Senin pagi tiba dengan cerah, meski hatiku masih terasa mendung. Setelah rutinitas pagi, ku periksa HP dengan harapan ada pesan dari Mas Maulana, lagi-lagi berakhir dengan kekecewaan kecil. Sejak pertemuan kami di hari Sabtu lalu, ponselku tetap sunyi. Entah pertemuan itu bisa disebut kencan atau hanya obrolan santai. Yang jelas, kami belum memiliki komitmen apa pun, dan sekali lagi ku coba mengingatkan diri bahwa ini bukan sesuatu yang harus terlalu kupikirkan.
Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Hari itu adalah awal perjalanan baru dalam hidupku—hari pertama diriku bekerja di bengkel Pak Hendro, sebuah langkah kecil untuk membangun kembali masa depan yang sempat kusangka hancur.
Kupilih kemeja biru muda yang dibelikan oleh Mas Maulana sabtu lalu. Bahannya nyaman, dan potongannya sederhana tapi rapi. "Setidaknya kini ku terlihat profesional," gumamku sambil bercermin, mencoba mengabaikan rasa rindu yang aneh terhadap seseorang yang bahkan belum menjadi bagian resmi hidupku.
Setelah sarapan dan memastikan semuanya siap—sepatu, tas kecil berisi alat tulis, dan semangat yang sedikit gugup diriku berpamitan pada ayah. Beliau menatapku dengan senyum bangga. "Jangan lupa berdoa. Kamu pasti bisa, Nak," katanya sambil menepuk pundakku.
Perkenalan
Saat tiba di bengkel, aku disambut oleh senyum ramah Mang Ujang, seorang pria paruh baya yang terlihat seperti tulang punggung suasana di sini. Dengan gayanya yang hangat dan khas Sunda, dia menyapaku, "Pagi, teh Sarah. Hari pertama, ya? Semangat, Teh!"
Diriku membalas dengan senyum lebar, "Pagi, Mang Ujang. Terima kasih." Sapaan sederhana itu sedikit menghangatkan hatiku, membuat rasa canggungku sedikit memudar.
Di ruang tamu kantor, matahari pagi menerobos jendela, menyorot tumpukan koran dan majalah yang berantakan di sudut ruangan. Daripada duduk diam, ku putuskan untuk merapikannya. Sebuah langkah kecil untuk merasa lebih berguna.
Tak lama, pintu terbuka, dan Pak Hendro masuk dengan langkah percaya diri. Dia memperkenalkanku kepada karyawan lain, kebanyakan para montir muda. "Ini Sarah, staf baru kita. Mulai hari ini, dia akan bantu-bantu di bagian administrasi dan inventaris," katanya dengan nada yang penuh semangat.
Senyum dan sapaan hangat langsung datang dari semua sudut. Ada yang hanya tersenyum sopan, ada juga yang tampak lebih antusias untuk mengajakku berbicara.
Seperti biasa, obrolan pembuka mereka ringan dan penuh rasa ingin tahu. "Mbak Sarah, iki asli pundi?" tanya seorang montir dengan aksen medhok yang kental.
Diriku menjawab dengan santai, berusaha menyesuaikan diri dengan nada mereka. "Dari sini, kok. Tapi sempat lama di luar kota," jawabku sambil tersenyum.
Namun, di tengah suasana yang semakin cair, sebuah pertanyaan muncul, dan tiba-tiba ruangan terasa sedikit berbeda. "Eh, katanya Mbak Sarah baru keluar dari... eh... ya, tempat itu?" tanya seorang montir yang tampaknya terlalu penasaran untuk menahan diri.
Diriku menoleh ke arahnya. Semua mata seolah tertuju padaku, menunggu reaksiku. Tapi, aku memilih tetap tenang. Dengan senyum kecil, aku menjawab, "Iya, benar. Baru minggu lalu."
Jawaban itu membuat suasana sempat terdiam. Beberapa montir tampak saling melirik, mungkin bingung harus merespons apa. Tapi momen itu tak bertahan lama. Salah satu montir, yang dari tadi terlihat paling santai, langsung melepas candaan, "Wah, jadi kita harus hati-hati, nih. Kalau salah ngomong, bisa kena lempar obeng!"
Segera kujawab. "Tenang saja, saya orangnya damai, kok. Yang penting nggak bikin masalah."
Gelak tawa memenuhi ruangan, diriku ikut tertawa, meski sedikit canggung. Setidaknya candaan itu memecah ketegangan, dan ku tahu mereka tidak bermaksud jahat.
Saat makan siang, beberapa montir mengajakku bergabung. Kami pergi ke warung makan di dekat bengkel. Sambil menyantap nasi campur, mereka mulai menggoda. "Mbak Sarah ini cantik, ya. Hati-hati, nanti banyak yang naksir," ujar salah satu dari mereka.
"Aduh, jangan begitu, saya ini masih sibuk membangun hidup. Belum sempat mikirin itu," jawabku, mencoba bercanda.
"Halah, pasti udah ada yang antre, ya? Ayo, siapa, nih?" goda yang lain lagi.
Diriku hanya tersenyum sambil mengalihkan pembicaraan. Meski mereka suka menggoda, aku tahu itu hanya cara mereka untuk mencairkan suasana.
Seiring waktu, diriku mulai merasa lebih nyaman. Para montir yang awalnya hanya penasaran berubah menjadi lebih suportif. Salah satu dari mereka, bahkan membantuku memahami sistem inventaris yang agak rumit.
"Ini, Mbak Sarah. Kalau mau cek barang, lihat di daftar ini dulu. Kalau stoknya kurang, tinggal catat di sini," jelasnya sambil menunjuk buku besar dengan deretan angka dan nama alat.
"Terima kasih, mas," jawabku tulus.
Hari itu terasa penuh warna. Meski ada momen kikuk dan tawa yang sedikit menggoda, ku tahu diterima di sini. Diriku merasa seperti mendapatkan kesempatan kedua, dan itu memberiku semangat untuk menjalani hari-hari berikutnya dengan lebih percaya diri.
Di tengah kesibukan, ku lirik ponselku. Masih tidak ada pesan dari Mas Maulana. Diriku mencoba menepis rasa galau. "Fokus, Sarah," bisikku pada diri sendiri. "Ini awal yang baru, dan ku tidak akan membiarkan apa pun merusaknya."
Mas Maulana yang misterius
Hari pertama kerja berjalan lancar. Namun, sore itu, tepat menjelang bengkel tutup, tiba-tiba Mas Maulana datang dengan mobilnya. "Ganti oli, Mas," katanya pada salah satu montir sambil tersenyum.
Dia duduk santai di ruang tunggu sambil sesekali melirik ke arahku. Diriku mencoba tetap fokus, pura-pura sibuk membereskan meja di kantor. Namun, rasa penasaranku tak bisa disembunyikan.
"Mas, kok tiba-tiba datang tanpa kabar?" tanyaku mencoba memulai.
"Kan aku bilang tadi, ganti oli," jawabnya ringan. "Lagipula, saya ingin tahu kabar kamu. Hari pertama kerja kan biasanya melelahkan."
Diriku terkejut sekaligus bingung. "Tapi Mas… tahu dari mana diriku kerja di bengkel Pak Hendro?" tanyaku lagi, masih penasaran. Ku ingat hanya menyebutkan bekerja di bengkel, tanpa memberikan detail tempatnya.
Dia tertawa kecil. "Insting, Sarah. Insting pengacara, kamu lupa? Saya ini pengacaramu. jadi harus tahu semuanya tentang kamu.""
Diriku hanya mengerutu. "Pengacara kok sampai segitunya."
Setelah mobilnya selesai servis, Mas Maulana menungguku di depan bengkel. "Ayo, ku antar pulang. Sekalian kita jalan-jalan sebentar," katanya.
Kami akhirnya melaju di jalan raya, angin sore terasa sejuk. Namun, pikiranku terus dipenuhi berbagai pertanyaan.
Jawabannya membuatku semakin curiga. "Klo Mas tahu semuanya? Lalu kenapa Mas Maulana nggak kasih kabar apa-apa kemarin? Hari Minggu itu kan hari santai, nggak sibuk kan?" tanyaku, mencoba memancing.
Mas Maulana hanya tersenyum. "Maaf ya, kemarin aku banyak urusan. Ada keluarga jauh yang datang ke rumah, jadi harus menemani mereka."
Diriku mengernyit. "Keluarga jauh? Kok nggak pernah cerita soal keluarga sebelumnya?"
Dia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Kamu kan nggak nanya. Lagipula, itu nggak penting."
Jawaban itu membuatku semakin curiga. "Mas, jangan-jangan sengaja menghindar ya?" tanyaku sambil menatapnya tajam.
Dia melirikku sekilas, lalu tersenyum kecil. "Sarah, kenapa kamu berpikir begitu? Saya kan selalu ada kalau kamu butuh."
"Kalau selalu ada, kenapa nggak balas pesan atau telepon kemarin?" tanyaku lagi, tak mau menyerah.
Dia tertawa pelan, lalu menjawab, "Sarah, kamu ini lucu ya. Saya memang nggak sempat buka HP. Lagi pula, masa harus kasih laporan setiap hari? Kamu pikir aku ini apa, satpam?"
Jawaban itu membuatku kesal sekaligus bingung. Namun, caranya menjawab selalu berhasil membuatku tak punya alasan untuk terus curiga.
Kami berhenti di sebuah taman kecil, duduk di bangku sambil menikmati suasana sore. Diriku mencoba memancing lagi. "Mas, banyak alasan setiap kali diriku bertanya. Jangan-jangan ada sesuatu yang Mas sembunyikan, ya?"
Dia tersenyum, menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Sarah, kalau saya menyembunyikan sesuatu, saya gak akan di sini sekarang. gak akan antar kamu, gak akan ajak kamu ngobrol santai seperti ini."
Sepulang dari taman, perasaan gundah kembali menyelimuti diriku. Ingatan tentang adikku, Anugrah, yang sudah merencanakan lamaran dengan Zainab terus menghantuiku. Aku tak bisa memungkiri rasa iri yang perlahan merayap. Bukan hanya karena Anugrah akan menikah lebih dulu, tapi juga karena aku merasa usia semakin mendesak, sementara hubungan dengan Mas Maulana terasa menggantung tanpa arah yang jelas.
Setelah beberapa saat berdiam diri di perjalanan, aku akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya. "Mas, aku mau tanya sesuatu."
Mas Maulana melirikku sambil tetap fokus menyetir. "Tanya apa? Serius banget nadanya," katanya sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Diriku menatap ke depan, mencoba menyusun kata-kata. "Mas, sebenarnya… kamu serius nggak sih sama aku?"
Pertanyaan itu membuat suasana mobil mendadak hening. Dia menoleh padaku sesaat, terlihat jelas dia tidak menyangka aku akan menanyakannya secara langsung. "Maksudnya serius gimana, Sarah?" tanyanya, suaranya sedikit lebih pelan dari biasanya.
"Ya… serius ke masa depan," jawabku, berusaha terdengar tegas meskipun hatiku sedikit gemetar. "Mas tahu kan, aku nggak muda lagi. Setelah semua yang sudah terjadi, aku nggak mau lagi pacaran kalau nggak ada kejelasan."
Dia terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Sarah, saya paham maksudmu. Tapi, kita baru saja kenal lebih dekat. Menurutku, kita nggak perlu buru-buru. Nikmati saja dulu prosesnya."
Jawaban itu membuatku semakin ragu. "Buru-buru?" tanyaku, suaraku sedikit meninggi. "Mas, diriku bukan anak remaja lagi yang bisa menunggu tanpa arah. Kalau memang Mas belum siap, kenapa dari awal memberi harapan?"
Dia terdiam sesaat, terlihat mencoba merangkai jawaban. "Sarah, saya gak pernah berniat memberi harapan palsu. Cuma… ingin memastikan semuanya benar-benar siap sebelum melangkah lebih jauh."
Diriku tak bisa menyembunyikan kekecewaanku. "Mas, ku butuh kepastian. Diriku nggak mau lagi terjebak dalam hubungan yang menggantung. Kalau memang nggak ada niat serius, lebih baik kita jujur dari sekarang."
Dia tertawa kecil, meskipun aku tahu itu lebih sebagai usaha meredakan ketegangan. "Sarah, kamu ini blak-blakan sekali ya. Aku suka sih. Tapi, aku janji akan pikirkan ini baik-baik. Aku nggak mau asal memberi jawaban tanpa benar-benar yakin."
Merasa belum puas dengan jawabannya, diriku mencoba menekan lebih jauh. "Kalau memang serius, buktikan. Ajak aku ke rumahmu, kenalkan aku ke keluargamu."
Ekspresi Mas Maulana seketika berubah, seperti tidak menyangka permintaanku. "Ke rumahku? Hmm… rumahku lagi direnovasi, Sarah. Nggak nyaman untuk dikunjungi sekarang," jawabnya sambil tersenyum, tapi aku bisa menangkap nada gugup di balik jawabannya.
"Renovasi?" tanyaku, merasa jawabannya terdengar dibuat-buat. "Renovasi bagian mana? Kapan selesai?"
Dia menggaruk kepala, meskipun tidak gatal. "Ya… pokoknya masih berantakan deh. Nanti kalau sudah selesai, saya pasti ajak kamu ke sana," katanya dengan nada santai.
Diriku masih galau, merasa Mas Maulana sedang menghindar. Tapi, ku juga tahu jika terus menekan, dia akan semakin sulit untuk terbuka.
Malam itu, diriku pulang dengan perasaan campur aduk. Mas Maulana memang selalu berhasil membuatku merasa dihargai dan nyaman, tapi sikapnya yang terlihat menggantung membuatku ragu. Apakah dia benar-benar tulus, atau hanya mencoba mengulur waktu tanpa niat yang jelas?
Di sisi lain, diriku juga menyadari bahwa harus tetap menjaga harga diriku. Jika Mas Maulana tidak mampu memberi kepastian, ku harus siap melepaskannya. Lebih baik sendiri daripada terus terjebak dalam ketidakpastian. Namun, ku masih berharap, mungkin dia hanya butuh waktu untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di hatinya.
Malam itu, setelah menumpahkan semua kegelisahan pada bantal, diriku merasa sedikit lebih ringan. Namun, ketidakpastian yang menyelimuti hubungan dengan Mas Maulana masih seperti awan mendung yang enggan pergi. "Kalau memang dia serius, dia akan menunjukkan keseriusannya," gumamku pada diri sendiri, mencoba menenangkan hati yang gundah.
Hidupku mungkin masih jauh dari sempurna, tapi setidaknya diriku sudah mulai melangkah. Dengan senyum kecil, ku berbisik pada diriku sendiri, "Hari ini adalah awal dari bab baru."