Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 55 - Perlawanan

Chapter 55 - Perlawanan

Setelah kejadian itu, diriku tak tahan lagi. Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang semakin menyesakkan dada. Diriku sudah terlalu lama diam, menerima segala bentuk ketidakadilan bahkan ancaman. Saatnya melawan. Dengan tangan yang masih gemetar, kuambil ponsel dan menghubungi Mas Maulana, pengacara sekaligus pasangan tak resmiku. Suaranya yang tenang namun tegas membuatku sedikit lega. "Ok saya segera nyusul ke sana," katanya. "Kita harus ke kantor polisi."

Sesampainya di Polres, suasana dingin dan kaku langsung menyergap. Ruangan itu dipenuhi oleh bau kertas usang dan kopi yang sudah dingin. Seorang petugas dengan wajah datar mendekati kami, mulai mendata laporan kejadian. Tapi, seperti yang kuduga, kekecewaan datang lagi.

Petugas itu melirik layar komputer, lalu menatapku sekilas sebelum bertanya dengan nada ragu, "Mbak, mantan narapidana ya?" dengan ekspresi yang sulit kubaca.

"Ya, memang kenapa, Pak?" jawabku, mencoba menahan emosi yang muncul.

"Ada musuh waktu di penjara dulu?" tanyanya lagi, suaranya seperti menusuk-nusuk.

"Tidak, Pak. Saya tidak punya musuh. Tapi..." Diriku terhenti sejenak, ragu apakah harus melanjutkan. "Ada seseorang yang kami curigai berusaha mencelakai saya Pak."

"Ada bukti?" tanyanya singkat, tanpa ekspresi.

"Kami belum punya cukup bukti, Pak," Mas Maulana mencoba membantu, suaranya tetap tenang meski aku tahu dia juga mulai kesal.

"Kalau gitu, kami belum bisa melakukan apa-apa tanpa bukti yang jelas," kata petugas itu dengan nada datar, seperti sudah bosan mendengar cerita yang sama.

Mas Maulana mencoba bersikap tenang, tapi diriku bisa melihat betapa dia juga mulai kehilangan kesabaran. "Ini sudah ancaman fisik. Apa lagi yang kalian tunggu?" tanyanya, suaranya meninggi.

Petugas itu hanya mengangkat bahu. "Kami butuh saksi, bukti, atau apa pun yang bisa membantu penyelidikan. Kalau cuma laporan seperti ini, susah untuk kami tindaklanjuti."

Diriku yang tak sabar berucap dengan sedikit keras, "Tolonglah, Pak, saya bisa celaka tadi! Kalian kan punya kewenangan, bisa lihat CCTV di lokasi kejadian, bisa lacak plat nomor motor itu, atau apalah yang bisa kalian lakukan untuk menangkap penjahat itu!" saran diriku kepada petugas.

"Mbak, jangan mengajari kami ya!" petugas sedikit tersinggung, wajahnya merah karena emosi yang terpendam. "Kami terima banyak laporan setiap hari, itu semua harus ditindak lanjuti, lagian mbak sekarang baik-baik saja kan! Jadi nanti kami kabari kalau ada perkembangan."

"Sarah, saya rasa cukup. Kita sudah buat laporan, biar mereka lakukan penyelidikan, kita sabar saja," Mas Maulana mencoba menenangkan keadaan, meski matanya menyala dengan kekecewaan.

Lagi-lagi diriku merasa seperti dipukul oleh sistem yang seharusnya melindungi kami, justru membuat kami semakin terjepit. Tapi ku tidak bisa menyerah. Aku harus mencari cara lain. Pikiranku mulai berputar, mencari jalan keluar dari labirin misteri dan ancaman yang mengintai di setiap sudut kehidupan ini.

Keluar dari Polres, udara sore yang pengap membuatku gerah. Mas Maulana memelukku erat, memberikan sedikit rasa aman di tengah ketidakpastian. "Kita cari bukti sendiri," bisiknya di telingaku. "Kita akan menemukan siapa yang berada di balik semua ini."

Bantuan rekan

Di tengah keputusasaan, aku teringat pada rekan-rekan pengemudi ojek yang membantuku tadi. Mereka adalah orang-orang yang mengenal jalanan dengan baik, dan mungkin bisa membantuku melacak motor itu.

Diriku menghubungi ketua asosiasi pengemudi ojek setempat, Pak Nadiem. Dia adalah sosok yang dihormati di kalangan mereka, dan dikenal sebagai orang yang tegas dan peduli. Setelah mendengar ceritaku, Pak Nadiem langsung bersedia membantu.

"Kami nggak akan biarin orang sembarangan ganggu anggota kami, apalagi sampe nyerempet-nyerempet gitu," katanya dengan nada marah. "Kita coba lacak motor itu. Di sini banyak yang punya jaringan, pasti bisa ketemu."

Dengan bantuan Pak Nadiem dan rekan-rekan pengemudi ojek, kami mulai melacak motor trail hijau itu. Mereka menyebarkan informasi ke seluruh jaringan, meminta siapa pun yang melihat motor tersebut untuk segera melapor.

Malam semakin larut, tetapi pikiranku justru semakin terjaga. Aku duduk di sudut warung kopi tempat kami berkumpul, menatap layar ponsel yang sesekali bergetar dengan pesan dari para pengemudi ojek. Mas Maulana duduk di sebelahku, sibuk dengan laptopnya, mungkin mencoba mencari informasi lain yang bisa membantu.

Malam minggu itu dengan dikawal Mas Maulana kuputuskan untuk pulang meskipun tanpa petunjuk. Tubuh dan pikiranku sangat lelah.

Petunjuk Bu Hera

Hari Minggu pagi, seperti biasa, diriku menghubung Bu Herai melalui video call di Lapas Perempuan Lembah Harapan. Petugas mendata data identitasku, dan meminta menunggu kedatangan Bu Hera di ruang wartel lapas. Namun, sebelum sempat berbicara dengan Bu Hera, seorang petugas sipir senior yang kukenal baik, Bu Rita, menjawab video callku dengan wajah muram.

"Sarah, ada kabar duka," katanya lirih.

Diriku terkejut. "Apa, Bu?" tanyaku cemas.

"Dina kawanmu... Dia meninggal kemarin malam. Digigit ular berbisa saat mencari kayu bakar di hutan pulau ini."

Diriku terhenyak, dada terasa sesak. Dina, sahabatku di lapas itu, telah pergi untuk selamanya.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." bisikku, mencoba mencerna kenyataan pahit itu.

Bu Rita menghela napas. "Ya, hidupnya memang berat. Tapi mungkin ini takdirnya. Setidaknya dia telah tuntas menjalani hukuman seumur hidupnya..."

Aku hanya bisa mengiyakan, meski batinku menolak dan merasa kehilangan seorang sahabat.

Tak lama kemudian, panggilanku tersambung. Suara dan wajah Bu Hera terlihat dari seberang.

"Assalamu'alaikum, Sarah."

"Wa'alaikumsalam, Bu. Apa kabar?" tanyaku, mencoba menstabilkan suaraku.

"Alhamdulillah, saya baik. Bagaimana denganmu?"

Ku jawab dengan terbata. "Bu, baru saja dapat kabar buruk. Dina… dia sudah meninggal ya."

Sejenak, hening. Diriku bisa mendengar tarikan napas panjang dari Bu Hera.

"Innalillahi... iya Dina kawanmu itu meninggal kemarin, Katanya dia digigit ular berbisa di hutan pulau ini saat cari kayu bakar, kami sudah memakamkanya dan mendoaakannya" sambung Bu Hera dengan suara bergetar.

"Iya, Bu. saya juga cuma bisa ikut bantu doa aja."

"ya begitulah nasib kami narapidana di pulau ini, bisa mati kapan saja dan dengan cara yang tak terduga " jawab Bu Hera Pasrah.

Kemudian untuk menjadikan suasana kembali ceria, ku ceritakan pernikahan adikku. Namun ku tak bisa menahan diri untuk menceritakan ancaman yang kuterima dan kecurigaan ku terhadap Julia yang juga terkait kasus kematian Doni putra Bu Hera.

Bu Hera terdiam sesaat sebelum berucap, "Sarah, saya tak ingin menduga-duga, tapi kau harus waspada. Kau tahu sendiri, tidak ada yang benar-benar kebetulan di negeri ini."

Diriku merasakan bulu kudukku meremang. "Maksud Ibu?"

"Julia," jawabnya pelan.

Nama itu membuatku menggigit bibir. Julia, Pengacara kaya yang berkuasa di negeri ini. Dia Putri dari keluarga terpandang yang bahkan bisa membeli hukum.

"Sarah, kau harus berhati-hati. Julia dan keluarganya bisa melakukan apa saja. Kalau kau yakin ada hubungan antara kematian Doni anakku, ancaman terhadapmu, daei Julia, maka kau harus lebih waspada. saya tak ingin kau jadi korban berikutnya."

Aku menelan ludah. "Tapi, Bu... aku tak punya bukti. Dan polisi pun tak bisa berbuat banyak tanpa bukti."

"Sarah, dengarkan aku baik-baik," suara Bu Hera menegas. "Julia tak akan bertindak sendiri. Dia selalu menggunakan orang lain untuk melakukan pekerjaannya. Cari orang-orang yang dulu pernah bekerja untuknya. Bisa jadi mereka tahu sesuatu. Dan satu hal lagi..."

"Apa, Bu?"

"Doni... Anakku... Sebelum dia meninggal, dia selalu menulis sesuatu di buku hariannya. Buku itu hilang setelah dia tewas. Aku tak tahu di mana sekarang, tapi aku yakin buku itu menyimpan jawaban. Jika kau bisa menemukannya, mungkin kau akan tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Aku mencatat kata-kata Bu Hera dalam benakku. Buku harian Dini? Bisa jadi itu adalah kunci dari semua misteri ini.

"Baik, Bu. Aku akan mencari tahu."

"Hati-hati, Sarah," pesan Bu Hera dengan nada penuh kekhawatiran. "Jika kau merasa dalam bahaya, jangan ragu mencari perlindungan. Aku tak ingin kehilangan orang yang aku percayai."

10 menit berlalu waktu komunikasi telah habis, Telepon terputus. Aku menatap layar ponsel yang kini gelap, sementara pikiranku dipenuhi tanda tanya. Jika buku harian Dini benar-benar ada, aku harus menemukannya sebelum orang lain melakukannya.

Aku menggenggam ponsel erat. Ini belum selesai. Ini baru saja dimulai.

Terungkap 

Beberapa hari kemudian, seorang pengemudi ojek bernama Rian datang tergesa-gesa. Napasnya masih tersengal saat ia berkata, "Mbak Sarah, motor itu tadi kelihatan di daerah pasar malam. Ada yang bilang sering nongkrong di bengkel tua dekat rel kereta!"

Aku dan Mas Maulana langsung bertukar pandang. Tanpa berpikir panjang, kami segera bergegas ke lokasi yang disebutkan. Dalam perjalanan, jantungku berdegup kencang. Aku tak tahu apa yang akan kami temukan, tetapi firasatku mengatakan bahwa ini adalah titik terang yang selama ini kucari.

Saat tiba di bengkel tua itu, suasana terasa sunyi. Hanya ada beberapa motor terparkir, dan di sudut ruangan yang remang-remang, seorang pria berbadan kekar tengah berbincang dengan seseorang. Aku mengenali jaketnya—sama dengan yang dipakai pengendara motor yang nyaris mencelakaiku tadi siang!

Mas Maulana menarik lenganku, memberi isyarat untuk tetap tenang. "Jangan gegabah," bisiknya.

Tapi sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, pria itu menoleh. Matanya menyipit begitu melihatku. Aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya, tapi ia segera menutupinya dengan senyuman miring yang membuat bulu kudukku meremang.

"Sarah, lama tak jumpa," katanya dengan nada penuh ejekan.

Aku menelan ludah. Sosok ini, aku mengenalnya. Dia bukan orang asing. Dia adalah seseorang dari masa lalu. Dan kini, dia kembali.