Chereads / Jeruji Waktu / Chapter 29 - Tetap seorang Narapidana

Chapter 29 - Tetap seorang Narapidana

Sesampainya di dalam gedung, proses penerimaan pun dimulai. Proses penerimaan baru meliputi tahap verifikasi identitas, pemeriksaan fisik dan barang bawaan, serta pemeriksaan kesehatan. Hal ini dilakukan untuk memastikan kelengkapan administrasi, memastikan tidak adanya barang terlarang masuk, dan mengetahui kondisi kesehatan. 

Meskipun sudah lebih dari tiga belas tahun menjadi narapidana warga binaan pemasyarakatan dan menjalani hidup di balik jeruji Lapas Perempuan kelas 1A Lembah harapan, aturan ketat keamanan di lapas perempuan ibu kota sini membuatku tetap harus melewati semua prosedur yang mengesalkan. "why I'm should do this, it's ridiculous, I'm been in prison 13 years" pikirku.

Momen Memalukan

Identitasku diperiksa dengan saksama oleh petugas yang tak menunjukkan sedikit pun empati. Cukup aneh memang diriku masih memiliki KTP, meskipun dipenjara kami para napi juga masih memiliki KTP sebagai pengakuan negara atas keberadaan kami. Proses perekaman dilakukan dengan mengambil data biometrik, seperti sidik jari dan foto wajah, untuk kemudian diinput ke dalam sistem E-KTP. Dalam pelaksanaan pemindahan narapidana warga binaan pemasyarakatan, menjadi salah satu syarat utama yang harus dipenuhi.

Mereka tidak peduli pada berapa lama diriku telah menjalani hukuman ini; semua yang mereka lihat hanyalah catatan kriminal dan latar belakang yang penuh noda.

Aku berbalik ke arah sipir dengan nada frustasi, "Kenapa semua ini perlu? Saya sudah lebih dari tiga belas tahun jadi narapidana. kalian sudah punya semua catatan tentang diriku, Seharusnya diriku tidak diperlakukan seperti ini!"

Sipir itu menatapku dengan mata datar, seolah tak tersentuh oleh perasaanku. "Aturan adalah aturan. Setiap narapidana harus melewati proses yang sama. Tidak ada pengecualian," jawabnya dengan nada yang dingin dan tegas.

Selanjutnya, pemeriksaan tubuh yang teliti pun dilakukan. Setiap sudut dan celah tubuhku dipindai dengan kejam, seolah diriku adalah benda mati yang tidak memiliki perasaan. Dengan borgol di tangan dibuka, lalu diminta melepas seragam lapas lusuh yang kukenakan untuk pemeriksaan badan dan mandi. "bisakah ku lepas pakaian di kamar mandi ?" tanyaku "tidak bisa!, lepas disini kita akan melakukan pemeriksaan" jawab petugas itu datar. Meski sudah sering mengalami penghinaan di penjara, momen ini tetap terasa memalukan. Air dingin menghantam kulitku, menggigit dan mengingatkan kembali pada kenyataan pahit yang harus kujalani—kenyataan di mana privasiku hanya tinggal kenangan.

Setelah mandi, pakaian usang dari pulau diganti dengan seragam lokal: kaus sederhana dan rok panjang yang tampak murahan. Diriku menatap pakaian itu dengan perasaan berat, merasakan beban kenyataan baru ini. "Mana BH dan celana dalamnya?" tanyaku pada petugas sipir, menahan emosi yang hampir meluap. "Tidak perlu, itu bisa jadi tempat menyembunyikan barang berbahaya," jawabnya dengan nada datar, seolah-olah itu adalah jawaban yang paling logis di dunia ini.

Hatiku bergetar mendengar kalimat itu. Rasa marah dan kesedihan bercampur aduk dalam diriku. Sepertinya tak hanya kehilangan kebebasan, tetapi juga hak atas diriku sendiri—hak untuk merasa nyaman, hak untuk melindungi privasiku. Dalam dunia luar yang penuh warna, diriku terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan penuh pengawasan. Di luar sana, mungkin dunia telah berubah, tetapi di sini, diriku masih terperangkap dalam siklus yang tidak berujung.

"Jadi, di sini diriku hanya akan menjadi boneka, tubuh tanpa perasaan?" gumamku, lebih kepada diri sendiri daripada kepada sipir itu. Apakah ada harapan di balik semua ini? Apakah penantianku untuk kebebasan benar-benar akan terwujud, ataukah hanya berusaha menipu diri sendiri dengan harapan yang kosong? Mungkin kebenaran yang akan terungkap dalam persidangan nanti bisa memberiku secercah harapan, tetapi saat ini, semua yang ku rasakan hanyalah ketidakberdayaan.

Kemarahan dan kesedihan bercampur dalam diriku. Di luar sana, mungkin dunia telah berubah, tetapi di sini, diriku masih terperangkap dalam siklus yang tidak berujung. Apakah ada harapan di balik semua ini? Apakah penantianku untuk kebebasan benar-benar akan terwujud, ataukah ku hanya berusaha menipu diri sendiri dengan harapan yang kosong?

Setelah itu, fotoku diambil untuk catatan lapas ini. Kilatan kamera menangkap mataku yang hampa, gambaran dari tahun-tahun yang terbuang di penjara.

"Cobalah tersenyum, Mbak," kata sipir yang memotret, berusaha membuatku merasa lebih baik.

"Diriku bukan model, dan ini bukan pemotretan majalah," balasku dengan sinis, meskipun dalam hati diriku merindukan rasa percaya diri yang pernah kutemukan di dunia luar.

"Setidaknya, jadikan foto ini sebagai pengingat untuk berjuang lebih keras," katanya sambil tersenyum, meskipun ku tahu senyumnya tidak tulus.

Setelah sesi pemotretan, dengan dikawal petugas diriku dibawa menuju bagian keamanan maksimum yang sepertinya terletak di bagian paling di ujung lapas.

Keamanan Maksimum

Sebagai terpidana seumur hidup, diriku ditempatkan di sel keamanan maksimum yang kecil dan pengap, tempat di mana diriku akan menghabiskan 23 jam sehari. Jauh berbeda dengan kebebasan yang meski terbatas, yang kurasakan saat kerja di ladang di pulau penjara. Di sini, ku merasa benar-benar terjebak, baik secara mental maupun fisik.

setelah beberapa saat dengan langkah berat, melangkah melewati gerbang demi gerbang menuju tibalah di sel isolasi keamanan maksimum. Suasana yang jauh berbeda dari pulau penjara ini menambah beban di pundakku. Setiap langkah terasa seperti perjalanan menuju jurang ketidakpastian, dan diriku hanya bisa berharap bahwa, di balik semua ini, ada secercah cahaya yang bisa membawaku kembali ke hidup yang pernah kutinggalkan.

"Jangan terlalu lama berkhayal, Mbak," kata salah satu sipir dengan nada datar, meski ada sedikit nada curiga di suaranya. "Di sini, tidak ada waktu untuk melamun. Setiap gerakanmu diawasi."

"Diriku tahu," balasku, berusaha tenang. "Tapi bagaimana mungkin ku tak melamun? Hidupku kini terkurung dalam sel sempit ini tanpa ada kegiatan."

Sipir itu menunjukkan ketidakpedulian. "Ini bukan tempat untuk berandai-andai. Semua orang di sini punya kisah masing-masing. Yang penting adalah bagaimana kamu bertahan."

"Diriku hanya berharap bisa keluar dari sini suatu hari nanti," kata ku, mencoba menyampaikan harapan meski suaraku terdengar lemah.

"Harapanmu mungkin tidak seindah yang kamu bayangkan, Mbak. Setiap tahun, banyak yang berharap, tapi tidak semua bisa mendapatkan kesempatan kedua," jawab sipir itu dengan nada sinis.

Saat diriku di dalam selku yang baru, dunia luar tampak semakin jauh. Hari-hariku terkurung di sel sempit 2x1 m ini, dan hanya ada dua perempuan lain di blok itu yang mengganggu lamunanku.

"Woi, anak baru! Siapa namamu?" tanya salah satu dari mereka, dengan nada sedikit kasar.

"Hari-hari gue di sini tuh sudah bener-bener kayak nonton film yang udah basi. Boring, Monoton abis! Coba bayangin, tiap hari cuma ngeliatin tembok sama langit-langit yang sama. Bosen banget!" lanjut yang lainnya dengan nada sinis.

"Woi, jawab dong, sombong amat!" serunya, suaranya semakin meninggi.

Awalnya diriku agak kaget dengan sambutan mereka, tapi lama-kelamaan, ya biasa saja. Ku hiraukan sapaan mereka; hari-hariku masih panjang di sini. Besok kucoba ngobrol, belum tahu saja kalau diriku lebih senior dari mereka. Kami terpisah sel, tubuhku terlalu lelah hari itu, dan ku langsung terlelap.

Keesokan pagi, masih terkurung di sel sempit ini, sarapan diantar ke sel kami, bagai layanan room service hotel. Makanan yang disajikan sangat sederhana: nasi tiga suap, sayur bayam yang sudah sedikit kecut, satu potong ikan asin, dan sepotong tempe. Kelaparan, kuhabiskan dalam sekejap. Namun, makanan di pulau penjara jauh lebih nikmat, dan diriku merindukan cita rasa itu—makanan yang diolah dengan penuh cinta oleh para Mbah-Mbah sesepuh di sana.

Sambil mengunyah makanan, Kami tampak lahap, meski terlihat tidak puas dengan apa yang mereka miliki. "woi anak baru, Lo pasti kangen makanan di luar, kan?" tanya napi di sebelah selku.

"Ya, sedikit. Tapi, di Lapas Lembah Harapan, kita makan makanan yang lebih enak. Semuanya segar dan organik," jawabku, mencoba membuka percakapan. Makanan di pulau penjara memang jauh lebih nikmat.

---

Diriku sangat berterima kasih kepada para napi lanjut usia, Mbah-Mbah, sesepuh di pulau Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan. Mereka telah menyuguhkan makanan lezat bergizi selama ku hidup di sana. Ironisnya, sistem penjara yang sama yang telah merampas kebebasan mereka juga memberi mereka resep untuk umur panjang, sesuatu yang mahal bagi orang-orang di luar penjara.

Selama puluhan tahun, mereka bekerja di sawah ladang di bawah terik matahari, tubuh mereka bergerak mengikuti irama alam. Kerja fisik memang membuat mereka bugar, tapi lebih dari itu, ku sadari bahwa makanan yang mereka konsumsi adalah kunci kesehatan mereka. lahan pertanian penjara, tanpa anggaran untuk bahan kimia mahal, mengandalkan metode organik. Pupuk yang digunakan berasal dari kotoran sapi dan kambing, yang difermentasi di lubang dekat peternakan. Di sini, tidak ada pestisida sintetis atau pupuk buatan pabrik untuk mempercepat pertumbuhan. Semua yang ditanam murni alami, tak tersentuh obsesi dunia luar akan pertanian yang cepat dan efisien.

Di dapur penjara, suasananya selalu ramai. Tak ada bungkus mi instan, kaleng minuman ringan, atau alkohol. Bahkan gula putih pun tidak ada. Dapur kami tidak menyediakan MSG, dan minyak goreng adalah barang mewah yang tidak bisa mereka beli. Mereka menggunakan cara tradisional, memeras kelapa untuk mendapatkan minyak. Jika pun ada minyak yang digunakan, itu sangat sedikit; sebagian besar makanan kami dikukus atau dibuat sup, dengan sedikit garam. 

Suatu ketika, sambil mengaduk semur sayur di atas api kayu, seorang narapidana tua tertawa dan berkata, "Diriku heran apakah orang-orang kaya di kota besar tahu bahwa kita sedang menjalani mimpi mereka. Makanan organik, tanpa bahan kimia, tanpa sampah. Mereka membayar jutaan untuk diet seperti kita." 

Saat itu, diriku yang masih beradaptasi dengan kesederhanaan hidup di penjara, mendesah. "Bagaimana si mbah bisa membuat makanan ini terasa enak tanpa bumbu?" tanyaku, menatap panci berisi sayuran rebus.

Sesepuh itu tersenyum penuh pengertian. "Kamu tidak perlu semua bumbu-bumbu sachet, di pulau ini terdapat rempah-rempah alami untuk membuat makanan terasa enak. Semuanya tergantung pada bagaimana kamu menggunakan apa yang diberikan alam kepadamu." Dia mengambil segenggam bawang merah, bawang putih, dan jahe, lalu memasukkannya ke dalam panci. Aroma yang kaya segera memenuhi dapur kecil itu. "Bawang merah, bawang putih, jahe—itulah tiga serangkainya. Gunakan dengan benar, dan itu akan mengeluarkan rasa alami dari apa pun yang kamu masak."

"Bagaimana dengan garam? Kami hampir tidak mendapatkannya," tanya salah satu narapidana yang lebih muda.

"Lebih sedikit garam lebih baik untukmu, percayalah," kata wanita tua itu sambil terkekeh. "Kami menggunakan gula aren untuk menyeimbangkannya. Dan asam jawa, untuk sedikit rasa asam. Santan menambah kekayaan rasa, dan terkadang kami memanggang beberapa bahan untuk memperdalam rasa. Kamu harus mengolah apa yang kamu punya; itulah keindahannya. Kamu belajar menghargai rasa makanan yang sebenarnya."

Kami semua tertawa, menyadari ironi pahit dari semua itu. Beberapa dari mereka telah dijatuhi hukuman seumur hidup selama kudeta politik pada tahun 1960-an. Sementara mantan rekan mereka telah lama meninggal, mereka masih di sini — dilupakan oleh dunia, tetapi tetap hidup berkat kesederhanaan hidup di penjara. Tangan-tangan keriput mereka, yang sudah kapalan karena kerja keras, masih bekerja setiap hari, memindahkan batu, mengaduk panci, merawat tanaman. Seolah-olah pulau ini telah melestarikan mereka seperti peninggalan dari masa sebelum kehidupan modern mengambil alih.

"Setidaknya kami lebih sehat daripada keluarga kami di luar sana," kata seorang narapidana lain dengan nada sinis. "Mereka mungkin sudah meninggal sekarang, mati karena stres atau kebiasaan buruk, sementara kami di sini, hidup seperti penduduk desa."

Ketika kami bekerja, pembicaraan beralih. "Kau sudah di sini lebih lama dari kebanyakan dari kami. Bagaimana kau bisa bertahan? Apa rahasianya untuk bisa hidup selama ini?" tanyaku kepada sesepuh yang lebih tua.

Beliau terdiam sejenak, wajahnya yang keriput menunjukkan semua pengalaman hidupnya, tapi matanya masih tajam. "Menurutmu, makanan atau pekerjaan itu yang menjadi penyebabnya? Mungkin itu sebagian penyebabnya, tetapi pikiranlah yang membuatmu terus maju. Kamu harus melepaskan kepahitan, kemarahan. Hal-hal itu akan menggerogotimu lebih cepat daripada makanan yang buruk. Saya sudah lama menerima bahwa inilah hidupku sekarang. Tidak ada gunanya melawan sesuatu yang tidak bisa kamu ubah. Begitu kamu berdamai dengan itu, semua hal lainnya akan menjadi lebih mudah."

Dia mengaduk panci lagi dan menambahkan, "Temukan sesuatu yang bisa dipedulikan, meskipun itu hanya memastikan makananmu terasa enak. Kamu menemukan makna dalam hal-hal terkecil, dan itulah yang membuatmu tetap hidup. Itulah sebabnya saya masih di sini."

Dirikuku mengangguk, memahami kebijaksanaan itu. ku sadari bahwa bertahan hidup di sini bukan hanya tentang apa yang kami makan, tetapi juga bagaimana kami berpikir. 

Namun, ironi itu tidak luput dari kami. Makanan sehat, udara segar, dan kerja fisik telah membuat tubuh kami kuat. Tapi itu bukan pilihan — itu adalah upaya bertahan hidup. Kami tahu bahwa meskipun tubuh kami berkembang, hati dan jiwa kami telah layu, terisolasi dari dunia begitu lama. Kami telah dilupakan, bahkan oleh keluarga kami sendiri.

"Semakin sedikit yang kita miliki, semakin lama kita hidup," kata seorang narapidana tua, wanita yang telah mendekam di penjara selama lebih dari 60 tahun.

Jadi, terlepas dari segalanya — kerja keras, keterasingan, rasa ditinggalkan — kami bertahan hidup. Kami bercanda tentang umur panjang kami, tetapi jauh di lubuk hati, kami memahami likuan takdir yang kejam yang membuat kami terus bertahan. Kami telah menjadi tawanan waktu yang paling hebat, hidup lebih lama dari orang lain, ditopang oleh sistem yang dimaksudkan untuk menghancurkan kami.

---

Karena tak ada yang bisa dilakukan, dari balik sel masing-masing diriku akhirnya memulai obrolan.

"sorry, semalam diriku terlalu lelah. Namaku Sarah, benar, diriku baru dipindah dari pulau Lapas Perempuan Kelas 1A Lembah Harapan," kata ku, berusaha memecah kebisuan yang menggelayuti suasana.

"Edan Loh, kamu dari penjara menyeramkan itu? klo gitu maaf ganggu semalam. Btw, sudah berapa lama tinggal di sana?" salah satu dari mereka bertanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.

"12 tahun," jawabku singkat, merasakan keheningan yang menyelimuti setelahku mengucapkan angka itu.

"Waduh, senior, sudah lama juga!" mereka terkagum-kagum. "Terus, ngapain balik ke sini, Mbak?" yang lain melanjutkan pertanyaan.

"Lagi sidang peninjauan kembali," jawabku singkat. 

"Wah, bisa bebas dong!" serunya penuh harapan. "Iya, doakan aja," kataku sambil tersenyum, meski jauh di lubuk hati, diriku masih ragu kemungkinan itu.

Obrolan kami terus mengalir, melewati batas-batas waktu dan tempat. Dari cerita masa lalu, hingga gosip-gosip penjara yang sering kali lebih menghibur daripada acara komedi di TV yang tak pernah ku mengerti, kami berbagi tawa di tengah kesuraman. Kami bahkan sempat membayangkan hal-hal yang hampir mustahil—tentang bagaimana rasanya jika bisa keluar dari sini dan kembali ke dunia luar.

"Eh, kalian harus segera ke Pulau Penjara Perempuan. Jauh lebih nyaman daripada sel sempit nan membosankan ini," ujarku, mengenang hari-hari yang—anehnya—tak sepenuhnya buruk di pulau itu.

Salah satu dari mereka, berujar dengan ekspresi ngeri. "Serius Mbak? Kabar yang kita dengar, pulau itu tempat menyeramkan. Tidak ada listrik, tidak ada komunikasi, dan yang paling parah, nggak ada yang pernah kembali dari sana!"

Diriku tertawa pelan, nada pahit terselip di antaranya. "Ya iyalah nggak ada yang balik. Kalian kan divonis seumur hidup. Kalau ke sana, ya tamat sudah. Mati di sana."

Tawa kecilku memecah keheningan, tapi itu bukan tawa kebahagiaan. Itu adalah tawa yang muncul ketika kebenaran terlalu pedih untuk dihadapi tanpa sedikit humor. 

Tapi ku tahu diriku harus mengimbangi ucapanku tadi. "Tapi serius, kehidupan di sana nggak seburuk yang kalian pikir. Kita kayak keluarga besar, meskipun tanpa lelaki. Ada kerja, ada tawa, dan bahkan, ada cinta. Tapi ya, itu kalau kalian bisa nerima keadaannya," tambahku, mataku menerawang, mengingat hangatnya kebersamaan di tengah dinginnya kesendirian.

Kami semua terdiam sejenak, membiarkan imajinasi melayang-layang. Entah kenapa, diriku merasa obrolan ini penting—seolah memberikan sedikit harapan di tengah ruang hampa yang tak berujung. 

"Tapi kalau kalian yakin kalian nggak bersalah, jangan pernah menyerah," kataku akhirnya, mencoba menyuntikkan semangat. "Lihatlah diriku ini. masih bertahan dengan harapan yang sama: kebebasan. Diriku menggenggam harapan itu seperti tali penyelamat, dan gak akan melepaskannya, apa pun yang terjadi."

Mereka terdiam, di dalam diri kami, di balik dinding-dinding keras dan jeruji besi, diriku tahu kami berbagi sesuatu yang tak kasat mata—sebuah mimpi tentang kehidupan yang lebih baik.

Ketika malam semakin larut, keramaian kota terdengar jauh, seperti irama yang tak sinkron dengan keheningan di sini. Berbeda dengan di Pulau Penjara, di mana malam terasa syahdu suara deburan obak dan jangkrik seperti membekukan waktu, kesunyian di sini lebih menakutkan menusuk kalbu. Detak jam yang terdengar di kejauhan menjadi pengingat menyakitkan bahwa waktu terus berjalan, meskipun diriku seakan membeku di dalam sel ini.

Diriku menatap keluar dari celah kecil di dinding, namun tak terlihat cahaya bintang-bintang di langit, langit gelap tertutup mendung. Diriku hanya bisa berharap, di balik semua ini, ada sesuatu yang menantiku—sebuah hidup yang pernah ku tinggalkan, yang sekarang terasa seperti mimpi yang terlalu jauh untuk dijangkau. Tapi meskipun harapan itu redup, ku tahu diriku tak akan pernah berhenti mencarinya. Karena di sinilah ku berdiri—terkurung, ya, tapi belum kalah.