Setelah adikku dan Mas Maulana pamit pulang, badanku merasa gerah luar biasa. Sejak meninggalkan lapas pagi tadi, seharian di gedung pengadilan hingga tiba di rumah, rasa lengket itu tak kunjung hilang. Di tengah keramaian hari itu, ku simpan satu keinginan sederhana yang terasa seperti kemewahan: mandi. Tapi bukan sekadar mandi, melainkan mandi dengan *privasi*—sesuatu yang selama bertahun-tahun terasa seperti mimpi di siang bolong.
Kulihat Ayah sibuk dengan HP-nya, jemarinya terlihat seperti mengetik cepat seolah-olah sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Diriku yang masih berdiri canggung di tengah ruang tamu kecil itu akhirnya bertanya, "Yah, handuk sama baju ganti di mana?" diriku tidak memiliki atau membawa barang apapun selepas dari lapas, hanya selembar surat keterangan bebes yang kumiliki saat itu.
Tanpa menoleh, Ayah menjawab sambil mengangkat sebelah tangan, menunjuk arah lemari kecil di sudut ruangan. "Di situ, Nak." Namun, setelah menyadari aku tidak langsung bergerak, ayah menghentikan aktivitasnya, membuka lemari, lalu menyerahkan selembar handuk dan sebuah daster padaku. Diriku meraihnya dan baru menyadari sesuatu—meskipun telah lama tersimpan, aroma yang samar tapi sangat familiar.
"Ini… baju sama handuk Ibu?" tanyaku.
Ayah mengangguk pelan. "Semua barang Ibu masih tersimpan rapi, Nak. Ayah belum punya hati untuk melepasnya."
Dadaku sedikit sesak, tapi ku menahan diri untuk tidak larut dalam emosi. Diriku hanya mengangguk sebagai jawaban, menggenggam baju dan handuk itu erat-erat. Lalu tanpa menunggu lebih lama, ku bergegas menuju kamar mandi sempit di rumah kecil kami.
Kamar mandi itu sederhana, dindingnya sebagian besar sudah pudar catnya, dan cermin kecil di atas wastafel terlihat buram karena usia. Namun, di balik kesederhanaan itu, ku temukan kehangatan tersendiri. Tempat ini bukanlah penjara.
ku putar keran, membiarkan air pancuran mengalir deras. Airnya dingin, tak ada pemanas di rumah ini, tapi dinginnya terasa menyegarkan. Guyuran air itu menampar tubuhku dengan lembut, membangkitkan kembali ingatan tentang masa-masa di pulau penjara. Di sana, air datang langsung dari sumber alami. Kami mandi bersama di sungai, mencuci badan sambil bercanda dan mendengar tawa teman-teman di kejauhan.
Di sini, meski airnya tidak sesegar itu, guyurannya tetap membawa rasa yang tak ternilai. Ia membasuh lebih dari sekadar debu dan keringat. Ia menyapu bersih rasa lelah yang tertimbun sejak pagi dan menghapus sisa-sisa emosi yang masih menggantung setelah hari yang panjang.
Aroma sabun melati yang menggantikan sabun alami di penjara semakin menenangkan. Diriku menutup mata, membiarkan semua ini terasa nyata. Harum sabun melati dan lembutnya sampo menari di udara, menyentuh indraku dengan cara yang sudah lama terlupakan. Di penjara, sabun yang kami pakai hanya sekadar berbahan alami—tanpa aroma, tanpa sensasi.
Tapi di sini? Setiap buih terasa seperti pelukan hangat, mengingatkanku bahwa diriku telah kembali ke dunia yang nyata, dunia dengan sedikit lebih banyak kenyamanan.
Sensasi air, sabun, dan bahkan dinginnya kamar mandi kecil ini menjadi pengingat bahwa diriku telah kembali—ke tempat di mana aku bisa menemukan bagian diriku yang hilang.
Setelah selesai, ku keringkan tubuhku dengan handuk Ibu begitu juga baju yang kupakai baju ibu. Aromanya seolah membungkusku dengan kenangan yang hangat, mengingatkanku bahwa meski hidupku pernah gelap, masih ada cahaya yang menunggu di rumah kecil ini.
Selesai mandi, ku berdiri di depan cermin. Ini pertama kalinya diriku benar-benar melihat diriku sendiri setelah 13 tahun. Ku tatap lekat wajahku yang kini menjadi kanvas perjalanan waktu. Ada garis-garis halus di sekitar mataku yang dulu tak ada, bekas luka di dahi yang tak pernah terucapkan. Pipiku sedikit tirus, namun tetap menyimpan rona yang ku pikir telah hilang.
Diriku mempelajari setiap detail—kulitku yang sedikit lebih gelap karena hari-hari di bawah terik matahari pulau, rambutku yang kini lebih panjang dan tebal, seperti ingin menutupi tahun-tahun yang tak terlihat. Tapi meskipun ada banyak perubahan, ku tak bisa menahan rasa kagum. Ku tersenyum pada bayangan diriku sendiri.
"Seperti kata beberapa lelaki, diriku masih cantik dan menawan," gumamku pelan, hampir seperti rahasia. Tubuhku yang tetap terjaga, meski jauh dari kehidupan glamor, memiliki daya tariknya sendiri. "Seksi juga, ya," bisikku sambil tertawa kecil, menyadari bahwa setidaknya, aku masih bisa menghargai diriku sendiri.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ku merasa siap. Siap untuk melangkah maju. Siap menghadapi dunia yang pernah meninggalkanku, tetapi kini kubawa kembali dengan kepala tegak. Aku tahu ini baru permulaan, dan jalan di depanku mungkin masih penuh dengan tantangan. Tapi, setidaknya untuk malam ini, diriku bisa merasa utuh.
Setelah badanku segar, diriku keluar dari kamar mandi. Kulihat Ayah masih duduk di sofa, matanya terpaku pada layar HP-nya. Adikku sudah pergi sejak tadi. Adiku satu-satunya sudah tidak tinggal di rumah ini lagi; pekerjaannya membawanya jauh ke luar kota. Ku berjalan mendekat dan duduk di samping Ayah, mencoba mencari percakapan.
"Kenapa nggak nonton TV, Yah?" tanyaku, memecah keheningan.
"TV sekarang nggak menarik," jawab Ayah singkat tanpa menoleh. "Nonton lewat YouTube di hp lebih enak." Jemarinya terus bergerak, entah menjelajahi apa. Diriku hanya mengangguk, mencoba memahami perubahan kecil yang ternyata terasa sangat besar bagiku.
Ku hanya duduk terdiam, merasa sedikit terasing di rumah yang dulu selalu kuanggap tempat berlindung. Melihat ayah sibuk sendiri dengan HP nya, Padahal ku ingin nontonTV bersama sambil berbincang ringan. Ternyata ayah masih seperti yang dulu yang kuanggap kurang perhatian. Ini hari pertama kebebasanku, tapi diriku mulai menyadari betapa banyak yang telah berubah. Dunia di luar jeruji ini bukan lagi dunia yang sama saat kutinggalkan 13 tahun lalu.
Tak lama, rasa kantuk mulai menyerangku. "Yah Sarah ngatuk, tidur di mana?" Ku bertanya pada ayah, dan lagi-lagi ayah masih terpaku pada layar HP dan hanya menunjuk ke arah belakang tanpa kata. Kutahu itu letak kamarku, "ya udah, diriku tidur dulu ya, capek badanku," Aku pamit pada Ayah dan berjalan menuju kamarku. Kamar yang telah kutinggalkan bertahun-tahun lamanya.
Di depan pintu kamar itu, diriku terhenti sejenak. Namaku masih tertulis di sana, tulisan yang kugoreskan sendiri dengan spidol hitam waktu diriku masih SD, kini sedikit memudar. Ku dorong pintu dengan pelan, dan aroma khas yang sudah lama kulupakan langsung menyapa. Ku nyalakan lampu, warna kuning menghangatkan suasana kamarku, sama seperti dulu.
Tidak banyak yang berubah di kamar ini. Semuanya hampir sama, hanya sedikit lebih berdebu. Mungkin ayah jarang membuka dan membersihkannya. Meja belajarku masih penuh dengan buku-buku yang tersusun rapi, seolah menantiku untuk kembali membukanya. Lemari pakaian di pojok ruangan pun masih menyimpan baju-baju yang kutinggalkan, meski kini, sebagian pasti sudah tidak muat lagi.
Kusapu lantai kamar dengan gerakan lambat, seolah ingin meresapi setiap sudut kenangan yang tertinggal. Saat kuangkat sprei tempat tidurku dan mengibaskannya, debu-debu berterbangan, memaksa diriku bersin. Pekerjaan seperti ini bukan hal baru bagiku. Di penjara, diriku sudah terbiasa menjadi "anak bawang," napi paling muda yang selalu dipaksa napi senior membersihkan sel setiap hari. Namun kali ini, membersihkan kamar ini terasa berbeda—membuat perasaan haru bercampur aneh menggelayut di dada.
Kubuka jendela kamar, membiarkan udara yang penuh oleh debu bercampur dengan angin dari luar. Pandanganku jatuh pada taman kecil di halaman, tempatku biasa duduk bersantai dan belajar sebelum semuanya berubah. Kini, tanaman itu tumbuh liar, tanpa bentuk, seperti refleksi hidupku selama beberapa tahun terakhir.
Setelah selesai, ku nyalakan AC. Hembusan udara dingin menyentuh wajahku, membuatku menutup mata sejenak. Di kota yang sesak ini, udara segar merupakan kemewahan, hembusan udara dingin AC mengingatkan pada kenyamanan yang belum lama kutinggalkan. Di pulau penjara, tanpa terasa bebas ku nikmati udara segar setiap saat meski tanpa AC dan itu adalah sebuah nikmat alami dari yang maha kuasa.
Diriku duduk di tepi kasur, memandangi spring bed empuk yang pernah menjadi tempatku bermimpi besar—dulu, sebelum dunia seolah terbalik. Kasur ini hadiah dari ayah saat aku diterima di fakultas hukum. Saat itu, semuanya terasa begitu cerah dan menjanjikan. Tapi kini, rebahanku di atasnya justru membawa ingatan yang tak mau kulepaskan—tidur di ranjang keras beralaskan tikar tipis di penjara, dikelilingi oleh jeruji dan tanpa tahu kapan kebebasan itu akan datang.
Seketika, udara dingin dari AC yang awalnya menenangkan berubah menjadi pengingat tajam tentang bagaimana dunia ini mempermainkanku. Apa yang sebenarnya kutinggalkan di sana? Dan apa yang sebenarnya telah kuambil dari masa depanku?
Tapi suara-suara itu kembali, bayangan itu muncul lagi. Ketegangan dari masa lalu masih membayangi. Seperti ada sesuatu yang tak selesai, tak terkatakan. Di balik keheningan kamar ini, aku merasa ada yang mengintai—entah dari dalam diriku atau dari sudut gelap ruangan. ***
Tapi anehnya, rasa nyaman itu tak bertahan lama. Suasana sepi kamar ini membuatku gelisah, seakan ada yang hilang. Diriku menatap langit-langit, mencoba memejamkan mata, tapi pikiranku terus melayang.
Bayangan sel penjara masih tergambar jelas di benakku. Suara jeruji besi yang berderit, aroma keringat para napi, lembapnya dinding beton, dan keramaian kecil para tahanan lain yang selalu mengisi hari-hariku kini terasa seperti gema jauh yang tak mau hilang.
Diriku memikirkan Bu Hera. Wajahnya yang tenang tapi tegar muncul di ingatanku. Dia adalah penyelamatku, orang yang mambantu ku terbebas dari semua cobaan di pulau penjara. Namun kini, dia masih terkurung di sana, menjalani sisa hukumannya.
Rasa bersalah itu datang menyelinap seperti bayangan gelap di tengah cahaya syukurku atas kebebasan ini. Aku bebas, ya, tapi kenapa ada yang terasa hampa, seperti ada bagian diriku yang tertinggal di belakang? Mungkin ini adalah harga dari kebebasan—sebuah proses yang harus kujalani untuk kembali ke dunia yang normal. Tapi aku tahu, pikiranku tak akan benar-benar tenang sebelum aku bisa membalas kebaikan Bu Hera. Sosoknya, yang selalu tersenyum hangat meski hidupnya sendiri tak mudah, adalah cahaya kecil yang membimbingku melewati gelapnya hari-hari di penjara.
"Jangan pernah kehilangan harapan, nak," begitu katanya suatu hari, sambil menyodorkan sebuah pisang yang beliau sembunyikan khusus untukku. Wajahnya yang penuh kerut itu masih terbayang jelas. Esok hari Minggu, ku harus menepati janji untuk menghubunginya, sekadar menyampaikan kabar baik kebebasanku dan menanyakan kabar.
Malam semakin larut, tapi mata ini belum juga mau terpejam meski tubuh sudah menuntut istirahat. Tiba-tiba ku teringat, Sholat Isya belum kutunaikan. Diriku keluar kamar untuk mengambil air wudhu. Ruang tamu kosong; ayah sudah tidak ada di sofa depan televisi. Mungkin beliau sudah masuk ke kamar.
Ku membuka lemari dan mengambil mukena serta sajadah ku dulu. Mukena itu masih muat, meski sedikit sempit di beberapa bagian. Di sajadah yang terasa familiar ini, ku menundukkan kepala, mengucap syukur atas nikmat kebebasan yang telah Allah berikan. Hati ini masih berat, tapi setidaknya ku tahu, langkah pertamaku dimulai dari sujud ini.
Setelah selesai, pandanganku jatuh ke sebuah radio kecil di meja belajar. Radio yang dulu sering kupakai untuk mendengarkan lagu sebelum tertidur. Aku menyalakannya, berharap menemukan sesuatu yang akrab. Tapi alunan musik yang keluar terdengar asing; dunia telah berubah sementara aku tertinggal di belakang.
Suara penyiar bercampur alunan nada membuat mataku akhirnya berat. Perlahan, aku tertidur, menggenggam doa dan harapan, bahwa besok akan sedikit lebih baik dari hari ini.