Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 46 - Restart kembali

Chapter 46 - Restart kembali

Keesokan paginya, ku beranikan diri kembali ke bengkel Pak Hendro, tidak untuk bekerja tetapi untuk mengambil motor yang masih tertinggal di sana. Jujur, langkahku terasa berat, ku tahu harus berpamitan dengan Pak Hendro dan rekan-rekan yang meskipun tak lama bersama namun selama ini telah mempercayaiku, telah bekerja bersamaku.

Perasaan terluka oleh tuduhan Bu Hendro masih sulit ku sembunyikan, butuh waktu untuk terobati lalu sembuh kembali. Yang kurasa hanyalah kecewa, sakit hati, bikin sakit hati, semua ini terjadi. 

Saat sampai, suasana bengkel terasa berbeda. Rekan-rekan kerjaku yang biasanya ramai menyambut dan menggodaku hanya melirikku dengan canggung, mungkin masih merasa tak enak hati. Pak Hendro sendiri segera keluar dari ruangannya begitu mendengar kedatanganku.

"Sarah, tunggu sebentar," katanya dengan nada penuh penyesalan. "Saya ingin minta maaf atas semua yang terjadi. Istri saya memang terburu-buru menuduh tanpa bukti. Tolong jangan tinggalkan bengkel ini. Kamu karyawan yang baik, dan saya nggak mau kehilanganmu."

Diriku berusaha menenangkan gejolak di hatiku. "Pak Hendro, saya terima permintaan maaf Bapak, tapi saya nggak bisa tetap di sini. Kejadian ini terlalu menyakitkan buat saya. Tuduhan istri Bapak hampir menghancurkan hidupku, saya butuh waktu untuk menata diri dan mencari tempat baru."

Pak Hendro terlihat kecewa, namun dia tidak memaksaku. "Kalau itu keputusanmu, saya nggak bisa melarang. Tapi kalau suatu saat kamu berubah pikiran, bengkel ini selalu terbuka untukmu."

Setelah berpamitan dengan rekan-rekanku Mang Ujang, Mas Wawan dan beberapa montir lainnya, diriku membawa motorku keluar dari bengkel, meninggalkan tempat yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Perasaan campur aduk memenuhi dadaku, lega karena sudah menyelesaikan urusan, namun juga takut karena kini statusku kembali menjadi pengangguran.

Saat hendak pergi, salah satu rekanku, Mas Wawan, yang sangat perhatian menghampiri. "Sarah, Lek butuh bantuan ojok sungkang teko mrene ae," katanya sambil menatapku. 

Ku tersenyum, merasa sedikit lega bahwa masih ada yang peduli. "Matur suwun, Mas Wawan. diriku pasti eling pean."

Namun, di tengah kekhawatiran itu, ada satu hal yang pasti: Diriku akan memulai lagi, meski dari awal, dari nol lagi. Hidupku mungkin penuh dengan rintangan, tapi dengan yakin diriku punya cukup kekuatan untuk bangkit dan menemukan jalan baru. Kuyakini diriku mampu melalui cobaan ini meskipun sendirian.

Matahari siang itu terasa lebih terik dari biasanya, diriku memilih menganggapnya sebagai pertanda. Hari itu, bengkel Pak Hendro menjadi pelengkap cerita hidupku. Hari esok menjadi awal baru lagi.

Hari Baru, Awal Baru

Sepulang dari bengkel, diriku duduk merenung di beranda rumah sambil menemani Ayah menyeruput segelas teh hangat buatanku. "Nak, jangan terlalu lama terpuruk," kata Ayah sambil duduk di sebelahku. "Hidup ini memang nggak pernah adil. Tapi ingat, kita selalu punya pilihan untuk bangkit atau menyerah, Nak dirimu telah membuktikan tak mudah menyerah."

Kata-kata Ayah seperti tamparan lembut yang menyadarkanku. Betapa pun beratnya cobaan ini, hidupku belum selesai. Diriku masih punya kesempatan untuk membuktikan pada dunia—dan terutama pada diri sendiri bahwa ku bisa bangkit.

Kehidupan tak pernah berhenti menamparku dengan kenyataan, tapi diriku memilih untuk tetap berdiri. Setelah resign dari bengkel Pak Hendro, diriku menjadi pengangguran kembali, sempat merasa kehilangan arah.

Sebulan lamanya, diriku berkeliling mencari pekerjaan, melamar ke puluhan tempat, mulai dari kerja kantoran, penjaga toko, membantu di warung, hingga menjadi assisten rumah tangga. Sebagian besar memang tak ada lowongan yang tersedia, ada juga yang membutuhkan tenaga kerja namun, ketika mereka tahu latarbelakang diriku yang mantan napi mereka menolak dengan halus. 

Bayang-bayang masa laluku selalu saja jadi tembok yang menghalangi.

"Kami sudah penuh, Mbak. Maaf ya," ujar seorang pemilik toko sambil tersenyum canggung. Aku tahu itu hanya alasan halus untuk menolak.

Diriku juga masih terus dihubungi Mas Maulana. Dirinya berkali-kali menawarkan bantuan untuk memberiku pekerjaan. Namun selalu ku tolak. "Mas, sudah cukup bantuannya. Diriku harus bisa sendiri," jawabku setiap kali ia menghubungi. Entah karena masih belum bisa menerima, gengsi atau takut terlalu bergantung, diriku merasa tak enak terus-terusan merepotkan dia disaat hubungan kami sedang menjaga jarak.

Sore itu, sambil menikmati angin di teras rumah, Anugrah, adikku, datang dengan ojek online.

"Motormu mana, dek?" tanyaku penasaran.

"Di bengkel. Mogok tadi pagi," jawabnya santai sambil menyeruput air yang kuberikan.

Melihat ojol yang mengantarnya, diriku seperti mendapatkan ide. "Kenapa gak coba jadi ojol aja ya?" pikirku dalam hati. Lagipula, diriku punya motor baru yang masih nganggur.

Keesokan harinya, dengan kondisi keuangan yang mulai menipis, ku beranikan diri mendatangi kantor ojol untuk mendaftar. Tapi, seperti biasa, tak semua rencana berjalan mulus. Saat petugas memeriksa dokumenku, ia berkata, "Maaf, Mbak. Mbak belum punya SIM, ya? Kalau mau daftar, harus ada SIM C dulu."

Diriku hanya bisa tersenyum kecut, mencoba tetap tenang meski hati rasanya ingin meledak. "Iya, Pak. Kalau gitu saya urus dulu," jawabku.

Langkah berikutnya: membuat SIM C. Di Korlantas Polresta, sebenarnya diriku masih ada rasa trauma berhadapan dengan polisi. Tapi apa boleh buat, antrean panjang menyambutku. Suasana riuh, panas, dan sesak oleh para pemohon SIM lain yang juga menunggu giliran. Namun, diriku tetap semangat. Ada oknum yang menawari jalan pintas, "800 ribu langsung jadi Mbak" katanya. Selain kondisi keuangan yang tak mencukupi, diriku masih idealis dan tahu itu praktek suap, tak ku terima tawarannya. 

Setelah melewati berbagai proses, tes psikologi, ujian teori dan praktek yang bikin tanganku berkeringat dingin, akhirnya diriku berhasil lulus.

Dengan SIM C di tangan, diriku kembali ke kantor ojol. Kali ini, pendaftaranku berjalan lancar. Petugas memberikan jaket dan aplikasi untuk digunakan.

"Selamat bergabung, Mbak Sarah. Semoga sukses di jalan ya," ucap petugas sambil tersenyum.

Pulang dari sana, diriku mengenakan jaket ijo baru itu di depan cermin. Rasanya campur aduk. Bukan pekerjaan yang kuimpikan, tapi setidaknya memulai lagi sesuatu. Diriku menatap bayanganku di cermin dan berkata, "Sarah, ini awal baru. Kita bisa!"

Adikku, Anugrah, masuk ke kamar sambil tertawa kecil. "Kak Sarah cocok banget jadi driver ojol. Tapi ingat, hati-hati di jalan ya."

Ku menjawab sambil mengacak rambutnya, "Iya, Bos! Siap laksanakan!"

sebulan sudah, hari-hariku sebagai driver ojol perempuan dimulai dengan semangat tinggi. Tidak bisa dipungkiri, sebagai seorang perempuan, apalagi dengan penampilan yang dianggap menarik, diriku sering menghadapi suka dan duka yang unik di jalan.

Sukanya? Wah, banyak! Salah satunya, sering mendapat pelanggan yang ramah dan bahkan terlalu baik.

Pernah suatu hari, menjemput seorang ibu tua di gang kecil. Beliau ingin ke rumah sakit untuk kontrol. Selama perjalanan, kami mengobrol tentang banyak hal, mulai dari cucunya yang baru lahir hingga resep masakan tradisional. Sesampainya di tujuan, dirinya menyodorkan uang lebih dari tarif yang tertera.

"Ini, Nak, buat tambahan beli bensin," katanya sambil tersenyum hangat.

"Wah, gak usah, Bu. ikut aplikasi aja Tarifnya," diriku menolak sambil mengembalikan uangnya.

Tapi ibu itu bersikeras. "Anggap aja sedekah dari saya, biar rezeki saya ikut lancar."

Ku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Rasanya menyenangkan bisa saling membantu dengan orang lain, bahkan hal sederhana seperti mengantar mereka ke tempat tujuan.

Tapi dukanya? Tentu saja ada. Sebagai perempuan meskipun selalu ku kenakan masker, diriku memang lumayan menarik, beberapa kali kuhadapi pelanggan yang tidak sopan.

Pernah suatu malam, ku dapat order dari seorang pria muda yang meminta diantar ke kawasan cukup jauh. Saat di perjalanan, dirinya mulai bertanya hal-hal yang membuatku tidak nyaman.

"Mbak, kok cantik banget sih? Nggak takut kerja begini malam-malam?" tanyanya dengan nada menggoda.

Diriku berusaha tetap tenang dan menjawab pendek, "Ini udah biasa, Mas. Yang penting hati-hati di jalan."

Tapi dia terus bicara, kali ini mencoba mencari tahu apakah aku sudah menikah atau belum. Aku hanya mengabaikan dan fokus pada jalan. Begitu sampai di tujuan, aku langsung menyudahi perjalanan dan pergi tanpa basa-basi. Dalam hati, aku bersyukur sudah sampai dengan selamat.

Selain itu, cuaca juga sering jadi tantangan. Pernah suatu kali hujan deras turun saat sedang mengantar seorang karyawan ke kantornya. Jas hujanku tidak cukup melindungi dari derasnya air, dan diriku harus terus fokus agar tidak terpeleset. Sesampainya di tempat tujuan, basah kuyup. Tapi melihat pelanggan mengucapkan terima kasih dengan tulus membuat rasa lelah sedikit terobati.

Yang tak kalah menarik, diriku sering jadi "konsultan dadakan" bagi para pelanggan. Ada yang curhat soal masalah cinta, pekerjaan, hingga mimpi-mimpi mereka. Seperti siang itu, seorang remaja perempuan bercerita bahwa ia ingin jadi penyanyi tapi ragu karena orang tuanya tidak mendukung.

"Saya takut gagal, Mbak," katanya lirih.

Diriku tersenyum dan menjawab, "Kegagalan itu biasa. Yang penting kamu coba dulu. Kalau nggak, kamu nggak akan pernah tahu sejauh apa kamu bisa." Ku tau diriku pernah merasa sangat gagal, putus asa, kemudian bertahan dan bangkit.

Kadang diriku heran sendiri, kenapa orang-orang begitu mudah curhat padaku. Tapi mungkin karena mereka tahu, setelah perjalanan selesai, ku bukan lagi bagian dari hidup mereka. Diriku hanya numpang lewat sementara dalam cerita mereka.

Hari-hari sebagai ojol memang penuh warna. Meski tidak mudah, diriku merasa lebih hidup, bertemu lebih banyak manusia. Setiap pelanggan punya cerita, setiap perjalanan punya pelajaran. Dan diriku, Sarah, memilih untuk terus maju, meski kadang jalan yang kulalui licin, berbatu, atau gelap. Sebab aku percaya, setiap perjalanan pasti akan sampai pada tujuannya.

Sambil berkendara, diriku merasa ada harapan baru. Meski masih banyak tantangan yang menanti, setidaknya aku kembali punya alasan untuk tersenyum. Diriku bukan hanya seorang mantan narapidana. Diriku adalah Sarah, seorang yang berani memulai lagi.

Keseriusan Mas Maulana

Hubunganku dengan Mas Maulana tetap berjalan perlahan. Meski masih ragu untuk membuka hati sepenuhnya, diriku tidak bisa mengabaikan ketulusannya. Terlalu banyak utang budi yang kuterima darinya, yang entah gimana diriku akan membalasnya.

Hari demi hari, Mas Maulana terus menunjukkan bahwa dia benar-benar peduli, bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan tindakan.

Sore itu, diriku baru aja sampai di rumah setelah seharian mengojek. Leherku pegal, badanku lelah, dan pikiranku penuh. Kulihat Mas Maulana sedang berbincang dengan Ayah di teras rumah. Diriku sempat ragu untuk mendekat. Ada rasa enggan yang tak bisa kujelaskan, seperti benteng kecil yang kubangun untuk menjaga jarak. Namun, senyum dan keramahan yang terpancar dari wajahnya perlahan meluruhkan pertahananku.

"Assalamualaikum, Sarah. Capek ya, seharian di jalan?" sapa Mas Maulana dengan senyum khasnya.

"Waalaikumsalam. Ngapain datang ke sini, Mas?" tanyaku ketus, mencoba menyembunyikan rasa canggung.

"Cuma mampir aja, just wanna say hello," jawabnya santai.

"I'm fine, my life is going well, Mas," balasku cepat, berharap percakapan ini segera usai.

Tapi Ayah, dengan gayanya yang ceria, tak membiarkan suasana canggung itu berlangsung lama. "Sarah, kamu tuh nggak capek-capek jutek sama Maulana? Lihat dong, dia udah bantuin Ayah tadi baikin motor. Kalau ada piala buat calon menantu terbaik, Ayah yakin Maulana yang menang!" Ayah terkekeh, membuatku langsung salah tingkah.

"Yah, apaan sih..." Diriku mencoba menyembunyikan wajah yang memerah sambil berpura-pura sibuk merapikan jaket.

Mas Maulana hanya tersenyum. "Ayah selalu tahu cara bikin suasana cair, ya," katanya sambil melirikku sekilas.

Sebelum sempat menjawab, Ayah melanjutkan, "Sarah, kadang hidup itu kayak naik sepeda. Berat di awal, tapi kalau sabar, bakal jalan sendiri. Ayah rasa, kamu cuma perlu sabar sama perasaanmu."

Kata-kata Ayah, meski terdengar seperti candaan, entah kenapa terasa menohok. Diriku hanya diam, tapi dalam hati, aku tahu, ada sesuatu yang mulai berubah. Mungkin, perlahan, ku harus belajar menerima ketulusan Mas Maulana.

"Iya Sarah, saya percaya kamu bisa bangkit lagi, tapi saya ingin jadi bagian dari perjuanganmu." Sambung Mas Maulana.

Kata-katanya menghangatkan hatiku, tapi diriku tetap menjaga jarak. "Terima kasih, Mas. Tapi diriku masih butuh waktu. Diriku harus berdiri di atas kakiku sendiri sebelum bisa memikirkan hal lain."

Mas Maulana mengangguk, tampak memahami. "Saya nggak akan memaksa. saya cuma ingin kamu tahu, kamu nggak sendiri, kalau besok pagi kamu ada waktu? saya ingin kamu bertemu seseorang."

Jantungku berdetak lebih cepat. Pertanyaan yang sederhana itu terasa seperti lonceng tanda sesuatu akan berubah. "Siapa?" tanyaku, mencoba terdengar santai meski hati berdebar.

"Anakku," jawabnya pelan tapi tegas. "Saya ingin kamu mengenalnya, kalau kamu siap."

Jawaban itu membuatku tertegun. Ini adalah langkah yang tidak pernah kuduga. Setelah berminggu-minggu bertanya-tanya tentang keseriusannya, akhirnya Mas Maulana mengambil langkah besar.

Malam itu, diriku merenung, berpikir lebih dalam. Pertemuan dengan anaknya apakah bisa jadi jawaban atas keraguanku, tetapi juga menjadi titik penentu untuk hubungan ini. "Kalau diriku tidak siap menerima anaknya, lebih baik aku tidak melangkah lebih jauh," pikirku.

Dengan hati yang masih bimbang, akhirnya ku balas,

"Baik, Mas. Diriku siap bertemu."

Malam itu terasa lebih tenang. Ku tahu, keputusanku untuk bertemu dengan Mas Maulana dan anaknya bukanlah hal kecil. Tapi jika hubungan ini memang ditakdirkan untukku, ku harus berani melangkah lebih jauh. "Semoga ini langkah yang benar," ku berbisik dalam hati, sambil menatap bintang-bintang yang berkelip di luar jendela.

Hidupku memang belum sempurna, tapi ku tahu, sedang berada di jalur yang benar. Babak baru ini mungkin akan penuh rintangan, tapi diriku siap menghadapinya.