Dua minggu telah berlalu sejak sidang pertamaku yang melelahkan dan penuh kecemasan. evaluasi psikologi juga telah kujalani.
Sidang kedua dimulai dengan suasana tegang, udara di ruang sidang terasa berat. Saat palu hakim diketuk, seluruh hadirin memusatkan perhatian pada layar besar di depan. Mas Maulana, pengacaraku yang selalu tenang, berdiri tegap dan memanggil saksi pertama: Bu Herawati, ibu dari Doni sekaligus ibu penyelamatku. Meskipun dia berada di balik jeruji di pulau lapas perempuan, kesaksiannya hadir melalui panggilan video. Wajahnya yang penuh ketegaran muncul di layar, menggenggam setiap perhatian di ruang sidang.
Bu Hera diambil sumpahnya sebagai saksi. "Bismillahirrahmanirrahim. Demi Allah saya Raden Roro Herawati bersumpah, bahwa saya akan mengungkap bukti atau novum yang akan diajukan di dalam permohonan peninjauan kembali terdakwa Sarah Rahmawati,"
Dengan suara yang mantap namun bergetar oleh penyesalan, dia mulai bicara. Suaranya berat, penuh penyesalan dan luka yang tak terobati. "Yang Mulia Majelis Hakim, ijinkan saya bersaksi." cerita ibu penyelamatku dimulai setelah anggukan Majelis Hakim. "Ketika anakku meninggal, saya dilanda duka dan amarah yang tak tertahankan. Saya ingin seseorang membayar atas kematian Doni, dan keinginan itu menutupi penilaianku. Saya menekan jaksa untuk menuntut hukuman paling berat, memengaruhi saksi-saksi agar memberatkan Sarah, bahkan berusaha agar hakim kolega saya, memberi vonis yang paling keras untuknya."
Ruangan hening, hanya suara Bu Hera yang bergema, menyeruak masuk ke setiap hati yang mendengarnya. "Yang Mulia Majelis Hakim, Saat itu, saya mengira saya sedang memperjuangkan keadilan, namun sebenarnya saya hanya tenggelam dalam dendam. Saya tidak memberi kesempatan yang adil bagi Sarah. Dan untuk itu, saya harus mengakui kesalahan saya di hadapan semua orang." Suara Bu Hera terdengar semakin berat, membawa keheningan yang tak biasa. "Saya sadar, kini, bahwa tindakan saya adalah sebuah kesalahan besar. Kemarahan dan keinginan akan keadilan mengaburkan penilaian saya, dan hal itu membuat saya mengambil jalan yang salah. Saya harus mengakui, saya ikut bertanggung jawab atas keputusan yang menimpanya."
Kata-katanya menggetarkan hatiku. Ada harapan baru yang muncul di tengah ketidakpastian ini. Semua rasa takut dan putus asa yang selama ini mendera terasa sedikit berkurang, seperti kabut yang perlahan terurai oleh sinar matahari.
Di tengah keheningan yang mengiringi kesaksian Bu Hera, aku merasa sebuah pintu kecil menuju keadilan telah terbuka, memberiku secercah harapan baru yang selama ini kupikir telah musnah.
Aku duduk di samping Mas Maulana, merasakan haru yang sulit ditahan. Semua perasaan takut dan terasing yang menghantuiku selama bertahun-tahun kini seakan mereda, digantikan oleh secercah harapan yang mungkin akan membawaku pada kebebasan.
Di sisi lain, kesaksian Bu Hera membuat pihak penuntut terguncang. Jaksa utama, yang sebelumnya tampak penuh keyakinan pada kekuatan putusan awal, sekarang gelisah. Pengakuan ini jelas di luar dugaan mereka—ibu korban mengakui bahwa ia sendiri telah memanipulasi sistem untuk menghukumku. Meski terkejut, jaksa tidak terlihat ingin membantahnya, mungkin takut bahwa penggalian lebih lanjut malah akan menguak kelemahan dan ketidakadilan sistem yang selama ini tertutup rapat.
Ini adalah momen yang telah lama kutunggu—titik awal dari keadilan yang pantas aku dapatkan.
Bukti Baru yang mengejutkan
Namun, Mas Maulana belum selesai. Setelah kesaksian yang kuat dari Bu Hera, ibu penyelamatku, dia memperlihatkan bukti penting lainnya yang sebelumnya diabaikan dalam persidangan awal.
Mas Maulana melanjutkan dengan menjelaskan tentang detail-detail lain dari laporan otopsi. "Tidak hanya itu," katanya, "kami juga menemukan bahwa tidak ada bekas luka di tubuh Doni menunjukkan adanya perlawanan atau perkelahian. Ini mendukung argumen bahwa klien saya bukanlah pelaku yang dengan sengaja berniat membunuh. ini murni kecelakaan, korban terjatuh kejurang dengan sendirinya, Dia terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia kendalikan."
Jaksa penuntut umum tampak berusaha mempertahankan kendali. "Ini semua spekulasi!" teriaknya, berusaha memotong arus persidangan. "Kami memiliki bukti yang kuat bahwa klien Anda berada di tempat kejadian dengan niat jahat. Bukti-bukti ini tidak mengubah fakta!"
Mas Maulana menatap jaksa dengan tatapan tajam. "Yang kami butuhkan di sini adalah kejujuran dan keadilan, bukan sekadar untuk memenangkan kasus. Kami berbicara tentang hidup seseorang yang telah dirusak oleh kesalahan sistem dan penilaian yang cacat."
Mas Maulana tak berhenti sampai di situ. Setelah Bu Hera selesai, dia beranjak maju, menggenggam beberapa dokumen yang tampak penting. "Yang Mulia, ada satu temuan lagi yang tak bisa kami abaikan." Dia menatap jaksa penuntut dengan tegas sebelum melanjutkan, "Kondom yang ditemukan di saku korban memberi indikasi bahwa ada niat tersembunyi malam itu, yang mengarah pada perlawanan klien saya."
Suasana ruang sidang makin menegangkan. Wajah jaksa terlihat geram, namun tetap diam seakan tak mau memperkeruh keadaan.
"Ini bukan sekadar bukti tambahan," lanjut Mas Maulana, "Ini mendukung kesaksian klien saya bahwa korban memiliki niat tersembunyi malam itu, yang membuat klien saya memilih pergi untuk menghindari situasi lebih buruk dan agar tidak terjadi konflik lebih lanjut."
Pengungkapan ini menyebabkan kegaduhan di ruang sidang. Ini adalah pertama kalinya detail ini terungkap, bahkan ibu Doni, yang selalu percaya akan kepolosan anaknya, terlihat terkejut. Aku, yang duduk tenang di samping Mas Maulana, merasakan detak jantungku berdebar kencang. Aku tidak pernah mengungkapkan bagian cerita ini, sebagian karena rasa malu dan sebagian karena tidak percaya bahwa ada yang akan mendengarkan. Namun sekarang, kebenaran akhirnya terungkap.
Pihak penuntut jelas terguncang. Informasi baru ini, dikombinasikan dengan kesaksian ibu penyelamatku, telah menimbulkan keraguan atas kasus yang awalnya dibangun. Namun, masih ada lagi.
Ketegangan di ruang sidang semakin terasa saat Mas Maulana melanjutkan penjelasannya. "Kami bukan di sini hanya untuk menuntut keadilan untuk klien saya," katanya dengan suara tegas. "Kami juga ingin mengungkap kebenaran tentang kejadian malam itu. Bukti-bukti yang kami ajukan menunjukkan bahwa situasi tidak sesederhana yang dituduhkan."
Bu Hera menutup sesi pertama persidangan hari itu dengan menatapku melalui layar dengan penuh harapan. "Saya percaya pada kebenaran. Dan saya percaya padamu," ujarnya lembut, meski ada kesedihan yang terpendam di matanya.
Kata-kata itu membangkitkan semangatku. Sepertinya, aku bukan lagi hanya seorang terpidana. Hari ini, aku adalah seorang pejuang yang siap mempertahankan hidupnya, dan tidak akan berhenti sampai keadilan itu terwujud.
Pembenaran dan kebenaran
Setelah istirahat makan siang, sesi berikutnya dimulai. Saksi ahli dari tim psikologi dipanggil untuk menyampaikan hasil asesmen dan tes kebohongan yang telah dilakukan pekan lalu. Setelah disumpah sebagai saksi ahli, ketua tim psikolog memulai pemaparannya dengan ketenangan yang tenang namun penuh keyakinan.
"Setelah analisis mendalam," ucapnya, "kami menyimpulkan bahwa kejiwaan subjek dalam keadaan stabil, tanpa tanda-tanda trauma psikis yang signifikan. Subjek sangat mampu membedakan antara benar dan salah, namun secara personal cenderung tertutup—introvert—dengan lingkaran pertemanan yang sangat kecil. Subjek juga menunjukkan kecenderungan kesulitan menolak ajakan dari orang terdekat dan cenderung merasa malu dalam lingkungan sosial, sering kali menarik diri."
Kata-kata mereka benar-benar menggambarkan diriku yang sebenarnya. Hanya dalam lingkungan terdekatku—bersama pacar, ayah, dan ibuku—aku merasa bisa menjadi diriku sendiri. Namun, tim psikolog menambahkan, "Hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua serta perasaan terasing dari teman sebaya turut membentuk sifat subjek yang penuh kecemasan dan kecenderungan untuk menghindari masalah."
Kemudian, psikolog melanjutkan pemaparannya tentang tes kebohongan. Mereka melakukan berbagai tes, termasuk menggunakan poligraf untuk mengukur respons fisiologis seperti detak jantung dan tekanan darah, serta mengamati gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan cara berbicara. Hasilnya menunjukkan bahwa aku berkata jujur. "Subjek telah mempertahankan ketidakbersalahannya selama 13 tahun," ujar psikolog itu dengan nada penuh keyakinan. "Dari berbagai penilaian kami, jelas bahwa Subjek bukan tipe orang yang mudah mengkompromikan nilai-nilainya. Subjek teguh pada kebenarannya, dan saya percaya bahwa kesaksiannya tentang malam itu jujur."
Pemaparan ini membuat pengacaraku, Mas Maulana, semakin yakin bahwa kebenaran tentang diriku mulai terbuka. Semua yang dijelaskan oleh tim psikolog menunjukan bahwa aku bukan seseorang yang memiliki niat atau bahkan kapasitas untuk melakukan pembunuhan berencana yang dingin dan kejam.
Ruangan terasa tegang, semua mata beralih ke hakim. Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat saat berharap bahwa semua ini cukup untuk membuktikan ketidakbersalahanku.
Saat sidang hari itu berakhir, hakim mengumumkan bahwa keputusan akhir akan dibuat pada sesi berikutnya dua minggu lagi, setelah semua bukti dan kesaksian baru ditinjau. Aku meninggalkan ruang sidang dengan perasaan yang belum pernah kurasakan dalam waktu yang lama: optimisme dan kebahagiaan. Setelah bertahun-tahun, keadilan akhirnya tampak dalam genggamanku.
Saat dibawa kembali ke lapas, pikiranku berputar dengan segala kemungkinan. Apakah mimpi buruk panjang ini benar-benar akan berakhir? Akankah aku benar-benar bebas? Masih ada satu sidang lagi yang harus dihadapi, tapi untuk pertama kalinya, aku membiarkan diri percaya bahwa kebebasan itu mungkin.
Pengacaraku, Mas Maulana, memberiku senyum meyakinkan sebelum kami berpisah. "Kita bisa mengatasinya," katanya dengan penuh keyakinan. "Sidang berikutnya, kita akan keluar dari sini sebagai pemenang."
Aku ragu sejenak sebelum mengutarakan sesuatu yang terpendam di hatiku. "Boleh aku tanya sesuatu?" suaraku lebih lembut, lebih intim.
"Tentu saja," jawabnya, terlihat lebih serius.
"Sudahkah kau pikirkan apa yang ingin kau lakukan setelah bebas?" tanyanya, nadanya hangat, penuh rasa penasaran.
Aku menunduk, mengumpulkan pikiran. "Aku ingin membantu orang lain. Aku ingin memastikan tidak ada orang lain yang harus mengalami apa yang kualami," jawabku, suaraku bergetar meski hatiku kuat.
Dia mengangguk, terlihat tersentuh. "Menurutku itu tujuan yang mulia. Kau telah melalui begitu banyak hal, tapi kau masih ingin membantu orang lain."
Tatapan kami bertemu, dan rasanya udara di antara kami penuh dengan kata-kata tak terucap. Jantungku berdebar kencang. Di tengah kekosongan ini, ada seseorang yang mempercayaiku, yang melihatku bukan hanya sebagai tahanan tetapi sebagai manusia.
Tanpa pikir panjang, aku berkata, "Terima kasih telah percaya padaku. Itu lebih berarti dari yang kau tahu."
Ia mendekat, ekspresinya melembut. "Kau layak dipercaya. Kau jauh lebih kuat daripada yang kau kira."
Gelombang emosi menghantamku; aku merasakan kerinduan yang selama ini terpendam. Aku telah sendirian begitu lama, dan kini di hadapanku ada seseorang yang mengerti perjuanganku, yang mendukungku.
Saat aku berbalik untuk pergi, aku ragu sejenak, berjuang melawan keinginan untuk mengulurkan tangan. "Tunggu," bisikku pelan.
Ia berhenti, matanya penuh rasa ingin tahu. "Ya?"
"Bisakah kita... tetap berhubungan setelah semua ini?"
Senyumnya hangat dan tulus. "Tentu saja. Aku tidak akan melakukannya dengan cara lain."
Saat aku melangkah pergi, harapan mulai tumbuh di dalam diriku. Mungkin hidupku bisa lebih dari sekadar bertahan—mungkin, ada ruang bagi cinta dan persahabatan.
Aku mengangguk, jantungku berdegup dengan harapan dan rasa takut yang bersamaan. Sidang berikutnya akan menentukan nasibku, dan meski masih jauh dari selesai, aku tahu perjuangan ini memberiku kekuatan yang tak terduga.