Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 31 - Saat Berjuang

Chapter 31 - Saat Berjuang

Hari persidangan akhirnya tiba. Seorang petugas menghampiriku pagi itu. "Cepat, mandi, ganti pakaian, ini hari persidangan mu. Pakailah pakaian yang layak," ujarnya. Diriku cukup terkejut—setelah bertahun-tahun mengenakan seragam penjara yang nyaman tetapi jauh dari pantas, apalagi untuk tampil di muka umum.

Segera setelah mandi, diriku mengenakan pakaian, punyaku dulu: kemeja putih dan rok coklat yang pernah kubanggakan saat kuliah, ayah yang membawakannya saat kunjungan terakhir. Ajaibnya, pakaian itu masih muat.

"Sarah, sudah waktunya. Ayo berangkat." Diriku melangkah menuju van penjara dengan pergelangan tangan terborgol, tak mampu menahan campuran emosi yang membanjiri dada. Kecemasan membuat perutku terasa mual, tapi di balik itu ada secercah harapan yang sudah lama hilang. Setelah tiga belas tahun yang panjang, hari ini menjadi titik awal untuk memperjuangkan kebebasanku.

Dengan pengawalan ketat, raungan sirine kendaraan tahanan berjeruji itu mengantarku menuju gedung pengadilan, menyusuri jalan-jalan kota yang terasa asing setelah sekian lama. Dari balik jeruji jendela, aku memandang pemandangan luar, berusaha menyerap kenyataan yang menyesakkan—bahwa ini benar-benar terjadi.

Di luar sana, orang-orang menjalani hidup mereka, sama sekali tidak menyadari beratnya momen yang sedang terungkap dalam hidupku. Aku mencoba mengatur napas, menyadari bahwa apa yang menantiku di ruang sidang akan menentukan seluruh masa depanku.

Saat tiba, gedung pengadilan sudah dipenuhi orang-orang yang datang untuk menyaksikan persidangan ini—kasus yang, meskipun terjadi bertahun-tahun lalu, tetap membekas di ingatan publik. Kematian anak seorang hakim menjadi berita besar yang dulu mengguncang masyarakat.

Begitu memasuki ruang sidang, dadaku terasa semakin sesak. Ini adalah hari yang telah kuimpikan sekaligus kutakuti selama bertahun-tahun, penuh dengan harapan namun juga bayang-bayang ketidakpastian. Sorot mata orang-orang yang menatapku begitu tajam, seakan berusaha menembus tiap sudut hatiku. Di tengah ketegangan itu, Mas Maulana berdiri di sampingku, berusaha memberi ketenangan dengan sentuhan ringan di pundakku.

Di antara kerumunan, aku melihat orang tuaku dan saudara-saudaraku. Mereka duduk dengan pandangan yang penuh harap dan cemas. Ini pertama kalinya aku melihat mereka sejak dipindahkan dari pulau penjara perempuan. Perasaan lega sekaligus berat memenuhi hati saat pandangan kami bertemu.

Sebelum sidang dimulai, Mas Maulana membawakanku sesuatu—makanan kecil dan buku yang menurutnya mungkin aku sukai di sel tahanan. "Kupikir ini bisa mengalihkan pikiranmu sejenak," katanya, tersenyum lembut. Aku tak bisa menahan senyum, merasa kehangatan yang telah lama hilang dari hidupku kembali menyusup lewat gerak-geriknya yang sederhana.

Pengacaraku memahami betapa rumitnya situasi ini. Dengan kesabaran dan rasa hormat, dirinya menghadapiku tanpa pernah terburu-buru, memastikan diriku merasa nyaman. Tanpa kusadari, aku merasa semakin dekat dengannya. Ketika persidangan akan dimulai, ku berbisik dengan mata penuh rasa terima kasih, "Diriku tidak bisa melakukan ini tanpamu, Mas."

Tatapannya penuh keyakinan dan ketenangan, membuat jantungku berdebar. "Saya ini hanya membantu menemukan suaramu, Kamu di sini karena kamu seorang pejuang. " ucapnya, memberikan semangat yang begitu menenangkan.

Hakim memasuki ruang sidang, dan ruang yang sebelumnya penuh bisikan berubah menjadi hening. Diriku menarik nafas mencoba menenangkan pikiran. Dalam kepala ku terus mengulang pesan yang selalu diingatkan Mas Maulana: "Tetap tenang, percayalah pada proses ini."

Sidang dibuka untuk umum," kata hakim ketua dengan suara yang tegas. Suara palu yang diketuknya menandakan awal dari momen yang sangat penting dalam hidupku.

Pengacara ku, Mas Maulana, berdiri dengan percaya diri. Ia mengatur dokumen di hadapannya, mengambil nafas dalam-dalam sebelum menyampaikan pernyataan pembuka. "Yang Mulia, kami di sini hari ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi klien saya. Selama lebih dari satu dekade, ia telah terkurung dalam penjara karena keputusan yang berdasarkan pada bukti yang cacat dan kesalahpahaman yang mendalam."

Ketika sidang dimulai, detik-detik berlalu seakan melambat. Diriku mengamati Mas Maulana saat dia berbicara, merasakan harapan tumbuh dalam hatiku. Ia menyampaikan setiap argumen dengan ketenangan dan keyakinan yang membuatku merasa seolah-olah aku bukanlah orang yang terperangkap dalam lingkaran kegelapan.

"Saya ingin memulai dengan menguraikan beberapa kelemahan yang terdapat dalam kasus ini," lanjutnya. "Kami akan menunjukkan bahwa tidak ada saksi langsung yang mengaitkan klien saya dengan kematian Doni Hermawan, dan penyelidikan yang tergesa-gesa telah menyebabkan penjatuhan hukuman yang tidak adil."

Diriku mendengar suara ketukan pulpen di kertas dan melihat wajah-wajah di ruang sidang. Orang tuaku duduk di barisan belakang, wajah mereka penuh harapan, sementara aku merasakan kebangkitan semangat yang seakan mengalir dari Mas Maulana ke diriku.

"Yang Mulia Majelis Hakim," lanjutnya, "Tidak ada motif dari saudari Sarah untuk melakukan pembunuhan itu serta bukti kuat yang dapat membuktikan kesalahan klien saya. Kami di sini untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi selama bertahun-tahun."

Suasana di ruang sidang terasa semakin tegang. Aku merasakan pandangan semua orang beralih padaku, dan untuk sesaat, ku merasa terjebak di bawah sorotan. Namun, saat melihat Mas Maulana yang berfokus pada hakim, rasa cemas itu perlahan menghilang.

Hakim ketua mengangguk, seolah mencerna semua informasi yang disampaikan. Mas Maulana melanjutkan, "Yang Mulia Majelis Hakim, Kami ingin mengingatkan bahwa klien saya adalah seorang yang tidak memiliki mens rea niat untuk membunuh. Kematian Doni bisa saja murni kecelakaan, kasus ini muncul adalah reaksi dari situasi yang menekan."

Mens rea adalah istilah hukum dari bahasa Latin yang berarti "niat jahat" atau "pikiran bersalah." Dalam hukum pidana, mens rea mengacu pada kondisi mental seseorang saat melakukan suatu tindakan yang dianggap sebagai kejahatan. Memahami mens rea sangat penting karena membantu menentukan apakah seseorang memiliki niat atau pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan tindakan kriminal tersebut.

Ketika diriku mendengarkan kata-katanya, ku merasa seperti sedang menjelajahi jalan yang selama ini tertutup untukku. Di sinilah aku, di hadapan sistem yang pernah mengubah hidupku, berjuang untuk keadilan. Semangatku mulai bangkit, dan untuk pertama kalinya, ku merasakan harapan yang tulus dalam hati.

"Yang Mulia Majelis Hakim, saat ini adalah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang telah lama terabaikan," lanjut Mas Maulana, suaranya menggelegar dalam keheningan. "Kami percaya bahwa keadilan yang sebenarnya akan terungkap hari ini."

Dengan tekad yang baru, aku menatap hakim ketua, berharap agar mereka bisa melihat kebenaran yang selama ini terpendam. Kini, aku merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Pengacara ku Mas Maulana bersemangat menyampaikan pernyataan pembukaan. Selama dua jam berikutnya, ia dengan teliti menguraikan setiap kelemahan dalam kasus lamaku. Ia membahas kurangnya saksi langsung, bukti yang tidak langsung mengaitkannya dengan kematian Doni Hermawan, serta penyelidikan yang terburu-buru yang telah mengantarkanku pada vonis yang salah. Ia menekankan bahwa penuntut telah membangun kasus ini lebih pada asumsi daripada fakta nyata.

"Yang Mulia Majelis Hakim, Pembela percaya bahwa keadilan belum ditegakkan tiga belas tahun lalu," ujar Mas Maulana pengacaraku, suaranya tenang namun penuh keyakinan. "Kami hadir di sini untuk memperbaikinya. Klien saya telah dipenjara berdasarkan penyelidikan yang cacat dan tidak lengkap."

Diriku duduk, mendengarkan dengan tegang. Rasanya ada secercah harapan, tetapi di sisi lain ada juga rasa takut yang menghantui. Bagaimana jika ini semua tidak cukup?

Mas Maulana menyampaikan pembelaannya dengan penuh keyakinan, menyampaikan bukti-bukti dan hasil tes detektor kebohongan yang akhirnya bisa menempatkan sisi ceritaku di hadapan hakim. Setiap kalimat yang ia ucapkan terdengar seperti cahaya kecil di ujung kegelapan yang selama ini menyelimutiku.

Saat giliran untuk memberikan kesaksian tiba, diriku bangkit dengan tangan yang sedikit gemetar. Ku utarakan kebenaranku, sekali lagi menyatakan bahwa diriku tidak pernah melakukan apa yang dituduhkan padaku. Ku rasakan pandangan hakim menelusuri setiap kata yang kuucapkan, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kataku. Namun kali ini, aku tak akan gentar. Diriku berbicara untuk diriku sendiri, "Saya tidak pernah mendorongnya yang mulia," jawabku, dan itu adalah sebuah kebenaran yang kupegang erat, sebuah harapan akan kebebasan ku yang selama ini kugenggam.

Setelah argumen pembelaan selesai, hakim ketua menoleh ke arah jaksa penuntut umum, yang segera berdiri untuk menyampaikan tanggapannya. "Yang Mulia Majelis Hakim, Jaksa negara berpendapat bahwa tidak ada bukti baru yang cukup untuk mengajukan peninjauan kembali dalam perkara ini," ujar jaksa penuntut umum, dengan nada tegas dan penuh keyakinan. "Penyelidikan terdahulu dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Pembelaan boleh saja mengklaim adanya kekurangan, tapi fakta dan bukti yang kami miliki mendukung vonis yang dijatuhkan saat itu."

"Fakta-fakta dalam perkara ini sudah diuji dan terbukti secara jelas di berbagai tingkat peradilan. Mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung melalui kasasi," Ucap Jaksa tegas.

Suara jaksa terdengar tak tergoyahkan. "Yang Mulia Majelis Hakim, berdasarkan hasil Visum Et Repertum Kematian korban Doni Hermawan pada pemeriksaan luar didapatkan luka akibat kekerasan benda tumpul yaitu luka memar pada tengkuk serta pendarahan otak sehigga menyebabkan kematian." 

Visum et repertum adalah istilah dari bahasa Latin yang berarti "melihat dan menemukan." Dalam konteks hukum, visum et repertum merujuk pada laporan tertulis dari seorang ahli, biasanya dokter forensik, yang memeriksa tubuh korban atau barang bukti lainnya untuk memberikan penilaian medis mengenai penyebab dan keadaan luka atau kematian.

"Kami tidak melihat alasan untuk meragukan adanya manipulasi hukum dan kesalahan pembuktian. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dan ternyata pula putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka Kami meminta permohonan Peninjauan Kembali terdakwa tersebut dinyatakan ditolak."

Judex facti adalah istilah dari bahasa Latin yang berarti "hakim fakta." Dalam konteks hukum, judex facti merujuk pada pihak yang bertugas menilai dan memutuskan fakta-fakta dalam suatu kasus. Tugas judex facti adalah untuk mengevaluasi bukti yang diajukan selama persidangan dan menentukan apa yang sebenarnya terjadi berdasarkan bukti tersebut.

Gelombang kecemasan kembali menyelimuti hatiku. Kata-kata jaksa penuntut umum menggema di pikiranku, menyadarkanku akan ketegangan yang akan terus bergulir dalam persidangan ini, dan bahwa kebebasan ku masih sangat jauh dari kepastian.

Diriku merasakan beban tatapan ruang sidang padaku, dan untuk sesaat, harapanku goyah. Apakah aku berjuang dalam pertempuran yang akan kalah? Setelah kedua belah pihak berbicara, hakim ketua menunda persidangan. "Pengadilan akan bersidang kembali dalam dua minggu. Pembelaan diharapkan untuk menghadirkan bukti dan saksi pada saat itu." Dengan ketukan palu hakim, persidangan selesai untuk hari itu.

Sidang panjang yang melelahkan akhirnya usai, 12 jam lamanya. 

Saat ruangan mulai kosong, pengacara mendekatiku."Jangan kehilangan harapan," kata Mas Maulana dengan tenang. "Kami masih memiliki bukti dan saksi kuat untuk disajikan di sidang berikutnya.

Hari itu adalah langkah awal—entah untuk pembebasanku atau sekadar melanjutkan perjuangan panjang ini. Namun setidaknya, diriku tidak lagi berjuang sendirian.

Evaluasi psikologi

Minggu depan, kami akan menjalankan evaluasi psikologi terhadapmu dan mengajukan saksi ahli psikolog. untuk itu bersiaplah menjalani tes dan asesmen. Ini akan menjadi pertarungan yang sulit, tetapi kami memiliki apa yang kami butuhkan."aku mengangguk, mencoba menenangkan gelombang kecemasan yang naik di dadaku.

Diriku berusaha menahan nafas, gelombang ketakutan mulai menguasai diriku. Di dalam mobil tahanan, pikiranku berputar-putar memikirkan apa yang akan terjadi minggu depan. Apakah saksi-saksi dan evaluasi psikologis cukup untuk membuka kesempatan kebebasan yang sudah bertahun-tahun kuimpikan?

Di Lapas perempuan satu minggu berlalu dengan cepat harinya, Pengacara ku, Mas Maulana, kembali mengunjungiku bersama dengan tim ahli psikolog yang akan melakukan assesment kepribadianku. Psikolog itu memberikan evaluasi menyeluruh tentang karakterku. "mbak Sarah gimana kabarnya? ini ada sedikit camilan dan kopi sebelum kita mulai assesment psikologi hari ini"

Baik Mas, cuma sedikit gugup, sudah satu minggu ini susah tidur." "ayo kita mulai sesi assessment" sahut tim psikolog. Di hadapan psikolog, aku duduk dengan tangan menggenggam erat. Ruangan itu kecil, semakin membuatku gugup. tim Psikolog itu, dipimpin seorang wanita paruh baya dengan tatapan tajam, mulai mengajukan pertanyaan 

Suaranya profesional, namun pandangannya meneliti tajam. "Ceritakan lagi, dengan kata-katamu sendiri, apa yang terjadi hari itu di pegunungan."

Suara gemetar namun tak pecah. "Kami bertengkar," jawabku, dengan tangan gemetar. "Diriku pergi, tapi saat kembali, dia sudah tidak ada, Doni menghilang entah ke mana. Diriku tidak menyakitinya… sungguh, aku tidak."

Psikolog itu mengangguk, sesekali menulis di notepadnya, sementara ku coba menceritakan setiap detail hari yang merenggut segalanya dariku. Kata demi kata keluar dengan berat, setiap ingatan seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh. satu hari penuh analisis forensik psikologi, diriku menyadari betapa detailnya tim ahli menyelidiki latar belakang dan kondisi mentalku. Teknik yang digunakan adalah model analisis data kualitatif interaktif dari Miles dan Huberman. Mereka memulai dengan "data reduction" atau merangkum data dari masa kecilku, pendidikan, hingga hubungan interpersonal yang pernah kujalani. 

Riwayat hidupku yang digali, dari hubungan keluarga hingga lingkungan pergaulanku, tampaknya tidak menunjukkan indikasi perilaku menyimpang. Ketika aku diuji, hasil tes menunjukkan tidak adanya gangguan mental ataupun pengaruh zat terlarang dalam tubuhku saat kejadian itu. Tim juga menilai kapasitas mental dan kemampuan memahami konsekuensi dari tindakan. 

Lie detector

Sesi selanjutnya, saat tes detektor kebohongan lie detector dimulai, diriku berusaha menenangkan pikiranku yang bergejolak. Setiap pertanyaan yang diajukan, meskipun terdengar seakan menguji kebenaran yang telah kupertahankan bertahun-tahun, kujawab dengan jujur dan tegas: "aku tidak pernah mendorongnya".

Setelah tes berakhir, diriku kembali duduk di ruangan menunggu, sementara pengacaraku, Mas Maulana, terlihat gelisah, mondar-mandir di luar ruangan. Waktu seakan melambat. Jam-jam terasa seperti hari-hari, membuat jantungku berdebar tak menentu setiap kali langkah kakinya terdengar mendekat ke pintu.

Akhirnya, dia masuk dengan ekspresi yang sulit diartikan. Diriku menatapnya, berharap dan cemas dalam satu waktu.

"Bagaimana hasilnya, Mas?" tanyaku, suaraku nyaris berbisik, mencerminkan kegugupan yang kuhadapi.

Mas Maulana terlihat tenang, lalu tersenyum tipis. "Hasilnya baru akan ada menjelang hari sidang, semoga saja sesuai harapan kita. saya percaya kamu jujur, dan ini akan sangat membantu kita."

Perasaan campur aduk masih melingkupi hatiku. Setidaknya, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, kebenaran sedikit demi sedikit menemukan jalannya kembali.

Mendengar kata-kata Mas Maulana pengacaraku, ada secercah harapan yang tumbuh di dalam hati, meskipun kecil dan rapuh. Setidaknya, kali ini ada seseorang di pihakku yang percaya. ku pandang Mas Maulana dengan rasa syukur yang mendalam, merasa tidak sepenuhnya sendirian dalam perjuangan ini.

Malam itu, di dalam sel, pikiranku terus kembali ke sesi tes detektor kebohongan yang baru saja kulalui. Setiap pertanyaan dan jawabanku terngiang, seolah suara-suara itu berputar tanpa henti di kepalaku. "Diriku tidak pernah mendorongnya," jawabku, dan itu adalah kebenaran yang kupegang erat, meskipun dunia di luar terus memandangku dengan tuduhan dan prasangka.

Keesokan harinya, ku coba menenangkan hatiku yang masih diliputi kecemasan. Harapan bahwa hasil tes ini dapat menjadi bukti yang mendukung kebebasanku, atau setidaknya membuka kemungkinan untuk mendapatkan keadilan yang selama ini terabaikan, membuatku merasa sedikit lebih kuat. Seperti yang dikatakan Mas Maulana, kebenaran ini adalah kunci yang perlahan-lahan membukakan pintu.