Sebulan sudah berlalu sejak rahasia besar Mas Maulana terungkap. Diriku masih diliputi amarah dan kekecewaan, meski tak sampai sakit hati. Mas Maulana ternyata telah menikah dan memiliki seorang anak. Keyataan ini membuat hubungan kami kini semakin menggantung, tanpa arah yang pasti. Beberapa kali Mas Maulana mencoba menjelaskan dirinya telah bercerai, meminta maaf dan menjalin komunikasi, tapi hanya kurespons seperlunya. Bagiku, kepercayaan yang sempat pudar butuh waktu untuk kembali.
Ponsel pemberian Mas Maulana telah ku kembalikan. Sebagai gantinya, diriku membeli ponsel android yang jauh lebih murah, tapi cukup untuk menghubungi orang-orang terdekat. Mas Maulana tampaknya memahami permintaanku untuk memberi ruang. Dirinya tak lagi memaksakan apa pun, meski beberapa pesan singkat darinya masih masuk, berisi dukungan atau sekadar menanyakan kabar.
Kehidupan sehari-hariku berjalan lancar. Di bengkel Pak Hendro, diriku merasa mulai bisa menyesuaikan diri. Pekerjaan di sini cukup menantang, dan teman-teman kerjaku sudah seperti keluarga baru. Hanya satu hal yang kurasa cukup mengganguku, kepulan asap rokok Pak Hendro dan pelanggan. Diriku tak terbiasa dengan bau dan asap sisa pembakaran tembakau itu. Namun, pagi itu, suasana berubah.
Istri Pak Hendro, seorang perempuan berusia pertengahan empat puluhan dengan gaya bicara tegas, tiba-tiba datang ke bengkel. Ia melakukan audit rutin tiap bulan, masuk ke ruang kantor dengan langkah cepat, langsung meminta laporan tanpa basa-basi.
"Mana laporan keuangan bulan ini?" tanyanya penuh kecurigaan dengan nada tajam.
Diriku yang sedang merapikan faktur pengeluaran, menoleh kaget. "Laporannya ada di map biru, Bu. Di rak sebelah."
Ia mengambil map itu, membuka halaman demi halaman dengan alis yang terus mengernyit. Setelah beberapa menit, ia meletakkan map itu dengan keras di meja.
"Ini nggak masuk akal," katanya sambil menatap tajam ke arahku. "Ada kekurangan dana 150 juta rupiah. Kamu tahu apa artinya ini?"
Diriku mengerutkan kening, mencoba memahami arah pembicaraannya. "Maaf, Bu, maksudnya apa? Saya cuma mencatat pemasukan dan pengeluaran sesuai dengan bukti transaksi."
Bu Hendro mendekatkan ke arahku, tatapannya penuh curiga. "Kamu pikir saya nggak tahu? Kamu baru aja beli motor, kamu juga punya HP baru, Jangan-jangan uang ini kamu gelapkan uang kantor."
"Bu saya ga ambil uang kantor, motor itu kredit Bu, HP juga yang murah, Saya beli pakai uang gaji saya sendiri." Jawabku dengan tegas.
"Orang seperti kamu nggak bisa dipercaya. lagian Kamu ini mantan narapidana." Perkataannya seperti tamparan keras di wajahku. Diriku terdiam, mencoba mencerna tuduhan yang begitu kejam. Para montir yang sedang bekerja di bengkel mulai memperhatikan situasi ini.
"Bu, dengan segala hormat, saya tidak pernah melakukan hal seperti itu," kataku, mencoba tetap tenang meski hatiku mulai memanas. "Semua transaksi tercatat di buku kas dan laporan. Jika ada kekurangan, mungkin ada kesalahan dalam perhitungan, tapi saya bisa pastikan itu bukan karena saya."
"Tidak usah berkilah!" suaranya meninggi. "Kamu pikir saya bodoh? Track record-mu sudah jelas. Siapa yang akan percaya pada mantan napi sepertimu?"
"Kembalikan uang itu atau saya laporkan ke Polisi." Ancam Bu Hendro.
"Bu saya gak menyalahgunakan apalagi mengambil uang bengkel." Sanggahku "kalaupun benar hilang saya ga punya uang sebanyak itu untuk menggantinya."
"Alah, Ga usah pura-pura tak bersalah, saya laporkan aja ke Polisi untuk ditindak." Dengan suara penuh emosi.
Sambil menuggu kedatangan petugas kepolisian, Diriku ketakutan, cemas, sekaligus bingung harus minta tolong kepada siapa. Tak ada pengacara lain yang ku kenal, akhirnya dengan bimbang diriku mencoba menghubungi Mas Maulana, namum tak ada response, WA juga cuma centang satu. Ku hubungi Ayah, beliau sedang ada pekerjaan agak jauh di luar kota, ga bisa datang dengan cepat ke bengkel Pak Hendro.
Rasanya seperti luka lama yang kembali dibuka. Statusku sebagai mantan narapidana, yang selama ini kuusahakan untuk tak lagi membayangi hidupku, kini dilemparkan ke wajahku tanpa ampun.
Kembali menjadi tersangka
Menjelang siang, dua orang petugas kepolisian datang ke bengkel, mereka mengumpulkan keterangan dari Bu Hendro dan diriku. Cukup lama mereka memeriksa laporan keuangan dan lemari besi tempat penyimpanan uang bengkel. Untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut diriku dibawa menuju kantor Polrestabes.
Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, pikiranku terus dipenuhi kecamuk emosi. Kenangan masa lalu sebagai narapidana kembali menghantui, seolah-olah tak ada jalan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang itu. Hatiku bergejolak, antara marah, sedih, dan ketakutan. Bagaimana bisa aku kembali ke titik ini setelah semua perjuangan yang kujalani untuk memulai hidup baru?
Setibanya di kantor polisi, proses pemeriksaan awal dimulai. Diriku diminta memberikan keterangan mengenai tuduhan penggelapan uang sebesar 150 juta rupiah. Dengan suara bergetar, aku menjelaskan bahwa semua laporan keuangan telah ku catat sesuai prosedur, bahwa tak ada satu pun dana yang kuambil secara pribadi. Tapi aku bisa merasakan tatapan polisi yang seharusnya netral itu dipenuhi prasangka, seolah statusku sebagai mantan narapidana telah lebih dulu membuatku bersalah di mata mereka.
Beberapa saat kemudian, Bu Hendro datang membawa beberapa berkas tambahan. Wajahnya tetap penuh kecurigaan. Ku coba mencari tahu dari gesturnya apakah ada niat jahat di balik semua ini, tapi tak ada petunjuk yang jelas.
Atas dasar pemeriksaan awal dan dua alat bukti yang diklaim cukup, polisi menetapkan status tersangka padaku dengan sangkaan Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dalam jabatan. Ancaman pidananya mencapai lima tahun penjara.
Ayah datang, wajahnya penuh kekhawatiran. Tapi ia tak bisa berbuat banyak selain menenangkan diriku dari luar jeruji. Mas Maulana, yang biasanya cepat merespons ketika sesuatu terjadi, tidak muncul. Bayangan masa lalu menghantuiku, seolah terlempar kembali ke jurang yang sama.
Kembali ke Titik Nol
Saat surat penahanan ditandatangani, tubuhku terasa lemas. Dunia seakan runtuh di depan mataku. Ancaman lima tahun penjara membuat pikiranku berkecamuk. Bagaimana jika aku benar-benar harus menjalani proses persidangan lagi? Bagaimana jika aku kembali hidup di balik jeruji besi? Semua bayangan buruk tentang penjara, persidangan, dan stigmanya menyerang pikiranku tanpa henti.
Sore itu, seorang polwan mendatangiku. "Sarah, silakan berganti pakaian ini," katanya sambil menyerahkan seragam tahanan berwarna oranye. Tanganku gemetar saat meraih pakaian itu. Perasaan ini begitu asing, meskipun pernah kualami. Ketakutan itu kembali menyerang, lebih tajam dari sebelumnya.
Setelah berganti pakaian, polwan lain mencatat data pribadiku. Ketika beliau mengetik di komputer, dan membaca sesuatu di layar. "Mantan narapidana, ya?" ucapnya tanpa menoleh. Kata-kata itu menusukku. Ternyata, meskipun telah terbukti tak bersalah dan bebas, catatan masa laluku tetap ada di sistem mereka.
Diriku hanya bisa mengangguk lemah. Tidak ada gunanya menyangkal. Masa lalu itu adalah bagian dari hidupku, meskipun sudah kucoba tinggalkan sejauh mungkin.
Ketika dibawa menuju ruang tahanan. Pintu berjeruji besi berat itu terbuka Di dalam, ada sembilan perempuan lain, masing-masing dengan tatapan berbeda—ada yang penuh rasa ingin tahu, ada yang dingin, ada pula yang tak acuh.
Diriku memilih duduk di sudut ruangan, menjauh dari kerumunan. Mereka saling berbicara, tapi ku hindari percakapan apa pun. Rasanya, tidak ingin menjelaskan apa pun tentang diriku.
Malam itu terasa sangat panjang. Diriku menangis, memeluk lutut di pojok ruangan. Bau pengap dan suara mendengkur beberapa tahanan lain menambah rasa mencekam di tempat itu. Bahkan nasi bungkus yang diberikan sebagai jatah makan pun tak kusentuh. Perutku kosong, tapi rasa takut dan cemas menekan lebih kuat daripada rasa lapar.
Suara kunci yang berputar di pintu besi terdengar setiap beberapa jam, menandai pergantian jadwal patroli petugas. Suara itu semakin membuatku sulit tidur. Bayangan persidangan, stigma, dan kehilangan semua yang telah kuraih terus menghantui benakku.
"Kenapa aku harus melewati ini lagi?" bisikku dalam hati, berharap ada keajaiban yang bisa segera membebaskanku dari mimpi buruk ini.
Pagi harinya, sinar matahari yang menyelinap dari celah kecil di atas jendela sel menyadarkanku. Tapi bukannya rasa lega, diriku malah merasa hampa. Apakah ini akan menjadi awal dari siklus panjang penderitaanku lagi?
Namun, di tengah kekalutan itu, sebuah suara dari luar sel terdengar jelas. "Sarah, mana dia? Saya ingin bertemu!"
Suara itu langsung membuatku mendongak. Diriku sangat mengenal suara itu—Mas Maulana. Dia ada di sini. Entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak semalam, hatiku sedikit merasa tenang. Mungkin ada harapan untuk membuktikan bahwa diriku tidak bersalah.
Namun, rasa lega itu juga bercampur dengan rasa cemas. Apakah kehadirannya benar-benar bisa menyelamatkanku? Atau, ini hanya akan menjadi pengingat betapa rapuhnya posisi diriku di mata dunia yang terus memandangku sebagai seseorang dengan masa lalu kelam.
Di tengah kekalutan itu, suara yang akrab menyapaku dari balik jeruji. "Sarah, apa yang sebenarnya terjadi?"
Diriku menoleh. Mas Maulana berdiri di sana, wajahnya penuh keseriusan. Meski diriku masih marah padanya, ada sedikit rasa lega melihatnya datang.
"Saya dengar kabar ini dari Ayahmu," katanya. "Saya tahu kasus ini ada yang tak beres. Saya gak bisa tinggal diam."
Sebagai pengacaraku, Mas Maulana berbicara dengan polisi penyidik, meminta waktu untuk memeriksa dokumen yang menjadi dasar tuduhan. Diriku masih duduk membisu cemas dan ketakutan di hadapan penyidik yang akan menyiapkan BAP untukku. Bu hendro juga hadir dengan segala tuduhan tak berdasar padaku.
Mas Maulana segera menghubungi temannya, seorang auditor profesional, untuk membantu memeriksa laporan keuangan yang dibawa Bu Hendro.
Tak berselang lama Pak Hendro juga tiba dari luar kota. Melihat istrinya sedang marah-marah tak setuju Mas Maulana sebagai pengacaraku meminta bantuan auditor professional, ia langsung mendekat. "Ada apa ini, Bu?" tanyanya dengan nada khawatir.
Istrinya menjelaskan tuduhan itu dengan penuh emosi, sementara diriku hanya bisa berdiri diam, menahan air mata yang nyaris jatuh.
Pak Hendro menatapku. "Sarah, apa ini benar?"
Diriku menggeleng dengan tegas. "Pak, saya tidak pernah menyentuh uang bengkel selain yang sudah tercatat. Kalau memang ada kekurangan, saya siap membantu mencari tahu ke mana uang itu hilang."
Pak Hendro terdiam sejenak, lalu berkata kepada istrinya, "Kita cek laporan dan kas dulu, Bu. Jangan langsung menuduh tanpa bukti."
"Jangan naif, Hendro!" balas istrinya. "Dari awal sudah ku bilang, jangan diterima kerja, dia ini mantan napi. Apa kamu pikir orang seperti ini bisa dipercaya?"
Kalimat itu akhirnya membuatku tidak bisa lagi diam. "Bu, status saya sebagai mantan narapidana bukan alasan untuk menuduh saya tanpa bukti. Saya bekerja dengan jujur, saya beli motor itu kredit Bu dan saya siap bertanggung jawab jika memang saya salah. Tapi jangan menghakimi saya hanya karena masa lalu saya."
Suaraku sedikit bergetar, tapi aku berusaha tetap tegar. Semua mata di bengkel tertuju padaku.
Auditor kawan Mas Maulana akhirnya tiba, bersama Pak Hendro memutuskan untuk memeriksa ulang laporan bersama-sama. Dengan suasana yang begitu tegang, diriku hanya bisa duduk diam di pojok ruangan, menyaksikan semuanya dengan hati yang tak tentu arah. Pak Hendro, Penyidik, auditor, dan Mas Maulana berdiskusi panjang lebar sambil memeriksa laporan demi laporan. Setelah beberapa jam mencocokkan catatan, mereka menemukan bahwa kekurangan uang itu ternyata berasal dari transaksi yang belum tercatat karena pembayaran tertunda dari salah satu pelanggan besar bengkel.
Akhirnya, auditor itu angkat bicara. "Setelah saya periksa, kekurangan 150 juta yang dilaporkan sebenarnya adalah selisih sementara karena ada tagihan dua hari lalu yang belum masuk ke rekening perusahaan. Jadi, tidak ada penggelapan di sini."
Pak Hendro menatapku dengan rasa bersalah. "Maaf, Sarah. Ini murni kesalahan administrasi. Tidak ada hubungannya dengan kamu."
Diriku mengangguk kecil, meski rasa sakit akibat tuduhan itu masih membekas. Istri Pak Hendro hanya terdiam, tanpa sepatah kata permintaan maaf.
Ruang itu sejenak hening. Wajah Bu Hendro berubah drastis, merah padam karena malu. Penyidik kepolisian segera mencatat laporan dan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan SP3, dan diriku akhirnya dibebaskan dari tuduhan.
Sore itu saat keluar dari kantor kepolisian, diriku menatap Bu Hendro, berharap ada permintaan maaf darinya. Tapi dirinya justru membuang muka dan berlalu begitu saja, tanpa sepatah kata, tanpa rasa bersalah telah menuduhku dengan alasan diriku mantan napi. Kelakuan Bu Hendro itu meninggalkan jejak kekecewaan yang semakin dalam di hatiku.
Mas Maulana menghampiriku dengan langkah tenang. Suaranya lembut, seperti selalu tahu cara menenangkan badai di hatiku. "Sarah, saya tahu ini nggak mudah buatmu," katanya sambil menatapku. "Tapi saya ingin kamu tahu, saya akan selalu ada di sini untukmu."
Diriku memandangnya dengan mata yang masih sembab akibat tangisan panjang semalam. Perasaan terima kasih dan kesedihan bercampur jadi satu. "Mas Maulana, terima kasih banyak. Mas telah dua kali menyelamatkanku, entah bagaimana caranya saya bisa membalas semua ini."
Namun, dengan suara tegas, mencoba menegaskan posisiku. "Tapi, Mas, ini nggak mengubah apa-apa di antara kita. Diriku masih butuh waktu, bukan cuma untuk melupakan kejadian ini, tapi juga untuk membangun lagi rasa percaya diriku dan kepada Mas Maulana."
Mas Maulana mengangguk pelan, seolah memahami. "Saya nggak akan memaksa. Saya hanya ingin memastikan kamu nggak sendirian dalam menghadapi semua ini."
Hari itu, diriku pulang besama Ayah dengan perasaan yang bercampur aduk. Lega karena namaku telah dibersihkan, tapi juga marah dan kecewa karena harus menghadapi semua ini lagi. Diriku tahu, hidupku sebagai mantan narapidana akan terus diuji. Namun, satu hal yang kupastikan— ku tak akan menyerah pada prasangka atau ketidakadilan.
Hari itu juga diriku belajar lagi bahwa kepercayaan adalah hal yang sangat rapuh. Meski sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjalani hidup yang baru, masa laluku tetap menjadi bayangan yang sulit dihilangkan.
Malam itu, ku habiskan waktu merenung di kamar. Hidup sebagai mantan narapidana terasa seperti berjalan di atas tambang rapuh. Sekecil apa pun salah paham, orang-orang akan mudah meragukanmu, seakan-akan masa lalu menjadi satu-satunya identitas yang layak disematkan.
Namun, di tengah kekecewaan itu, diriku membuat janji pada diri sendiri. "I will not give up, I will survive, it's my life, dan akan kubuktikan bahwa diriku layak mendapatkan kebahagiaan, walaupun dunia terus menguji."