Sesampainya di rumah, Ayah sedang bersiap menuju masjid untuk sholat Maghrib berjamaah. Dengan senyum hangat, beliau menyambutku di depan pintu. "Dari mana, Sarah? Kelihatannya senang sekali."
"jalan-jalan sedikit, Yah," jawabku singkat sambil membantu Ayah membetulkan peci.
Tanpa berlama-lama, Ayah pun pamit menuju masjid. Mas Maulana yang mengantarku tadi juga langsung berpamitan. "Sarah, saya pulang dulu, ya. Jaga diri," katanya sambil melambaikan tangan. Diriku sempat melambaikan tangan, memperhatikan mobilnya menjauh hingga tak terlihat lagi.
Karena gerah setelah seharian beraktivitas, aku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Air dingin yang mengalir membasuh tubuhku terasa begitu menyegarkan. Selepas mandi, aku sholat Maghrib dan melanjutkan dengan memanaskan makanan yang tadi kami bawa pulang dari pantai.
Ayah tiba dari masjid tepat ketika makan malam sudah siap. "Ini, Yah, makan malam spesial. Tadi beli pas jalan-jalan. Semoga cocok di lidah Ayah," kataku sambil menyuguhkan makanan.
Ayah hanya tersenyum lebar. "Alhamdulillah, terima kasih, Nak. Kamu memang selalu perhatian sama Ayah."
Kami makan dengan suasana hangat. Ayah beberapa kali menceritakan kabar dari tetangga dan aktivitas masjid, sementara diriku mendengarkan sambil menikmati hidangan.
Setelah makan malam selesai, aku bereskan meja dan mencuci piring dengan cepat. Malam itu rasanya tubuhku sedikit lelah, jadi aku memutuskan untuk langsung masuk ke kamar. Ketika aku sedang berbaring di kasur, HP-ku tiba-tiba berbunyi. Notifikasi WhatsApp muncul di layar.
"Mas Maulana," gumamku pelan sambil membuka pesannya.
"Sarah, maaf kalau tadi pagi saya sedikit membuatmu bingung. Ada hal yang sebenarnya ingin saya bicarakan, tapi saya rasa belum waktunya. Semoga kamu bisa tidur nyenyak malam ini. Selamat malam."
Diriku membaca pesan itu berulang-ulang. Kata-katanya terdengar ringan, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal di baliknya.
Kubalas dengan singkat, "Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih untuk hari ini. Selamat malam juga."
Kusimpan kembali HP-ku di atas meja kecil di samping tempat tidur. Tapi pikiran-pikiran itu tak mau berhenti. Masih ada pertanyaan besar yang tersisa di benakku, pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab. Tentang niat baik Mas Maulana, tentang perannya dalam hidupku, dan terutama tentang hubungannya dengan Doni.
Malam itu, ku coba memejamkan mata, tapi pikiranku terus berputar. Ada sesuatu yang perlahan mengungkap dirinya, tapi seperti bayangan, selalu kabur ketika mencoba mendekatinya.
Kabar baik yang mengitimidasi
Minggu pagi tiba. Aku terbangun menjelang subuh dengan perasaan segar. Namun, mataku langsung tertuju pada adikku, Anugrah, yang tertidur di sofa ruang tamu. Wajahnya terlihat kelelahan, mungkin karena perjalanan panjang atau aktivitas yang padat semalam. Aku bahkan tak menyadari kapan dia tiba di rumah.
"Dasar anak ini, tidurnya sampai sofa diambil alih," gumamku sambil tersenyum kecil.
Ketika hendak menuju kamar Ayah untuk membangunkannya sholat Subuh, langkahku terhenti di depan kamar Anugrah yang pintunya terbuka lebar. Aku terkejut melihat seorang perempuan muda tidur di atas kasur. Wajahnya teduh dan terlihat damai dalam tidurnya.
"Siapa ini?" pikirku dengan heran.
Diriku segera mengetuk kamar Ayah dan perlahan membangunkannya. "Yah, ayo bangun. Sudah waktu Subuh," panggilku pelan. Ayah terbangun dan membuka matanya perlahan.
"Sudah jam berapa, Nak?" tanyanya dengan suara serak.
"Sudah hampir adzan, Yah. Tapi…" Diriku ragu sejenak sebelum melanjutkan, "Siapa perempuan di kamar Anugrah?"
Mendengar pertanyaanku, Ayah tersenyum tipis, lalu berdiri sambil merapikan sarungnya. "Oh, itu Zainab," katanya sambil berjalan keluar kamar. "Dia calon istri Anugrah."
Diriku tertegun. "Calon istri?" ulangku, mencoba mencerna apa yang baru saja Ayah katakan.
Ayah mengangguk sambil berjalan ke ruang tamu, melewati Anugrah yang masih terlelap di sofa. "Mereka datang tadi malam. Zainab ikut ke sini karena ingin mengenal keluarga kita lebih dekat sebelum acara lamaran mereka nanti."
Diriku mengikuti Ayah menuju dapur untuk menyiapkan teh hangat. "Tapi kenapa Anugrah tidak cerita dulu sebelumnya?" tanyaku, masih sedikit bingung.
"Kamu kan waktu itu masih di lapas, Sarah," jawab Ayah sambil tertawa kecil. "Lagipula, mungkin ingin memberimu kejutan, bukankah ini kabar baik?"
Diriku coba menerima informasi ini dengan tenang. "Baik, tapi mendadak sekali. Pagi-pagi sudah disuguhkan kejutan seperti ini."
Seolah mendengar percakapan kami, suara langkah pelan terdengar dari arah kamar. Diriku menoleh. Seorang gadis muda muncul dari pintu kamar Anugrah dengan wajah yang masih setengah mengantuk. Rambutnya berantakan, tapi senyumnya terlihat hangat dan sopan. "Selamat pagi, Kak," sapanya dengan suara pelan.
Diriku menatapnya beberapa detik, mencoba menenangkan detak jantungku. "Selamat pagi... Dek. Maaf, tadi aku tidak bermaksud mengganggu."
Dia tersenyum kecil, wajahnya sedikit memerah. "Tidak apa-apa, Kak. Saya seharusnya bangun lebih pagi."
Ayah melirik ke arah kami dan tersenyum lebar. "Sarah, kenalkan, ini Zainab. Dia calon istri Anugrah."
Hatiku terasa berdesir mendengar kata-kata itu lagi. ku coba tersenyum. "Oh, jadi ini Zainab?" ucapku, mencoba ramah.
"Saya Zai, Kak. Teman kerja Bang Anug," ujarnya sambil menjulurkan tangan dengan sopan.
Diriku menyambut tangannya, berusaha menyembunyikan kegugupanku. "Sarah. Kakaknya Anugrah."
Saat sarapan, Ayah berbicara lebih formal. "Sarah, Zainab ini rencananya akan dilamar Anugrah bulan depan. Mereka sudah serius, dan Ayah pikir, ini saat yang tepat untuk memperkenalkannya padamu." Mereka datang membawa kabar bahagia—rencana lamaran mereka yang semakin dekat.
Diriku memaksakan senyum. "Selamat ya, Dek," ucapku sambil melirik Anugrah, yang hanya menunduk sambil mengunyah makanannya.
Zainab tersenyum malu-malu. "Terima kasih, Kak Sarah. Bang Anugrah sering cerita tentang Kakak. Saya senang akhirnya bisa bertemu."
Namun, di satu sisi, ada perasaan yang sulit kuabaikan. Sebagai kakak, diriku sedikit terintimidasi. Adikku, yang selama ini kulihat sebagai anak kecil yang ceroboh, kini sudah selangkah lebih maju dengan rencana pernikahannya.
Kupandangi Zainab dan Anugrah yang tampak serasi bersama. Sementara diriku… bahkan Mas Maulana pun belum resmi menjadi pacarku. Ku tepis rasa canggung dalam hatiku. "Sarah, kamu punya kebebasan tapi waktu terus berjalan. Hidupmu baru saja dimulai lagi," bisikku pada diriku sendiri.
Perasaan aneh yang tidak bisa kuabaikan. Antara rasa senang, iri, dan bingung. Apakah diriku terlalu jauh tertinggal dalam hidup ini?
Setelah sarapan, Diriku melangkah ke kamarku dengan pikiran yang berat. Kupandangi ponselku yang tergeletak di meja. Pesan dari Mas Maulana masih ada di sana, ucapan selamat tidur yang singkat tapi hangat.
"Adikku akan menikah, sementara diriku bahkan belum tahu apa yang sebenarnya Mas Maulana rasakan padaku," bisikku pada diriku sendiri.
Pagi itu terasa seperti lembaran baru dalam hidup keluargaku. Diriku masih berusaha menerima bahwa adikku, yang selama ini kulihat sebagai anak kecil yang ceroboh, kini sudah memiliki rencana untuk menikah. Namun diriku merasa seperti berdiri di persimpangan jalan yang besar. Satu sisi diriku ingin bersukacita untuk adikku, tapi di sisi lain, ku tak bisa mengabaikan perasaan kecil di dalam hatiku. Perasaan bahwa diriku belum benar-benar menemukan kebahagiaanku sendiri.
Setelah sarapan, mandi dan berpakaian rapi, adikku dan pacarnya bersiap-siap untuk pergi. Suara tawa Anugrah, adikku, dan pacarnya Zainab memenuhi ruang tamu kecilku. Zainab, dengan senyum manisnya, bercerita tentang detail persiapannya. Gaun yang akan dikenakan, tempat yang dipilih, hingga makanan yang mereka harapkan bisa memuaskan semua tamu.
"Aku pengen nanti di acara lamaran ada es krim stroberi," katanya sambil tertawa kecil. "Soalnya itu favorit Mas Anugrah."
Anugrah menggeleng sambil tersenyum. "Kamu ini, ya. Aku sih ngikut aja, asal jangan es krimnya habis sebelum tamu datang."
Melihat kemesraan mereka, diriku tersenyum, ikut merasakan kehangatan di tengah kebahagiaan mereka. Namun, di sela-sela canda tawa itu, pikiranku melayang ke arah lain, ada sedikit rasa iri, tapi lebih kepada rasa gelisah di dalam diriku sendiri.
Mereka berpamitan dengan Ayah dan diriku. "Kami mau ke kota, Pak, cari beberapa barang untuk persiapan lamaran nanti," ujar Anugrah sambil tersenyum lebar.
Zainab ikut menimpali, "Kak Sarah, doain saja semoga semuanya lancar, ya."
tak lama mereka "Baik, hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau sudah sampai," pesanku sambil mengangkat ponsel.
"Eh, Kak, sebelum pergi, kita foto dulu, dong," ajak Zainab dengan antusias.
Ku pun setuju. Kami bertiga mengambil beberapa selfie di depan rumah, Ayah sempat masuk dalam satu frame dengan pose kocaknya. Gelak tawa pecah sejenak, mencairkan suasana. Setelah mereka pergi, diriku melangkah kembali ke dalam rumah, duduk di sofa sambil memandangi foto-foto tadi.
Menyambung silaturahmi dengan Bu Hera
Tiba-tiba aku teringat, ini hari Minggu, hari di mana para narapidana di Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan dulu bisa dihubungi. Nostalgia membanjiri pikiranku. Sudah tiga bulan sejak diriku meninggalkan tempat itu, tetapi kenangan tentang para penghuni dan rutinitas di sana masih segar di benakku.
Diriku segera mencari nomor telepon Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan di Google. Setelah menemukannya, tanpa ragu ku hubungi. Suara seorang petugas perempuan yang familiar menjawab panggilanku.
"Halo, Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan, dengan Bu Rita," sapanya dengan nada ramah.
"Bu Rita, ini saya, Sarah Rahmawati. Ingat saya, Bu?" tanyaku sambil tertawa kecil.
"Oh, tentu saja, Sarah!" jawabnya dengan antusias. "Bagaimana kabarmu? Saya dengar kamu sudah bebas. Selamat ya, akhirnya!"
"Alhamdulillah, Bu. Saya baik. Terima kasih. Saya ingin menghubungi seseorang di lapas, tapi tahu kan, saya harus ikuti aturan dulu. Bagaimana caranya?"
Setelah menyelesaikan proses registrasi dan penilaian singkat, Bu Rita bertanya, "Kamu ingin berbicara dengan siapa, Sarah?"
"Bu Hera, Bu. Apa beliau masih di sana?" tanyaku penuh harap.
"Oh, tentu saja. Tunggu sebentar, ya. Saya panggilkan beliau ke ruang kunjungan."
Sambil menunggu, diriku berbincang singkat dengan Bu Rita. Kami membahas kehidupan di lapas, para penghuni yang masih bertahan di tengah badai cobaan. Ternyata, lapas baru saja dilanda badai besar yang membuat beberapa fasilitas rusak parah. Namun, menurut Bu Rita, para penghuni tetap saling mendukung dan bertahan dengan semangat yang luar biasa.
Tak lama, suara langkah mendekat. Diriku mendengar suara lembut yang sangat kukenal. "Sarah? Benarkah ini kamu?"
"Bu Hera!" seruku dengan penuh emosi.
Air mataku hampir menetes saat mendengar suaranya lagi. Aku tidak menyangka perasaan ini akan begitu kuat.
"Alhamdulillah, Sarah, kamu sudah bebas. Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Bu Hera dengan nada penuh kehangatan.
"Sarah, semua orang di sini senang mendengar kabarmu. Kamu adalah contoh bagi banyak penghuni di sini. Kamu berhasil bertahan dan keluar dengan baik," ucapnya dengan tulus.
"Terima kasih, Bu. Saya tidak akan pernah melupakan semua pelajaran dan dukungan dari teman-teman di sana. Hidup saya akan selalu terhubung dengan tempat itu," jawabku dengan suara pelan.
Kami berbincang panjang lebar. Bu Hera bercerita tentang kehidupannya di lapas, serta tentang para napi lain yang masih berjuang di sana. Ia juga berbicara tentang kegiatan baru yang diadakan di lapas, seperti pelatihan keterampilan pertanian dan pembangunan gedung baru yang mulai berjalan.
Lalu diriku juga menceritakan kepada Bu Hera dengan hati-hati. Tentang kunjunganku ke makam Doni, betapa diriku terkejut mengetahui bahwa Mas Maulana adalah sahabat masa kecil Doni, dan bagaimana ia dengan tulus membantuku saat berjuang untuk membuktikan diriku tidak bersalah.
Saat menyebut nama Mas Maulana, Bu Hera terdengar menarik nafas dalam. "Maulana… dia sering menginap di rumah kami dulu. Dia dan Doni seperti saudara sendiri. Kalau sudah bermain bersama, lupa waktu. Mereka bahkan punya rencana besar bersama saat dewasa," ucapnya dengan suara bergetar, seperti terdorong oleh bayang-bayang kenangan.
Hatiku terasa semakin berat. Ku coba membayangkan wajah Bu Hera, yang kurasa kini terlihat penuh kerinduan dan kesedihan. "Itulah salah satu alasan dia membantu saya, Bu. Dia bilang Doni adalah sahabatnya, dan dia ingin melakukan sesuatu untuk mengenang sahabatnya itu," kataku perlahan.
Bu Hera menjawab. "Saya tahu Maulana anak yang baik. Tapi Sarah… saya masih sulit menerima semuanya. Doni itu… dia tidak mungkin meninggal karena kecelakaan seperti yang mereka bilang. Terlalu banyak hal yang tidak masuk akal."
Kata-katanya menghantamku seperti angin dingin. Diriku mencoba berkata sesuatu, tapi tidak tahu harus menjawab apa. Kecurigaan Bu Hera membawa kembali perasaan bersalah yang pernah ku rasakan, meskipun hukum sudah membebaskanku dari tuduhan.
"Tapi mungkin, saya hanya seorang ibu yang tak bisa melepaskan kepergian anaknya," tambah Bu Hera, seolah membaca pikiranku.
Diriku ingin merespons, tapi sebelum sempat, petugas lapas datang mengingatkan bahwa waktu komunikasi kami telah habis. "Maaf, Bu Hera, hanya sepuluh menit sesuai aturan," kata petugas itu dengan sopan.
Diriku yang mendengarnya hanya tersenyum kecil, meskipun tampak dipaksakan. "Aturan tetap aturan, Sarah," katanya dengan nada pasrah.
Diriku berujar. "Terima kasih sudah mau berbicara dengan saya, Bu. Saya titip salam untuk teman-teman di sini, terutama Dina. Semoga semua tetap semangat."
Bu Hera mengangguk. "Saya akan sampaikan. Jaga dirimu, Sarah. Dunia luar mungkin lebih keras daripada lapas ini. Tapi ingat, kamu sudah kuat melewati badai. Jangan biarkan apa pun meruntuhkanmu lagi."
Ku akhiri percakapan dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Bu Hera menggema di pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi pada Doni? Mengapa Bu Hera begitu yakin itu bukan kecelakaan? Diriku tahu ini bukan hal yang bisa kutemukan jawabannya dengan mudah, tapi entah kenapa, ku merasa cerita ini belum benar-benar selesai.
Ketika diriku keluar dari rumah untuk berbelanja, ku lihat ke langit pagi menjelang seiang yang mulai cerah. Hidupku kini di dunia luar, tapi hatiku tahu bahwa benang-benang masa lalu masih menunggu untuk terurai.
Hari Minggu itu menjadi hari penuh makna. kabar gembira seiring kedatangan adikku dengan rencana lamarannya, disisi lain sebagai perempuan yang dibesarkan dalam nilai-nilai konservatif, diriku merasa terintimidasi dengan rencana adikku itu, dimana jodoh untuk diriku belum ada kejelasan.
Lalu percakapan singkat dengan Bu Hera dan nostalgia tentang suasana lapas membuatku sadar betapa jauh perjalanan yang sudah kulalui. Sekaligus, ku merasa lebih siap untuk melangkah ke depan, membawa harapan baru dalam hidupku.
Namun ada sedikit yang mengganjal mengapa hari itu, seharian bahkan sejak kemarin malam, Mas Maulana tak memberi kabar.
Diriku merasa canggung untuk menghubunginya lebih dulu. Namun, kegelisahan mulai merayap. Setelah berkali-kali melirik ponsel, akhirnya ku beranikan diri mengirim pesan sederhana.
"Assalamu'alaikum, Mas. Apa kabar? Lagi sibuk ya?"
Pesan itu terkirim, tapi tanda centang biru tak kunjung muncul. Diriku berusaha menenangkan diri. Mungkin Mas Maulana sedang sibuk, pikirku. Atau mungkin ponselnya mati. Tapi semakin malam, semakin gelisah.
Hingga larut malam, ponselku tetap sunyi. Tak ada balasan dari Mas Maulana. Diriku mencoba mengalihkan perhatian dengan scrolling online shop, tapi pikiranku terus melayang.
"Apa diriku salah mengirim pesan lebih dulu?" gumamku pada diri sendiri.
Sebagian hatiku merasa malu. Seharusnya ku sabar menunggu, seperti nasihat orang tua yang selalu mengingatkanku untuk menjaga harga diri. Tapi bagian lain dari diriku berbisik bahwa tidak ada salahnya menunjukkan perhatian lebih dulu.
Ketika akhirnya menyerah pada rasa kantuk, ku letakkan ponsel di meja samping tempat tidur. Namun, sebelum memejamkan mata, Diriku berdoa dalam hati.
"Ya Allah, apa maksud semua ini, jika ini memang ujian kesabaranku, bantu ku untuk tetap tegar. Jika ini pertanda, tolong tunjukkan apa yang harus kulakukan."
Malam itu, tidurku dipenuhi mimpi-mimpi tentang perjalanan panjang yang pernah kulalui—tentang Bu Hera, tentang kehidupan di penjara, dan tentang harapan yang terus kutanam. Namun di ujung mimpi itu, ada bayangan Mas Maulana yang samar, membuatku terbangun dengan perasaan yang tak menentu.