Sebuah konsekuensi yang pahit-manis menyertai kabar baik ini.
Kabar baik ini membawa konsekuensi yang tak terduga, manis sekaligus pahit. Begitu tiba di blok hunian, diriku sampaikan berita itu kepada Bu Hera bahwa diriku harus dipindahkan ke Lapas Perempuan di Ibu Kota, jauh dari pulau ini. Kami hanya saling menatap, menyadari makna di balik persetujuan sidang Peninjauan Kembali itu.
Bu Hera dengan tenang berkata dengan suara bergetar, "Akhirnya, ya, Nak. Kamu akan kembali ke dunia luar."
"Bu tapi kita harus berpisah, bisa jadi untuk selamanya." Diriku menggenggam tangannya erat, merasa berat sekaligus cemas. "Diriku juga takut. Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai harapan?" tanyaku, suaraku pelan.
Bu Hera menjawab dengan raut wajah berseri mencoba menenangkanku, "jalani aja, cepat atau lambat kita semua akan berpisah, begitu juga janganlah terlalu takut tentang hasil sidang."
Malam itu, di lapas, diriku duduk bersama Bu Hera di sudut sel. Cahaya bulan redup memantulkan bayangan keduanya di dinding, membuat suasana terasa hangat namun penuh rasa haru. Sarah menatap Bu Hera, sosok yang sudah menjadi pembimbing, sahabat, dan seperti ibu baginya selama setahun kebelakang.
"Bu Hera, saya nggak tahu harus bilang apa. Rasanya… kayak mimpi bahwa saya akan meninggalkan tempat ini," kataku, suaranya bergetar.
Bu Hera tersenyum lembut, lalu memegang tangan Sarah. "Nak Sarah, kegagalan hari ini bukan berarti kegagalan esok hari begitu juga kemenangan hari ini bukanlah berarti kemenangan esok hari. Semua ini perjalanan panjang, dan kamu harus ingat, hidup adalah perjuangan tanpa henti."
Diriku menatap Bu Hera dalam-dalam, mencoba memahami setiap kata yang ia ucapkan. "Saya takut, Bu. Takut kalau di luar nanti semua perjuangan ini nggak berarti. Apa yang kita lakukan di sini… semua usaha dan doa kita… Apa semua itu ada hasilnya?"
Bu Hera mengangguk pelan. "Kamu benar, tidak ada yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma, Sarah. Tapi semua usaha, setiap tetes keringat dan air mata, itu yang membuat kamu menjadi pribadi yang lebih kuat. Kamu sudah melewati banyak hal, dan di luar sana… pasti ada ujian yang lebih besar. Namun, saya yakin kamu akan mampu menghadapinya."
"Hidup memang nggak pernah berhenti menuntut kita untuk berjuang, ya, Bu?" Diriku bertanya dengan senyum kecil, meskipun matanya berkaca-kaca. "Kebenaran yang saya kejar selama ini… mungkin tidak akan langsung membawa keadilan, mungkin saya nggak akan langsung bebas. Tapi saya harus tetap percaya, kan?"
Bu Hera menatap lurus ke depan seakan melihat jauh ke masa lalu. "Kebenaran saat ini bukanlah berarti kebenaran di masa nanti, Sarah. Kadang yang kita yakini sebagai kebenaran belum tentu kenyataan. Tapi kamu sudah berani mencari kebenaran itu, dan itu yang terpenting."
Diriku mengangguk, memahami makna dari kata-kata Bu Hera. "Saya mungkin nggak akan punya kesempatan untuk mengucapkan semua ini di luar sana, Bu. Tapi saya berhutang banyak sama Ibu. Tanpa Ibu… mungkin saya nggak akan tahu apa artinya memperjuangkan hidup."
Bu Hera tersenyum hangat, menepuk pundakku. "Nak Sarah, kamu harus ingat, jangan menangisi hari kemarin. Hidup akan selalu berjalan, dan perjuanganmu baru saja dimulai. Di luar sana, kamu akan menghadapi dunia yang mungkin lebih keras. Tapi kamu tahu, kamu tidak sendirian. Semua doa kami, para sahabatmu di sini, menyertai langkahmu."
Tetesan air mata jatuh di pipiku, tapi kali ini ku tidak lagi takut. Diriku merasa kuat, lebih siap dari sebelumnya. "Terima kasih, Bu Hera. Saya nggak akan pernah lupa kata-kata Ibu. Saya janji… akan terus berjuang."
Bu Hera menarikku dalam pelukannya, menahan emosi yang juga ingin meluap. "Pergilah, Nak. Hiduplah dengan gagah, jangan pernah menyerah. Dan ingat, lapas ini bukan akhir. Ini adalah awal bagi kita semua."
Keduanya terdiam dalam keheningan penuh makna, meresapi setiap nasihat yang telah terucap. Mereka tahu bahwa malam ini adalah penutup dari satu babak, dan esok adalah awal dari babak baru.
Bu Hera menepuk tanganku lembut. "Sarah, hidup adalah perjuangan panjang. Apapun yang terjadi, jangan menyerah. Kalau bukan demi dirimu, jadikan ini untuk mereka yang masih menantimu di luar sana." Air matanya menetes perlahan, namun ia tersenyum tegar.
Hari-hari berikutnya, kami memanfaatkan waktu yang tersisa sebaik mungkin. Setiap pagi, kami sarapan bersama, menikmati bubur hangat sambil mengobrol tentang kenangan masa lalu. Suatu sore saat kami duduk di bawah pohon besar di halaman lapas, ku tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Bu, apa Ibu pernah membayangkan kalau hidup akan berakhir di sini?"
Bu Hera tersenyum pahit. "Tidak, Nak. Waktu muda, saya punya impian besar—membangun rumah yang tenang untuk keluargaku, melihat anakku tumbuh." Ia terdiam, menatap kosong ke arah cakrawala. "Tapi, kadang takdir membawa kita ke arah yang tak pernah kita duga."
Diriku menunduk, merasa getir mendengar kisahnya. "Bu, kalau saja ku bisa kembali, kalau saja ku bisa membalas semua ini..."
Bu Hera menoleh, menatapku dengan penuh kasih. "Kau bisa, Nak. Bukan dengan berdiam diri menyesali masa lalu, tapi dengan terus berjuang untuk masa depan yang lebih baik."
Pada malam terakhir, kami berbagi ruangan yang sama. Bu Hera mengajariku merajut syal kecil dari kain sisa. Sambil mengikat benang, diriku bergumam, "Bu, bagaimana kalau Ibu adalah ibuku sejak awal? Mungkin hidupku tidak akan serumit ini."
Bu Hera terdiam, dan dalam kesunyian malam itu, ia mendekatkan diri, menatap mataku dalam-dalam. "Sarah, takdir kita mungkin memang sudah ditentukan sejak awal. Tapi satu hal yang bisa kita pilih adalah bagaimana kita menyikapinya. Saya di sini karena mungkin, hanya mungkin, memang harus di sini untuk bertemu denganmu. Kau telah mengisi kekosongan di hatiku, Nak."
Diriku merasakan air mata mulai jatuh lagi. "Bu, ku tak tahu bagaimana bisa menghadapi semua ini tanpa Ibu di sampingku nanti."
Beliau tersenyum lembut, mengusap lembut pipiku. "Kau akan mampu, Sarah. Kau kuat. Dunia di luar mungkin keras, tapi selama kau ingat semua yang pernah kita bicarakan, kau tak akan benar-benar sendirian."
"Berjanjilah, Sarah," katanya dengan suara bergetar. "Berjanjilah kau akan menjalani hidup yang lebih baik. Lakukan ini untuk kita."
Hatiku penuh emosi yang membuncah. "Diriku janji, Bu, akan berjuang, sekuat tenaga."
Beliau mengangguk, air mata mengalir di pipinya. "Saya bangga padamu, Nak."
Pagi itu, seorang petugas senior menghampiriku. Wajahnya serius, suaranya tak kalah tegas. "Sarah, surat pemindahanmu sudah disetujui. Besok kamu akan meninggalkan lapas ini."
Berita itu menyelimutiku dengan perasaan campur aduk—antara lega, bahagia, dan cemas. Diriku menatap ke sekeliling, melihat tembok-tembok yang selama ini telah menjadi bagian dari hidupku, dan kemudian pandanganku jatuh pada Bu Hera, yang selama ini telah kuanggap menjadi keluargaku, sosok ibu yang tak pernah kuduga akan bertemu di tempat seperti ini.
Sepanjang hari itu, hatiku bergemuruh dengan emosi yang sulit dijabarkan. Rasanya seperti ada benang halus yang menautkanku pada lapas ini, pada orang-orang yang telah berbagi suka dan duka denganku, pada sosok-sosok yang mengajarkanku cara bertahan hidup di tengah keterbatasan. Bu Hera, sosok ibu yang tegar, yang dengan caranya sendiri menyelamatkanku dari keputusasaan. Bersamanya, diriku belajar untuk tetap bertahan dan percaya pada masa depan, seberapapun suramnya.
Malam terakhir kami penuh keheningan, tidak banyak kata yang terucap. Hanya ada kehadiran masing-masing yang saling berbagi rasa, menyimpan kenangan dalam hati. Saat lampu-lampu penjara meredup, diriku duduk di samping Bu Hera. Beliau memandangku dalam diam, lalu perlahan mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku. "Ingat, nak," katanya dengan suara lembut yang penuh ketulusan. "Apa pun yang menantimu di luar sana, hadapi dengan kepala tegak. Kau lebih kuat dari yang kau kira."
Diriku menahan air mata yang sudah mendesak keluar, merasakan beratnya perpisahan yang tak pernah kubayangkan akan terasa seperti ini. Di balik jeruji besi dan batas-batas fisik yang membelenggu, ku temukan pelajaran dan kasih yang tulus dari mereka yang hidup dalam keterbatasan. Rasanya ironis, namun indah, bahwa di tempat yang dianggap sebagai pengasingan, justru kutemukan diriku yang sesungguhnya.
Perpisahan
Keesokan harinya, saat fajar mulai menyingsing, suasana lapas tak ada bedanya dengan pagi-pagi sebelumnya. Suara gaduh dari para penghuni yang mengantri di bilik toilet, percakapan riuh yang memecah kesunyian subuh, dan langkah-langkah terburu dari para petugas yang mulai sibuk. Namun, bagiku, pagi itu terasa berbeda—terasa sunyi di tengah keramaian. Seolah semua suara menghilang, menyisakan hanya detak jantung dan gemuruh pikiranku sendiri.
Suara panggilan untuk bersiap akhirnya terdengar. Seorang petugas menghampiriku, wajahnya tanpa ekspresi namun nadanya tegas. "Sarah, sudah waktunya. Ganti pakaianmu, kemasi barang-barangmu, letakkan pakaian kotormu di keranjang, kita berangkat."
Diriku menelan ludah, menghela nafas panjang, lalu mulai bergerak. Teman-teman di blokku, mereka yang sudah seperti saudara dalam kesendirian, mulai menyoraki dengan tawa dan ucapan selamat. "Semoga beruntung, Sarah! Kamu pasti bisa menghadapi dunia luar!, Jangan balik lagi!" teriak salah satu dari mereka, sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Jangan lupakan kami !" seru yang lain, dengan wajah penuh harapan. "kabari kami saat kamu bebas nanti, ya!" Dina sahabatku ikut berkata "tego, awakmu niggalno awaku mbak, tapi ga popo, ojok sampe kalah terus mbalik mrene !" sambil memeluku. "Uripmu kudu terus lanjut, cepet lang budal'o, engko di tinggal kapal, rawe-rawe rantas malang-malang putung, Becik ketitik, ala ketara," tambahnya dengan nada semangat.
Aku tersenyum, merasakan kehangatan dari kata-katanya. "Iyo, suwun Dina. jogo awakmu, sing sabar, ojo ngamukan !"
Dengan langkah pelan, diriku berjalan meninggalkan sel blokku. Pandanganku menyapu ruangan sempit yang telah menjadi rumahku selama dua belas tahun. Kasur tipis yang mulai usang, dinding-dinding kusam yang menyimpan setiap ingatan, setiap malam panjang yang kulewati dengan harapan untuk bebas. Setiap sudut ruangan itu memiliki kenangannya sendiri, dan saat melangkah pergi, terasa seolah ada bagian dari diriku yang akan tetap tinggal di sana.
Ketika ku sampai pintu keluar, salah satu petugas senior Bu Rita, yang sering bersikap tegas namun terkadang menunjukkan sisi kemanusiaannya, menghampiriku. "Selamat tinggal, Sarah. Semoga kamu menemukan apa yang kamu cari di luar sana," katanya dengan nada lebih lembut. "Terima kasih, Bu. Saya akan ingat segala kebaikan dan bantuan Ibu," jawabku, merasa haru dengan kata-katanya.
Ini bukan sekadar kepergian dari ruangan. Ini perpisahan dari kehidupan yang telah membentukku, menguatkanku, dan menjadikanku seperti hari ini. Diriku tak menoleh lagi, tetapi membawa semuanya dalam hati—sebagai bekal untuk menghadapi hidup di luar sana, hidup yang terasa baru, penuh ketidakpastian, dan, akhirnya, penuh harapan.
Menoleh pada Bu Hera yang berdiri di ambang pintu dengan senyuman lemah namun penuh kebanggaan. "Bu, terima kasih," bisikku dengan suara gemetar. Ia hanya mengangguk, seolah mengatakan bahwa ia sudah mengerti, bahwa tak perlu kata-kata lebih lanjut untuk merangkum semua rasa yang ada.
Saat melangkah keluar, kuhirup udara pagi yang terasa menyegarkan. Di luar pagar yang selama ini membatasi pandanganku, dunia menanti dengan segala ketidakpastiannya. Namun, kali ini diriku melangkah dengan keberanian yang kuperoleh dari semua yang telah kulalui di dalam. Ku tahu, meskipun berat, diriku tak sendiri—kenangan tentang Bu Hera dan mereka yang ada di dalam sana akan selalu bersamaku, menjadi kompas di tengah kehidupan baruku yang kini mulai terbentang di hadapan.
Dalam keheningan itu, diriku berjalan menuju dermaga, ditemani debur ombak yang menghantam pelan-pelan, seolah turut mengiringi kepergianku. Langkahku berat, semakin mendekati dermaga, semakin terasa berat perasaan ini. Di sisi lain, Bu Hera berjalan di sampingku, wajahnya tenang meskipun bisa kulihat kesedihan yang tersirat di matanya. Kami berdua tahu bahwa masa depan penuh ketidakpastian, bahwa ini mungkin adalah pertemuan terakhir kami, dan setiap detik yang kami miliki terasa begitu berharga.
Ketika akhirnya kami sampai di dermaga, diriku menoleh ke arah Bu Hera. Ia menatapku, lalu tersenyum kecil, seakan ingin meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi, dadaku terasa sesak. "Terima kasih," bisikku, suaraku pecah, dan air mata tak tertahankan membasahi pipiku. "Terima kasih sudah menjadi ibuku... saat diriku tidak punya siapa-siapa lagi."
Bu Hera menatapku dengan lembut, matanya yang biasanya tegas kini tampak berkaca-kaca. Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat seolah mencoba menguatkanku sekaligus melepaskanku. "Kamu tahu, Sarah," ujarnya pelan, "di sini... di tempat yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya, saya menemukan keluarga. Kamu mengajariku banyak hal tentang keberanian, tentang harapan yang bertahan meski hanya setitik." beliau berhenti sejenak, lalu melanjutkan, suaranya bergetar, "Jangan pernah lupakan itu."
Bu Hera memelukku erat, tubuhnya yang selama ini terlihat kokoh sedikit bergetar. Diriku bisa merasakan air mata mengalir di pipinya, tanpa suara. Dalam pelukannya, diriku merasakan kehangatan yang selama ini menguatkanku melewati hari-hari gelap di tempat ini.
"Jaga dirimu baik-baik di luar sana, Nak," bisiknya sebelum melepas pelukan. "Bawa semua yang kamu pelajari di sini, bawa semua rasa yang pernah kamu miliki, dan jangan pernah menyerah pada kebenaran yang ada di hatimu."
"Berjanjilah padaku, kau akan terus berjuang," katanya lembut. "Berjanjilah bahwa kau akan menjalani hidup yang pantas kau dapatkan, hidup yang lebih baik dari ini."
Diriku mengangguk, berusaha menenangkan diri meskipun hatiku penuh dengan rasa takut sekaligus harapan yang baru. "Diriku janji, Bu," jawabku dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Kami perlahan melepaskan pelukan, dan petugas lelaki menghampiriku, sementara Bu Hera tetap berdiri di tepi dermaga. Tatapannya mengikutiku, sosoknya yang kecil mulai tertinggal di belakang saat kapal perlahan bergerak menjauh dari dermaga. Beliau melambai, dan diriku membalas lambaian itu dengan perasaan berat.
Di kejauhan, Bu Hera masih terlihat, berdiri teguh di tepi dermaga penjara, sosoknya semakin jauh namun kehadirannya tetap terasa di hatiku. Ku tahu, di balik lambaian itu tersimpan harapan yang besar dan kesedihan yang dalam. Kebebasan mungkin sudah di depan mataku, namun bayang-bayang kebenaran di balik peristiwa yang membawaku ke tempat ini masih menghantui, mengiringiku menuju hidup yang baru yang mungkin menanti.
Canggung
Tangan petugas lelaki itu terasa dingin dan kasar saat dirinya memasangkan borgol di pergelangan tanganku dan mengaitkan rantai di pinggangku, seolah menegaskan statusku yang masih terpidana. Namun, bibirnya melontarkan godaan yang tidak terduga. "Mbak, kamu ini cantik, tapi sayang penjahat. Coba nanti kalau bebas, mau jadi pacarku nggak? Cocok jadi model, lho."
Sejenak, ku terdiam. Detak jantungku sedikit meningkat, dan merasa terjebak dalam momen aneh ini. Sudah lama sekali tak ada pria yang menatapku seperti itu, apalagi menggoda dengan canda nakal. Di penjara ini, sebagian besar petugas adalah perempuan, dan petugas pria hanya berjaga di luar pagar, jarang berinteraksi dengan kami, narapidana. Tubuhku memang langsing berisi, wajahku cerah tanpa jerawat, kulitku gelap terbakar matahari namun bersih terawat meski hidup dalam keterbatasan, dan postur tinggiku mampu menarik perhatian. Namun, tetap saja, diriku seorang narapidana dengan hukuman seumur hidup. Godaan seperti ini seolah mempermainkan ironi hidupku.
Rasa canggung dan aneh menyelimuti hatiku. Sebuah senyuman kecil mungkin muncul di wajahku, tetapi di dalam, kurasakan campuran antara harapan dan kenyataan yang pahit. "Betapa menyedihkannya," batinku. Menggoda dengan impian yang tak pernah bisa ku raih. Di satu sisi, itu membuatku merasa sedikit hidup, tetapi di sisi lain, itu mengingatkanku betapa terjebaknya diriku dalam situasi ini.
Saat diriku menaiki tangga kapal dengan langkah tertahan oleh rantai di pinggang, seorang petugas lain yang menunggu di atas menyambutku dengan senyuman kecil penuh arti. Matanya menelusuri wajahku, lalu berkata sambil sedikit menyeringai, "Wah, sayang sekali ya, Mbak, wajah cantik begini tapi harus mendekam di balik jeruji. Kalau saya yang punya keputusan, udah dari kemarin-kemarin Mbak dibebaskan."
Petugas di belakangku menimpali sambil tertawa kecil, "Hati-hati, nanti malah jadi cinta lokasi. Tapi saya akui, Mbak ini memang beda, auranya kuat."
Mendengar canda itu, ku hanya bisa menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan reaksi yang timbul di hatiku. Ini bukan pertama kali diriku mendengar godaan macam itu, tetapi entah kenapa, setelah bertahun-tahun diisolasi dari dunia luar, kata-kata sederhana itu mengguncangku. Mungkin karena sudah lama tidak ada yang memandangku lebih dari sekadar 'penjahat'. ku rasakan geliat rasa malu dan senang bercampur aduk.
"Jadi, Mbak Sarah, apa cita-citamu setelah bebas?" tanya petugas lain, yang berdiri di ujung dek, wajahnya penuh keingintahuan.
Aku terdiam sejenak, terkejut oleh pertanyaan mendalam yang mengalir dari canda. "Cita-cita?" ulangku, mengingat kembali mimpi-mimpi yang terpendam. "Saya hanya ingin merasakan kebebasan, seperti orang-orang biasa."
"Ah, kalau saya sih cuma berharap Mbak bisa bebas, nanti siapa tahu kita ketemu lagi di luar. Pasti udah aku ajak makan malam," ia melanjutkan sambil tersenyum, wajahnya bersinar dengan semangat.
Diriku hanya tersenyum tipis, sedikit gemetar antara ingin membalas dengan candaan atau tetap menjaga jarak. "Mungkin, ya. Tapi sepertinya Anda harus menunggu cukup lama," jawabku sambil terkekeh, berusaha meredakan ketegangan yang mulai mengisi ruang di antara kami.
Di bawah semua canda dan godaan mereka, ku tahu diriku hanya seorang terpidana yang diawasi ketat. Tapi kata-kata mereka, meski hanya sekelebat, menambah bara semangat dalam diriku. Mereka mengingatkanku pada kehidupan yang menantiku di luar sana, suatu hari nanti, saat bisa meraih mimpi-mimpi itu.
Dengan rasa asing yang merambati pikiranku, diriku melangkahkan kaki menuju kapal. Suara rantai yang menggantung di pinggang dan borgol di tanganku menjadi pengingat keras bahwa ku masih terikat, dalam arti sebenarnya. Petugas bersenjata mengawalku dengan waspada, sementara diriku terus menahan kepahitan ini, menantikan hari di mana ku bisa melepaskan semua ini.
Ketika kapal mulai bergerak, rasa canggung dan harapan bersatu dalam hatiku, seolah-olah momen ini adalah titik awal baru, meskipun semua itu terasa sangat jauh.