Hari persidangan akhirnya tiba. Seorang petugas menghampiriku pagi itu. "Cepat, ganti pakaianmu. Ini hari persidanganmu. Pakailah pakaian yang layak," ujarnya. Aku cukup terkejut—setelah bertahun-tahun mengenakan seragam penjara yang nyaman tetapi jauh dari pantas, apalagi untuk tampil di muka umum.
Segera setelah mandi, aku mengenakan pakaian lamaku: kemeja putih dan rok cokelat yang pernah kubanggakan saat kuliah—ayah yang membawakannya saat kunjungan terakhir. Ajaibnya, pakaian itu masih muat.
"Sarah, sudah waktunya. Ayo berangkat." Aku melangkah menuju van penjara dengan pergelangan tangan terborgol, tak mampu menahan campuran emosi yang membanjiri dada. Kecemasan membuat perutku terasa mual, tapi di balik itu ada secercah harapan yang sudah lama hilang. Setelah tiga belas tahun yang panjang, hari ini menjadi titik awal untuk memperjuangkan kebebasanku.
Dengan pengawalan ketat, raungan sirene kendaraan tahanan berjeruji itu mengantarku menuju gedung pengadilan, menyusuri jalan-jalan kota yang terasa asing setelah sekian lama. Dari balik jeruji jendela, aku memandang pemandangan luar, berusaha menyerap kenyataan yang menyesakkan—bahwa ini benar-benar terjadi.
Di luar sana, orang-orang menjalani hidup mereka, sama sekali tidak menyadari beratnya momen yang sedang terungkap dalam hidupku. Aku mencoba mengatur napas, menyadari bahwa apa yang menantiku di ruang sidang akan menentukan seluruh masa depanku.
Saat tiba, gedung pengadilan sudah dipenuhi orang-orang yang datang untuk menyaksikan persidangan ini—kasus yang, meskipun terjadi bertahun-tahun lalu, tetap membekas di ingatan publik. Kematian anak seorang hakim menjadi berita besar yang dulu mengguncang masyarakat.
Di antara kerumunan, aku melihat orang tuaku dan saudara-saudaraku. Mereka duduk dengan pandangan yang penuh harap dan cemas. Ini pertama kalinya aku melihat mereka sejak dipindahkan dari pulau penjara perempuan. Perasaan lega sekaligus berat memenuhi hati saat pandangan kami bertemu.
Sebelum sidang dimulai, Mas Maulana membawakanku sesuatu—makanan kecil dan buku yang menurutnya mungkin aku sukai di sel tahanan. "Kupikir ini bisa mengalihkan pikiranmu sejenak," katanya, tersenyum lembut. Aku tak bisa menahan senyum, merasa kehangatan yang telah lama hilang dari hidupku kembali menyusup lewat gerak-geriknya yang sederhana.
Pengacaraku memahami betapa rumitnya situasi ini. Dengan kesabaran dan rasa hormat, ia menghadapiku tanpa pernah terburu-buru, memastikan aku merasa nyaman. Tanpa kusadari, aku merasa semakin dekat dengannya. Ketika persidangan akan dimulai, aku berbisik dengan mata penuh rasa terima kasih, "Aku tidak bisa melakukan ini tanpamu, Mas."
Tatapannya penuh keyakinan dan ketenangan, membuat jantungku berdebar. "Aku ini hanya membantu menemukan suaramu, Kamu di sini karena kamu seorang pejuang. " ucapnya, memberikan semangat yang begitu menenangkan.
Sidang dibuka untuk umum," kata hakim ketua dengan suara yang tegas. Suara palu yang diketuknya menandakan awal dari momen yang sangat penting dalam hidupku.
Pengacaraku, Mas Maulana, berdiri dengan percaya diri. Ia mengatur dokumen di hadapannya, mengambil napas dalam-dalam sebelum menyampaikan pernyataan pembuka. "Yang Mulia, kami di sini hari ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi klien saya. Selama lebih dari satu dekade, ia telah terkurung dalam penjara karena keputusan yang berdasarkan pada bukti yang cacat dan kesalahpahaman yang mendalam."
Aku mengamati Mas Maulana saat dia berbicara, merasakan harapan tumbuh dalam hatiku. Ia menyampaikan setiap argumen dengan ketenangan dan keyakinan yang membuatku merasa seolah-olah aku bukanlah orang yang terperangkap dalam lingkaran kegelapan.
"Saya ingin memulai dengan menguraikan beberapa kelemahan yang terdapat dalam kasus ini," lanjutnya. "Kami akan menunjukkan bahwa tidak ada saksi langsung yang mengaitkan klien saya dengan kematian Doni Hermawan, dan penyelidikan yang tergesa-gesa telah menyebabkan penjatuhan hukuman yang tidak adil."
Aku mendengar suara ketukan pulpen di kertas dan melihat wajah-wajah di ruang sidang. Orang tuaku duduk di barisan belakang, wajah mereka penuh harapan, sementara aku merasakan kebangkitan semangat yang seakan mengalir dari Mas Maulana ke diriku.
"Yang Mulia Majelis Hakim," lanjutnya, "tidak ada bukti kuat yang dapat membuktikan kesalahan klien saya. Kami di sini untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi selama bertahun-tahun."
Suasana di ruang sidang terasa semakin tegang. Aku merasakan pandangan semua orang beralih padaku, dan untuk sesaat, aku merasa terjebak di bawah sorotan. Namun, saat melihat Mas Maulana yang berfokus pada hakim, rasa cemas itu perlahan menghilang.
Hakim ketua mengangguk, seolah mencerna semua informasi yang disampaikan. Mas Maulana melanjutkan, "Yang Mulia Majelis Hakim, Kami ingin mengingatkan bahwa klien saya adalah seorang yang tidak memiliki niat untuk membunuh. Semua murni kecelakaan, kasus ini muncul adalah reaksi dari situasi yang menekan."
Ketika aku mendengarkan kata-katanya, aku merasa seperti sedang menjelajahi jalan yang selama ini tertutup untukku. Di sinilah aku, di hadapan sistem yang pernah mengubah hidupku, berjuang untuk keadilan. Semangatku mulai bangkit, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan harapan yang tulus dalam hati.
"Yang Mulia Majelis Hakim, saat ini adalah kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang telah lama terabaikan," lanjut Mas Maulana, suaranya menggelegar dalam keheningan. "Kami percaya bahwa keadilan yang sebenarnya akan terungkap hari ini."
Dengan tekad yang baru, aku menatap hakim ketua, berharap agar mereka bisa melihat kebenaran yang selama ini terpendam. Kini, aku merasa siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Pengacaraku Mas Maulana bersemangat menyampaikan pernyataan pembukaan. Selama dua jam berikutnya, ia dengan teliti menguraikan setiap kelemahan dalam kasus lamaku. Ia membahas kurangnya saksi langsung, bukti yang tidak langsung mengaitkanku dengan kematian Doni Hermawan, serta penyelidikan yang terburu-buru yang telah mengantarkanku pada vonis yang salah. Ia menekankan bahwa penuntut telah membangun kasus ini lebih pada asumsi daripada fakta nyata.
"Yang Mulia Majelis Hakim, Pembela percaya bahwa keadilan belum ditegakkan tiga belas tahun lalu," ujar Mas Maulana pengacaraku, suaranya tenang namun penuh keyakinan. "Kami hadir di sini untuk memperbaikinya. Klien saya telah dipenjara berdasarkan penyelidikan yang cacat dan tidak lengkap."
Aku duduk, mendengarkan dengan tegang. Rasanya ada secercah harapan, tetapi di sisi lain ada juga rasa takut yang menghantui. Bagaimana jika ini semua tidak cukup?
Setelah argumen pembelaan selesai, hakim ketua menoleh ke arah jaksa penuntut umum, yang segera berdiri untuk menyampaikan tanggapannya. "Yang Mulia Majelis Hakim, Negara berpendapat bahwa tidak ada bukti baru yang cukup untuk mengajukan peninjauan kembali dalam perkara ini," ujar jaksa penuntut umum, dengan nada tegas dan penuh keyakinan. "Penyelidikan terdahulu dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Pembelaan boleh saja mengklaim adanya kekurangan, tapi fakta dan bukti yang kami miliki mendukung vonis yang dijatuhkan saat itu."
"Fakta-fakta dalam perkara ini sudah diuji dan terbukti secara jelas di berbagai tingkat peradilan. Mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan tinggi, Mahkamah Agung melalui kasasi," Ucap Jaksa tegas.
Suara jaksa terdengar tak tergoyahkan. "Yang Mulia Majelis Hakim, Kematian korban Doni Hermawan adalah akibat langsung dari tindakan terdakwa. Kami tidak melihat alasan untuk meragukan adanya manipulasi hukum dan kesalahan pembuktian."
Gelombang kecemasan kembali menyelimuti hatiku. Kata-kata jaksa penuntut umum menggema di pikiranku, menyadarkanku akan ketegangan yang akan terus bergulir dalam persidangan ini, dan bahwa kebebasanku masih sangat jauh dari kepastian.
Diriku merasakan beban tatapan ruang sidang padaku, dan untuk sesaat, harapanku goyah. Apakah aku berjuang dalam pertempuran yang akan kalah? Setelah kedua belah pihak berbicara, hakim ketua menunda persidangan. "Pengadilan akan bersidang kembali dalam dua minggu. Pembelaan diharapkan untuk menghadirkan bukti dan saksi pada saat itu."Dengan ketukan palu hakim, persidangan selesai untuk hari itu.
sidang panjang yang melelahkan akhirnya usai, 12 jam lamanya,
Saat ruangan mulai kosong, pengacara mendekatiku."Jangan kehilangan harapan," kata Mas Maulana dengan tenang. "Kami masih memiliki bukti dan saksi kuat untuk disajikan di sidang berikutnya.
Evaluasi psikologi
Minggu depan, kami akan menjalankan evaluasi psikologi terhadapmu dan mengajukan saksi ahli psikolog. untuk itu bersiaplah menjalani tes dan assesment. Ini akan menjadi pertarungan yang sulit, tetapi kami memiliki apa yang kami butuhkan."aku mengangguk, mencoba menenangkan gelombang kecemasan yang naik di dadaku.
Aku berusaha menahan nafas, gelombang ketakutan mulai menguasai diriku. Di dalam mobil tahanan, pikiranku berputar-putar memikirkan apa yang akan terjadi minggu depan. Apakah saksi-saksi dan evaluasi psikologis cukup untuk membuka kesempatan kebebasan yang sudah bertahun-tahun kuimpikan?
Di Lapas perempuan satu minggu berlalu dengan cepat harinya, Pengacaraku, Mas Maulana, kembali mengunjungiku bersama dengan tim ahli psikolog yang akan melakukan assesment kepribadianku. Psikolog itu memberikan evaluasi menyeluruh tentang karakterku. "mbak Sarah gimana kabarnya? ini ada sedikit camilan dan kopi sebelum kita mulai assesment psikologi hari ini"
Baik Mas, cuma sedikit gugup, sudah satu minggu ini susah tidur." "ayo kita mulai sesi assesment" sahut tim psikolog. Di hadapan psikolog, aku duduk dengan tangan menggenggam erat. Ruangan itu kecil, semakin membuatku gugup. tim Psikolog itu, dipimpin seorang wanita paruh baya dengan tatapan tajam, mulai mengajukan pertanyaan
Suaranya profesional, namun pandangannya meneliti tajam. "Ceritakan lagi, dengan kata-katamu sendiri, apa yang terjadi hari itu di pegunungan."
Suara gemetar namun tak pecah. "Kami bertengkar," jawabku, tanganku gemetar. "Aku pergi, tapi saat kembali, dia sudah tidak ada. Aku tidak menyakitinya… sungguh, aku tidak."
Psikolog itu mengangguk, sesekali menulis di notepadnya, sementara aku mencoba menceritakan setiap detail hari yang merenggut segalanya dariku. Kata demi kata keluar dengan berat, setiap ingatan seperti luka yang belum sepenuhnya sembuh. satu hari penuh Analisis forensik psikologi, aku menyadari betapa detailnya tim ahli menyelidiki latar belakang dan kondisi mentalku. Teknik yang digunakan adalah model analisis data kualitatif interaktif dari Miles dan Huberman. Mereka memulai dengan "data reduction" atau merangkum data dari masa kecilku, pendidikan, hingga hubungan interpersonal yang pernah kujalani.
Riwayat hidupku yang digali, dari hubungan keluarga hingga lingkungan pergaulanku, tampaknya tidak menunjukkan indikasi perilaku menyimpang. Ketika aku diuji, hasil tes menunjukkan tidak adanya gangguan mental ataupun pengaruh zat terlarang dalam tubuhku saat kejadian itu. Tim juga menilai kapasitas mental dan kemampuan memahami konsekuensi dari tindakan.
sesi selanjutnya, Saat tes detektor kebohongan dimulai, aku berusaha menenangkan pikiranku yang bergejolak. Setiap pertanyaan yang diajukan, meskipun terdengar seakan menguji kebenaran yang telah kupertahankan bertahun-tahun, kujawab dengan jujur dan tegas: "aku tidak pernah mendorongnya".
Setelah tes berakhir, aku kembali duduk di ruangan menunggu, sementara pengacaraku, Mas Maulana, terlihat gelisah, mondar-mandir di luar ruangan. Waktu seakan melambat. Jam-jam terasa seperti hari-hari, membuat jantungku berdebar tak menentu setiap kali langkah kakinya terdengar mendekat ke pintu.
Akhirnya, dia masuk dengan ekspresi yang sulit diartikan. Aku menatapnya, berharap dan cemas dalam satu waktu.
"Bagaimana hasilnya, Mas?" tanyaku, suaraku nyaris berbisik, mencerminkan kegugupan yang kuhadapi.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. "Hasilnya baru akan ada menjelang hari sidang, semoga saja sesuai harapan kita. saya percaya kamu jujur, dan ini akan sangat membantu kita."
Aku menghela nafas, namun perasaan campur aduk masih melingkupi hatiku. Setidaknya, untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, kebenaran sedikit demi sedikit menemukan jalannya kembali.