Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 38 - Kenyataan Dunia

Chapter 38 - Kenyataan Dunia

Setelah sarapan pagi itu, diriku mulai menata keberanian untuk menghadapi dunia luar. Perasaan lega karena bebas dari penjara bercampur dengan rasa cemas menghadapi stigma masyarakat. Hari kedua kebebasanku, ku sadari bahwa dapur di rumah kosong dan tidak ada persediaan bahan makanan. Kuputuskan untuk membeli beberapa kebutuhan di warung dekat rumah.

"Ayah, Sarah mau belanja di warung buat persediaan dapur," kataku dengan suara yang cukup mantap, meskipun ada sedikit keraguan di dalam hati.

Tak lama kemudian, Ayah menjawab, "Ngapain belanja kebutuhan dapur sekarang? Kita cuma berdua, beli makanan jadi aja, banyak pilihan dan nggak repot."

Diriku segera membalas, "Ayah kan belum pernah coba masakanku. Lagian kalau masak sendiri bisa lebih hemat."

Ayah terdiam sejenak, lalu dengan senyum kecil yang menghangatkan hati, dia berkata, "Ya udah, belanja secukupnya aja." Sambil memberiku selembar uang seratus ribu rupiah. Diriku menerima uang itu dengan hati-hati, seolah-olah nilai kertas itu jauh lebih dari sekadar nominal. 

Cibiran Tetangga

Ini adalah langkah pertamaku untuk kembali ke masyarakat, untuk menghidupkan kembali rutinitas yang dulu terasa normal. Saat melangkah keluar rumah, pagi itu udara terasa segar, wajahku merasakan sinar matahari yang hangat, sebuah pengingat bahwa dunia luar ini masih ada untukku. Setiap langkah menuju warung terasa seperti perjalanan panjang, mengembalikan keberanianku sedikit demi sedikit. Langkahku bersemangat, ku tahu diriku harus memulai kebebasan ini dari suatu tempat.

Warung Pak Yanto tujuanku, warung sayur di ujung jalan komplek rumahku, yang setiap pagi selalu ramai oleh pembeli. Ketika aku sampai di warung, suasana mendadak terasa kaku. Di warung, diriku disambut oleh senyuman ramah pemiliknya, Pak Yanto, yang sudah kukenal sejak kecil. Meskipun ada sedikit rasa was-was, ku beranikan diri untuk berbicara. 

"Selamat pagi, Pak Yanto. Saya mau beli beberapa bahan makanan," kataku dengan suara yang lebih tegas.

Beberapa ibu yang sedang berbincang langsung berhenti begitu melihatku. Mereka menatapku sejenak, mereka mengenaliku, lalu berpaling dan berbisik satu sama lain.

Pak Yanto tersenyum lebar, "Oh, Neng Sarah anaknya Pak Suryo ya! Senang melihatmu kembali. ambil aja yang kamu butuhkan !"

Diriku pura-pura tidak peduli dengan tatapan sinis ibu-ibu tetanggaku, dengan cepat kuambil barang-barang yang kubutuhkan, beras, sayuran segar, ikan, minyak goreng, gula, kopi dan beberapa bumbu dapur. Saat Pak Yanto menghitung barang-barang itu, Diriku merasa hatiku mulai tenang. Ternyata, menghadapi dunia luar tidak seburuk yang kubayangkan.

"Berapa, Pak?" tanyaku kepada pemilik warung, Pak Yanto, yang tampak canggung.

"Ah… ini, Neng Sarah. seratus dua puluh ribu," jawabnya sambil menatapanku.

"wah, maaf Pak, uangnya kurang, ya udah gula sama kopi ga dulu deh," Diriku tersenyum kecil dan menyerahkan uang. "Terima kasih, Pak Yanto." Sebelum diriku ditahan, nominal segitu bisa cukup untuk kebutuhan dapur satu minggu, gumamku.

Saat keluar warung, diriku mendengar bisik-bisik itu semakin keras. Salah satu ibu berkata, "Itu kan Sarah, anaknya Pak suryo… sudah bebas dari penjara? mantan napi." Yang lain menambahkan, "Iya, dulu katanya kasusnya pembunuhan, vonis seumur hidup. Tapi kenapa sudah bebas ya?"

Rasanya seperti ditampar. sakit mendengar itu, tapi ku tak ingin lari. Diriku harus menghadapi ini ini bagian dari perjuanganku untuk memulai kembali, memulai hidup baru. Dengan sedikut gugup, ku beranikan diriku mendekati mereka.

"Bu, ada yang ingin dibicarakan tentang saya?" tanyaku dengan suara tenang namun tegas. Ibu-ibu itu tampak terkejut, tak menyangka diriku akan mendekati mereka.

Salah satu dari mereka, tampak ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Sarah, kami hanya… penasaran. Bagaimana kamu bisa bebas setelah semua yang terjadi?"

Ku tatap mereka dengan mata yang tajam namun penuh ketulusan. "Alhamdulillah, akhirnya kebenaran terbukti, Bu. Saya nggak bersalah." jawabku. "Diriku juga mendapat bantuan dari orang-orang yang percaya bahwa saya tidak bersalah dan pantas mendapatkan kesempatan kedua."

Seorang terlihat agak terganggu, "Tapi, apa tidak berbahaya kalau kamu kembali ke lingkungan ini? Bagaimana kalau ada teman napi yang datang ke sini dan terjadi sesuatu lagi?"

Diriku mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dalam hati. "Bu, iya benar saya mantan napi, saya pernah dipenjara, tapi sekarang saya sudah bebas, tak terbukti bersalah, sekarang saya ga punya teman, Saya tidak bisa mengubah masa lalu, tapi sekarang saya sudah bebas dan berusaha untuk menjadi orang yang baik. Saya hanya ingin menjalani hidup saya dengan tenang, seperti semua orang."

Pak Yanto yang sedari tadi mendengar percakapan ini akhirnya angkat bicara, "Bu, kita semua punya masa lalu. Tapi yang penting adalah apa yang kita lakukan setelah itu. Sarah berhak mendapatkan kesempatan untuk memulai kembali."

Keheningan sejenak terjadi, sebelum salah satu dari mereka berkata, "Semoga kamu bisa menjalani hidup dengan baik, Sarah. Kami hanya ingin memastikan lingkungan ini tetap aman."

Diriku mengangguk pelan. "Terima kasih, Bu. Saya juga ingin memastikan itu."

Dengan perasaan campur aduk, diriku meninggalkan warung itu. Sementara bisik-bisik masih terdengar, aku berusaha untuk tidak mempedulikannya. Ini adalah bagian dari perjalanan baru yang harus kuhadapi. Aku tahu tidak akan mudah, tapi aku siap untuk membuktikan pada semua orang—dan pada diriku sendiri—bahwa aku bisa berubah.

Masakan untuk Ayah

Setibanya di rumah, diriku langsung menuju dapur, tanpa memberitahu Ayah tentang kejadian tidak menyenangkan yang ku alami di warung Pak Yanto tadi. Rasanya seperti ada beban berat di dadaku, namun kuputuskan untuk memfokuskan diri pada pekerjaan rumah.

Diriku mulai membersihkan dan merapikan rumah terutama dapur, sekaligus kulkas yang sudah lama tidak disentuh. Menyapu dan mengepel lantai yang berdebu, mencuci peralatan masak dan piring yang teronggok di wastafel, sambil merapikan tumpukan barang tak terpakai yang berserakan. Dari dapur, kulihat Ayah sibuk memperbaiki motor tuanya di halaman. Wajahnya yang penuh kerutan tampak serius, namun ada kehangatan yang terpancar dari sikapnya yang telaten. Pekerjaan rumah sama sekali tak terasa berat, beda saat dulu masih sekolah, kali ini ku jalani dengan semangat berbeda.

Menjelang siang, kuputuskan untuk menyiapkan masakan pertama untuk Ayah setelah sekian lama. Di dapur, aroma tumisan bawang putih dan cabai mulai menyebar, perlahan menghidupkan suasana rumah yang dulu selalu hangat dengan masakan Ibu. Ku teringat betapa Ibu selalu memasak dengan cinta, dan aroma ini seolah membawaku kembali ke masa-masa indah bersama keluarga. Ayah yang sedang duduk di ruang tamu, mendongak dan menatap ke arah dapur dengan penuh rasa ingin tahu.

"Masak apa, Sarah?" tanya Ayah sambil bangkit dari sofa, suaranya yang berat terdengar lembut.

"Tumisan sayur kangkung dan ikan goreng kecap, Yah. Masakan sederhana, tapi semoga Ayah suka," jawabku dengan senyum yang kubuat sehangat mungkin, meski hati ini masih sedikit gugup.

Saat hidangan akhirnya siap, ku susun di meja makan yang telah bersih dan rapi. Ayah duduk di depan piringnya, mencoba suap pertama dengan hati-hati. Melihat Ayah menikmati masakanku, ada perasaan bangga yang mulai tumbuh di dalam diriku. Ini bukan hanya sekadar makanan, tapi juga langkah kecilku untuk kembali ke kehidupan normal setelah kebebasanku.

Ayah tersenyum lebar, "Enak, Sarah. Ternyata Ayah kangen juga sama masakan rumahan." Suaranya penuh kehangatan, seolah-olah hatinya yang beku mulai mencair. Namun, saat ia melanjutkan, suaranya sedikit berubah, lebih lirih. "Sejak kematian Ibumu, Ayah hampir tidak pernah lagi memasak di rumah." ucapnya, terlihat ada luka yang masih menganga diwajahnya, tapi hari ini diriku merasakan percikan harapan.

Kuteruskan pembicaraan dengan hati-hati, "Ayah, kenapa ga nikah lagi, biar ada yang perhatikan Ayah dan urus rumah?" tanyaku perlahan. Ayah sedikit terkejut dengan pertanyaanku, namun wajahnya berubah lembut.

"Ayah terlalu sayang sama ibumu, Nak. Adikmu juga ga mau punya ibu tiri, lagian Ayah juga sudah tua, jadi ga ada niatan cari penggantinya," jawab Ayah dengan mata yang berkaca-kaca, kenangan akan Ibu tampak begitu nyata dalam sorot matanya.

Di dalam hati, ku tahu bahwa perjalanan menuju kebahagiaan dan kedamaian masih panjang. Diriku duduk di hadapannya, merasa bahwa di tengah tantangan yang kuhadapi, ada harapan yang bisa kujemput kembali. Rumah ini, dengan segala kenangannya, tetap bisa menjadi tempat aku memulai ulang hidupku. Dan hari itu, di meja makan yang sederhana, diriku merasakan hangatnya kebersamaan yang selama ini kurindukan.

Makam Ibu

"Oh iya, nanti sore kita ke makam ibumu," tambahnya dengan suara lirih. Diriku agak kaget mendengar rencana Ayah. Keinginan itu sudah lama terpendam di dalam hatiku—sejak pertama kali kabar kematian Ibu sampai ke telingaku, saat aku masih terkurung di balik dinding penjara.

Diriku teringat hari itu dengan sangat jelas. Berita tentang kepergian Ibu datang melalui telepon yang disampaikan petugas. Tanganku gemetar saat menerima kabar dari adikku tetang kematian Ibu yang tiba-tiba. Namun, rasa sakit yang menusuk tidak datang hanya dari kehilangan itu, tetapi dari kenyataan bahwa diriku tidak bisa berada di sisinya pada saat terakhirnya. Tidak ada pelukan perpisahan, tidak ada doa yang bisa kuucapkan langsung di sisinya. Ku hanya bisa menangis di dalam selku, dikelilingi tembok dingin yang semakin memperkuat rasa bersalahku.

Rasa itu menghantamku lebih keras setiap kali diriku membayangkan Ibu yang sedih, sendirian meratapi nasibku dan di hari terakhirnya, tanpa diriku di sisinya. "Seandainya diriku tidak di penjara ini," pikirku saat itu, "mungkin semuanya akan berbeda."

Namun, hari ini, ku merasa ada kesempatan untuk memperbaiki sebagian dari luka itu. Diriku yang kini telah bebas akhirnya punya kesempatan untuk bertemu dengan Ibu—meskipun hanya melalui makamnya. Rasanya seperti beban berat yang perlahan terangkat, digantikan dengan rasa rindu dan harapan.

"Ibu, tunggu aku. Anakmu datang," bisikku pelan di dalam hati. Diriku ingin bertemu dengannya, walaupun hanya di peristirahatan terakhirnya, untuk meminta maaf dan mengucapkan rindu yang selama ini terpendam. Hari ini, ku merasa siap untuk menghadapi semua itu, dengan hati yang lebih tenang meskipun masih penuh emosi.

Sore harinya setelah Ashar, Ayah mengeluarkan motor tuanya dari garasi. Bunyi mesin yang serak terdengar akrab di telingaku, mengingatkanku pada masa kecil ketika Ayah sering mengajakku jalan-jalan dengan motor ini. Diriku memetik beberapa bunga melati yang tumbuh tak terawat di halaman, kemudian naik ke belakang motor, memegang erat jaket Ayah yang sudah lusuh. Motor bergerak pelan, membawa kami melalui jalan-jalan kampung sempit yang penuh kenangan.

Perjalanan menuju makam Ibu terasa sunyi. Hanya deru angin, aroma tanah yang basah setelah hujan dan suara mesin motor yang menemani kami. Ku tatap punggung Ayah yang kokoh di depanku, merasakan betapa besar cinta dan pengorbanannya. Setibanya di makam, kami turun dari motor. Ayah memimpin jalan, membawa kami ke tempat peristirahatan terakhir Ibu.

Di depan makam Ibu kutaburkan bunga melati, tak terasa ku menangis, air mata menggenang di pelupuk mata. Diriku duduk di sebelah Ayah, menatap nisan yang sederhana namun penuh makna. Ayah meraih tanganku, memberikan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh seorang ayah.

"Ibu pasti bangga melihat kamu sekarang, Sarah," bisik Ayah dengan suara bergetar. "Kami semua merindukan Ibu, tapi hidup harus terus berjalan. Kita harus kuat, untuk Ibu."

Diriku mengangguk, akhirnya air mata yang jatuh bebas di pipiku bisa ku tahan. Di makam itu, kami bacakan surah Yasin, di antara kenangan dan harapan, ku rasakan kehadiran Ibu. Seolah-olah dia ada di sana, memeluk kami dengan cinta yang tak pernah pudar.

Hari itu, di depan makam Ibu, ku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berjuang. Untuk Ayah, untuk adik, dan terutama untuk Ibu yang selalu ada di hati kami. Perjalanan menuju kebahagiaan mungkin masih panjang, tapi dengan cinta dan dukungan keluarga, ku yakin bisa melewatinya.

Menjadi Ayah yang lebih baik

Setelah perjalanan emosional yang kami lewati ke makam Ibu, Saat kami tiba kembali di rumah, hari telah menjelang maghrib. Langit mulai gelap, dan udara sore terasa sejuk. Dengan langkah pelan, Diriku menuju kamar mandi, ingin membersihkan diri sebelum waktu sholat tiba. 

Tak lama setelah diriku selesai, terdengar suara adzan maghrib menggema dari masjid di gang sebelah. Aku melirik ke arah Ayah yang sedang duduk di kursi ruang tamu, termenung sambil menyeruput kopi hangat. Kuputuskan untuk mengajaknya sholat berjamaah. 

"Ayah, kita sholat berjamaah di masjid yuk," ajakku sambil tersenyum. 

Ayah terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Namun, saat kuajak ke masjid di gang sebelah, Ayah menggeleng halus. "Ayah belum siap, Sarah. Kita di rumah aja dulu, ya?" 

Ayah mengangkat wajahnya, sedikit terkejut dengan ajakanku. "Ah, Sarah… Ayah ga pernah jadi imam. Bacaan sholat Ayah nggak terlalu bagus," jawabnya ragu. 

Diriku tersenyum lembut, mencoba menghilangkan keraguannya. "Ayah, yang penting niatnya. Bacaan Ayah pasti cukup kok. Lagi pula, diriku mau sholat bareng Ayah. Udah lama banget kita nggak sholat bareng, kan?" 

Akhirnya, kami menggelar sajadah di ruang tamu yang sederhana. Rumah kami memang tak punya mushola, tapi ruang tamu itu terasa cukup hangat untuk menjadi tempat ibadah sementara. Ayah berdiri di depan, menjadi imam sholat maghrib kami. 

Meski awalnya diriku khawatir, ternyata bacaan sholat Ayah cukup baik. Suaranya pelan namun penuh keyakinan, membuatku tersenyum kecil di belakangnya. Ada rasa haru yang menjalar di hatiku—momen ini, meskipun sederhana, terasa begitu berarti. 

Usai sholat, Ayah duduk di sajadah, terlihat sedikit canggung. "Gimana bacaan Ayah tadi, Sarah? Banyak salahnya nggak?" tanyanya dengan nada bercanda, tapi aku tahu ia sungguh-sungguh ingin tahu. 

"Bagus kok, Yah. Not bad," jawabku sambil tersenyum lebar. "Ayo kita biasakan sholat berjamaah, ya. Kan seru kalau ada temennya." 

setelah sholat maghrib, diriku membaca Al Quran, sekaligus untuk mempertahankan hafalan yang sudah kukuasai saat di penjara. Ayah hanya memperhatikan dan mendengarkan dengan bangga dari sofa. Saat waktu isya tiba, diriku kembali mengajak Ayah sholat berjamaah. Kali ini ia tidak ragu-ragu lagi. Ia berdiri di depan dengan lebih percaya diri, dan suasana ruang tamu kembali dipenuhi dengan lantunan doa yang menghangatkan hati. 

Dalam hati, ku berharap kehadiranku kembali di rumah bisa menjadi awal yang baik untukku dan Ayah. Meskipun ku tahu dirinya bukan orang yang religius, Ayah selalu menjadi pribadi yang baik dan jujur, tak pernah berbuat jahat pada siapa pun. Aku ingin kebiasaan baru yang baik ini ini terus berlanjut, agar Ayah merasa lebih dekat dengan-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. 

Malam itu, setelah sholat berjamaah, kami duduk bersama di ruang tamu, berbincang ringan. Ayah merasa, rumah yang dulu terasa sepi mulai hidup kembali. Diriku merasa bersyukur bisa membawa perubahan kecil ini, dan kuharap, ini menjadi langkah awal bagi kami untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang baru.