Tepat pukul 8:00 pagi, hari Senin awal bulan Januari 2023, kapal yang membawaku berlayar meninggalkan pulau penjara Perempuan, menuju pulau utama. Dengan tangan terborgol dan dikawal ketat, diriku duduk di bangku panjang yang teratur rapi dikelilingi para petugas lelaki bersenjata dan hanya dua petugas perempuan yang ikut mengawal kepergianku sekaligus untuk off duty break.
Pegawai di penjara ini sangat terbatas, tim petugas pengawas hanya terdiri dari 30 pegawai aparat pemerintah, kebanyakan perempuan, hanya 10 petugas lelaki di pulau itu. kami di sana sangat jarang dan dibatasi berinteraksi dengan petugas lelaki, mereka hanya berjaga diluar pagar blok hunian. Mereka bukan petugas biasa—dilatih dengan kemampuan beladiri tingkat tinggi dan senjata yang siap digunakan kapan saja. Tak pernah sekalipun aku melihat mereka lengah. Bergiliran mengawasi kami, 200 narapidana warga binaan pemasyarakatan perempuan paling berbahaya di negara ini.
Penjara ini sangat terpencil, tanpa jalan keluar selain kapal kecil berkapasitas 500 GWT yang berlayar seminggu sekali yang kami tumpangi ini.
Bagi petugas yang memilih pekerjaan ini, daya tariknya jelas: gaji tinggi, cukup untuk membangun masa depan finansial yang hanya bisa diimpikan kebanyakan orang di kota. Bekerja di sini adalah tambang emas bagi mereka yang berani. Para petugas bisa menyimpan banyak uang tanpa godaan hidup kota, dan dengan isolasi dari kehidupan sosial, tak ada biaya tak terduga.
Namun, penghasilan mereka itu juga harus dibayar dengan harga yang mahal.
Setiap anggota staff di sana juga bagaikan narapidana yang terkurung di pulau itu, bedanya kami narapidana terkurung selamanya, seumur hidup namun bagi mereka memiliki jadwal kerja yang pasti—satu bulan di pulau itu, bekerja siang dan malam tanpa istirahat, diikuti dengan satu minggu off duty bersantai kembali menikmati hidup di kota. Ini adalah siklus isolasi dan istirahat singkat, dengan kehidupan keluarga dan sosial yang dikesampingkan demi pekerjaan.
Pulau penjara ini seperti dunia lain. Kami, para narapidana, ditempatkan di sel sempit, blok-blok hunian yang sederhana, bekerja keras hanya untuk bertahan hidup. Sementara itu, para staf menikmati kehidupan yang jauh berbeda. Mereka tinggal di asrama modern dengan fasilitas seperti studio kecil, dilengkapi panel surya, dan jaringan internet satelit, memungkinkan mereka untuk tetap terhubung dengan dunia luar. Mereka beristirahat di kenyamanan yang tidak pernah bisa kami rasakan, seolah-olah kami adalah dua dunia yang bertabrakan di satu tempat.
Perjalanan ke dan dari pulau itu adalah pengalaman tersendiri. Lautan yang memisahkan pulau penjara dari daratan adalah pengingat nyata akan keterasingan kami. Sepuluh jam terombang-ambing di atas laut yang keras menguji siapa pun yang melaluinya. Selain staf dan narapidana, kapal itu juga kadang membawa pengunjung, meski tiket yang mahal membuat kunjungan menjadi kemewahan yang jarang.
Dalam pelayaran ini, perasaanku campur aduk muncul: ada kelegaan untuk sesaat meninggalkan pulau, ketegangan menghadapi proses hukum yang entah bagaimana hasilnya, dan ketakutan menghadapi dunia yang telah lama meninggalkanku.
Hal yang menyenangkan
Sepuluh jam lamanya perjalanan yang akan kutempuh, hari itu juga menjadi interaksi terlamaku dengan para lelaki, 13 tahun sudah diriku tinggal di pulau penjara perempuan, dunia yang dipenuhi perempuan,
"Duduk sini, Mbak. Jangan lompat ke laut, jadi masalah nanti," kata salah satu petugas lelaki sambil tersenyum nakal.
"Siapa namamu mbak?" tanyanya singkat. Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah melanjutkan, "Mbak Sarah Rahmawati binti H. Suryo Subranto, umur 30 tahun, penjahat cantik kasus pembunuhan berencana pacarnya, hukuman seumur hidup." Suaranya datar, namun ada nada menggoda.
"Mau tidak mau, itu saya," kataku sambil menghela napas, sedikit tersenyum meski hatiku berat.
"Wah mbak cantik ini pembunuh pacarnya ternyata, menakutkan juga kalau dijadikan pacar nih," katanya sambil mengangkat alis, membuatku tersanjung sekaligus jengkel sejenak "it's first time for so many years somebody, a man, tell me I'm pretty" . Ditambah Rasa mual karena mabuk laut mulai menyerang, tapi aku berusaha mengabaikannya. "Mbak Sarah mabuk laut ya ? ini minum dulu jahe anget biar ga sampai muntah nanti" Petugas menyuguhi ku gelas.
setelah beberapa saat, dan mual di perutku berkurang, aku mulai obrolan petugas itu "Terima Kasih Pak untuk wedang Jahe angetnya, sudah agak mendingan sekarang" kemudian kulanjutkan "Aku ini tidak bersalah, Pak. Saya kembali ke pulau utama untuk sidang Peninjauan kembali. Harapan untuk bebas masih ada," balasku, berusaha tegar.
"Jangan panggil Pak panggil aja Mas Agung, wong saya masih bujang kok" sahutnya "Wow Mbaknya sudah 13 tahun di penjara, lama juga ya? Betah, mbak?" sindir Mas Agung petugas itu sambil menawari nasi bungkus untuk makan siang.
"Betah? mau gimana lagi, kabur aja juga susah dari pulau itu, Setiap hari seperti berjuang untuk bertahan. Tapi aku selalu berharap bisa bebas, keluar dari sini," mas Agung kenapa juga masih bujang, banyak napi cewek di pulau masa ga ada yang mau dijadikan pacar mu kah? jawabku, mencoba menggoda. "atau mungkin Mas Agung bisa jadi pemandu ku di kota nanti?"
Petugas yang lain ikut tertawa mendengar obrolan kita. "Eh benar juga kata Mbak Sarah, aku bisa jamin, pacaran sama napi di penjara jauh lebih baik! Lebih setia, tidak ada yang selingkuh, dan tidak ada yang bisa pergi dari sana," dia menjawab dengan nada nakal.
"Bisa jadi! Tapi, lebih baik aku tetap dengan yang bebas, saya tidak mau terlibat masalah. Lagian, pacaran tapi ga bisa nonton bareng, kencan di cafe bareng, jadi untuk apa?" Balas Mas Agung, menjelaskan situasi.
"Ya, disini memang ga bisa nonton bioskop, tapi gimana kalau kita atur kencan di sini? Kita bisa buat piknik di pantai & hutan yang masih sangat indah !" balasku dengan senyuman nakal.
Dia tertawa lagi. "Itu sih ide yang menarik! Tapi jangan berharap aku akan membawamu pergi dari sini. Terlalu berisiko."
"Risiko? Untuk cinta? Seharusnya kita berani mengambil risiko, kan?" kata ku, berusaha ceria meski kenangan pahit mulai membayangi pikiranku. perjalanan panjang melelahkan kita kehabisan bahan obrolan, tanpa sadar diriku tertidur dalam ayunan kapal yang menerjang gelombang.
Tiba-tiba, gambaran wajah pacarku Doni yang telah pergi terlintas di dalam mimpiku—wajah yang dulu penuh harapan kini hanya menyisakan rasa bersalah dan penyesalan. Saat aku mengingat kembali saat-saat bahagia bersama Doni, aku ingat betapa dia selalu berjanji untuk mendukungku, bahkan ketika semua tampak gelap. Terakhir kali kami bertemu, dia bilang hubungan kita akan lanjut ke jenjang selanjutnya, "Kita akan melalui ini bersama kan Doni ? Jangan tinggalkan aku ! Kenapa semua ini menimpaku !." aku mengigau
"Mbak Sarah?" petugas itu memanggilku, mengganggu tidurku. "are you okey? terbayang kenangan buruk kan?"
"Ah, tidak apa-apa mas," jawabku cepat, berusaha tersenyum. "Hanya sedikit mual dan pusing karena laut."
Dia memperhatikan wajahku dan berkata dengan nada lebih serius, "Kadang, hal terburuk yang terjadi bisa membawa kita ke tempat yang buruk. Mungkin kamu hanya butuh waktu."
Dalam hati, aku meragukan ucapannya, tetapi kata-katanya menyentuhku. "Semoga kamu benar. Sidang ulang ini bisa jadi titik balik untukku."
Dia mengangguk. "Kalau kamu butuh dukungan, jangan ragu untuk bilang. Kami di sini tidak semua jahat," dia tersenyum lembut, memberiku harapan kecil di tengah kepahitan yang kuhadapi.
Petugas itu menatap ke arah laut, sambil berkata pelan, "Setelah sekian lama bekerja di sini, kadang aku lupa bahwa kalian ini manusia juga. Maaf kalau selama ini perlakuan kami… ah, yah, kamu tahulah."
Aku tersenyum tipis, "Kami narapidana sudah terbiasa, Pak. Tak banyak yang melihat kami sebagai manusia, lebih sering hanya dianggap sebagai potensi ancaman."
"Aku bisa bayangkan, tapi seandainya kita nanti bisa bertemu di luar, mungkin ceritanya berbeda." Ia menghela napas dalam, seakan menyesali apa yang diungkapkannya.
"Ada harapan bahwa kita semua bisa berubah, Pak, bukan? Bahkan narapidana seperti saya," jawabku sambil menatap lurus ke arah cakrawala, mencoba mencari kepastian di antara riak ombak.
"Siapa tahu? Tapi yang jelas, aku harap sidangmu nanti memberikan hasil yang adil. Dan mungkin, di suatu waktu, kita bisa bertemu bukan sebagai petugas dan narapidana," katanya pelan, seakan berkata lebih kepada dirinya sendiri.
Diriku hanya mengangguk, tak berani berharap terlalu tinggi. Perjalanan sepuluh jam di laut ini menjadi waktu yang penuh perenungan dan pertanyaan—pertanyaan tentang apa yang mungkin masih tersisa bagiku di luar sana.
Namun kali ini, rasanya berbeda—ada sedikit harapan, bayangan kebebasan yang perlahan mendekat. Kenangan masa lalu dan wajah Doni tetap membayangi pikiranku, tetapi aku tahu bahwa persidangan ulang ini mungkin adalah kesempatan untuk membuka lembaran baru.
Akankah bukti baru yang akan terungkap dalam sidang ini membebaskanku dari semua kesalahan? Atau justru, akan mengungkapkan sesuatu yang lebih gelap tentang masa laluku dan hubunganku dengan Doni?
Atau apakah kami hanya mengejar bayangan, berpegang teguh pada keyakinan bahwa keadilan pada akhirnya akan menang?
Kenangan pahit itu kembali menghantui—hari ketika aku ditangkap. Aku ingat jelas saat pacarku dan aku berdebat di puncak gunung. Dia yang menginginkan untuk berbuat yang tidak pantas, dan aku yang merasa terdesak pergi begitu saja. Dalam kegundahan, semua terasa gelap, dan tiba-tiba kudengar kabar Doni ikut menghilang dan seminggu kemudian telah menjadi mayat. Saat itu pikiranku galau, segalanya menjadi kacau. Kematian Doni yang terpaksa, ataukah memang karena aku tidak bisa mengendalikan emosi saat itu? Pertanyaan itu terus berputar di benakku, menghantui setiap detik penantianku di balik jeruji besi hingga di perjalanan ini.
Kembali ke saat ini, suara petugas memecah lamunanku. "Mbak, kita akan sampai dalam waktu dekat. Siap-siap ya," katanya dengan nada yang tidak begitu peduli.
"Siap-siap apaan? Tangan ku diborgol, diriku juga nggak punya barang bawaan," jawabku, nada sarkastis tidak bisa kutahan. Rasa frustasi meluap, tetapi ada sedikit humor di dalamnya.
Dia tertawa kecil. "Eh, siapa tahu kamu bisa bawa pulang sedikit kebebasan, kan?" Ada nada nakal dalam suaranya, membuatku terkejut.
Aku hanya bisa menatap jauh ke depan, mengingat kata-kata Ibu penyelamatku: "Kebenaran akan mengungkap banyak hal, bahkan jika itu menyakitkan." Apa yang akan terungkap di persidangan nanti? Semua yang terpendam, semua yang ingin kukatakan, akan muncul di permukaan. Kembali terbayang wajah Doni, senyumnya yang hangat, dan suara hatiku yang bergetar—apakah semua ini akan berakhir adil, atau justru menguburku lebih dalam dalam kegelapan masa lalu?
"Tenang aja, Mbak. Kita semua punya masa lalu," petugas itu mencoba menenangkan, namun kata-katanya lebih terasa sebagai sindiran ketimbang dukungan.
"Kalau begitu, jangan khawatir. Masa laluku cukup rumit," jawabku sambil tersenyum kecut. "Sama seperti masa depan kita yang mungkin penuh dengan kejutan."
Obrolan ini memang sedikit canggung, namun juga tak terasa menyenangkan. Ini adalah kali pertama aku merasakan percakapan yang ramah dari seorang lelaki, apalagi setelah 13 tahun terkucil di dunia yang sepenuhnya perempuan. Terlintas harapan samar dalam hatiku, bahwa mungkin masih ada kesempatan untuk kembali ke dunia nyata—untuk hidup tanpa rasa curiga atau penilaian yang tak adil.
Perjalanan masih panjang, tetapi dalam ketidakpastian ini, aku merasakan sedikit harapan. Mungkin persidangan ulang ini akan memberikan kejelasan yang aku cari. Mungkin, justru kebenaran yang menyakitkan itu akan membebaskanku, atau sebaliknya, mengikatku lebih erat pada masa lalu yang tak terhindarkan.
Tiba di Kota
Setelah sepuluh jam perjalanan laut yang melelahkan, Akhirnya kami tiba di pulau utama, Ibu kota ketika senja mulai menyelimuti. Langit memerah, menciptakan kontras yang indah dengan kegelapan yang mengintip di ujung horizon.
Masih dalam borgol dan dikawal petugas, aku dibawa masuk ke dalam sebuah van. Suara pintu van yang tertutup dengan keras seolah menandai kembali masuknya aku ke dunia yang sama sekali baru—dunia yang tidak lagi ku kenali. Saat kendaraan itu melaju menembus kota menuju pusat tahanan wanita, aku menatap keluar jendela, takjub melihat perubahan drastis di depan mataku. Kota ini telah berubah total dalam dua belas tahun terakhir.
"Eh, Mbak, jangan terpesona terlalu lama, nanti bisa-bisa kamu pengen lompat keluar dari van ini," candanya, sambil mengeluarkan tawa ringan.
Senyum tipis tersungging di bibir, meskipun hatiku masih dipenuhi keresahan. "Kalau aku loncat, jangan dikejar ya? Takutnya malah jadi berita besar di TV." Aku mencoba menimpali, meski sebenarnya ada desiran getir yang menyelinap dalam setiap kata yang keluar.
Petugas itu tertawa lagi, kali ini lebih renyah. "Sekarang ga banyak yang nonton TV, tapi Siapa tahu jadi viral di youtube dan tiktok, Mbak. Tapi ya, sayang banget, kalau ada yang loncat, ya pasti ketangkep lagi," katanya sambil tetap memandang jalan. Ia menoleh sekilas ke arahku, tampak memahami keresahan yang mungkin tersembunyi di balik gurauan.
Dia menoleh sebentar, melihatku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Kalau gitu, mendingan kamu tetap di dalam. Di luar sana banyak tantangan, Mbak. Belum tentu lebih baik daripada sini," katanya, menyiratkan kebenaran yang pahit.
Aku terdiam sejenak, merenungkan kata-katanya. "Mungkin kamu benar. Tapi aku butuh kesempatan untuk berjuang," ujarku pelan, berusaha meyakinkan diriku sendiri.
Mobil terus melaju melewati keramaian yang terasa asing bagiku, lebih padat dan sibuk dibanding saat terakhir kali kulihat. Jalanan dipenuhi kendaraan dan orang-orang yang bergegas dalam arah berbeda, membuatku sadar bahwa dunia ini terus bergerak tanpa menantiku. Di dalam van, perasaan takut dan harapan bertarung dalam diriku. Apa yang akan kutemui di lapas perempuan ini? Apakah tempat itu akan membawa perubahan baik atau justru kegelapan yang lebih dalam?
Setelah tiga puluh menit, van berhenti di depan lapas perempuan. Perjalanan panjang yang melelahkan akhirnya sampai pada titik di mana aku benar-benar kembali ke dunia nyata, atau setidaknya dunia yang berbeda dari apa yang kukenal selama lebih dari satu dekade terakhir.
Lapas Ini akan menjadi tempatku tinggal selama proses persidangan. Lapas ini dipenuhi ratusan narapidana wanita dari berbagai latar belakang; sebagian besar menjalani hukuman ringan, tetapi di sisi lain terdapat bagian dengan keamanan maksimum, tempat mereka yang dihukum seumur hidup atau bahkan hukuman mati—seperti aku.
"Ayo, sudah sampai, cepat turun, Mbak Sarah! Udah malam, saya juga pengen cepat pulang, capek!" kata Mas Agung, mengisyaratkan agar aku segera keluar. Begitu pintu van dibuka, aroma antiseptik yang khas menyeruak, bercampur dengan perasaan mencekam. Seolah, bangunan ini menyimpan semua rahasia gelap jiwa-jiwa yang dikurung di dalamnya. Mas Agung menyerahkan berkas-berkas ku kepada petugas perempuan lapas. "Jaga dirimu, ya, semoga beruntung, Mbak Sarah," ucapnya sebelum pamit.
Aku mengangguk, lalu berterima kasih, "Terima kasih sudah mengantarku dengan selamat ke sini, Mas Agung. Tolong jaga Dina, ya."
Sejenak dia tampak terkejut, seperti menyembunyikan sesuatu yang tiba-tiba kuketahui. Sesaat itu menguatkan diriku.
Sepanjang perjalanan tadi, pikiranku berputar kembali ke masa lalu—persidangan ulang yang menantiku, cerita yang menumpuk di dalam kepala, dan bayangan masa depan yang masih buram. Kehidupan di luar sana telah berjalan begitu cepat, sementara diriku tetap terpaku di dalam waktu yang diam. Namun, di dalam ketidakpastian dan kekalutan ini, mungkin, ada secercah harapan yang tersisa untuk akhirnya menemukan jalan keluar dari lingkaran gelap masa lalu.
Langkahku berlanjut ke dalam lapas perempuan ini, tak menoleh lagi ke belakang.