Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 33 - Kebebasan

Chapter 33 - Kebebasan

Diriku merasakan kehangatan luar biasa dari setiap kata yang mereka ucapkan. Keheningan yang penuh makna menyelimuti kami sesaat, hingga akhirnya seorang petugas panitera pengadilan menghampiri kami dengan senyuman ramah.

"Selamat, Bu Sarah," ucapnya dengan wajah lega. "Kami akan segera mengurus dokumen putusan pembebasan Anda. Setelah itu, Anda bebas pulang bersama keluarga."

Mendengar kata "bebas," air mataku kembali mengalir deras. Aku mengangguk pelan, menatap petugas itu dengan rasa syukur yang begitu dalam, sambil berusaha menyimpan senyuman yang penuh haru.

"Terima kasih, Pak," jawabku dengan suara bergetar. "Terima kasih untuk segalanya."

Petugas itu tersenyum, lalu memberi ruang bagi kami sekeluarga. Ayah mendekapku erat, diikuti oleh Ibu yang baru saja bergabung dari belakang. Kami menangis bersama, pelukan mereka terasa seperti obat bagi semua rasa sakit dan kesepian yang kupendam bertahun-tahun. Dalam momen itu, rasa syukur, kebahagiaan, dan kelegaan berpadu menjadi satu. Aku tahu, akhirnya semua ini benar-benar berakhir.

Tak lama kemudian, petugas menyerahkan salinan berkas putusan yang telah ditandatangani.

Ketika kami akhirnya berjalan keluar dari ruang sidang bersama, aku menghirup udara luar untuk pertama kalinya dalam 13 tahun. Di tengah hiruk-pikuk suasana, Mas Maulana berada di sisiku. Pandangan kami bertemu sekali lagi, dan ada begitu banyak hal yang ingin kusampaikan kepadanya—rasa terima kasih yang mendalam dan harapan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

"Mas Maulana... ini lebih dari sekadar terima kasih," ucapku pelan, mencoba menahan emosi. "Aku berharap, apa pun yang terjadi nanti, Mas tetap ada di dalam hidupku."

Mas Maulana tersenyum hangat, dan dalam tatapan itu, aku merasakan sebuah janji tak terucapkan. Seolah kami berdua tahu bahwa masa depan memiliki ruang bagi kami untuk saling mengenal lebih dari sekadar pengacara dan klien.

Senyuman hangat Mas Maulana itu masih terbayang dalam benakku saat kami melangkah keluar dari gedung pengadilan. Di tengah riuh tepuk tangan dan ucapan selamat, aku melihat wajah-wajah yang selama ini hanya hadir dalam mimpi: Ayah, adikku, dan teman-teman yang datang menjemput kebebasanku.

"Selamat, Mbak Sarah! Akhirnya semuanya selesai," kata Mas Maulana sambil menjabat tanganku erat. Matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi kebanggaan.

Ayah memelukku erat tanpa sepatah kata pun. Kehangatan pelukannya menghapus semua rasa sakit dan kesepian yang menemaniku selama bertahun-tahun. Air mataku tak dapat tertahan. "Aku sudah menunggumu, Nak," bisiknya lembut. Senyuman bahagia terukir di wajahnya. "Sarah, akhirnya kamu pulang. Kamu sudah bebas," ucapnya dengan suara yang gemetar, seolah tak percaya bahwa aku kini berdiri di depannya setelah bertahun-tahun berpisah.

Adikku, yang kini telah tumbuh menjadi pria gagah, tampak canggung tapi bahagia. "Kak, aku bawa tas kesayangan Kakak. Aku simpan selama ini," katanya dengan senyum lebar. Melihat wajahnya, aku sadar waktu terus berjalan meski hidupku terasa berhenti selama 13 tahun.

Adikku yang kini dewasa menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Kak Sarah, kamu... kamu benar-benar pulang. Aku nggak tahu harus ngomong apa, tapi aku senang banget, Kak."

Aku memeluk mereka erat, merasakan betapa rinduku akhirnya terbayar. Setelah bertahun-tahun terpisah dan berjuang di dalam penjara, hari ini aku bisa kembali, bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk diriku sendiri. Kebebasan yang lama kutunggu kini menjadi kenyataan. Walau sedikit rasa cemas masih menyelimuti, aku berusaha menikmati momen ini sepenuhnya.

Mas Maulana tersenyum melihat kebahagiaan kami. "Sekarang perjalananmu dimulai, Mbak. Ini baru babak baru, tapi yang terpenting adalah bagaimana kamu menjalani hidup setelah ini."

Aku mengangguk pelan, merasa kata-kata itu menyentuh hati. Terkadang, kebebasan bukan hanya soal keluar dari penjara, tetapi tentang menemukan cara untuk benar-benar hidup lagi—menemukan kedamaian setelah semua yang telah terjadi.

Seolah dunia berhenti sejenak. Aku berdiri di sana, dikelilingi oleh orang-orang yang selama ini hanya bisa aku mimpikan. Namun, aku tahu bahwa kebebasan ini juga membawa tanggung jawab besar—keberanian untuk menghadapi masa depan tanpa rasa takut dan tanpa bayang-bayang masa lalu yang menghantui.

Setelah bertahun-tahun hidup di penjara, berjuang melawan ketidakadilan, dan mencoba bertahan, aku akhirnya bisa merasakan kebebasan yang sesungguhnya.

"Selamat datang kembali, Sarah," bisikku pada diriku sendiri. "Sekarang, hidup ini adalah milikmu."

Diriku menarik nafas dalam-dalam, menyadari bahwa meskipun aku baru saja keluar dari penjara, perjalanan yang sebenarnya baru saja dimulai. Hidup baru yang menanti di luar sana, meski penuh dengan ketidakpastian, adalah kesempatan yang tak boleh kusia-siakan.

"Ini belum berakhir, kan?" bisikku pada diriku sendiri. "Mungkin ini baru awal dari babak baru yang lebih baik."

"Begitu banyak hal yang perlu aku temui, banyak yang perlu aku buktikan pada diriku sendiri dan dunia," pikirku. Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa siap.

Dengan tangan yang erat menggenggam keluargaku yang kini kembali utuh, aku melangkah maju ke dunia luar—dunia yang penuh harapan dan kemungkinan, meninggalkan semua kepahitan masa lalu di belakang.

----

Setelah sesi wawancara yang panjang diikuti pertanyaan-pertanyaan tentang Bu Hera dari para wartawan, kami akhirnya meninggalkan gedung pengadilan. Kilatan kamera masih terasa menyilaukan, namun aku berusaha tetap tenang. Aku tahu, kebebasanku bukan hanya ceritaku sendiri—ini adalah kisah tentang perjuangan melawan ketidakadilan, dan orang-orang ingin mendengar lebih banyak.

Perutku terasa keroncongan. Sejak sidang siang tadi, belum ada makanan yang masuk ke tubuhku. Mas Maulana, yang sepertinya menyadari kelelahan kami semua, mengusulkan sesuatu yang sederhana namun menghangatkan hati.

"Mari kita makan malam bersama, sekalian merayakan kebebasan Mbak Sarah," katanya sambil menatapku dan keluargaku dengan senyuman. Semua menyetujui usul itu tanpa ragu.

Sebelum menuju restoran, azan Maghrib menggema dari masjid besar yang terletak di seberang pengadilan. Kami memutuskan untuk menunaikan salat terlebih dahulu. Saat memasuki masjid, aku merasakan kedamaian luar biasa, seolah-olah seluruh beban bertahun-tahun hilang seketika. Aku berdiri di saf perempuan, dengan hati yang penuh rasa syukur. Dalam sujudku, aku menumpahkan segala doa kepada Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Sang Penguasa Kehidupan, Sang Pemberi Petunjuk.

"Ya Allah, terima kasih telah membebaskan langkahku. Terima kasih atas keluarga yang tetap ada untukku, dan terima kasih untuk semua yang Engkau kirimkan untuk membantuku melewati badai ini. Aku berserah pada-Mu, memohon kekuatan untuk melanjutkan hidup ini."

Selesai shalat, aku menatap keluarga dan Mas Maulana. Mereka terlihat lega, senyuman mereka membawa kehangatan di hatiku. Kami lalu bergegas menuju salah satu restoran terkenal yang sudah disebutkan oleh Mas Maulana.

Diriku duduk di kursi depan, tepat di samping Mas Maulana yang mengemudikan mobilnya. Ini adalah pengalaman pertamaku merasakan nyamannya kursi mobil setelah bertahun-tahun. Bantalan kursinya begitu empuk, terasa seperti pelukan lembut setelah sekian lama hanya duduk di bangku kayu keras di penjara. Aku mengamati setiap sudut bagian dalam mobil dengan rasa ingin tahu. Segalanya tampak modern dan canggih, tapi juga... membingungkan.

"Mobil sekarang nggak banyak tombol, ya?" gumamku sambil menyentuh layar di tengah dashboard. Awalnya kupikir itu cuma hiasan, tapi ternyata bisa disentuh! Ketika kuusap-usap layar itu, tiba-tiba AC menyala dan hembusan udara dingin menyentuh kulitku. Aku langsung terlonjak kaget. 

"Eh! Kok bisa begini? Mas, ini tombol AC, ya? Dulu AC ada knopnya!" seruku, bingung sekaligus takjub.

Mas Maulana tertawa kecil. "Iya, Mbak Sarah. Sekarang cukup sentuh layar, semua fungsi ada di situ. Bahkan GPS juga ada."

Diriku mengangguk-angguk mencoba memahami, meskipun tidak paham apa maksudnya, . Rasanya seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat mainan robot canggih. "Berarti kalau aku salah sentuh, bisa-bisa aku malah buka bagasi, ya?" candaku, membuat keluargaku di kursi belakang tertawa.

Udara sejuk dari AC terus mengalir, membuatku ingin tersenyum. "Mas, ini pertama kalinya aku naik mobil setelah sekian lama," kataku polos. Rasanya aneh dan baru bagiku, seperti masuk ke dunia yang sepenuhnya berbeda. 

"Selamat menikmati kenyamanan dunia luar, Mbak," balas Mas Maulana sambil melirikku dengan senyum hangat. "Masih banyak hal baru yang akan kamu rasakan. Jadi, siapkan dirimu."

Diriku mencoba merasakan momen itu sepenuhnya, tapi tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalaku. "Mas, aku boleh minta CD buat muter musik Mp3?" tanyaku, penuh semangat. Aku ingin menghidupkan suasana dengan lagu-lagu lawas favoritku. 

Mas Maulana menoleh sejenak, alisnya terangkat sebelum senyumnya melebar. "CD?" tanyanya, menahan tawa. "Mbak Sarah, sekarang sudah nggak zamannya CD. Semua orang pakai streaming online sekarang."

Diriku terdiam, merasa seperti makhluk dari abad lain. "Streaming? Itu gimana? Aku cuma tahu radio sama kaset," balasku, bingung. Suara tawa dari kursi belakang langsung terdengar.

"Iya, Kak Sarah. Streaming itu kayak aplikasi musik. Lagu-lagunya bisa langsung diputar dari internet," jelas adikku dengan sabar. Ia mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan aplikasi streaming musik, lalu dengan satu klik, sebuah lagu modern mulai terdengar.

Diriku mendengarkan dengan alis terangkat. "Jadi, aku nggak bisa lagi nyetel CD Shiela on 7, ya?" candaku. 

"Kalau Shiela on 7, pasti ada di aplikasi ini juga, Kak," balas adikku, masih tertawa kecil.

Mas Maulana ikut tertawa, sementara aku menghela napas, setengah bercanda. "Ya ampun, aku ini ternyata kuno banget, ya. Rasanya seperti keluar dari mesin waktu. Dulu aku tahu teknologi, tapi sekarang... mobil aja udah jadi komputer berjalan."

"Tenang, Mbak. Adaptasi itu proses," ujar Mas Maulana menenangkan. "Tapi kalau aku boleh saran, jangan terlalu kaget kalau nanti ada robot pelayan di restoran yang kita datangi."

Diriku melongo. "Robot pelayan? Serius?" tanyaku dengan ekspresi tak percaya.

Kali ini, semua orang tertawa lebih keras, termasuk aku. Rasa canggung dan kikuk perlahan berubah menjadi tawa yang ringan. Perjalanan ini menjadi pengalaman yang mengingatkanku betapa dunia terus bergerak maju, meskipun aku sempat terhenti. Tapi justru dalam momen itu, aku sadar betapa pentingnya belajar menerima perubahan dengan hati terbuka—dan menikmati perjalanan, satu langkah kecil pada satu waktu.

Perjalanan menuju restoran terasa santai. Aku mengamati jalanan yang penuh dengan lampu-lampu kota, kendaraan yang berlalu-lalang, dan gedung-gedung tinggi yang tampak lebih megah dibandingkan dengan apa yang kuingat dulu. "Semuanya berubah," gumamku, lebih kepada diriku sendiri.

Mas Maulana melirikku sejenak, senyumnya lembut. "Memang banyak yang berubah, Mbak. Tapi hidup selalu memberi kita kesempatan untuk menyesuaikan diri, kok."

Kami mengemudi perlahan, menikmati suasana kota yang benar-benar berubah dibandingkan dengan terakhir kali aku melihatnya. Gedung-gedung tinggi, lampu jalan yang berwarna-warni, dan keramaian yang terasa asing bagiku kini menjadi pemandangan yang menakjubkan. Aku menatap keluar jendela, mencoba menyerap semuanya. Rasanya seperti melihat dunia untuk pertama kalinya.

---

Makan Malam Bersama

Malam itu, kami merayakan kebebasan ini bersama di sebuah restoran terkenal di kota. 

Namun, saat suapan pertama nasi goreng seafood yang katanya paling enak di kota ini menyentuh lidahku, diriku mendadak teringat sesuatu. 

"Kenapa nggak pakai sendok?" tanya adikku, melihatku keheranan makan dengan tangan.

Karena kelaparan, Diriku mengabaikan pertanyaan adikku "Rasanya beda, ya," gumamku tanpa sadar. Semua orang menoleh.

"Beda gimana?" tanya Ayah, setengah khawatir.

Diriku tertawa kecil sambil mengusap sudut mataku yang basah. "Rasanya... nggak senikmat masakan para sesepuh di dapur pulau itu."

Mereka semua terdiam sejenak, lalu tertawa bersama. Memang aneh, di tempat yang dulu terasa seperti neraka, ada hal-hal kecil yang justru menjadi rumah bagi hatiku. Masakan sederhana dari tangan-tangan penuh kasih para sesepuh, bumbu-bumbu seadanya yang diolah dengan cinta, dan cerita-cerita yang menyertainya... semuanya membawa rasa yang tidak tergantikan.

"Jadi, Mbak rindu makanan penjara?" Mas Maulana menggoda, membuat seluruh meja kembali riuh dengan tawa.

Diriku mengangguk pelan, tersenyum penuh makna. "Serius, makanan di sana memang lebih enak, fresh from the sea Mas, Diriku juga rindu orang-orangnya, Mas. tapi yang jelas diriku ga mau balik kesana."

Malam itu, meski di tengah kemewahan restoran, ku sadar: kebebasan bukan sekadar tentang keluar dari jeruji besi, tetapi tentang bagaimana menghargai setiap momen dan hubungan yang ada dalam hidup kita. Dan kini, diriku siap memulai babak baru—dengan hati yang penuh rasa syukur dan harapan.

"Tapi serius deh, kenapa makan pakai tangan? Setelah bertahun-tahun makan dengan tangan di penjara, sendok itu kayak... benda asing buat diriku!" tambahku dengan bercanda, membuat semua orang tertawa lagi.

Setelah menyantap nasi goreng dengan tangan, diriku merasa ada sesuatu yang lain yang perlu dicoba. Waktu pelayan datang membawa gelas berisi es teh manis, ku tak bisa menahan diri. 

"Es teh manis?" tanya Mas Maulana sambil tersenyum, melihat reaksiku yang tak bisa menyembunyikan keterkejutan. 

Diriku memandangi gelas yang penuh dengan es batu dan cairan cokelat keemasan itu, lalu perlahan mengangkatnya. "diriku nggak pernah minum dingin ini selama bertahun-tahun," kataku pelan, mengingat kembali hari-hari di penjara yang hanya mengenal air sumur dan air hujan. 

Dengan tangan yang sedikit gemetar, ku menyeruputnya, dan seketika rasa manisnya meledak di mulutku. Rasanya... luar biasa. "Mas, ini enak banget!" kataku dengan mata berbinar. Diriku meneguk lagi, menikmati rasa manis dan dinginnya yang seakan menyegarkan setiap pori-pori kulitku. 

"Enak, kan?" Mas Maulana tertawa kecil, melihat ekspresiku yang tak bisa disembunyikan. 

"Enak? Ini luar biasa!" jawabku dengan penuh rasa syukur, merasa seperti menemukan dunia baru. "Dulu, kalau haus, cuma air sumur atau kadang air hujan atau paling nikmat air kelapa segar. Ini... ini rasanya seperti kebebasan dalam segelas minuman." 

Semua orang tertawa, tapi di dalam hatiku, ku benar-benar merasakan kebebasan itu. Bisa minum sesuatu yang se-simple es teh manis pun terasa seperti hadiah besar. 

Kemudian, diriku memperhatikan wastafel yang ada di dekat meja, dengan sabun di sampingnya. Setelah bertahun-tahun terbiasa menggunakan tangan untuk makan, kali ini aku merasa canggung. "Mas, ku baru sadar, selama ini di penjara, nggak pernah ada kesempatan untuk... cuci tangan pakai sabun sebelum makan, kayak gini," kataku sambil melihat sabun cair yang bersih itu. 

Mas Maulana menatapku dengan senyum lembut. "Ya, itu salah satu hal yang kamu nikmati sekarang—mungkin setelah ini bisa belajar pakai sendok juga, ya?" 

Diriku tertawa kecil, tapi dalam hatiku, ku merasa sangat bersyukur. Tangan yang dulu digunakan untuk bertahan hidup kini bisa mencicipi nikmatnya hal-hal kecil seperti es teh manis yang menyegarkan dan sabun yang lembut di tangan. 

"Ini benar-benar baru. Bersih, segar, dan enak!" kataku sambil menikmati setiap detik kebebasan ini. 

"Selamat datang kembali ke dunia, Sarah. Kadang, kebebasan itu ada dalam hal-hal yang kita anggap biasa," jawab Mas Maulana dengan senyum hangat. 

Malam itu, ku sadar, kebebasan bukan hanya soal keluar dari penjara. Tapi juga menikmati setiap momen yang dulu tak bisa kurasakan—seperti es teh manis dan sabun cuci tangan yang sepele, namun begitu berarti setelah bertahun-tahun terkurung.

Ayah tertawa sambil menepuk bahuku. "Ya udah, yang penting jangan sampai lepas alas kakimu di restoran ini, kamu masih pakai sepatu kan !" di penjara kami memang tidak memakai alas kaki.

Semua orang kembali tertawa, dan aku merasa hangat—momen sederhana yang mengingatkanku bahwa kebebasan itu terkadang datang dalam bentuk tawa dan kenangan kecil.

Malam itu, meski di tengah kemewahan restoran, ku sadar: kebebasan bukan sekadar tentang keluar dari jeruji besi, tetapi tentang bagaimana menghargai setiap momen dan hubungan yang ada dalam hidup kita. Dan kini, aku siap memulai babak baru—dengan hati yang penuh rasa syukur dan harapan.