Dua minggu telah berlalu sejak sidang pertamaku yang melelahkan dan penuh kecemasan. evaluasi psikologi juga telah kujalani.
Di hari sidang terakhir, Diriku duduk di ruangan tahanan kecil di belakang pengadilan sambil menunggu panggilan untuk masuk. Ku merasa campur aduk—antara cemas dan berharap. Tak lama, pintu terbuka, dan ayahnya melangkah masuk. Wajahnya penuh dengan senyum lembut yang menenangkan, seakan membawa kehangatan ke dalam ruangan yang dingin itu. Ia mendekat dan meraih tangan Sarah, menggenggamnya erat.
"Bagaimana perasaanmu, Nak?" tanya Ayahku lembut.
Diriku menghela nafas dalam-dalam. "Cemas, Yah… Rasanya sulit percaya bahwa hari ini bisa jadi penentuan. ku takut berharap terlalu tinggi, tapi ku juga nggak mau kehilangan harapan," jawabnya, suaraku sedikit bergetar.
Ayah mengangguk, lalu meremas tanganku dengan lembut, memberikan kekuatan dalam genggaman itu. "Sarah, dari awal Ayah selalu percaya sama kamu. Ayah tahu siapa kamu dan Ayah tahu kebenaran akan berpihak pada anak Ayah yang selalu berpegang pada prinsipnya."
Diriku menatap ayah, "Maafkan Sarah Yah, diriku telah membuat kecewa," melihat ketulusan dan keyakinan yang kuat dalam sorot matanya. "Ayah, ku gak tahu bagaimana bisa melewati semua ini. bertahun ku salahkan Ayah dan Ibu karena kurang berusaha, ku anggap tidak peduli padaku. Tapi Ayah sudah berkorban begitu banyak… ku berjanji, ku akan kuat sampai akhir."
"Ayah bangga sama kamu, Nak. Bangga dengan kekuatan dan ketabahanmu," kata Ayahnya sambil tersenyum. "Kamu nggak pernah sendiri, Sarah. Kita semua ada di sini untuk mendukungmu. Dan ingatlah, apapun yang terjadi di dalam ruang sidang nanti, kamu adalah anak Ayah yang berharga."
Air mata perlahan mengalir di pipiku. Mendengar kata-kata ayah membuat hatiku terasa hangat, dan sejenak, rasa takut yang menghantui menghilang. "Terima kasih, Yah," bisik ku, mencoba mengendalikan emosi. "Ku berjanji, akan kuat. Untuk Ayah, untuk adik, dan untuk diriku sendiri."
Ayah mengusap air mata ku dengan lembut, lalu menatapnya dalam-dalam. "Dan ingat, Sarah, setelah ini semua selesai, kamu punya kehidupan yang menunggu. Ayah ingin kamu jalani hidup itu sepenuh hati, bebas dari segala beban yang sudah terlalu lama kau pikul."
Diriku mengangguk dengan tekad yang baru. Kata-kata ayah menguatkan hati, mengingatkan ku bahwa apapun hasil sidang hari ini, diriku tetap memiliki masa depan yang harus diperjuangkan.
Kami terdiam sejenak, menikmati momen kebersamaan itu, sebelum suara petugas memanggil "Sarah silahkan masuk ke ruang sidang". Dengan tangan ayah di pundak, diriku berdiri tegak, mengumpulkan keberanian. Sebelum melangkah pergi, ku peluk ayah erat, seakan ingin menyerap semua kekuatan yang diberikan.
"Aku siap, Yah. Mari kita selesaikan ini," kata ku dengan suara mantap.
Dengan senyum penuh harapan, Ayah mengangguk, dan kami berjalan bersama menuju ruang sidang, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi dengan penuh keberanian dan keyakinan.
Saat diriku melangkah dan menarik nafas dalam-dalam, masuklah Mas Maulana, pengacara ku yang setia.
"Assalamualaikum, Selamat Pagi, Mas Maulana," Sapa ku, suaranya nyaris berbisik. "Diriku merasa sangat cemas menghadapi persidangan ini. Rasanya semua begitu berat dan tidak adil."
Mas Maulana duduk di sebelah ku, menatap dengan mata penuh pengertian. "Sarah, saya paham perasaanmu. Tapi ingatlah, segala yang terjadi, biarkanlah terjadi. Hadapilah dengan senyuman dan ketenangan jiwa. Semua akan baik-baik saja."
Diriku mengangguk, "Wah Mas Maulana ini penggemar dewa juga rupanya," meski hatiku masih gelisah. "Tapi bagaimana jika hasilnya tetap tidak berubah Bagaimana jika aku harus terus menjalani hidup di penjara ini?"
Mas Maulana menarik nafas panjang sebelum menjawab. "Mas Maulana akan upayakan yang terbaik untukmu, untuk kita Tapi ingat, Kita tidak bisa merubah ketetapan Tuhan yang sudah ditetapkan. Yang bisa kita lakukan adalah menerima dan merelakan ini, percaya bahwa semuanya yang terbaik untuk kita. Tugas kita adalah berusaha yang terbaik dan menyerahkan hasilnya pada Tuhan."
Diriku menatap Mas Maulana, merasakan sedikit ketenangan merembes masuk. "Kamu benar, Mas Maulana. Menyerah bukan berarti kalah, ya?"
Tersenyum, Mas Maulana mengangguk. "Tepat sekali, Sarah. Menyerah untuk menang. Ketika kita bisa menerima segala ketetapan dengan lapang dada, itulah kemenangan sejati. Jadi hadapilah semuanya dengan senyuman."
Kesaksian yang mengejutkan
Sidang kedua dimulai dengan suasana tegang, udara di ruang sidang terasa berat. Saat palu hakim diketuk, Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. agenda utama sidang kali ini Pemeriksaan saksi meringankan dan saksi ahli. Seluruh hadirin memusatkan perhatian pada layar besar di depan. Mas Maulana, pengacaraku yang selalu tenang, berdiri tegap dan memanggil saksi pertama: Bu Herawati, ibu dari Doni sekaligus ibu penyelamatku. Meskipun dia berada di balik jeruji di pulau lapas perempuan, kesaksiannya hadir melalui panggilan video. Wajahnya yang penuh ketegaran muncul di layar, menggenggam setiap perhatian di ruang sidang.
Bu Hera diambil sumpahnya sebagai saksi. "Bismillahirrahmanirrahim. Demi Allah saya Raden Roro Herawati bersumpah, bahwa saya akan mengungkap bukti atau novum yang akan diajukan di dalam permohonan peninjauan kembali terdakwa Sarah Rahmawati, dengan sebenarnya"
Dengan suara yang mantap namun bergetar oleh penyesalan, dia mulai bicara. Suaranya berat, penuh penyesalan dan luka yang tak terobati. "Yang Mulia Majelis Hakim, ijinkan saya bersaksi." cerita ibu penyelamatku dimulai setelah anggukan Majelis Hakim. "Ketika anakku meninggal, saya dilanda duka dan amarah yang tak tertahankan. Saya ingin seseorang membayar atas kematian Doni, dan keinginan itu menutupi penilaianku. Saya menekan jaksa untuk menuntut hukuman paling berat, memengaruhi saksi-saksi agar memberatkan Sarah, bahkan berusaha agar hakim kolega saya, memberi vonis yang paling keras untuknya."
Ruangan hening, hanya suara Bu Hera yang bergema, menyeruak masuk ke setiap hati yang mendengarnya. "Yang Mulia Majelis Hakim, Saat itu, saya mengira saya sedang memperjuangkan keadilan, namun sebenarnya saya hanya tenggelam dalam dendam. Saya tidak memberi kesempatan yang adil bagi Sarah. Dan untuk itu, saya harus mengakui kesalahan saya di hadapan semua orang." Suara Bu Hera terdengar semakin berat, membawa keheningan yang tak biasa. "Saya sadar, kini, bahwa tindakan saya adalah sebuah kesalahan besar. Kemarahan dan keinginan akan keadilan mengaburkan penilaian saya, dan hal itu membuat saya mengambil jalan yang salah. Saya harus mengakui, saya ikut bertanggung jawab atas keputusan yang menimpanya."
Kata-katanya menggetarkan hatiku. Ada harapan baru yang muncul di tengah ketidakpastian ini. Semua rasa takut dan putus asa yang selama ini mendera terasa sedikit berkurang, seperti kabut yang perlahan terurai oleh sinar matahari.
Di tengah keheningan yang mengiringi kesaksian Bu Hera, aku merasa sebuah pintu kecil menuju keadilan telah terbuka, memberikan secercah harapan baru yang selama ini kupikir telah musnah.
Aku duduk di samping Mas Maulana, merasakan haru yang sulit ditahan. Semua perasaan takut dan terasing yang menghantuiku selama bertahun-tahun kini seakan mereda, digantikan oleh secercah harapan yang mungkin akan membawaku pada kebebasan.
Di sisi lain, kesaksian Bu Hera membuat pihak penuntut terguncang. Jaksa utama, yang sebelumnya tampak penuh keyakinan pada kekuatan putusan awal, sekarang gelisah. Pengakuan ini jelas di luar dugaan mereka—ibu korban mengakui bahwa ia sendiri telah memanipulasi sistem untuk menghukumku. Meski terkejut, jaksa tidak terlihat ingin membantahnya, mungkin takut bahwa penggalian lebih lanjut malah akan menguak kelemahan dan ketidakadilan sistem yang selama ini tertutup rapat.
Ini adalah momen yang telah lama kutunggu—titik awal dari keadilan yang pantas aku dapatkan.
Namun, tak lama kemudian, Jaksa utama berdiri, wajahnya menyiratkan ketegangan yang jelas. Dengan suaranya yang terkontrol tetapi tetap tegas, ia menyampaikan tanggapannya. "Yang Mulia Majelis Hakim, kesaksian Bu Herawati sungguh mengejutkan dan menyentuh hati. Kami tidak bermaksud mengabaikan pengakuannya. Namun, kami juga harus mengingat bahwa sistem hukum kita berdasar pada bukti yang dapat diverifikasi. Pengakuan Bu Herawati perlu dianalisis dengan seksama, dan kita harus memastikan bahwa tidak ada unsur yang menyesatkan atau didorong oleh perasaan pribadi semata. Kami akan mempersiapkan tanggapan yang lebih mendalam setelah melakukan verifikasi lebih lanjut atas semua bukti yang ada."
Dengan tanggapan yang bijaksana, jaksa menunjukkan komitmen untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan secara objektif, meskipun itu berarti meninjau kembali dan mengevaluasi ulang setiap aspek dari kasus ini.
Hakim, yang selama ini diam dalam perenungan, menatap Bu Hera dengan tatapan tajam dan penuh arti. "Bu Herawati," katanya, suaranya terdengar tegas namun lembut. "Kesaksian Anda tidak hanya menyentuh hati kami, tetapi juga menyadarkan kami akan pentingnya keadilan yang sejati. Pengakuan dan penyesalan Anda adalah bukti keberanian yang luar biasa. Kami akan mempertimbangkan dengan sangat serius setiap bukti dan kesaksian yang telah Anda berikan. Keadilan tidak boleh dikaburkan oleh dendam, dan tugas kami adalah memastikan bahwa kebenaranlah yang menjadi landasan dari setiap putusan yang diambil."
Hakim kemudian mengalihkan pandangannya ke seluruh ruangan, seolah mencari persetujuan dari semua yang hadir. "Sidang ini akan berlanjut dengan pemeriksaan saksi lainnya. Namun, marilah kita mengingat, bahwa setiap suara dan bukti yang disampaikan di sini adalah demi mencapai keadilan yang hakiki."
Bukti Baru yang mengejutkan
Namun, Mas Maulana belum selesai. Setelah kesaksian yang kuat dari Bu Hera, ibu penyelamatku, dia memperlihatkan bukti penting lainnya yang sebelumnya diabaikan dalam persidangan awal.
Mas Maulana melanjutkan dengan menjelaskan tentang detail-detail lain dari laporan otopsi. "Tidak hanya itu," katanya, "kami juga menemukan bahwa tidak ada bekas luka di tubuh Doni menunjukkan adanya perlawanan atau perkelahian. Ini mendukung argumen bahwa klien saya bukanlah pelaku yang dengan sengaja berniat membunuh. ini murni kecelakaan, korban terjatuh ke jurang dengan sendirinya, Dia terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia kendalikan."
Jaksa penuntut umum tampak berusaha mempertahankan kendali. "Ini semua spekulasi!" teriaknya, berusaha memotong arus persidangan. "Kami memiliki bukti yang kuat bahwa klien Anda berada di tempat kejadian dengan niat jahat. Bukti-bukti ini tidak mengubah fakta!"
Mas Maulana menatap jaksa dengan tatapan tajam. "Yang kami butuhkan di sini adalah kejujuran dan keadilan, bukan sekadar untuk memenangkan kasus. Kami berbicara tentang hidup seseorang yang telah dirusak oleh kesalahan sistem dan penilaian yang cacat."
Mas Maulana tak berhenti sampai di situ. Setelah Bu Hera selesai, dia beranjak maju, menggenggam beberapa dokumen yang tampak penting. "Yang Mulia, ada satu temuan lagi yang tak bisa kami abaikan." Dia menatap jaksa penuntut dengan tegas sebelum melanjutkan, "Kondom yang ditemukan di saku korban memberi indikasi bahwa ada niat tersembunyi malam itu, yang mengarah pada perlawanan klien saya."
Suasana ruang sidang makin menegangkan. Wajah jaksa terlihat geram, namun tetap diam seakan tak mau memperkeruh keadaan.
"Ini bukan sekadar bukti tambahan," lanjut Mas Maulana, "Ini mendukung kesaksian klien saya bahwa korban memiliki niat tersembunyi malam itu, yang membuat klien saya memilih pergi untuk menghindari situasi lebih buruk dan agar tidak terjadi konflik lebih lanjut."
Pengungkapan ini menyebabkan kegaduhan di ruang sidang. Ini adalah pertama kalinya detail ini terungkap, bahkan ibu Doni, yang selalu percaya akan kepolosan anaknya, terlihat terkejut. Aku, yang duduk tenang di samping Mas Maulana, merasakan detak jantungku berdebar kencang. Aku tidak pernah mengungkapkan bagian cerita ini, sebagian karena rasa malu dan sebagian karena tidak percaya bahwa ada yang akan mendengarkan. Namun sekarang, kebenaran akhirnya terungkap.
Pihak penuntut jelas terguncang. Informasi baru ini, dikombinasikan dengan kesaksian ibu penyelamatku, telah menimbulkan keraguan atas kasus yang awalnya dibangun. Namun, masih ada lagi.
Ketegangan di ruang sidang semakin terasa saat Mas Maulana melanjutkan penjelasannya. "Kami bukan di sini hanya untuk menuntut keadilan untuk klien saya," katanya dengan suara tegas. "Kami juga ingin mengungkap kebenaran tentang kejadian malam itu. Bukti-bukti yang kami ajukan menunjukkan bahwa situasi tidak sesederhana yang dituduhkan."
Bu Hera menutup sesi pertama persidangan hari itu dengan menatapku melalui layar dengan penuh harapan. "Saya percaya pada kebenaran. Dan saya percaya padamu," ujarnya lembut, meski ada kesedihan yang terpendam di matanya.
Kata-kata itu membangkitkan semangatku. Sepertinya, aku bukan lagi hanya seorang terpidana. Hari ini, aku adalah seorang pejuang yang siap mempertahankan hidupnya, dan tidak akan berhenti sampai keadilan itu terwujud.
Pembenaran dan kebenaran
Setelah istirahat makan siang, sesi berikutnya dimulai. Saksi ahli dari tim psikologi dipanggil untuk menyampaikan hasil asesmen dan tes kebohongan yang telah dilakukan pekan lalu. Setelah disumpah sebagai saksi ahli, ketua tim psikolog memulai pemaparannya dengan ketenangan yang tenang namun penuh keyakinan.
"Setelah analisis mendalam," ucapnya, "kami menyimpulkan bahwa kejiwaan subjek dalam keadaan stabil, tanpa tanda-tanda trauma psikis yang signifikan. Subjek sangat mampu membedakan antara benar dan salah, namun secara personal cenderung tertutup—introvert—dengan lingkaran pertemanan yang sangat kecil. Subjek juga menunjukkan kecenderungan kesulitan menolak ajakan dari orang terdekat dan cenderung merasa malu dalam lingkungan sosial, sering kali menarik diri."
Kata-kata mereka benar-benar menggambarkan diriku yang sebenarnya. Hanya dalam lingkungan terdekatku—bersama pacar, ayah, dan ibuku—aku merasa bisa menjadi diriku sendiri. Namun, tim psikolog menambahkan, "Hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua serta perasaan terasing dari teman sebaya turut membentuk sifat subjek yang penuh kecemasan dan kecenderungan untuk menghindari masalah."
Kemudian, psikolog melanjutkan pemaparannya tentang tes kebohongan. Mereka melakukan berbagai tes, termasuk menggunakan poligraf untuk mengukur respons fisiologis seperti detak jantung dan tekanan darah, serta mengamati gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan cara berbicara. Hasilnya menunjukkan bahwa aku berkata jujur. "Subjek telah mempertahankan ketidakbersalahannya selama 13 tahun," ujar psikolog itu dengan nada penuh keyakinan. "Dari berbagai penilaian kami, jelas bahwa Subjek bukan tipe orang yang mudah mengkompromikan nilai-nilainya. Subjek teguh pada kebenarannya, dan saya percaya bahwa kesaksiannya tentang malam itu jujur."
Pemaparan ini membuat pengacaraku, Mas Maulana, semakin yakin bahwa kebenaran tentang diriku mulai terbuka. Semua yang dijelaskan oleh tim psikolog menunjukan bahwa aku bukan seseorang yang memiliki niat atau bahkan kapasitas untuk melakukan pembunuhan berencana yang dingin dan kejam.
Ruangan terasa tegang, semua mata beralih ke hakim. Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat saat berharap bahwa semua ini cukup untuk membuktikan ketidakbersalahan ku.
Saat sidang hari itu berakhir, hakim mengumumkan bahwa keputusan akhir akan dibuat pada sesi berikutnya dua minggu lagi, setelah semua bukti dan kesaksian baru ditinjau. Aku meninggalkan ruang sidang dengan perasaan yang belum pernah kurasakan dalam waktu yang lama: optimisme dan kebahagiaan. Setelah bertahun-tahun, keadilan akhirnya tampak dalam genggamanku.
Harapan Optimis
Setelah sidang ditutup, pengunjung melangkah keluar dari ruang pengadilan, namun diriku masih memproses setiap kata yang diucapkan tim psikolog. Kata-kata mereka masih terngiang di telingaku—bukan hanya sebagai pembelaan, tetapi juga sebagai pengakuan atas siapa diriku sebenarnya. Mungkin, ini adalah pertama kalinya ada orang yang benar-benar melihatku dengan pandangan yang tanpa prasangka, dan yang benar-benar paham apa yang kurasakan selama ini.
Mas Maulana yang selalu mendampingiku. Wajahnya yang biasanya datar kini menampakkan senyum tipis, senyum yang aku yakin jarang kutemui dari seorang pria yang terlatih untuk tidak menunjukkan terlalu banyak emosi di ruang pengadilan. Ia menepuk pundakku dengan lembut.
"Kerja bagus hari ini," katanya. "Penilaian psikolog itu sangat penting. Kita hampir sampai."
Diriku hanya bisa mengangguk sambil menahan air mata. Rasanya sulit untuk percaya bahwa semua ini mungkin segera berakhir. Tiga belas tahun adalah waktu yang panjang, dan selama itu, aku hidup dalam bayang-bayang prasangka orang lain—mereka yang menganggapku bersalah hanya dari kabar yang mereka dengar atau dari bukti yang telah dimanipulasi.
Pengacara ku, Mas Maulana, memberiku senyum meyakinkan sebelum kami berpisah. "Kita bisa mengatasinya," katanya dengan penuh keyakinan. "Sidang berikutnya, kita akan keluar dari sini sebagai pemenang."
Aku ragu sejenak sebelum mengutarakan sesuatu yang terpendam di hatiku. "Boleh ku tanya sesuatu?" suaraku lebih lembut, lebih intim.
"Tentu saja," jawabnya, terlihat lebih serius.
"Sudahkah kau pikirkan apa yang ingin kau lakukan setelah bebas?" tanyanya, nadanya hangat, penuh rasa penasaran.
Diriku menunduk, mengumpulkan pikiran. "Aku ingin membantu orang lain. Aku ingin memastikan tidak ada orang lain yang harus mengalami apa yang kualami," jawabku, suaraku bergetar meski hatiku kuat.
Dia mengangguk, terlihat tersentuh. "Menurutku itu tujuan yang mulia. Kau telah melalui begitu banyak hal, tapi kau masih ingin membantu orang lain."
Tatapan kami bertemu, dan rasanya udara di antara kami penuh dengan kata-kata tak terucap. Jantungku berdebar kencang. Di tengah kekosongan ini, ada seseorang yang mempercayaiku, yang melihatku bukan hanya sebagai tahanan tetapi sebagai manusia.
Tanpa pikir panjang, aku berkata, "Terima kasih telah percaya padaku. Itu lebih berarti dari yang kau tahu."
Ia mendekat, ekspresinya melembut. "Kau layak dipercaya. Kau jauh lebih kuat daripada yang kau kira."
Gelombang emosi menghantamku; aku merasakan kerinduan yang selama ini terpendam. Aku telah sendirian begitu lama, dan kini di hadapanku ada seseorang yang mengerti perjuanganku, yang mendukungku.
Saat aku berbalik untuk pergi, aku ragu sejenak, berjuang melawan keinginan untuk mengulurkan tangan. "Tunggu," bisikku pelan.
Ia berhenti, matanya penuh rasa ingin tahu. "Ya?"
"Bisakah kita... tetap berhubungan setelah semua ini?"
Senyumnya hangat dan tulus. "Tentu saja. Aku tidak akan melakukannya dengan cara lain."
Setelah berpamitan dengan Mas Maulana, diriku dengan tangan terborgol dikawal petugas berjalan keluar gedung pengadilan, menuju van angkutan tahanan ke arah jalan yang basah setelah hujan sore tadi. Aroma tanah basah membangkitkan kenangan masa lalu, kenangan saat aku masih bebas dan bisa berjalan-jalan tanpa beban, tanpa mata yang terus memandang penuh curiga.
Langit mendung, awan tebal bergelayut seolah ikut memahami beratnya perjalanan ini. Namun, di balik awan itu, aku bisa merasakan secercah harapan. Bayang-bayang kelam selama bertahun-tahun kini mulai memudar, perlahan berganti dengan cahaya yang mulai tampak dari balik keraguan.
Dua minggu lagi, aku akan kembali ke ruang sidang ini untuk mendengar vonis yang mungkin akan menentukan segalanya. Dalam dua minggu itu, aku harus menghadapi segala ketakutan yang pernah membelenggu diriku, segala ketidakpastian tentang apa yang mungkin terjadi. Tapi untuk pertama kalinya, aku siap. Tidak lagi dengan ketakutan atau rasa bersalah yang disematkan padaku, tapi dengan keyakinan bahwa akhirnya, setelah sekian lama, kebenaran akan memihak padaku.
Diriku kembali ke dalam sel dengan hati yang jauh lebih ringan. Suara kunci yang berderit ketika pintu sel ditutup di belakangku kali ini tidak lagi terasa menakutkan. Aku duduk di sudut, melihat keluar jendela kecil di dinding, mengamati langit yang mulai terang. Meski belum benar-benar bebas, setidaknya hatiku merasa lebih merdeka daripada sebelumnya.
Diriku mengangguk, jantungku berdegup dengan harapan dan rasa takut yang bersamaan. Sidang berikutnya akan menentukan nasibku, dan meski masih jauh dari selesai, aku tahu perjuangan ini memberiku kekuatan yang tak terduga.
Harapan Ayah
Baru saja kutahu, kedekatan Ayah dan Mas maulana mulai tumbuh. Saat itu, setelah sidang pembelaan ku berakhir dan diriku kembali ke sel di lapas, ayah ku masih tetap berada di gedung pengadilan, menanti kesempatan untuk berbicara dengan Mas Maulana. Saat akhirnya Mas Maulana keluar, Ayah menyapanya dengan hangat namun penuh kecemasan.
"Mas Maulana, terima kasih atas semua yang sudah kamu lakukan untuk Sarah," ucap Ayah sambil menggenggam tangan Mas Maulana. "Saya tahu, kamu sudah berjuang keras untuk membuktikan ketidakbersalahan Sarah."
Mas Maulana tersenyum tipis dan menepuk bahu Ayah. "Pak, saya melakukan semua ini karena saya yakin Sarah tidak bersalah. Dari awal kasus ini ditangani, saya sudah melihat bahwa dia hanya seorang korban keadaan. berada di tempat dan waktu yang salah, Saya percaya kebenaran akan berpihak padanya."
Mereka berdua terdiam sesaat, menatap langit senja yang mulai berubah warna. Kemudian, dengan nada lembut dan sedikit ragu, Ayah bertanya, "Mas Maulana… bolehkah saya menanyakan sesuatu yang lebih… pribadi?"
Mas Maulana mengangguk, meski agak heran. "Tentu, Pak. Silakan."
"Saya sering melihat bagaimana kamu memperlakukan Sarah," ujar Ayah sambil tersenyum lembut. "Saya tahu kamu peduli padanya lebih dari sekadar sebagai pengacara dan klien. Sejujurnya, saya merasa ada harapan bagi Sarah jika ada seseorang seperti kamu di sisinya."
Mas Maulana tampak terkejut dan terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata itu. "Pak, saya... saya tidak tahu harus berkata apa," ucapnya akhirnya. "Sarah adalah sosok yang sangat kuat. Selama proses ini, saya semakin menghormati dan mengagumi keteguhan hatinya. Tapi... untuk soal masa depan, saya rasa itu hak Sarah sepenuhnya untuk memutuskan."
Ayah mengangguk paham, tapi tidak menyerah. "Saya hanya ingin kamu tahu, Mas, bahwa Sarah butuh seseorang yang benar-benar bisa memahami dan mendukungnya. Dia sudah kehilangan banyak hal selama bertahun-tahun ini, dan saya tahu dia butuh seseorang yang bisa membuatnya merasa aman dan dihargai."
Mas Maulana terdiam, memikirkan betapa besar makna kata-kata itu. Hubungan dengan diriku memang berkembang seiring waktu, dari sekadar hubungan profesional menjadi rasa yang lebih dalam, rasa simpati, dan mungkin harapan untuk lebih. Namun, Ayah sadar sepenuhnya bahwa diriku masih dalam proses memulihkan diri sendiri.
"Akan ada waktunya, Pak," jawab Mas Maulana dengan tenang namun penuh keyakinan. "Saat ini, yang paling penting bagi saya adalah memastikan bahwa Sarah bisa mendapatkan kebebasannya. Setelah itu, jika memang takdir mempersatukan kami, saya akan dengan senang hati ada di sisinya. Tapi itu adalah pilihan yang harus dibuat Sarah sendiri."
Ayah tersenyum penuh harap, dan untuk pertama kalinya dalam sekian lama, dia merasa lega. "Saya percaya kamu, Mas Maulana. Sarah beruntung bisa memiliki orang seperti kamu di sisinya."
Mas Maulana mengangguk, dan mereka saling beradu pandang dengan keyakinan yang tumbuh bersama. Dalam hati mereka, doa dan harapan tentang masa depan Sarah perlahan terukir, sembari menunggu akhir dari perjuangan panjang ini.