. "Kita jalanin pelan-pelan, ya? Nggak usah buru-buru. Saya cuma pengin kamu bahagia, itu aja."

Belum sempat kubalas, Mas Maulana langsung melanjutkan, "Saya mau cerita soal Julia. Semalam Saya ketemu dia."

Jantungku mendadak berdegup lebih cepat. Nama itu, lagi-lagi, muncul di tengah momen yang seharusnya penuh kebahagiaan ini. Dirku yang duduk di sebelah, mencoba membaca ekspresi seriusnya. 

"Kenapa ketemu dia, Mas?" tanyaku hati-hati.

Mas Maulana menjawab. "Kamu taulah, saya ingin konfirmasi sesuatu. Saya rasa, mungkin Julia tahu lebih banyak soal kematian Doni daripada yang pernah dia akui."

Diriku membeku. "Maksudnya? Kamu pikir dia benaran terlibat?"

"Entahlah," jawabnya pelan. "Tapi saya nggak bisa mengabaikan firasat ini, apalagi setelah kita temukan sesuatu yang janggal itu." 

"terus Mas lihatkan foto itu?" tanyaku

"iya Saya tunjukkan foto syal merah dengan inisial "JW" ke Julia, saya sampaikan juga ini ditemukan di TKP kematian Doni. Saya sampaikan kecurigaan itu milik Julia."

"Lalu, apa yang dia bilang?" tanyaku, suaraku serius.

"Seperti biasa dia menyangkal," kata Mas Maulana. "Dia bilang Saya mengada-ada, saya terlalu terobsesi dengan masa lalu. Tapi saat menunjukkan foto ini, dia langsung berubah. Wajahnya pucat, dan dia buru-buru menyudahi pembicaraan. Dia bahkan pergi begitu saja tanpa pamit."

Diriku memegang erat tanganku sendiri, mencoba menenangkan detak jantung yang semakin cepat. Ada sesuatu yang mengusikku, sesuatu yang sulit dijelaskan. 

"Kalau ini benar syalnya, apa artinya, Mas?" tanyaku. 

"Memang belum bisa jadi bukti langsung keterlibatan Julia," jawab Mas Maulana. "Tapi setidaknya ini membuka kemungkinan. Kalau Julia memang ada di TKP dan tahu lebih banyak soal kematian Doni, Itu yang perlu kita cari tahu, apa yang sebenarnya terjadi."

Diriku mengangguk pelan, tapi pikiranku kembali melayang-layang. Julia… syal merah… kematian Doni… Semua potongan ini terasa seperti puzzle yang mulai menunjukkan gambaran, meski belum jelas sepenuhnya.

"Sarah," suara Mas Maulana memanggilku kembali ke kenyataan. "Saya tahu ini berat, tapi janji, saya nggak akan berhenti sampai kebenaran terungkap. Kamu nggak sendirian."

Kata-katanya menenangkan, meski kekhawatiranku masih ada. Diriku tersenyum kecil. Mungkin, hubungan kami sekedar klien dan pengacara tapi diriku merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti posisiku tanpa perlu banyak penjelasan.

Tak lama kemudian, mengikuti petunjuk Maps, di kejauhan, ku bisa melihat gedung tempat acara pernikahan Anugrah. Perjalanan ini mungkin hanya 30 menit, tetapi bagiku, rasanya berdua dengan Mas Maulana seperti langkah pertama menuju masa depan yang benar-benar baru.

Pagi itu, di tengah kegembiraan menjelang akad nikah Anugrah, ada bayang-bayang misteri yang masih membayangi. Tapi satu hal yang kutahu, aku harus tetap berdiri tegar. Ditengah keramaian tamu yang berpakain rapi, kami melangkah menuju gedung. Kuperhatikan beberapa tamu mengenaliku dan terlihat bergunjing, terdengar samar mereka membicarakan diriku yang berstatus mantan narapidana. Pedih mendengarnya, namun kali ini diriku telah tegar, diriku selalu berjuang untuk masa depan, tapi juga untuk mendapatkan keadilan atas masa laluku.

Prosesi akad nikah Anugrah dan Zainab dimulai dengan suasana yang penuh haru dan khidmat.

Di ruangan yang dihias sederhana namun elegan, karpet putih membentang menuju tempat duduk kedua mempelai. Bunga-bunga melati yang terjalin rapi memenuhi ruangan, menyebarkan aroma lembut yang menenangkan. Di depan, Anugrah duduk dengan wajah tegang namun penuh keyakinan. Di sebelahnya, Zainab tampak cantik dan anggun dalam balutan kebaya putih, sesekali melirik calon suaminya dengan senyum malu-malu.

Ayah duduk di samping penghulu, mengenakan peci hitam dan baju koko berjas yang disetrika rapi. Meski bibirnya tersenyum, matanya berkaca-kaca, mungkin karena teringat sosok Ibu yang tak lagi bersama kami. Kehilangan itu terasa begitu nyata di tengah momen bahagia ini.

Ketika penghulu mulai membacakan ayat-ayat Al-Quran, suasana menjadi hening. Setiap kata yang dilantunkan memenuhi ruangan dengan ketenangan. Diriku memperhatikan Anugrah dari kejauhan, mengagumi betapa dewasa adik bungsuku itu sekarang. Dalam hati, ada rasa bangga yang tak bisa kusembunyikan, meski di sisi lain, sedikit rasa iri menyelinap. Ia berhasil menemukan cinta sejatinya dan memulai hidup baru sebelum diriku.

Mas Maulana yang duduk di sebelahku tampak mencuri pandang ke arahku. Ketika menyeka sudut mataku yang mulai basah, ia tanpa bicara menyerahkan tisu dari sakunya. "Jangan nangis terlalu banyak, nanti malah seperti kata Ayah tiba-tiba minta nyusul adeknya," bisiknya dengan nada menggoda. Aku hanya mengangguk kecil, terlalu emosional untuk membalas candaannya.

Saat momen ijab kabul tiba, semua mata tertuju pada Anugrah dan Ayah.

Dengan suara tegas dan penuh keyakinan, Ayah mengucapkan kalimat ijab, menyerahkan putranya kepada Zainab.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, Anugrah Bin Suryo Subranto, dengan Zainab Binti Abdullah Latif, dengan mas kawin berupa emas 20 gram, dibayar tunai."

Anugrah menjawab dengan lantang, suaranya sedikit bergetar namun tetap jelas, "Saya terima nikah dan kawinnya Zainab Binti Abdullah Latif dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."

Hening sejenak, lalu gema "sah" menggema dari para saksi dan tamu yang hadir. Tangis haru pecah di seluruh ruangan. Zainab menundukkan kepala, menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Aku ikut menangis, bangga sekaligus tersentuh menyaksikan adikku kini resmi menjadi seorang suami.

Ayah tampak mengusap matanya yang basah, menyembunyikan rasa sedihnya. Ku tahu, di balik kebahagiaannya untuk Anugrah, ada lubang yang tidak bisa tertutup—kehilangan Ibu yang seharusnya ada di sini, mendampingi kami.

Ketika prosesi saling menyalami orang tua dimulai, Zainab dan Anugrah mendekati Ayah sambil berlutut. Ayah menatap keduanya dengan mata penuh kasih, tapi suaranya bergetar saat memberikan doa. "Jadilah pasangan yang saling mendukung, saling mencintai, dan saling mengingatkan. Ibu kalian pasti bangga melihat kalian hari ini."

Mas Maulana, yang sedari tadi diam, tiba-tiba mencondongkan tubuh ke arahku.

"Hebat adekmu, ya," bisiknya sambil tersenyum. "Kalau Saya jadi kamu, juga bakal nangis bangga."

Diriku mengangguk pelan, menahan isak yang mulai pecah. "Iya, Mas. Diriku bangga banget sama dia. Tapi... juga merasa minder dibandingkan mereka."

"Tidak perlu minder, Sarah. Semua orang punya waktunya sendiri," jawabnya sambil menepuk bahuku pelan. "Saya pernah merasakan kebahagiaan itu, namun kamu tahukan akhirnya gagal dengan perceraian."

Ketika acara selesai, Anugrah dan Zainab berdiri di depan para tamu, menerima ucapan selamat. Diriku menjahui keramaian, berdiri di sudut ruangan menghindari gunjingan beberapa tamu yang mengenaliku sebagai mantan narapidana. Memandangi mereka dengan senyum kecil, diriku merasa ada keinginan menikah membesar. Saat ini mungkin waktuku belum tiba, tapi tahu saatnya tiba diriku akan sampai di sana.

Hari itu, di antara tawa dan tangis, ku mengerti ada sesuatu yang penting: bahagia bukan hanya soal kapan atau bagaimana, tetapi soal siapa yang tetap ada di samping kita, mendukung kita, apa pun yang terjadi.

"Kak Sarah! Cepat ke sini, bantu rapikan kerudung Zainab ini!" panggil Anugrah.

Diriku bergegas menghampirinya, menyimpan sementara pikiran-pikiran tentang Julia dan syal merah itu di sudut otaknya. Hari ini adalah hari Anugrah, dan ia tidak ingin ada satu pun yang merusak kebahagiaan adiknya.

Namun, di tengah-tengah hiruk-pikuk itu, kusadari satu hal: meski telah kucoba melupakan, misteri ini akan terus menghantuinya sampai mendapatkan jawabannya.

Ketika acara berjalan lancar dan prosesi akad selesai dengan haru biru, berdiri di sudut ruangan, menatap keluargaku yang kini lengkap dan makin bahagia.

Di sebelahku, Mas Maulana datang membawa segelas air. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya.

Diriku mengangguk. "Aku baik, Mas. Tapi ini belum selesai. Kalau Julia memang tahu sesuatu, diriku mau kebenaran itu terungkap. Aku mau keadilan, bukan cuma buatku, tapi juga buat Doni."

Mas Maulana menatapnya penuh keyakinan. "Aku janji, Sarah. Kita akan cari tahu bersama-sama. Sampai semuanya jelas."

Senyum kecil timbul, meski dalam hati ku tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Tapi setidaknya, kali ini tidak harus berjalan sendirian.

Pagi itu, di tengah perayaan keluarga, diriku kembali menemukan semangat. Untuk masa depan, untuk kebenaran, dan untuk hidup yang layak ku perjuangkan.