Perut telah terisi. Mas Maulana, dengan gaya sok santainya, memanggil pelayan untuk meminta tagihan. Tak lama, pelayan datang membawa struk, dan Mas Maulana mengeluarkan HP-nya. Aku mengira dia akan mencari kalkulator atau mencatat sesuatu, tapi ternyata dia cukup memindai kode QR di atas meja dengan santai.
"Loh, sekarang bisa bayar cuma pakai HP? Nggak perlu pakai uang lagi?" tanyaku penasaran, seolah baru saja melihat sihir.
"Bisa dong," jawab Mas Maulana sambil menyeringai, jelas menikmati kekagetanku. "Namanya Qris. Praktis, nggak ribet."
Diriku mengangguk pelan, mencoba mencerna konsep ini. Dalam benakku, uang itu ya harus berupa kertas atau logam. Bayar pakai HP? Rasanya seperti menukar realita dengan mimpi yang tak kumengerti.
Setelah transaksi selesai, ku masih penasaran. "Habis berapa, Mas?" tanyaku penuh rasa ingin tahu. Awalnya dia mencoba menghindar.
"Ah, nggak usah dipikirin. Yang penting kalian senang," katanya sambil memasukkan struk ke dalam kantong.
Tapi diriku bukan orang yang mudah menyerah. Dengan sedikit desakan dan tatapan penuh harap, akhirnya dia menyerah dan menunjukkan struknya. Di situ tertulis angka 160 ribu rupiah.
Diriku melongo. "Mas, segini buat makan berempat? Kok mahal banget!"
"Itu masih worth it, lho," jawab Mas Maulana sambil tersenyum tipis. Seolah angka itu adalah harga promo spesial.
Diriku menghela napas panjang. "Waktu diriku masih bebas dulu, makan berempat paling habis 50 ribu, Mas. Itu udah dapet es teh jumbo sama kerupuk gede." Diriku menoleh ke Ayah, mencari dukungan moral.
Ayah, yang sepertinya juga kaget dengan reaksiku, awalnya canggung. Tapi kemudian beliau mulai menjelaskan, dengan suara khasnya yang sabar, tentang konsep inflasi. "Jadi, Nak, inflasi itu… ya, harga barang naik setiap tahun. Karena bahan baku makin mahal, gaji pegawai juga naik… ya semua ikut naik."
Diriku mendengarkan, tapi otakku hanya menangkap setengah dari penjelasannya. Mungkin karena aku terlalu sibuk membandingkan 160 ribu dengan angka 50 ribu di masa laluku.
"Bagi yang hidup di luar penjara, kenaikan itu nggak terlalu terasa karena terjadi perlahan," lanjut Ayah. "Tapi buatmu, yang terkurung selama 13 tahun, pasti terasa seperti lompatan besar."
Diriku mengangguk pelan, meskipun masih belum sepenuhnya paham. "Jadi intinya, sekarang semua serba mahal, gitu, Yah?"
Ayah tersenyum simpul. "Iya, kira-kira begitu."
Mas Maulana, yang sedari tadi hanya mendengarkan sambil tersenyum, akhirnya angkat bicara. "Santai, Mbak. Nggak semua berubah kok. Ada yang masih sama."
Diriku menoleh dengan penasaran. "Apa yang masih sama, Mas?"
Dia terkekeh sambil menunjuk ke arah tanganku yang masih sibuk mengorek sisa nasi di gigi dengan jari. "Kebiasaanmu makan pakai tangan, Mbak. Itu nggak kena inflasi. Tetap autentik, tetap gratis!"
Seluruh meja tawa pecah. Diriku memukul lengannya pelan, tapi ikut tertawa juga. Di tengah perubahan besar yang terjadi di dunia luar, sedikit humor dan kebiasaan kecilku ternyata cukup untuk mengingatkan bahwa aku masih punya bagian diri yang tak pernah berubah. Mungkin benar kata Mas Maulana, ada hal-hal yang memang tak akan pernah "naik harga," seperti kebiasaan yang jadi ciri khas, dan kehangatan keluarga yang tak ternilai.
Perut telah terisi, Kami pun meninggalkan resto dengan senang dan kenyang. Mas Maulana membayar makan malam itu semua,
**Pulang ke Rumah**
Kami beranjak pulang ke rumahku—rumah keluarga kami, rumah Ayah. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku kembali melihat jam, alat sederhana yang kini terasa seperti benda ajaib. Di dalam lapas, tidak ada jam. Penanda waktu hanya sinar matahari yang masuk melalui sela-sela jeruji atau bayangan yang jatuh di tembok dingin. Saat keluar dari restoran tadi, waktu menunjukkan pukul 7:15 malam. Perjalanan sekitar 30 menit membawa kami tiba di rumah pada pukul 7:45.
Sebuah rumah kecil di perumahan kelas menengah di pinggir kota. Rumah ini pernah menjadi pusat dunia kami—tempat tumbuh bersama, tertawa, dan menangis. Tapi kini, rumah itu terlihat seperti sosok tua yang kelelahan. Pagar depan mulai lusuh, dengan besi-besi yang berkarat di beberapa sudut. Halaman depannya gelap, hanya diterangi samar-samar oleh lampu dalam rumah yang sinarnya seperti ragu untuk menyambut kami. Ayah membuka kunci gembok dengan gerakan lambat, seperti sedang menawar waktu.
Saat pagar didorong, suara gesekan besi berdecit, mengingatkanku pada suara pintu gerbang lapas yang jarang dirawat. Aku berdiri diam sejenak, terpaku mendengar suara itu. Tidak ada jeruji besi di sini, tapi suara itu membawaku kembali ke masa-masa di mana aku menghitung setiap detik di bawah langit yang terasa jauh.
Rumah Ayah berdiri dengan kesederhanaannya, di antara deretan rumah tetangga yang sudah ramai dengan hasil renovasi—pagar-pagar modern berwarna abu-abu metalik, tembok-tembok bercat cerah, taman-taman rapi dengan lampu taman kecil yang berkelap-kelip. Sementara itu, rumah Ayah tetap seperti dulu, dengan cat yang memudar, retakan di dinding, dan rumput liar yang menari bebas di halaman. Rumah ini seperti seorang pria tua yang enggan mengikuti tren zaman, memilih untuk tetap setia pada caranya sendiri.
Diriku menghela nafas panjang, menatap rumah itu sambil mencoba merangkai kembali kenangan. Di balik kesederhanaannya, aku tahu, ada kisah-kisah yang menyusun fondasi hidupku. Kisah tentang perjuangan Ayah membesarkan kami, tentang tawa masa kecil, dan tentang Ibu, yang kini hanya tersisa dalam ingatan.
"Rumah ini nggak berubah banyak, ya," ku berbisik pada Ayah sambil melangkah masuk.
"Tidak, dan mungkin itu yang membuatnya tetap jadi rumah," jawab Ayah pelan, dengan senyum kecil yang penuh makna.
Cat dinding yang dulu putih kini berubah kusam, hampir krem dengan noda di sana-sini. Taman kecil di depan rumah lebih mirip hutan liar mini, dengan rumput-rumput yang tumbuh tanpa aturan dan beberapa tanaman yang entah masih hidup atau hanya sekadar bertahan karena malas mati.
"Rumah ini kayaknya butuh cuti panjang," bisik Mas Maulana sambil terkekeh.
Diriku tersenyum tipis. "Bukan cuma cuti, Mas. Mungkin juga butuh motivasi hidup lagi."
Ayah berjalan di depan kami, seperti biasa dengan langkah pelan tapi mantap. Beliau membuka pintu dengan kunci yang sepertinya sudah butuh ganti juga, karena bunyinya serak seperti suara orang batuk lama. Begitu pintu terbuka, aroma khas rumah tua menyeruak—campuran kayu lapuk, debu, dan kenangan.
"Maaf ya, rumah Ayah masih begini," katanya pelan. Nada suaranya terdengar sedikit bersalah.
"Loh, Ayah, ini rumah kebanggaan kita kok," jawabku cepat, mencoba menyemangatinya. "Ini bukan cuma rumah, ini museum kehidupan kita! Kalau direnovasi total, nanti kenangan-kenangan hilang."
Mas Maulana, yang biasanya banyak komentar, hanya diam sambil menahan tawa. Mungkin dia sedang memikirkan bagaimana aku bisa menyamakan rumah tua ini dengan museum.
Kami masuk ke ruang tamu, di mana sofa lamanya sudah berderit ketika kami duduk. Karpet tua di lantai terlihat agak pudar, tapi masih menyimpan pola bunga-bunga yang pernah jadi tren bertahun-tahun lalu. Di sudut ruangan, televisi tabung tua setia menemani, meskipun layar cembungnya sudah penuh bercak. Tapi, bagi Ayah, itu semua bukan masalah.
"Sofa ini saksi sejarah, tahu!" kata Ayah sambil menepuk sandaran kursi yang jelas-jelas sudah bolong di satu sudut. "Di sinilah dulu kalian suka rebutan tempat duduk sama dengan kalian. Sekarang lihat, cuma tinggal Ayah yang duduk di sini setiap malam."
Diriku tertawa kecil, meski hatiku terasa sedikit ngilu mendengar ucapannya. Ku tatap sofa tua itu dan semua kenangan masa kecil kembali berkelebat di pikiranku. Bagaimana kami, anak-anak kecil yang penuh energi, dulu selalu berebut tempat duduk sambil menonton acara favorit. Saat itulah diriku melihat foto Ibu di dinding. Tatapan lembutnya seolah menyambutku kembali ke rumah. Tanpa terasa, air mataku mulai tumpah.
Diriku berdiri terpaku di depan foto itu, merasakan perasaan campur aduk antara penyesalan dan kerinduan. "Bu, Sarah pulang," bisikku lirih. "Maafkan Sarah sudah ninggalin Ibu."
Ayah duduk di sofa, memperhatikan setiap gerakanku. "Ibu sangat merindukanmu, Nak," katanya dengan suara yang bergetar. "Dia selalu penuh perhatian, Dia sangat kehilangan saat kamu harus pergi. Sekarang Ibu sudah meninggalkan kita, Dia hanya berharap kamu bahagia sekarang, di manapun kamu berada."
Diriku mengangguk, menyeka air mata yang terus mengalir. "Ibu, aku janji akan jaga Ayah di rumah ini, kenangan-kenangan ini, semua terlalu berharga untuk dilewatkan. Aku ingin menghidupkan kembali semua yang pernah kita miliki."
Ayah merangkulku, memberikan kekuatan yang sangat kurindukan. "Kita selalu punya tempat di sini untukmu, Sarah. Rumah ini, dengan segala kenangan dan cinta, akan selalu jadi milikmu juga."
Dalam pelukan Ayah, ku rasakan kehangatan yang lama hilang. Rumah ini mungkin tidak banyak berubah, tapi perasaanku terhadapnya telah tumbuh jauh lebih dalam. Dan di sini, ku tahu, ku selalu punya tempat untuk kembali.
Rumah ini mungkin memang penuh kekurangan, tapi juga penuh cerita. Setiap sudutnya punya kisah. Retakan kecil di dinding dekat dapur? Itu karena aku pernah berusaha menyembunyikan nilai ulangan buruk dan adikku ketahuan menabrak tembok saat mencoba menyelamatkan diri dari omelan Ibu.
Malam itu, meski kondisi rumah sederhana, kami duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang masa lalu dan rencana masa depan. Tawa, nostalgia, dan canda memenuhi ruangan, mengalahkan bayangan kusam yang terlihat di dinding.
Rumah ini mungkin tak sempurna, tapi seperti aku yang bertahun-tahun makan dengan tangan, rumah ini terasa jujur apa adanya. Tak perlu mewah untuk menjadi tempat yang hangat—cukup penuh dengan cerita dan cinta yang terus mengalir. Setelah bertahun-tahun hanya bisa membayangkan suasana seperti ini, aku akhirnya bisa kembali ke rumah.
Khawatiran Ayah
Hari mulai larut Mas Maulana berpamitan untuk pulang, mengingat esok pagi ia harus menghadiri sidang lain. Sebelum pergi, ia masih sempat berbicara dengan Ayah di dekat pintu.
"Mas Maulana," Ayah mulai dengan nada bercanda, "sekarang anak saya sudah bebas, lho. Artinya Mas nggak ada alasan lagi untuk nggak ngajak dia kencan."
Diriku langsung menoleh, terkejut sekaligus malu dengan ucapan Ayah. "Yah, jangan gitu, dong," protesku pelan sambil berusaha menutupi wajah yang mulai memerah.
Mas Maulana, yang biasanya tenang, terlihat canggung untuk pertama kalinya. Ia menggaruk tengkuknya, tersenyum kecil. "Insya Allah, Pak. Mungkin minggu depan, kalau waktunya memungkinkan," jawabnya hati-hati, tetapi dengan nada serius yang membuat wajahku semakin panas.
Ayah tertawa kecil melihat reaksiku. "Nah, itu baru jawaban laki-laki. Jangan terlalu sibuk, Mas. Anak saya ini, lho, sudah 31 tahun. Gadis seusianya itu harusnya sudah menikah, punya anak, dan bahagia di rumah tangga."
"Yah!" seruku, setengah kesal setengah malu. "Bisa nggak sih nggak bahas itu?"
Mas Maulana tampak ingin tertawa tetapi menahannya, mungkin demi menghormati situasiku yang mulai gelisah. Ia menunduk sedikit pada Ayah. "Baik, Pak. Terima kasih atas izinnya. Saya akan pikirkan baik-baik," ujarnya sebelum melirikku dengan tatapan hangat yang membuatku salah tingkah.
Setelah Mas Maulana pergi, aku memelototi Ayah yang masih duduk santai di sofa, tampak puas dengan candanya tadi.
"Yah, kenapa sih suka banget ngomong kayak gitu? Kan malu," keluhku sambil menjatuhkan diri ke sofa di sebelahnya.
Ayah hanya tersenyum, kemudian menepuk pundakku pelan. "Nak, Ayah cuma khawatir. Kamu itu sudah cukup lama kehilangan waktu untuk dirimu sendiri. Sekarang saatnya kamu mengejar kebahagiaanmu. Kalau Mas Maulana memang orangnya, ya kenapa tidak?"
Diriku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi, ucapan Ayah benar. Usia 31 tahun memang tidak muda lagi, dan selama ini aku memang tidak pernah berpikir tentang pernikahan atau membangun keluarga. Namun, Mas Maulana? Ku tak bisa memungkiri bahwa perasaanku kepadanya lebih dari sekadar rasa terima kasih.
Malam itu, pikiranku yang bercampur aduk. Antara harapan, kebahagiaan, dan sedikit ketakutan tentang masa depan. Tapi satu hal yang pasti, hidupku kini benar-benar baru, dan ku harus mulai membangun jalan cerita yang lebih indah. Mungkin, seperti yang Ayah bilang, dengan seseorang yang tulus di sisiku.