Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 41 - Kencan Pertama ?

Chapter 41 - Kencan Pertama ?

Esok paginya, setelah subuh berjamaah bersama Ayah, ku mulai rutinitas seperti biasa, menyiapkan sarapan, membersihkan rumah dan memastikan semuanya rapi. Tapi hari itu, ada sesuatu yang berbeda. Diriku merasa lebih bersemangat. Ada dorongan untuk tampil lebih baik dari biasanya—dan ku tahu persis alasannya.

Ayah, yang sedang duduk di kursi makan sambil menyeruput kopi panasnya, tiba-tiba berkata dengan santai, "Sarah, nanti santai aja, jangan tegang. Maulana itu anak baik. Bapak punya good feeling. Kalau dia serius, kamu pikirkan baik-baik. Jangan bikin dia mundur."

Diriku hampir tersedak mendengar ucapan Ayah. "Ya ampun, Ayah! Baru juga diajak jalan sekali. Jangan buru-buru kasih kode begitu!" balasku dengan wajah memerah. Ayah malah tertawa terbahak-bahak, menikmati reaksiku.

"Ya sudah, buruan ganti baju. Pilih yang menarik," lanjut Ayah sambil tersenyum penuh arti.

Dengan sedikit bingung dan terbatasnya pilihan di lemari, akhirnya ku pilih mengenakan rok panjang warna krem, dipadukan dengan cardigan dan kaos polos. Kerudung warna senada melengkapi penampilanku yang sederhana namun rapi. Saat diriku keluar dari kamar, Ayah tersenyum lebar dan berkata, "Cantik sekali anak ayah. Udah cocok."

Pergi Berdua

Pukul sembilan tepat, sebuah mobil hatchback berhenti di depan rumah. Mas Maulana, seperti biasa, datang tepat waktu. Ia mengetuk pintu dan menyapa dengan sopan, "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, silakan masuk, Mas Maulana," jawabku sambil membukakan pintu.

Setelah duduk di sofa ruang tamu, ekspresi Mas Maulana berubah sedikit serius. "Sarah, kenapa WhatsApp-ku nggak dibalas dan teleponku nggak diangkat?" tanyanya dengan nada setengah protes.

Diriku terbengong, bingung dengan pertanyaannya. "Apaan sih...?" ucapku refleks, lalu mendadak sadar. "Oh, iya! HP baru itu, Mas. Maaf banget, diriku belum sempat coba pakai."

Diriku hanya bisa nyengir malu mendengar teguran Mas Maulana. "Harap maklum kelamaan tinggal di pulau, punya HP baru jadi belum terlalu ngerti, bahkan belum sempet di-charge juga," jawabku sambil buru-buru mengambil HP dari kamar.

Mas Maulana tersenyum geli. "Ya sudah, coba cas dulu sekarang. Nanti kalau kita pergi, jangan sampai low bat. Nggak enak kalau nggak bisa dihubungi."

Diriku hanya mengangguk, merasa sedikit malu sekaligus lucu. Kupasang HP itu di charger sambil menyimpan harapan dalam hati—semoga perjalanan ini bukan hanya tentang jalan-jalan biasa.

Ayah yang duduk tak jauh dari kami hanya tersenyum penuh arti sambil berkata, "Makanya, Sarah, kalau ada barang baru, jangan cuma dijadiin pajangan."

Sementara diriku sibuk menancapkan kabel charger, Mas Maulana melirik ke arah Ayah dan berkata, "Pak, saya minta ijin ajak Sarah Jalan."

"Mas Maulana ini, serius banget ya, kayak mau ngajak anak saya pergi jauh aja." Jawab ayah santai, lalu melanjutkan, "Ya, namanya orang tua, kan cuma pengen anaknya seneng. Tapi inget, Maulana, anak saya Sarah itu barang antik, harus dijaga baik-baik, jangan sampai di tinggal di jalan nanti ga bisa pulang sendiri dia."

Mendengar itu, diriku nyaris tersedak. "Ayah, udah ! Malu tau !" Mas Maulana hanya tersenyum sambil menggeleng pelan. "Siap, Pak. Tenang saja, saya pastikan Sarah balik utuh tanpa lecet." Kalimat itu entah kenapa membuat pipiku sedikit memanas, tapi ku tutupi dengan memasukkan HP ke dalam tas kecilku.

Setelah berpamitan dengan Ayah, kami pun berangkat. Mas Maulana tampak tenang mengemudi, sementara diriku coba menebak-nebak ke mana dia akan membawaku.

"Jadi, Mas, kita mau ke mana, nih? Kok misterius banget ngajaknya," tanyaku, mencoba memecah keheningan.

"Rahasia," jawabnya singkat dengan senyum tipis. Lalu, ia melirik sekilas ke arahku. "Yang penting kamu rileks aja. Saya yakin kamu bakal suka tempatnya."

Diriku mendesah kecil, setengah pasrah. Tapi dalam hati, ku tak bisa menahan rasa penasaran yang terus membuncah. Sambil memandangi jalanan yang kami lewati, ku coba menenangkan diriku. Apa pun ini, yang jelas hari ini terasa istimewa.

Sesekali, Mas Maulana melontarkan candaan ringan yang membuatku tertawa. Seperti ketika kami melewati sebuah warung kecil dengan papan tulisan yang salah eja, ia berkata, "Nah, kalau kamu gak betah kerja di bengkel, Sarah, kamu bisa daftar jadi editor tulisan di warung itu. Minimal betulin kata 'fred ciken' jadi bener."

Diriku tertawa sampai hampir terbatuk. "Mas, jangan bikin diriku malu di jalan, ya. Itu warung meskipun salah ejaan, lihat tu, tetep rame kan Mas!"

Semakin jauh perjalanan, suasana di antara kami semakin santai. Aku mulai merasa nyaman berbicara dengannya, bahkan sesekali ikut meledek balik. "Mas Maulana ini ternyata nggak seformal yang aku kira. Saya pikir, kamu tuh orangnya serius banget, kayak hakim di pengadilan."

"Ya kalau di pengadilan memang harus serius, Sarah. Tapi sekarang kan di luar, masa saya harus tetap jaim?" jawabnya sambil terkekeh.

Perjalanan yang semula membuatku gugup kini berubah menjadi pengalaman yang penuh canda tawa. Ku masih tak tahu ke mana Mas Maulana membawaku.

Makam Doni

Setelah beberapa saat meninggalkan rumah, Diriku yang masih merasa bingung dengan arah perjalanan kami. bertanya lagi " Mas kita sebenarnya mau kemana sih, kok malah berjalan meninggalkan kota." Mas Maulana, yang biasanya menjelaskan segalanya dengan tenang, kali ini hanya berkata singkat, "Kita ke pemakaman."

Diriku terdiam, merasa ada yang aneh. "Ke pemakaman? Ngapain Mas? makam siapa?" tanyaku, mencoba mencari penjelasan.

Mas Maulana menatapku sekilas, senyum samar terlihat di wajahnya. "Udah ikut aja," katanya dengan nada yang sulit kutebak, entah serius, entah mencoba menyembunyikan sesuatu.

Kami tiba di pemakaman umum di pinggiran kota yang sepi. Hanya ada suara angin yang menerpa dedaunan dengan semerbak wangi bunga kamboja. Matahari pagi mulai meninggi, tapi keheningan tempat itu membuat segalanya terasa syahdu. Diriku mengikuti langkah Mas Maulana dengan ragu, mencoba menebak-nebak tujuan kami.

Langkahnya terhenti di depan sebuah makam dengan nisan kusam yang hampir tak terbaca. Ia diam sejenak, menghela napas panjang, sebelum menoleh ke arahku. "Sarah, ini tempatnya," katanya, suaranya nyaris berbisik.

Diriku mendekat, dan pandanganku jatuh pada nama yang tertera di nisan itu. Doni Hermawan. Wafat 11 Januari 2008.

Tubuhku membeku seketika. Dadaku terasa sesak. Diriku merasakan gelombang emosi yang sulit kujelaskan—kaget, sedih, amarah dan rasa bersalah yang menyesakkan. Ku mundur selangkah, menatap Mas Maulana dengan mata yang mulai berair.

"Mas Maulana, ini... ini makam Doni," ucapku dengan suara bergetar. "Putranya Bu Hera... pacarku dulu..." Diriku hampir tak bisa melanjutkan kata-kataku. "Kematian Doni...kisah kelam itulah yang membuatku menjadi seorang terpidana. Yang membuatku terpenjara 13 tahun lamanya."

Mas Maulana mengangguk perlahan, menatap nisan itu dengan sorot mata penuh arti. "Saya tahu, Sarah. Itulah kenapa kamu ku ajak ke sini."

Pagi itu, di bawah langit yang sedikit mendung, diriku terpaku memandang nisan di depanku dengan tubuh gemetar. Hatiku terasa diremas keras. Nama Doni Hermawan tertera jelas, meski nisannya terlihat kusam dan tak terawat. Rasa amarah, rasa bersalah yang selama ini ku coba pendam, kini menyeruak kembali.

Diriku menatap Mas Maulana dengan bingung dan penuh emosi. "Kenapa kau membawaku ke sini?" tanyaku dengan suara bergetar.

Mas Maulana tak langsung menjawab. Dia hanya terdiam, matanya menatap nisan itu dengan ekspresi penuh makna. "Saya ingin kau tahu sesuatu, Sarah," ujarnya akhirnya, suaranya berat, nyaris berbisik.

Dia berlutut di depan makam itu, menatap tanah dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Ini lebih dari sekadar makam bagi kita berdua. Ini adalah tempat semua cerita kita dimulai cerita tentang dirimu dan juga tentangku... dan mungkin tempat kita bisa menutupnya."

Diriku mundur selangkah. "Apa maksudmu?"

Mas Maulana akhirnya, menatapku lurus-lurus. "Sini duduk lah dulu, Saya tahu segalanya, Sarah. Tentang Doni,"

"Apa yang kau tahu?" tanyaku lirih.

Sambil membersihkan rumput yang tinggi di makam Doni dan mengelap nisan dengan saputangannya Mas maulana berkata, sambil tersenyum kecil, namun matanya mulai berkaca-kaca. "Doni adalah sahabat saya," nadanya penuh emosi. "Kami tumbuh bersama, kuliah bersama, bahkan bermimpi bersama. Kehilangan seorang sahabat adalah luka yang tak pernah benar-benar sembuh."

Diriku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Mas Maulana.

"Jadi, kenapa saya mau jadi pengacaramu… gratis pula?" lanjutnya, mencoba mencairkan suasana dengan sedikit tawa pelan. "Itu karena Doni."

Perkataan itu menusuk hatiku. Diriku merasa seperti tenggelam dalam perasaan bersalah yang begitu mendalam.

Melihat reaksiku, Mas Maulana menggenggam tanganku, menyalurkan energi yang menenangkan. "Sarah, saya tidak membawa kamu ke sini untuk menyalahkanmu. Saya membawa kamu ke sini supaya kamu bisa berdamai dengan dirimu sendiri. Sudah cukup kamu menyiksa dirimu dengan rasa bersalah itu."

Diriku menatap nisan Doni, air mataku mulai menetes perlahan.

"Saya tahu kau tidak berniat mencelakainya," lanjutnya. "Apa yang terjadi waktu itu, bukan kesalahanmu sepenuhnya."

Kata-katanya seolah menjadi pintu yang membuka sedikit ruang di hatiku untuk menerima kenyataan. Kami berdua terdiam sejenak, membiarkan angin membawa perasaan berat yang selama ini mengikatku.

"Sudahlah, kita doakan Doni saja agar dilapangkan dan diberikan tempat terbaik di alam sana," ujar Mas Maulana.

Diriku mengangguk. Kami menundukkan kepala bersama-sama, memanjatkan doa untuk Doni. Air mataku terus mengalir, tapi ku merasa ada beban yang terlepas.

"Ya Allah," bisikku di dalam hati, "ampuni segala dosa Doni, lapangkan jalannya, dan beri ku kekuatan untuk menjalani hidupku tanpa dihantui rasa bersalah ini."

Mas Maulana meraih tanganku, memberi isyarat untuk berdiri.

"Terima kasih sudah mau ke sini, Sarah," katanya dengan senyum tipis yang penuh arti.

Diriku hanya mengangguk lagi, tak mampu berkata-kata. Ketika kami berjalan meninggalkan makam itu, ku menoleh sekali lagi, berjanji pada diriku sendiri bahwa akan kembali suatu hari nanti.

Shopping

Dalam perjalanan kembali menuju kota, suasana mobil terasa lebih santai. Mas Maulana mulai berbicara ringan, mencoba mencairkan suasana.

"Kau tahu," katanya sambil melirikku sekilas, "bajumu itu… sudah berapa lama tak kulihat ada yang pakai model seperti itu?"

Diriku mengernyitkan dahi. "Kenapa memangnya?"

Mas Maulana tertawa kecil. "Coba lihat sekeliling nanti. Di zaman sekarang, cuma mamak-mamak yang pakai baju seperti itu."

Diriku tertawa kecil, meskipun agak malu. Dia benar. Baju yang kupakai adalah salah satu bajuku dulu sebelum di penjara, dan diriku belum sempat membeli pakaian baru.

"Ya sudah, sekarang kita ke mall," katanya tiba-tiba.

Diriku memandangnya, kaget. "Mall? Untuk apa?"

"Belanja," jawabnya singkat. "saya tak bisa membiarkan klienku—eh, maksudku temanku—berjalan-jalan dengan baju yang begitu-begitu saja."

Diriku tak bisa menolak, meskipun merasa canggung. Sesampainya di mall, suasananya sepi hanya ada beberapa penjaga dan sedikit pengunjung, suasana ini justru membuatku seperti terlempar ke dunia yang asing. Begitu banyak warna, lampu terang, dan keramaian. Rasanya aneh setelah bertahun-tahun terkurung di penjara.

Mas Maulana memilihkan beberapa pakaian untukku. Diriku tertawa geli melihat antusiasmenya. "Kau yakin jadi pengacara? Jangan-jangan kau lebih cocok jadi stylist," candaku.

Dia hanya tertawa, lalu menyodorkan sebuah dress sederhana berwarna pastel. "Coba ini," katanya.

Ku coba baju itu, dan saat bercermin, hampir tak mengenali diriku sendiri. Diriku merasa seperti orang baru—seseorang yang mulai meninggalkan bayang-bayang masa lalunya.

Setelah selesai belanja, kami makan siang di sebuah restoran. Mas Maulana memilih meja di sudut yang tenang, lalu mulai berbicara tentang sesuatu yang tampaknya penting.

"Kau tahu, Sarah," katanya sambil menyesap minuman, "waktu saya pertama kali menerima berkas permohonan peninjauan kembali kasusmu, aku langsung tertegun."

"Kenapa?" tanyaku, penasaran.

"Doni adalah sahabatku," katanya dengan nada yang lebih pelan. "Kami tumbuh bersama. Ketika aku membaca namamu di berkas itu dan tahu kau adalah pacarnya, aku merasa seolah takdir mempertemukan kita untuk suatu alasan."

Diriku terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Awalnya, saya ragu. Bukan karena tak ingin membantumu, tapi karena ku tahu kasus ini akan membawaku kembali pada kenangan tentang Doni—dan tentang betapa saya gagal melindunginya," lanjutnya, suaranya terdengar getir.

Diriku coba menahan perasaan haru. "Tapi kau tetap mau membantuku," kataku akhirnya.

Selesai makan siang dan menunaikan salat Dzuhur di mushola mall, Mas Maulana tersenyum sambil menatapku. "Ayo, kita naik ke lantai atas. Nonton film, bagaimana?"

Diriku merasa senang dengan ide itu. Sudah lama sekali tidak ke bioskop. Terakhir kali menikmati layar lebar bersama Doni.

Namun, setibanya di lantai atas, antusiasme kami berdua agak meredup. Semua film yang sedang tayang bertema horor. Aku melirik Mas Maulana, dan dia tertawa kecil, seolah membaca pikiranku.

"Kau suka film horor?" tanyanya.

Diriku menggeleng cepat. "Tidak sama sekali. Kau?"

Mas Maulana menggeleng sambil tertawa. "Saya juga tidak. Kalau begitu, kita skip nonton ya."

Diriku tersenyum kecil. "Jadi, apa rencana berikutnya?"

Mas Maulana terlihat berpikir sejenak, lalu matanya berbinar. "Ayo ke pantai. Cuaca hari ini lumayan bagus. Kita bisa duduk-duduk santai di sana."

Upgrade teknologi

Perjalanan menuju pantai terasa menyenangkan. Angin sepoi-sepoi masuk melalui jendela mobil, membawa aroma laut yang segar. Sudah tiga bulan sejak ku tinggalkan pulau penjara itu. Diriku menatap ke luar, melihat hamparan biru laut yang mulai terlihat di kejauhan.

Setibanya di pantai, Mas Maulana langsung memesan dua kelapa muda. Kami memilih duduk di sebuah tempat yang cukup sepi, jauh dari keramaian pengunjung. Pasir hangat terasa di bawah kakiku, dan suara deburan ombak terdengar seperti musik yang menenangkan. Seketika, suasana ini mengingatkanku pada pantai di pulau penjara.

Mas Maulana menyerahkan kelapa muda yang sudah dibelah. "Minum dulu. Jangan sampai dehidrasi," katanya sambil tersenyum.

Diriku meneguknya perlahan. "Terima kasih, Mas. Kalau di pulau penjara, kelapa muda gratis, asal manjat sendiri."

Mas Maulana tertawa lepas mendengar itu. "Wah, kalau begitu harusnya saya belajar dari kamu. Saya dulu manjat pohon saja jatuh terus!"

Diriku ikut tertawa, merasa suasana menjadi begitu ringan.

Mas Maulana bersandar di kursi pantai yang disewanya. "Sarah, sudah tiga bulan ya, sejak kamu meninggalkan pulau penjara. Gimana rasanya jadi orang bebas?"

Diriku terdiam sejenak, memandang laut yang tenang. "Kadang masih merasa seperti mimpi. Setelah 12 tahun… dunia luar ini terasa seperti planet lain. Tapi…" diriku tersenyum kecil, "ku bersyukur, Mas. masih diberi kesempatan untuk memulai lagi."

Kami berdua tertawa, dan diriku merasa kehangatan dalam candaannya.

Sambil mengisi waktu, Mas Maulana tiba-tiba memintaku mengeluarkan ponsel baru hadiah darinya. "Sarah, sini. Kamu masih perlu banyak belajar tentang teknologi. Saya ajari kamu pakai aplikasi WA."

Diriku mendekat dan melihat layar ponsel dengan penasaran. "Lho, sekarang nggak ada yang pakai BBM lagi, ya?" tanyaku polos.

Dirinya tertawa terbahak-bahak. "BBM? Wah, kamu memang perlu di-upgrade, Sarah! kau tau itu sudah punah."

Diriku memukul lengannya pelan, ikut tertawa. "Iya, iya. Jangan ngejek, dong!"

Mas Maulana mulai menjelaskan langkah-langkahnya dengan sabar. "Ini, kalau mau kirim pesan, tinggal klik nama kontaknya. Kalau mau telepon atau video call, pencet ikon ini."

Ku coba menggunakannya dan langsung terkagum. "Wah, canggih juga ya. Jadi nggak perlu beli pulsa untuk SMS?"

"Betul. Sekarang semua serba pakai kuota internet," jawabnya.

"Kuota? Apaan tuh?" tanyaku lagi, bingung.

Mas Maulana menatapku dengan pandangan geli. "Oke, Sarah, sekarang sesi pengenalan dunia modern. Saya bakal install aplikasi belanja online buat kamu."

Mas Maulana mulai mengunduh dua aplikasi besar: toko oranye, satunya toko hijau. Setelah aplikasi terpasang, Mas Maulana mengajariku cara menggunakannya.

"Lihat nih, kamu bisa belanja apa saja di sini. Baju, makanan, bahkan kelapa muda juga bisa dipesan, lho!"

Diriku terperangah. "Serius? Jadi nggak perlu ke pasar lagi?"

Mas Maulana mengangguk. "Betul! Sekarang semuanya serba praktis. Kamu tinggal pilih barang, bayar, tunggu barangnya diantar ke rumah."

"Tunggu," kataku, menghentikan penjelasannya. "Kalau bayarnya, gimana?"

Dirinya menyeringai, jelas sudah menunggu pertanyaan itu. "Oh, itu gampang. Tapi sebelumnya, kamu harus punya rekening dulu."

"Rekening? Jadi harus ke bank, dong?"

Mas Maulana menggeleng sambil tersenyum bangga. "Zaman sekarang nggak perlu. Semua bisa lewat HP."

Dia mulai membantuku mendaftar rekening digital. Dalam beberapa menit, semuanya selesai.

Diriku menatap layar ponselku dengan takjub. "Jadi, sekarang bisa belanja sendiri?"

Mas Maulana tertawa. "Iya, tapi hati-hati. Jangan kalap ya, nanti dompetmu menangis!"

Tak hanya itu, dia juga mulai mengenalkanku pada media sosial yang sedang populer. "Ini Instagram, ini TikTok, ini X—dulu Twitter. Pasti seru, Sarah, kamu bisa posting apa aja di sini."

Aku tertawa kecil sambil mengingat masa SMA. "Dulu cuma punya Friendster, Mas. Itu pun cuma buat stalking cowok ganteng."

Mas Maulana langsung tertawa keras. "Ya ampun, Friendster! Kamu nostalgia banget."

Diriku ikut tertawa. "Iya, dulu kayaknya itu teknologi paling canggih."

Kami berdua tertawa lagi, dan diriku merasa seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. Hari itu bukan hanya tentang pantai, tetapi juga tentang mengenal dunia modern yang selama ini terasa begitu jauh dariku.

Waktu berlalu begitu cepat. Matahari mulai condong ke barat, langit berubah warna menjadi jingga yang indah. Kami duduk berdua menikmati suasana pantai sampai akhirnya Mas Maulana memutuskan untuk mengantarku pulang.

Di perjalanan pulang, Diriku mulai memikirkan sesuatu yang sempat mengganjal sejak tadi. Mas Maulana memang orang yang baik, perhatian, bahkan sangat sabar. Tapi... ada sesuatu di balik senyumnya, sesuatu yang terasa tidak sepenuhnya terungkap. Terlebih, setelah ku tahu hubungannya dengan Doni.

Hari itu sungguh menyenangkan, tapi sekaligus meninggalkan pertanyaan besar di benakku. Apa sebenarnya maksud dari semua kebaikan ini?