Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 47 - Ibu Tiri ?

Chapter 47 - Ibu Tiri ?

Sabtu pagi itu, malam tahun baru 2023 waktu seolah berjalan lambat, menyeret gelombang kecemasan yang tak juga mereda. Berdiri di depan cermin, menatap bayangan diriku sendiri yang tampak lebih tegang dari biasanya. Wajahku pucat, dan mataku sedikit sembab, entah karena kurang tidur atau karena terlalu banyak berpikir. Dalam hati, ku terus bergumam, is am i relly ready for this moment?

Di balik kegelisahanku, ada banyak pertanyaan yang menggantung. Mas maulana ternyata seorang duda, seorang ayah. Namun Usiaku yang semakin bertambah serta adikku yang siap menikah membuatku merasa tertekan, under pressure. Ditambah, bayangan masa lalu yang kelam sebagai mantan narapidana selalu kembali menghantuiku. Bagaimana jika mereka menolak? Bagaimana jika diriku tak cukup baik menjadi istri Mas Maulana, apalagi ibu tiri bagi anaknya?

Ku tahu, ada sebagian diriku yang ingin menjauh dari hubungan ini. Tidak ingin mengambil risiko menyakiti diriku atau orang lain. Tapi setiap kali ku coba menarik diri, diriku teringat semua kebaikan Mas Maulana. Dia yang selalu hadir saat diriku terpuruk, membantuku bangkit tanpa menghakimi. Rasa utang budi itu terlalu besar untuk diabaikan.

"Sarah!" Suara Ayah terdengar dari ruang tamu, memotong alur pikiranku yang semakin kusut. Diriku, mencoba menenangkan diri, lalu keluar dari kamar.

Di ruang tamu, Ayah duduk santai di kursinya dengan secangkir kopi hangat di tangan. Wajahnya terlihat segar, jauh berbeda dari kekacauan yang kurasakan di dalam hati. Saat mendekat, Ayah mengangkat wajah, menyapaku dengan senyum penuh arti.

"Kenapa wajahmu kusut begitu? Seperti orang habis kehilangan kambing," candanya, mencoba meringankan suasana.

Diriku duduk di sofa di depannya. "Ayah, Sarah gugup. Mas Maulana untuk pertama kalinya ajak anaknya ketemuan. gimana kalau anaknya tak suka padaku? apalagi diriku ga siap jadi ibu tiri untuknya?"

"Sarah, kamu ini... ya ampun, terlalu banyak mikir!" Ayah tertawa kecil, mengacak-acak rambutku. Sinar matahari pagi menembus jendela, menerpa wajah mereka berdua. Aroma kopi tubruk menambah suasana hangat di ruang tamu.

"Eh, Sarah, Anak kecil mah gampang diajak akrab, asal jangan ditakutin aja." Ayah menyelipkan senyum jahil. "Kalau anaknya Mas Maulana nggak langsung klik sama kamu, gampang. Ajak main boneka atau masak-masakan. Anak kecil mana, sih, yang nggak luluh diajak main?" 

"Boneka, ya?" Diriku masih setengah percaya dengan strateginya. "Boleh juga idenya. Kalau gagal, diriku tinggal sembunyi di dapur."

"Tapi, Ayah... bagaimana kalau keluarganya yang gak suka karena masa laluku?" Suara kecemasanku yang lain. Kilas balik tentang masa-masa sulit di penjara membuatku takut merasa tidak layak untuk kebahagiaan keluarga Mas Maulana saat ini.

Ayah menatapku dengan lembut, tangannya menggenggam tanganku. "Sarah, dengar. Masa lalu itu kayak noda di baju. Bisa dihapus, tapi bekasnya kadang masih kelihatan. Tapi, yang penting kan kita udah berusaha jadi lebih baik. Mas Maulana aja percaya sama kamu, kenapa dirimu malah over thinking."

Diriku terdiam, mencerna kata-kata Ayah. "Tapi, bagaimana kalau gagal, Yah?"

Ayah tertawa lebih keras kali ini, membuatku sedikit kesal. "Kalau gagal? Ya coba lagi! Hidup itu seperti belajar naik sepeda. Jatuh, berdarah, sakit, itu bagian dari proses. Tapi kalau kamu terus mencoba, lama-lama kamu lancar juga."

Kata-katanya membuatku tertawa kecil. "Ayah selalu tahu cara bikin aku merasa lebih baik," ujarku. 

Ayah mengangguk penuh percaya diri, menyesap tehnya lagi dengan gaya santai. "Tentu saja. Ayah ini siapa? Lagipula, kamu itu anak Ayah. Kalau kamu sendiri nggak percaya bisa jadi ibu tiri yang baik, siapa lagi yang harus percaya? Ingat, nggak semua ibu tiri itu seperti di cerita Cinderella atau Bawang Merah dan Bawang Putih. Kamu bisa jadi versi kamu sendiri, ibu tiri yang baik hati, yang disayang, dan yang nggak drama." 

Diriku tergelak. "Gampang banget ngomongnya, Yah." 

Ayah mengangkat bahu, memasang ekspresi sok bijak. "Ya iyalah. Lagipula, Ayah juga pingin punya cucu, lho. Jangan sampai putri kesayangan Ayah jadi perawan tua."

Diriku sedikit malu sindiran ayah "Perawan tua, ya? Ayah mulai lagi kan."

"Memang banyak laki lain di Dunia yang luas ini Sarah. Tapi mas maulana itu orang baik, lagian kalian udah sampai tahap ini, ya jalani aja, santai." 

Diriku memutar mata, tapi masih tidak bisa menahan cemas. "Terima kasih banyak, Ayah terbaik memang." 

Tawa kami memenuhi ruang tamu, ringan tapi menenangkan. Meski kecemasan itu belum benar-benar hilang, kata-kata Ayah memberiku kekuatan baru. Dunia mungkin terasa berat di depan sana, tapi aku tahu, aku tidak berjalan sendirian.

Diriku berdiri, merapikan rambut di depan cermin ruang tamu, dan menatap Ayah dengan senyum kecil. "Yah, kalau ternyata anaknya sama keluarganya nggak suka sama aku, Ayah siap bantu cari ide lain, kan?" 

Ayah menepuk meja pelan sambil tertawa. "Tentu saja! Tapi Ayah yakin, mereka bakal suka sama kamu. Kamu kan Sarah—orang yang kalau ketawa saja sudah bikin dunia terasa lebih cerah." 

Kata-kata itu menghujam hatiku dengan lembut, membuatku merasa lebih ringan. Diriku melangkah mendekat, memeluk Ayah singkat, lalu bersiap menghadapi hari itu dengan segala misterinya. Apapun yang akan terjadi, aku tahu aku sudah mencoba. Dan itu cukup.

Keceriaan Bocah

Tepat pukul 10 pagi, ku dengar suara mobil berhenti di depan rumah. Jantungku berdetak lebih cepat. Ku intip dari balik tirai dan melihat Mas Maulana turun dari mobil, diikuti oleh seorang anak perempuan kecil. Dia mungkin berusia sekitar lima atau enam tahun, dengan rambut hitam panjang yang diikat dua dan mengenakan gaun biru muda.

Mas Maulana tersenyum menatapku dari kejauhan, lalu menggandeng tangan anaknya mendekat. "Assalamualaikum, Sarah, kenalkan ini Keyra, anakku," katanya dengan lembut. Suaranya selalu penuh wibawa, tapi kali ini diriku mendengar nada penuh kasih sayang.

Ku pandangi Keyra, merasa sedikit canggung. Dia balas menatapku dengan mata polosnya. "Kamu... siapa?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Diriku berjongkok agar sejajar dengannya, mencoba tersenyum. "Aku Kak Sarah. Temannya Ayah," jawabku pelan, berharap itu cukup untuk sekarang.

Keyra mengangguk kecil, lalu menarik tangan Mas Maulana. "Lapar, Ayah."

Mas Maulana tertawa kecil, lalu menatapku. "Gimana kalau kita sarapan bersama di dalam?"

Pagi itu, ruang makan sederhana di rumah Ayah berubah menjadi tempat yang penuh dengan tawa dan kehangatan. Di meja, sudah tersaji sepiring ikan nila goreng yang masih hangat, tahu dan tempe goreng yang renyah, serta sepanci kecil sayur bayam segar. Aroma masakanku bercampur dengan suasana ceria yang Keyra bawa ke rumah ini.

Keyra duduk di sampingku, dengan kedua kaki yang menggantung di kursi. Dia memandang piringnya dengan wajah sedikit cemberut, khususnya ke arah sayur bayam dan ikan nila. "Kak Sarah, Keyra nggak suka ikan," katanya pelan, menyuarakan keberatannya.

Diriku tersenyum, mencoba meredakan ketidaksukaannya dengan cara yang lebih halus. "Keyra, kamu tahu nggak, kalau makan ikan dan sayur itu bikin kamu tambah pintar? Kalau kamu pintar, kamu bisa ngalahin Ayahmu ini pas main teka-teki." Diriku mengedipkan mata ke arah Mas Maulana yang duduk di hadapanku.

Mas Maulana tertawa kecil, menatap putrinya sambil mengangguk. "Iya, kalau Keyra makan ikan, nanti bisa lebih pintar dari Ayah. Masa nggak mau?"

Keyra mengerutkan alisnya, tampak berpikir sejenak. "Beneran bisa pintar, ya?" tanyanya, sedikit ragu.

"Iya dong," jawabku penuh semangat. ku ambil sedikit daging ikan nila, kupisahkan durinya, lalu mencampurkannya dengan nasi, dan menambahkan kuah bayam sedikit di ujung sendok. "Kalau Keyra mau coba, aku suapin. Nanti kasih tahu aku enak atau nggak."

Awalnya, dia masih tampak ragu, tapi akhirnya dia membuka mulut kecilnya. Dengan hati-hati, aku menyuapkan nasi campur ikan itu ke mulutnya. Dia mengunyah pelan, lalu matanya berbinar. "Enak!" serunya, membuatku lega sekaligus senang.

Diriku terkekeh, melirik ke arah Mas Maulana yang tersenyum puas melihat interaksi kami. "Tuh kan, Keyra suka. Coba sekarang sayur bayamnya, ya?" ku ambil sedikit bayam di sendok dan mengulangi hal yang sama. Kali ini dia langsung membuka mulut tanpa ragu.

Ayah yang duduk di ujung meja, mengamati kami sambil tertawa kecil. "Wah, Sarah ini calon ibu yang hebat. Mas Maulana, hati-hati, nanti Keyra lebih dekat sama Sarah daripada sama kamu."

Mas Maulana hanya tersenyum, menatapku dengan sorot mata yang sulit kugambarkan. "Kalau Sarah yang ngajarin makan sehat begini, saya gak keberatan," katanya ringan.

Keyra menyela pembicaraan kami dengan antusias. "Aku mau makan ikan lagi! Yang ini aja ya, biar Kak Sarah yang suapin," katanya sambil menyerahkan sendok kecilnya padaku.

Diriku tertawa kecil sambil mengusap pipinya. "Oke, tapi Keyra harus janji, kalau udah besar tetap suka makan sayur dan ikan, ya?"

Dia mengangguk penuh semangat, membuat semua orang di meja tertawa.

Namun, tawa itu berubah jadi obrolan yang sedikit menggoda saat Ayah menatap Mas Maulana dengan ekspresi penuh arti. "Ngomong-ngomong, Maulana," katanya sambil menyandarkan tubuh ke kursi. "Kapan kamu berniat melamar anakku? Dia sudah capek digantung, lho."

Wajahku langsung memerah mendengar pertanyaan itu. "Yah!" seruku dengan nada protes, tapi Ayah hanya tertawa keras, menikmati rasa maluku.

Mas Maulana, meski tersenyum malu, menjawab dengan tenang. "Pak, saya nggak pernah punya niat menggantung Sarah. Saya hanya ingin memastikan semuanya berjalan di waktu yang tepat."

Jawabannya membuat ruang makan terasa sedikit lebih hangat. Meski malu, aku merasa hatiku tenang mendengar keseriusannya.

Sementara itu, Keyra yang tidak begitu paham obrolan kami, malah sibuk memakan ikan dan sayur yang kusuapkan. Diriku menatapnya, lalu menatap Mas Maulana. Untuk pertama kalinya, aku merasa bisa menerima kenyataan bahwa dia seorang duda dengan seorang anak. Bukan sebagai beban, tapi sebagai kenyataan yang mungkin membawaku ke arah hidup baru yang lebih baik.

Ayah kembali menimpali dengan candaan, kali ini menggoda Keyra. "Keyra, kalau Kak Sarah tinggal di rumah Ayah kamu, Keyra suka nggak?"

Diriku menyela "Ayah apaan sih, coba ga usah godain terus, baikin motor aja diluar."

Keyra mengangkat wajahnya dengan ekspresi polos. "Suka dong! Klo Kak Sarah ke rumah ayah. Kak Sarah bisa main boneka sama aku."

Pagi itu, suasana di meja makan terasa hangat dan penuh canda. Ayah, seperti biasanya, duduk di ujung meja dengan ekspresi santai namun penuh perhatian. Matanya mengikuti gerak-gerikku dan Keyra yang tengah bercanda sambil makan.

"Wah, Sarah ini benar-benar calon ibu yang hebat," ujarnya tiba-tiba, membuatku menoleh dengan heran. "Mas Maulana, hati-hati saja, nanti Keyra malah lebih lengket sama Sarah daripada sama kamu."

Diriku melirik ayah, sementara Mas Maulana hanya tersenyum tipis. Sorot matanya menatapku dengan kehangatan yang sulit kugambarkan. "Kalau Sarah yang ngajarin makan sehat begini, saya sih senang-senang saja, Pak," katanya sambil melirik Keyra yang tengah menyodorkan piring kecilnya padaku.

"Kak Sarah, suapin lagi dong," pinta Keyra, matanya berbinar-binar. "Ikan ini enak banget kalau Kak Sarah yang suapin."

Diriku tertawa, mengusap lembut pipinya. "Oke, tapi Keyra harus janji ya, kalau sudah besar tetap suka makan ikan dan sayur. Setuju?"

"Setuju!" jawabnya dengan suara lantang, membuat kami semua tertawa.

Suasana cair itu tiba-tiba berubah jadi menggoda ketika Ayah memutuskan melontarkan pertanyaan penuh arti. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menatap Mas Maulana dengan senyum liciknya. "Ngomong-ngomong, Maulana," katanya, suaranya sengaja dibuat santai tapi jelas menusuk. "Kapan kamu berniat melamar anakku? Sarah ini sudah capek digantung, lho."

Wajahku langsung memanas. Diriku hampir tersedak mendengar ucapan Ayah. "Yah, apaan sih! Jangan ngomong yang aneh-aneh," protesku sambil menunduk, berusaha menyembunyikan rasa maluku.

Ayah tertawa puas, sementara Mas Maulana menggaruk tengkuknya dengan canggung. Namun, dia tetap tersenyum dan menjawab dengan nada tenang. "Pak, saya nggak punya niat menggantung Sarah. Saya hanya ingin memastikan semuanya berjalan di waktu yang tepat."

Jawaban itu, meski sederhana, membuat suasana hangat menjalar ke hatiku. Aku melirik Mas Maulana, lalu menunduk, menyembunyikan senyum kecil yang muncul tanpa sengaja. Keyra, yang tidak begitu peduli dengan pembicaraan kami, malah sibuk memakan ikan dan sayur yang baru saja kusuapkan.

Ayah, tak puas hanya menggoda Mas Maulana, kini mengalihkan perhatiannya ke Keyra. "Keyra, kalau Kak Sarah tinggal di rumah Ayah kamu, kamu suka nggak?"

Diriku langsung memotong dengan nada gemas. "Yah, serius deh! Nggak usah godain terus. Sana baikin motor di luar, kan tadi bilang mau ganti oli mesin."

Ayah tertawa keras, menikmati kekesalanku. Tapi Keyra, yang polos dan jujur, justru menjawab tanpa ragu. "Suka dong! Kalau Kak Sarah ke rumah, kita bisa main boneka sama-sama setiap hari!" katanya dengan mata berbinar.

Perkataan Keyra membuatku terdiam sesaat dan menatapnya yang kini tengah memegang boneka kecilnya dengan penuh antusias, lalu melirik Mas Maulana yang terlihat tenang namun penuh arti. Untuk pertama kalinya, diriku merasa siap menerima kenyataan bahwa dia adalah seorang duda dengan seorang anak. Keyra bukan beban, tetapi bagian dari sesuatu yang baru—harapan yang selama ini kurasa mustahil.

Pagi itu, di meja makan sederhana kami, Di tengah gelak tawa dan canda, ku sadari bahwa hidup selalu punya cara untuk memberikan kejutan manis, bahkan ketika diriku hampir kehilangan harapan.

Diriku kini merasakan sesuatu yang berbeda, lepas sudah rasa canggung, lepas sudah keraguaan, tumbuh harapan baru, membawa kebahagiaan sederhana yang dulu kupikir tidak mungkin lagi kurasakan.

Sapa Keyra yang ceria memecah lamunku. "Kak, Keyra punya banyak boneka di rumah! Nanti aku tunjukin ya?"

Diriku merasa lega. Mungkin, ini adalah awal yang baik. Setelah sarapan, kami bermain boneka bersama di ruang tamu. Keyra menunjukkan koleksi bonekanya dengan antusias, sementara Mas Maulana duduk di sofa, memperhatikan kami dengan senyuman hangat. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, aku bisa memiliki tempat di hati anak kecil ini.

Namun, di sela kebahagiaan itu, aku tetap dihantui pertanyaan besar: Apakah aku siap untuk menjalani peran sebagai ibu tiri?

Hari itu berubah menjadi lebih kompleks dari yang kubayangkan. Tawa ceria Keyra saat kami bermain membuatku merasa ringan, seolah beban masa lalu menghilang untuk sejenak. Diriku bahkan lupa betapa gugupnya tadi pagi.

Tapi kemudian, Keyra berlari ke mobil sambil berseru, "Aku mau ambil foto Ayah waktu kecil! Lucu banget!"

Diriku dan Mas Maulana tertawa mendengar semangatnya. Ketika Keyra kembali dengan album foto, ia meletakkannya di pangkuanku. "Lihat ini! Ini waktu Ayah sama Ibu," katanya polos. Ku buka halaman pertama, melihat beberapa foto keluarga yang tampak harmonis. Namun, hatiku terhenti ketika pandanganku tertuju pada salah satu foto di tengah.

Di situ, berdiri seorang wanita dengan senyum yang sangat kukenal. Rambutnya masih sama, meski sedikit lebih panjang dibanding terakhir kali aku bertemu dengannya. Dia adalah sahabatku semasa SMA dan kuliah—seseorang yang dulu sangat dekat denganku sebelum hidup kami mengambil jalan berbeda. Wanita itu... adalah mantan istri Mas Maulana.

Diriku berusaha menjaga ekspresi wajahku tetap tenang, meski di dalam hati merasa seolah-olah dunia berputar. "Ini... bundamu, Keyra?" tanyaku sambil menunjuk foto itu.

"Iya! Mama cantik kan?" jawab Keyra sambil tersenyum bangga. Diriku mengangguk pelan, mencoba mencerna kenyataan di depanku.

Mas Maulana, yang menyadari perubahan ekspresiku, akhirnya bicara. 

"Iya, itu mantan istriku," kata Mas Maulana, suaranya pelan, namun mantap. "Namanya Julia."

Ku tenelan ludah, berusaha agar tidak menunjukkan keterkejutan lebih dari yang sudah terlihat. Julia, nama itu membawa segudang kenangan yang mendadak terasa terlalu dekat, terlalu nyata. ku menatap foto itu lagi, seolah mencari jawaban dari senyumnya yang seolah menyapa dengan nostalgia.

"Kamu kenal Julia?" tanya Mas Maulana sambil menatapku, matanya penuh perhatian.

Diriku mengangguk pelan. "Iya, kami teman lama. Sahabat, malah," jawabku, suaraku nyaris berbisik. "Tapi sudahlah lama sekali diriku mencoba melupakannya."

Keyra, yang tak menyadari ketegangan halus di antara kami, melanjutkan dengan antusias. "Mama sekarang ga tinggal lagi sama ayah. Tapi masih sering telepon ayah, kok!" Wajahnya berbinar penuh harapan, polos dan tanpa beban.

Diriku tersenyum kecil, berusaha menenangkan diri. "Itu bagus, Keyra. Kamu beruntung punya orang tua yang sayang sama kamu."

Mas Maulana menarik napas panjang, seolah ingin menambah sesuatu, tapi ragu. Akhirnya, dia berkata dengan hati-hati, "Aku nggak tahu kalau kamu dan Julia pernah dekat. Dunia memang sempit, ya?"

Dia melanjutkan, suaranya lebih serius dari sebelumnya, "Tapi saya harap kamu tidak melihat ini sebagai sesuatu yang rumit. Ini tentang kita... bukan tentang masa lalu."

Kalimat itu seolah menyentuh sesuatu dalam diriku. Namun, ku tahu ini bukan hanya tentang "kita". Masa laluku yang saling bersinggungan dengan masa lalu mereka tidak bisa begitu saja diabaikan.

Keyra, yang tidak menyadari suasana canggung di antara kami, hanya terus membolak-balik halaman album sambil bercerita tentang foto-foto itu. Ku tersenyum padanya, tapi pikiranku melayang. Apakah siap menghadapi kenyataan ini? Apakah mampu menjalani hubungan dengan Mas Maulana, sementara mantan istrinya adalah orang yang pernah begitu dekat denganku?

Pagi itu diriku merasa telah siap menjadi istri Mas Maulana, sekaligus ibu tiri bagi Keyra anaknya. Namun munculnya kembali Julia bekas sahabatku dulu, dalam kehidupanku dan Mas Maulana memberiku lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.