Sebelum meninggalkan acara pernikahan adikku yang berjalan lancar, diriku merasa lega sekaligus terharu. Melihatnya bersanding dengan pasangan hidupnya, rasanya seperti membuka bab baru dalam kehidupan keluarga kami. Tapi ada satu hal yang sedikit mengganjal, mereka belum punya rencana bulan madu, cuti kerja mereka cuma tiga hari sebelum kembali sibuk bekerja.
Sebagai kakak yang baik dan perhatian meski penghasilanku sebagai ojol pas-pasan, namun diriku sudah menyiapkan hadiah spesial: voucer menginap di hotel berbintang. Toh, apa salahnya membantu mereka menikmati malam pertama yang bebas dari gangguan keluarga?
"Congratulations, ini ada hadiah kecil dari ku," kataku sambil menyerahkan amplop kepada mereka.
Adikku, yang tampak bahagia namun terlihat kelelahan, mengernyit bingung. "Apa ini, Kak?"
"Voucher hotel," jawabku santai. "Biar kalian menikmati sekalian punya privasi untuk malam pertama. Bayangkan, nggak ada suara pintu diketuk Ayah yang nanyain, 'Udah makan belum?' atau tiba-tiba listrik mati karena lupa beli pulsa token."
Saat ku serahkan amplop berisi voucher hotel itu kepada adikku, ayah kebetulan lewat dan menangkap percakapan kami. Ia melirik amplop itu dengan mata menyipit curiga.
"Apa itu?" tanya ayah, sambil menyandarkan tubuh ke kursi dengan gaya detektif yang mengintrogasi tersangka.
"Hadiah, Yah. Voucher hotel," jawabku santai sambil tersenyum penuh kemenangan.
Ayah lalu bersiul kecil. "Wah, ini pasti hotel mahal, ya? Bagus, bagus. Tapi kalau voucher ini buat mereka berdua, apa ayah nggak dapat bonus kamar sebelah? Kan siapa tahu mereka butuh konsultan untuk malam pertama."
Diriku hampir tersedak mendengar komentarnya. Adikku langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan, sementara istrinya hanya tertawa kaku, entah harus merespons apa.
"Yah!" seruku setengah protes, meski berusaha menahan tawa. "Ini privasi mereka, kenapa Ayah mau ikut-ikutan?"
"Lho, Ayah kan cuma bercanda. Lagipula, siapa tahu perlu inspeksi kamar buat memastikan fasilitasnya sesuai standar. Nanti kalau AC-nya kurang dingin atau air panasnya macet, gimana?"
Diriku hanya bisa menggelengkan kepala sambil berusaha mengalihkan pembicaraan. Tapi di sudut mataku, masih melihat senyum puas ayah yang sepertinya menikmati setiap momen canggung yang ia ciptakan.
Wajah adikku memerah, sementara istrinya tersipu malu dan hanya nyengir sambil mengucapkan terima kasih. Diriku puas melihat reaksi mereka.
Babak baru Misteri
Sore itu, dalam perjalanan pulang bersama Mas Maulana dan ayahku, ponselku tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
"JANGAN UNGKIT KEMATIAN DONI."
Ku baca pesan singkat itu dengan jantung berdegup kencang. Tanpa pikir panjang, aku menunjukkannya pada Mas Maulana, yang sedang fokus mengemudi.
"Mas, ada pesan aneh," kataku, suaraku bergetar.
Ia melirik cepat ke layar ponselku sebelum kembali memusatkan perhatian ke jalan. Wajahnya langsung berubah serius.
Diriku, yang sudah dipenuhi rasa penasaran, mulai mengetik balasan:
"Siapa ini? Kenapa kamu tahu soal hubunganku dengan kasus Doni?"
Pesan itu dibalas dalam hitungan detik:
"GA USAH BANYAK TANYA, HENTIKAN PENYELIDIKAN KALIAN ATAU TERIMA AKIBATNYA."
Diriku semakin gelisah membaca ancaman itu, tapi Mas Maulana langsung memperingatkan, "Sarah, jangan dibalas lagi." Suaranya tegas, tangannya tetap mencengkeram kemudi erat. "Kita periksa nanti di rumah."
Dari kursi belakang, ayahku mendesah keras. "Sarah, ada apa lagi? Sudah, jangan cari masalah. Hidup ini udah cukup ribet, nggak usah tambah drama."
Diriku menoleh, melihat senyum sinis di wajahnya. "Kalian ini udah kayak detektif film aja. Kalau nanti diculik, gimana?"
Diriku setengah kesal dengan komentar sarkastisnya yang sama sekali tidak membantu.
Sesampainya di rumah, diriku dan Mas Maulana langsung duduk di ruang tamu. Ia membuka aplikasi Truecaller untuk memeriksa nomor tersebut, tapi hasilnya nihil.
"Nomornya nggak terdaftar," katanya sambil bersandar di sofa. "Sepertinya ini nomor sekali pakai."
ku tatap layar ponsel dengan pikiran penuh pertanyaan. "Mas, cuma diriku, kamu, dan Julia yang tahu soal penyelidikan ini. Berarti Julia mengawasi kita, kan?"
"Tapi yang jadi pertanyaan, gimana dia tahu nomor HP-mu?" tanya Mas Maulana dengan nada heran.
Diriku mengangguk perlahan. "Iya, gimana dia bisa tahu nomorku?"
Mas Maulana semakin penasaran mencoba merangkai kejadian. "Ini makin aneh. Kalau diingat-ingat, kamu bilang pernah merasa diikuti, kan? Jangan-jangan ada orang lain yang juga terlibat."
Wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya. "Ancaman ini… artinya kita mungkin sudah terlalu dekat dengan sesuatu."
Ku coba menenangkan diri dari rasa panik yang terus merayap. "Tapi kenapa dia sampai mengancam? Apa karena kasus ini menyimpan rahasia besar? Dan apa Julia benar-benar terlibat?" gumamku, setengah bertanya pada diri sendiri.
Mas Maulana menatapku tajam. "Kita harus lebih hati-hati. Jangan sampai lengah. Setiap langkah yang kita ambil harus dipikirkan matang-matang."
"Mas..." bisikku, mataku membulat ngeri. "They know everything, Kita benar-benar diawasi."
Mas Maulana menatapku dalam. "Sarah, ini bukan sekadar ancaman. Ini peringatan kalau kita sudah masuk ke wilayah yang berbahaya."
"Menurutku sekarang waktunya melibatkan polisi," ujarnya akhirnya. "Mungkin ada jejak digital yang bisa dilacak."
Diriku yang masih skeptis terhadap Polisi menggeleng tegas. "Polisi? much better not involved them now. Mereka nggak bakal langsung usut Mas. Apalagi ini kasus lama, Kita perlu bukti yang lebih kuat dulu."
Menjelang malam kami sampai dirumah, ayah bergegas menuju masjid untuk sholat Maghrib berjamaah bersama Mas Maulana. Diriku masuk ke dalam rumah, mandi menyegarkan badan yang mulai lengket karena keringat.
Setelah makan malam nasi kotak bawaan dari acara nikahan adikku tadi, diriku masih terjaga di depan TV scrolling shopee sekaligus menemani Ayah menonton debat politik yang penuh retorika pembualan. Mas Maulana sudah pulang, tapi pikiranku terus dipenuhi pesan ancaman tadi.
Saat mulai merasa kantuk, ponselku bergetar lagi. Nomor yang sama menelepon.
Dengan tangan gemetar, dirku mengangkatnya. "Halo?" tanyaku pelan, nyaris berbisik.
Tidak ada suara. Hanya keheningan membingungkan.
Setelah beberapa detik, sebuah suara berat terdengar, seperti bisikan. "Kamu nggak tahu siap yang sedang kamu hadapi, Sarah. Kalau kamu pintar, berhenti sekarang."
Jantungku berdegup kencang. "Woi Siapa ini? Apa yang kau mau?" tanyaku dengan suara bergetar.
Orang itu tertawa pelan, dingin dan menakutkan. "Jangan menantang bahaya," katanya, sebelum telepon diputus.
Dari ruang TV, ayahku yang tadinya sibuk menonton langsung menoleh. "Sarah, kalau itu debt collector, bilang aja kita udah bangkrut," katanya setengah bercanda, berusaha memecah suasana meski hasilnya malah bikin diriku tambah kesal.
Ancaman Serius
Pagi itu, sambil ngojek diriku meluncur ke kantor Mas Maulana. Angin pagi yang dingin menusuk, tapi pikiranku lebih kusut daripada udara dingin yang menyelimuti tubuhku. Ancaman semalam terus berputar di kepala. Apa yang sebenarnya mereka takutkan?
Setibanya di kantor, Mas Maulana sudah menungguku. Dia duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah serius. Setelah salam singkat, diriku langsung menceritakan apa yang terjadi.
"Mas, orang itu nelepon lagi tadi malam," kataku dengan nada setengah berbisik. "Suaranya... berat, dingin, kayak bisikan. Dia kembali mengancam."
Mas Maulana bersandar di kursinya, menatapku tajam, tanda bahwa dia mencoba menahan emosi. "Sarah, ancaman ini nggak bisa dianggap enteng. Kita harus melibatkan polisi."
Diriku menggeleng cepat, hampir reflek. "Polisi? Serius, Mas? Kamu tahu kan gimana kerja mereka? Kalau nggak ada bukti kuat atau... ya, dana buat mempermulus jalan, mereka cuma anggap ini angin lalu." Sarkasme di suaraku tak bisa ditahan.
Mas Maulana terlihat jelas mencoba bersabar. "Nggak semua polisi seperti itu, Sarah. Ini soal keselamatan kita. Ancaman ini nyata, dan kita nggak bisa main-main."
Nada sinisku masih dominan saat aku membalas, "Mas, mereka nggak peduli sama kasus besar, apalagi ancaman yang bahkan sumbernya aja nggak jelas. Kita ini siapa? Orang biasa. Mereka nggak mau buang waktu untuk kita."
Mas Maulana tatapannya tajam seolah mencoba menembus semua lapisan skeptis yang selama ini kugunakan sebagai pelindung. "Sarah, ini bukan soal percaya atau nggak. Kita butuh bantuan. Julia jelas tahu sesuatu, dan tanpa akses yang lebih besar, kita hanya bisa terus meraba-raba dalam gelap."
Diriku berusaha menyembunyikan rasa gentar yang perlahan merayap masuk. "Mas, Julia itu dari keluarga pejabat. Kalau mereka terlibat, apa polisi bakal berani sentuh mereka? Kamu tahu sendiri kenyataan di lapangan. Kita ini cuma debu, nggak ada artinya."
Mas Maulana bersandar di kursinya, kedua tangannya terlipat di depan dada. Wajahnya tetap tenang, tapi nada suaranya mulai mengeras. "Sarah, saya tahu kamu trauma sama institusi itu. Tapi kita nggak punya banyak pilihan. Saya kenal seorang penyidik yang bisa kita percayai."
Diriku tertawa kecil, sinis, tanpa emosi. "Seorang penyidik? Mas, ini bukan cerita film. Mereka nggak akan gerak tanpa ada yang menguntungkan mereka."
"Sarah!" suaranya meninggi, membuatku terkejut dan menatapnya dengan pandangan terperangah. "Apa maumu? Kita nggak bisa terus begini. Kalau nggak coba apa-apa, mereka akan terus di atas angin. Lapor polisi adalah pilihan terbaik saat ini. Atau kamu mau lapor ke dukun? Preman pasar?"
Diriku terdiam, kata-katanya menusuk. Di satu sisi, ku tahu dia benar. Tapi di sisi lain, ada luka lama yang belum sembuh. Rasa kecewa dan ketidakpercayaan terhadap institusi yang seharusnya menjadi tempat terakhir kita berlindung.
Mas Maulana melanjutkan, lebih lembut kali ini, "Saya cuma minta kita ambil langkah kecil. Percaya pada orang ini, setidaknya untuk mencoba. Kalau kita salah, kita mundur. Tapi kalau kita nggak melakukan apa-apa, kita cuma akan jadi korban selamanya."
Keheningan menggantung di antara kami. Kata-katanya menyusup perlahan, menembus tembok keraguan yang kubangun.
"Diriku cuma nggak mau kecewa lagi, Mas," ujarku akhirnya, pelan dan nyaris tak terdengar.
Mas Maulana menatapku, sorot matanya penuh pengertian. "Saya ngerti, Sarah. Tapi ini soal keselamatan kita. Izinkan saya mencoba bicara dengan penyidik itu. Kita lihat bagaimana kelanjutannya. Kalau ada yang nggak beres, kita tarik diri. Saya janji."
Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengumpulkan keberanian yang entah sudah lenyap ke mana. "Baik, Mas," jawabku akhirnya. "Kita coba."
Sebelum percakapan kami berlanjut, teleponku berdering. Kali ini nama adikku muncul di layar, segera mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Kak! Makasih ya hadiahnya, tapi voucher yang kamu kasih bikin kami hampir nggak jadi malam pertama!" katanya langsung, nada setengah kesal, setengah tertawa.
"Kenapa?" tanyaku, penasaran sekaligus was-was. Apa ada yang salah dengan hotel bintang empat yang aku pilih itu?
"Hotel yang kamu pilih itu bagus sih tapi horror, Kak!" Jawabnya singkat, tapi efeknya kayak petir di siang bolong.
"Kok bisa? Gimana ceritanya? Itu hotel bagus, loh. Mana ada hantunya?" tanyaku kembali, sambil mencoba mengingat-ingat review di Google yang bilang hotel itu "nyaman dan aman."
"Beneran serem, Kak! Waktu check in Resepsionisnya aja bilang, 'Hotel aman kok, kalau ada yang ribut malam-malam, abaikan saja.' Kami langsung curiga!"
Diriku hampir tersedak tawa. "Terus gimana?"
"Kami nekat aja, Kak. Tapi tengah malam, TV di kamar mati sendiri, terus istriku malah ngigau minta nonton TV! Rasanya kayak adegan film horror!"
Diriku menahan tawa, tapi gagal. "Ya udah, yang penting kalian selamat." Diriku menutup teleponnya dengan senyum lebar melupakan sejenak ketegangan. Meski tanpa sengaja, setidaknya voucher itu memberi mereka pengalaman yang tak terlupakan dan mungkin bahan cerita untuk cucu mereka nanti.
Di ruang kerja Mas Maulana, aku meletakkan ponsel di meja, mencoba mengusir sedikit ketegangan. Tapi ketika menatap Mas Maulana lagi, ku tahu percakapan serius tadi belum selesai.
"Sarah, saya cuma mau kita selangkah lebih aman," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Diriku mengangguk kecil, mencoba mengatasi ketakutan dan keraguanku. "Baiklah, Mas. Tapi... kalau ini nggak berhasil, kita cari jalan lain."
Mas Maulana mengangguk, wajahnya tampak lebih lega. "Terima kasih, Sarah. Kita mulai dengan langkah kecil dulu. Dari sana, kita lihat ke mana jalan ini membawa kita."
Di luar, suara klakson kendaraan terdengar samar. Tapi di dalam, suara hati kami yang penuh rasa gentar dan harapan mulai mencari nada harmonisnya sendiri.
Ancaman nyata
Setelah agak tenang, hari menjelang siang, diriku meninggalkan kantor Mas Maulana dengan perasaan campur aduk. Langkahku terasa berat, seolah bumi ini menarikku ke bawah. Tapi hidup harus terus berjalan, Jadi kuputuskan untuk kembali ngojek, mencoba mengalihkan pikiran dari segala ancaman yang mengintai.
Namun, nasib baik sepertinya belum berpihak padaku.
Di tengah perjalanan mengantar seorang penumpang, sesuatu yang mencurigakan kembali terjadi. Awalnya, kukira itu hanya kebetulan—sebuah motor trail hijau dengan pengendara berhelm hitam yang kebetulan mengambil rute yang sama. Tapi lama-kelamaan, rasa waswas itu mulai merayap. Motor itu terus membuntuti, jaraknya semakin dekat, seolah menantangku untuk berlari.
"Jangan-jangan ini bukan kebetulan," bisik hatiku, tapi aku mencoba mengabaikannya. Mungkin aku hanya paranoid.
Tapi kemudian, motor itu mulai memepet. Pengendara berjaket hitam itu tiba-tiba mencoba menyerempet motor yang kukendarai. Aku berusaha menghindar, menjaga jarak, tapi dia seperti punya misi. Dia mendekat lagi, dan kali ini, kakinya melesat ke arah motor kami, mencoba menendang.
"ASTAGA! AWAS! DIA MAU NABRAK KITA!" teriak penumpang di belakangku, suaranya nyaris pecah karena panik.
Jantungku berdegup kencang. Tanganku gemetar memegang stang motor, berusaha menjaga keseimbangan agar kami tidak terjatuh. Rasanya seperti adegan dalam film action, tapi ini nyata—dan aku sama sekali tidak siap.
"TOLONG! ADA YANG MAU CELAKAIN KITA!" teriak penumpangku lagi, suaranya memecah kesunyian jalanan.
Tiba-tiba, seperti dewa penyelamat, beberapa rekan pengemudi ojek lain yang sedang melintas melihat kejadian itu. Mereka langsung menghampiri, membentuk barisan kecil untuk menghalau motor berhelm hitam itu. Pengendara itu sempat melirik ke arahku, matanya tersembunyi di balik helm hitam legam, tapi aku bisa merasakan tatapan dinginnya. Seolah dia berkata, "Ini belum selesai."
Motor trail hijau itu akhirnya menjauh, menghilang di antara keramaian jalanan. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sambil memarkirkan motor di pinggir jalan. Penumpangku masih terlihat shock, wajahnya pucat seperti baru melihat hantu.
"Mbak, itu siapa? Kenal? Kenapa kayak gitu?" tanya seorang rekan ojol yang mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran.
Diriku hanya bisa menggeleng, tak tahu harus menjawab apa. Tapi di dalam hati, aku tahu ini bukan sekadar kebetulan. Ini pasti ada hubungannya dengan Julia—dengan segala ancaman yang selama ini mengintai. Rasanya seperti aku terjebak dalam permainan kotor yang tidak aku pahami, dan setiap langkah yang kuambil justru membuatku semakin dalam terperangkap.
"Makasih, ya," ucapku pada rekan-rekan ojol yang membantu, suaraku masih gemetar. Mereka mengangguk, tapi matanya penuh pertanyaan. Diriku tahu mereka penasaran, tapi aku sendiri tidak punya jawaban.
Penumpangku akhirnya turun, masih terlihat shock. "Mbak, hati-hati ya. Kayaknya ada yang mau jahat sama kita," katanya sebelum pergi.
Aku mengangguk, mencoba tersenyum kecil, tapi di dalam hati, rasa takut itu semakin membesar. Ancaman itu semakin nyata, dan aku merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang semakin tipis. Setiap detik, aku merasa ada yang mengawasi, menunggu kesempatan untuk menjatuhkanku.
Di tengah keramaian jalanan, aku merasa sendirian. Langit yang tadinya cerah seakan berubah kelam, seolah memperingatkanku bahwa ini baru awal. Dan aku? Aku hanya bisa berharap bahwa aku cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Tapi satu hal yang pasti: ini bukan lagi sekadar paranoia. Ini nyata. Dan ku tak tahu harus lari ke mana.